Suara pintu kamarku yang diketuk membuyarkan lamunan. Rosa berkata dengan lembut, “Sophie, sampai kapan kamu mau mengurung diri? Kamu tidak mengatakan apapun pada kami tentang malam saat kamu menghilang. Apapun yang terjadi padamu, tolong maafkan kami karena tidak dapat menemukanmu.”
Aku terdiam, cukup lama. Aku terus merenungkan apakah ini semua adalah salah kedua sahabatku? Karena semua rencana untuk mendapatkan informasi Jimmy adalah rencanaku juga, bagian dari rencana besar firma hukum kami. Segala hal yang terjadi menjadi resiko kami masing-masing. Demi masyarakat yang telah menaruh harapan keadilan mereka di pundakku. Aku harus bangkit kembali dan menuntaskan kasus ini.
Aku bangkit dari tempat tidur yang telah menopang tubuhku selama seharian kemarin. Pagi ini harus menjadi awal yang baru bagiku. Aku membuka pintu, Rosa dan Megan langsung berhamburan memelukku.
“Rosa, Megan, bisakah kalian membantu aku merias diri. Aku harus tampil meyakinkan sebagai se
Tidak butuh waktu lama hingga seorang wanita muda berwajah manis yang mengenakan kacamata berframe emas berjalan menuju arahku. “Sophie Amalia?” tanya wanita itu begitu tiba di hadapanku. “Ya, itu aku. Maaf sudah merepotkan anda,” jawabku sambil tersenyum profesional. “Oh tidak, hal seperti ini sering terjadi di hari pertama bekerja. Aku Anita, jangan terlalu formal denganku, saat aku melihat resumemu, usia kita berdua tampaknya sama. Kita akan menjadi rekan kerja mulai sekarang. Aku staf administrasi yang mengurus administrasi setiap pegawai, dan hal-hal seperti ini. Kalau begitu, ayo kita masuk. Ini kartu pegawaimu. Kamu harus menggunakannya untuk bisa melewati pemeriksaan robot A.I.” Anita tampak sibuk mengatur setting perintah pada robot A.I. Anita juga memintaku untuk berdiri menghadap robot tersebut dan menahan mataku dari berkedip. “A.I. Deteksi iris mata Sophie Amalia, posisi staf HRD, dan cek kesehatannya.” “Baik, Nona Ani
Begitu kami tiba di lantai 37, Lantai 37 sangatlah luas, ada begitu banyak meja dan pekerja di departemen HRD. Wollim memang berbeda, perusahaan ini sangat maju, canggih, dan berbasis teknologi modern. Memasuki gedung perusahaan Wollim, seperti menyusuri kisah Alice in the wonderland, sangat menakjubkan. Wollim adalah dunia yang berbeda dengan segala teknologi yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Anita mengajakku berputar untuk berkenalan dengan seluruh staf HRD dan Manager HRD kami sebelum ia membawaku menuju meja kerjaku yang berada tepat di samping meja kerjanya. “Ini meja kerjamu, kau boleh menatanya sesuka hatimu.” Anita adalah pegawai yang sangat ramah, aku selalu tersenyum menanggapi seluruh arahannya. Selain itu suasana kerja di perusahaan ini sangat menarik. Setiap lantai memiliki ruang istirahat sendiri. Mesin-mesin camilan, minuman dan permainan akan sangat mudah ditemui di sudut mana pun dalam perusahaan ini. “Anita, Pak Sahir me
Aku mengalihkan pandangan ke setiap sudut ruangan, tentu saja untuk menghindar dari temu pandang dengan Neil dan Gerald. Saat ini aku benar-benar berharap alarm kebakaran berbunyi atau terjadi sesuatu yang mengharuskan kami berlari kocar-kacir meninggalkan ruang meeting. Karena jantungku terasa melompat hingga tenggorokan dan membuat sesak jalur napasku. Sepanjang karier sebagai seorang pengacara, aku tidak pernah merasakan kegugupan sebesar ini. Tapi munculnya kedua pria itu mengombang-ambing kepercayaan diriku. Hanya satu kalimat yang dapat kupikirkan saat ini, mampus aku! “Sophie... Sophie!” pikiranku langsung teralih ketika Anita berbisik memanggilku dengan beberapa tendangan ringan yang ia lontarkan padaku. Aku menarik napas dalam dan secara kikuk menaikkan sebelah alis. Kebiasaan burukku yang menjadi isyarat untuk perkataan, ada apa? Anita mengerutkan keningnya saat melihat reaksiku, lalu berusaha menelan tawa ringannya
“Nana, hubungi Ben dan Direktur Orin!” ucap Neil sambil menatap A.I. Nana. “Perintah dilaksanakan, Tuan,” jawab Nana. Hatiku membatin, program A.I. Nana berbau kolonial. Meskipun ia adalah teknologi termutakhir, namun program itu memanggil setiap pria dengan sebutan tuan. Sangat feodal. Jangan-jangan perusahaan ini seperti perusahaan silicon valley, namun bertradisi keraton. Gawat. Sebuah sinyal bahaya mulai menyala di dalam diriku. Sambil berupaya menahan rasa resah aku menyikut lengan Anita dan mengetikkan sebuah pertanyaan pada layar flash-C milikku. Anita mengikuti arah pandangan mataku. (Anita, siapa Ben?) Setelah melihat pesanku, tangan Anita tampak bergerak lincah di atas keyboard virtual dari flash-C miliknya. (Benny Polim, pemimpin tertinggi Caist Law Firm, pengacara-pengacara firma hukum itu bekerja sama dengan perusahaan kita.) Aku mengangguk ketika membaca pesan
“Selamat pagi, Neil, Gerald, Suryo,” sapaan pria bernama Ben langsung menyedot perhatianku. “Good morning all! Neil, we must meet as soon as possible!” (Selamat pagi semua! Neil, kita harus bertemu secepatnya!) ucap direktur berkepala plontos. “Pagi, Ben. Baiklah karena semua orang sudah berkumpul, kita mulai rapatnya. Akhir-akhir ini cukup banyak berita mengenai pencemaran lingkungan oleh perusahaan Orin. Bagaimanapun juga Orin merupakan salah satu anak perusahaan kita. Hal paling berbahaya yang bisa terjadi adalah jika anak panah tuduhan menyasar kepada Wollim. Wakil Direktur Gerald, bagaimana hasil penyelidikan dari tim investigasi kita?” Neil tampak memandang Gerald yang duduk tepat di sampingnya. Neil cukup berbeda dari pria yang kulihat semalam. Saat ini hanya satu kalimat untuk menggambarkan dirinya. Pria itu tampak sangat berkuasa. Bulu kudukku berdