Dean mengakhiri teleponnya setelah ia melaporkan beberapa detail baru yang di dapatkannya dari Sherly.
Kekhawatiran terbesarnya adalah, bahwa sekarang Sherly lah target utama para komplotan yang diduga akan mencelakainya seperti mereka mungkin mencelakai pamannya.
Fakta bahwa Sherly memiliki begitu besar jumlah uang di dalam rekeningnya mungkin menjadi salah satu alasan mereka mengincar Sherly.
Jika bukan itu, mungkin karena bisnis kotor pamannya hingga menyeret Sherly ke dalam bahaya. Apa pun itu, Dean akan berusaha mencari tahu lagi. Dean kembali ke dalam apartemen setelah selesai melaporkan petunjuk baru pada Adriana.
Sesampainya di dalam, Dean tak dapat menemukan Sherly. Baik di kamarnya maupun di kamar gadis itu sendiri. Dean segera menekan nomor ponsel Sherly untuk menghubungi gadis itu.
"Halo ... Dean?" Tak berselang lama Sherly menjawab panggilannya.
"Kau di mana?"
"Aku sedang berada di minimarket samping apartemen, ada
Dean dan Sherly sama-sama terlena dengan ciuman intens yang semakin lama semakin panas dan menggebu. Sofa lembut tempat mereka memadu hasrat, menjadi satu-satunya penopang mereka yang saat ini tengah melayang... seperti tak sadarkan diri, hanya mengikuti naluri semata. Lidah mereka yang saling bertautan, saling menuntut, terasa begitu manis dan pas. Kelembutan bibir Sherly beradu dengan permainan lidah Dean yang semakin liar. Ia menuntut begitu banyak manis dari Sherly, melahapnya seolah tak ada puasnya. Menekankan bahwa semua kelembutan yang gadis itu punya adalah miliknya ... Dean melahap bibir Sherly dengan lebih liar, mengulum dan memainkan lidahnya dengan lebih agresif. Memikirkan bahwa semua kelembutan Sherly adalah miliknya, membuatnya menjadi lebih posesif. Lebih panas. Dean tak memberi jeda sedikit pun pada ciumannya. Hingga pada satu titik ... mereka saling melepaskan pagutan karena kehabisan napas. Mau tak mau Dean mengakhiri ciuman panasnya dengan gigitan kecil yang panj
Dean masuk kembali ke dalam kamar untuk memeriksa Sherly setelah dirinya mandi dan menyegarkan diri. Saat dirinya terbangun tadi, keadaan kamar sudah gelap karena hari telah larut. Ia memutuskan keluar untuk menyalakan penerangan dan kemudian mandi. Sherly masih meringkuk di posisinya semula ketika Dean meninggalkannya tadi. Perlahan Dean berbaring kembali di sebelah gadis itu. Ia membelai rambut berantakan Sherly dengan hati-hati, kemudian mengecup kening gadis itu. Tidak hanya sekali, Dean melakukan hal yang sama berulang-ulang kali bermaksud untuk membangunkan gadis itu. Sudah berkali-kali Dean mengecup kening Sherly, kemudian hidung, beralih ke kelopak mata, dan yang terakhir ia mendaratkan ciuman yang panjang di atas bibir gadis itu. Sherly yang awalnya masih terlelap, pada akhirnya merespon dengan sedikit membuka mulutnya. Desahan manis kembali terdengar saat Dean melepas ciumannya. Gadis itu meresponnya. Seolah tak ingin melewatkannya, Dean den
Dean duduk di belakang Sherly dengan beralaskan karpet di depan TV. Ia sedang mengeringkan rambut basah Sherly setelah mereka selesai makan malam. "Jadi ... apa besok kau akan berangkat bekerja?" tanya Dean. "Ya ... aku sudah lebih baik. Lagipula pekerjaanku sedang menumpuk karena proyek baru kami." "Apa ada sesuatu antara dirimu dan Nick?" tanya Dean tanpa berbasa basi. Sherly berbalik, menatap Dean sejenak. "Apa Nick mengatakan sesuatu?" tanyanya sedikit was-was. Dean mematikan pengering rambut yang sedang dipegangnya. Meletakkannya di atas meja, dan matanya memicing penuh selidik ke arah Sherly. "Kenapa? Apa ada sesuatu yang aku tak boleh tahu?" Sherly memutar kedua bola matanya.."Bukan begitu ... hanya saja itu sedikit ... mm ... bagaimana aku harus mengatakannya ya," "Apa? Ayolah," tanya Dean tak sabaran. "Nick menyatakan perasaannya kepadaku." jawab Sherly buru-buru. Seketika Dean membelalak.
"Siap?" tanya Dean. "Aku siap ... kau?" Sherly balas bertanya. "Aku juga siap. Apa pun yang terjadi hari ini, nanti malam kita akan membahasnya bersama, oke?" balas Dean. Sherly mengangguk. "Dan ... hmm tolong selesaikan hal yang harus diselesaikan dengan bocah itu. Bicarakanlah baik-baik," pesan Dean lagi. Dan Sherly tahu benar maksud Dean. "Aku tahu kalian berteman baik ... tapi jangan sampai kau memberinya harapan, oke? Dan ingat pandanglah ia sebagai teman baikmu, jangan memandangnya sebagai seorang pria," pesan Dean lagi. Sherly tergelak mendengar pesan Dean padanya. "Oh, please ... berhentilah bertingkah seperti ayahku. Aku tahu maksudmu, Dean." Sekarang dirinya sedang berada di dalam mobilnya sendiri dengan Dean sebagai pengemudinya. Dean mengantarkan Sherly bekerja pagi ini sebelum ia berangkat ke kantornya sendiri. "Apa kau akan baik-baik saja? Maksudku pekerjaanmu bagaimana?" tanya Sherly. "Tak perlu cem
Dean dan Sherly melewati jalanan malam yang penuh dengan pemandangan cantik dan menyenangkan hari ini. Jalanan yang biasa mereka lewati serasa jauh lebih indah dan menyenangkan sesuai dengan suasana hati mereka yang sedang berbunga-bunga. Kerlap-kerlip lampu jalanan pun serasa begitu romantis dan menawan malam ini. Menghabiskan waktu untuk menempuh perjalanan pulang tak pernah terasa secepat ini sebelumnya. Waktu serasa berlalu begitu cepat saat Sherly menghabiskannya berdua dengan Dean. Dean dan Sherly saling bergandengan tangan seperti remaja yang sedang kasmaran. Mereka sengaja berlama-lama melalui tangga darurat untuk dapat menuju ke lantai apartemen mereka. Di setiap sudut tangga saat ada kesempatan Dean tak segan-segan menarik Sherly ke dalam dekapannya hanya untuk sekadar mendaratkan ciuman panasnya. "Jika kau begini terus ... kita akan sampai ke atas esok hari ..." keluh Sherly saat Dean memojokkannya untuk yang kesekian kalinya.
Dean bermaksud membawa Sherly menuju ke kondominium miliknya dengan segera setelah ia dan Sherly selesai berkemas. Ia membawa Sherly dengan mobil mewahnya, melesat meninggalkan apartemen sesegera mungkin. Tak memerlukan waktu yang lama hingga akhirnya mereka sampai di tempat Dean. "Wow ..." gumam Sherly saat Dean mempersilakannya masuk ke dalam kediamannya yang terbilang cukup mewah. "Sebelumnya mobil mewah, lalu sekarang ini ... nanti apa lagi yang akan kau tunjukkan?" Sherly menggeleng takjub. "Kau akan tahu nanti ..." Dean mengedipkan matanya. "Dasar ... tukang pamer!" Sherly menatap kesekeliling ruangan yang begitu menakjubkan. Seumur hidupnya ia tak pernah memasuki kediaman yang terbilang mewah seperti ini. "Kau lebih dari mampu untuk memiliki yang seperti ini. Bahkan lebih baik dari punyaku. Kau ingat, aku tahu berapa besar jumlah total di dalam rekeningm, Sayang ..." goda Dean. "Bukannya kau berjanji akan membiay
"Menurutmu siapa yang bermaksud mengincar Sherly?" Dean berbicara dengan Max melalui telepon di depan ruang TV nya. "Sudah jelas pria yang hampir kita tangkap tempo lalu yang mengincar Sherly. Mungkin ia kembali ke apartemen Sherly saat ia tahu Sherly tak ada di sana." "Apa kau sudah menemukan petunjuk terbaru tentang pria itu? Aku rasa aku tahu siapa lagi tersangka yang masuk dalam daftarku. Yang harus kita cari tahu adalah siapa dibalik orang-orang suruhan itu" "Beberapa saksi melihat mobil yang sama yang berkeliaran di sekitaran apartemen kalian Dean. Tim sedang memeriksa pemilik kendaraan tersebut." "Max ... tolong kau selidiki perjalanan dan lacak riwayat telepon bibi dan paman Sherly. Apa pun informasi yang dapat kau temukan tentang mereka, tolong segera laporkan padaku. Aku masih belum yakin paman Sherly menghilang karena melarikan diri atau karena alasan lain. Yang pasti kita harus mencari tahu dan segera menyelidikinya." "Baik Dean ..
"Selamat pagii, Sayang." Dean mengecup kening Sherly saat ia telah membuka matanya sepenuhnya. Sherly menggeliat dari bawah selimut Dean yang tampak lembut. "Kau tak membangunkanku, jam berapa ini?!" Sherly tersentak dan segera menegakkan badannya. "Hei hati-hati lukamu. Kau mungkin juga bisa menumpahkan semua sarapan kita," Dean mengangkat kembali meja kecil yang sempat ia letakkan di atas kasur tadi. Meja yang berisi hidangan untuk sarapan mereka. "Aku sudah menelepon Nick, jangan khawatir ia sudah memberikanmu izin untuk cuti hari ini." "Benarkah? Apa yang kau katakan padanya?" "Aku memberitahu yang sebenarnya, tentang apartemenmu dan kepindahanmu ketempatku, itu saja." Sherly mengangguk tanda mengerti. "Lagipula kau membutuhkan lebih banyak waktu untuk beristirahat untuk pemulihanmu. Kau sudah mengalami hal-hal yang berat beberapa hari ini, beristirahatlah agar keadaanmu membaik, oke?" "Baiklah ... kau benar." "Makanlah, ki
Tiga bulan kemudian ... "Cantik dan sempurna. Kau telah siap, Sayang?" Joanna merapikan gaun pengantin Sherly dengan binar yang jelas terlihat di matanya. Siang ini, Dean dan Sherly akan mengadakan resepsi pernikahan mereka pada sebuah hotel mewah dengan ballroom megah yang menjadi pilihan lokasinya. "Bukankah aku sudah terlalu besar, Mom? Aku merasa sedikit tidak begitu percaya diri pada bagian dada, perut, pinggulku, oh ... hampir semuanya ... aku merasa membengkak," bisik Sherly tertahan. "Siapa bilang kau membengkak? Kau sempurna, Sayang ... kau tampak menggoda dan begitu seksi." Dean yang tiba-tiba melangkah masuk mengejutkan Sherly dan Joanna yang sedang bersiap. Ia mencium pipi Joanna, sebelum akhirnya mencium Sherly dengan mesra. "Kau sudah siap bukan, Sayang?" tanyanya kemudian pada Sherly. "Belum. Aku ... sangat gugup," Sherly sedikit mengernyit dan meringis. Joanna tersenyum, "Tak perlu gugup, Sayang. Tarik nap
Dean mengerjapkan matanya dan sedikit merintih saat ia terbangun di dalam kamarnya. Kepalanya masih berdenyut karena sisa-sisa kekacauan semalam. "Kau sudah bangun?" Sherly meletakkan sarapan pada salah satu meja di dalam kamar. "Uh, ya Sayang. Apa yang terjadi semalam? Bagaimana aku bisa kembali ke rumah?" tanyanya masih sambil memegangi kepalanya. "Kau tak ingat apa pun?" tanya Sherly lagi. "Uh, yang aku ingat adalah ketika mereka membawaku dan ...." Seolah tersadar, Dean segera menghentikan ucapannya. Ia menatap Sherly yang telah berdiri di depannya dengan tatapan tajam. "Oh, Sayang ... ma ... maafkan aku. Kau marah? Kau sudah mengetahuinya ya," gumam Dean lirih. Sherly mendekati Dean dan berdiri di samping ranjangnya. "Jelas," tegasnya. "Mengapa kau tak bercerita apa pun padaku? Jika si bodoh Chris tak memberi tahu, dan kami terlambat datang, aku tak tahu lagi apa yang akan terjadi padamu." Sherly menggeleng-geleng kesal. "
Billy, suami Vania masuk dengan tatapan menyelidik. Ia dan enam anak buahnya yang datang, memenuhi kamar hotel berjenis suite room itu dengan gaya garangnya.BRAKK!!Baru sejenak ia masuk, pintu kamar lagi-lagi dibuka paksa dengan keras. Sontak semua ikut terkejut. Hanya satu orang yang begitu lega ketika melihat wajah-wajah familier yang menyeruak masuk setelahnya."MANA WANITA YANG BERANI MENYENTUHKAN TANGANNYA PADA SUAMIKU? AKU PASTIKAN IA AKAN HABIS!"Sherly dengan tatapan membunuhnya masuk begitu saja untuk menyelidik seluruh ruangan. Tatapannya langsung terpaku pada sosok Dean yang sedang tergeletak di atas ranjang.Serta merta ia menghampiri Dean dan Vania yang sedang berdiri mematung di pinggir ranjang.Sherly tidak langsung menghampiri Dean. Ia memilih menatap Vania dan berhadapan dengannya. Tanpa diberi tahu pun, ia
Sekepergian Dean yang dibawa oleh Vania dan anak buahnya, Chris begitu kalut dan bingung. Walau begitu, ia tak berlama-lama berdiam diri di tempatnya. Ia kemudian menekan nomor di ponselnya dengan segera. Sementara itu ... Sherly sedang menata meja makan dengan hidangan-hidangan menggiurkan untuk menyambut kedatangan Adriana dan Nick. Ya, Adriana dan Nick akan menemaninya malam ini selama Dean pergi dengan Chris. Sherly sengaja mengundang Adriana untuk makan malam karena ia ingin berbincang dan membicarakan kehamilan mereka yang tak terpaut jauh. "Apa kau bilang, Chris?!" Teriakan panik Adriana terdengar hingga ke ruang makan saat Sherly sedang menata meja. Ia yang begitu penasaran kemudian menghampiri Adriana yang baru saja sampai di pintu masuk. "Ada apa? Apa yang telah terjadi?" tanya Sherly. Ia seketika merasakan firasat buruk. Adriana memandang Sherly dengan sedikit bimbang, "Be ... begini, Sherly, Dean ... ia ..
Malam itu, Dean dan Chris telah sampai ke restoran yang dituju. Vania dengan gaun malam merahnya yang melekat seksi mengikuti bentuk tubuhnya telah menanti mereka pada salah satu meja. Vania tersenyum saat kedua pria yang telah dinantinya itu ikut bergabung dengannya. "Wow, kalian terlihat tampan," ucapnya dengan nada menggoda. Vania adalah tipe wanita matang yang seksi dengan tampilan mewah elegan yang mampu menghipnotis setiap mata yang melihat. Wanita awal tiga puluhan itu tampak sedikit mencolok karena makeup bold-nya yang berani yang menghiasi wajahnya. "Baiklah, kami telah di sini, mungkin bisa kita mulai makan malam kita sekarang," ucap Dean formal. "Ow, jangan terburu-buru Tampan, kita bahkan belum saling sapa," Vania mengerling dengan genit. "Oh, ayolah Vania. Kau sudah berjanji bukan?" ucap Chris. "Ah, oke ... oke, kau tak menyenangkan, Chris. Baiklah, mari kita nikmati hidangan kita." Dengan memberi isyarat, para pel
Chris dengan gugup menghampiri Dean yang sedang menunggunya di ruang tamu. Ia tahu sahabatnya itu pasti sangat kesal padanya sekarang. Ia memilih menemui Dean di rumahnya daripada di luar karena Chris tahu, Dean tak akan berbuat sesuatu padanya jika ada Sherly di dekatnya. "Biar aku bantu kau membawanya Sherly," Chris bertemu Sherly ketika ia keluar dari dapur dan membawa senampan hidangan kecil dan minuman hangat. "Hai, Chris! Aku tak tahu kau akan datang ke rumah? Kau sudah makan malam?" tanya Sherly. "Ya, Sherly. Aku hanya ingin bertemu dengan Dean sebentar." Chris melihat Dean sudah menatapnya dengan tajam saat dirinya dan Sherly mendekat. Ia meletakkan nampan yang ia bawa ke atas meja di depan Dean dengan melirik-lirik gugup pada sahabatnya itu. "Hai Kawan, maaf aku baru bisa datang," Chris melambai dengan canggung. Sherly yang mengambil tempat duduk di sebelah Dean mulai mempersiapkan minuman hangat untuk Dean. Dean melot
Dean telah sampai di sebuah restoran tempat bertemunya dengan calon pembeli seperti yang telah Chris beri tahu di dalam pesan yang ia terima di ponselnya. Chris yang memberi kabar bahwa dirinya akan datang terlambat karena beralasan bahwa ia sedang banyak pasien, menjanjikan akan datang secepatnya begitu pekerjaannya selesai. Dean yang tak curiga dan menganggap hal itu biasa tak mempermasalahkannya. Ia tahu pekerjaan Chris yang padat memang sering kali menyita banyak waktunya. Siang yang tak begitu padat memudahkan Dean untuk memesan meja di sebuah restoran yang kebetulan adalah milik kenalannya. Ia dengan mudah mendapatkan meja hanya dengan menghubungi si pemilik. Tak berselang lama setelah dirinya menanti, datanglah seorang wanita yang mendekati mejanya. Wanita berambut panjang dan pirang itu sudah melambai dari kejauhan saat melihat sosok Dean. Dean yang tak membalas hanya menunggu saat wanita itu mendekatinya. "Dean Austin, benar?" ucap wa
Seminggu setelah kejadian yang disebabkan oleh Vivian mereda, Sherly dan Dean berkumpul bersama Adriana dan Nick untuk sekadar makan siang bersama di kediaman Dean. "Bagaimana keadaanmu Dean? Apa kau sudah benar-benar pulih sekarang? Aku masih tak percaya kalian mengalami hal yang begitu mengerikan," ucap Nick. "Bisakah kalian tinggalkan hal-hal seperti itu? Sayang?" lanjutnya. Kali ini Nick merujuk pada Adriana. Ia selalu merasa ngeri setiap kali orang terdekatnya mengalami hal-hal buruk. Dan kejadian itu tak hanya sekali saja terjadi. "Oh, kita sudah beberapa kali membahas hal ini. Bukankah kita sudah sepakat? Ini pekerjaanku, kau tahu sendiri bukan?" Adriana menimpali dengan tenang. "Benar, justru karena aku tahu, aku semakin cemas dan ngeri setiap kali kau berangkat bekerja!" Nick memprotes Adriana. "Aku telah mengalami beberapa hal yang menegangkan dan gila saat melihatmu bekerja. Kau sungguh keren, tapi kau juga membuat jantungku serasa hampir c
"Oh, ya Tuhan!" Adriana terlihat panik dan ngeri. Ia begitu tercekat menatap kobaran api yang tiba-tiba saja menjilat-jilat dan memenuhi ruangan berkayu itu. Sejenak ia membeku di tempatnya karena begitu shock. Ia seolah tak dapat berpikir. Ia akhirnya dapat kembali tersadar saat mendengar teriakan Sherly. Adriana sendiri kemudian memaksakan diri untuk bangkit dan mendekat. "Oh, ya Tuhan Dean!!" Sherly yang begitu panik melihat Dean terlalap api tak dapat berbuat apa-apa. "Tolooong!!" teriak Sherly. "Kalian, cepatlah bertindak sebelum api menyebar!! Lakukan sesuatu! Bergeraklah!" Adriana berteriak memberi perintah pada anak buahnya yang telah bersiap. Beberapa anak buah yang cepat tanggap segera berhambur ke dalam pondok dan menarik Dean, Sherly, juga Vivian yang masih membeku di atas lantai. Api yang menjalar dengan cepat membuat para petugas kewalahan dan bergerak sigap untuk menyelamatkan mereka. Begitu mereka keluar dari rumah ters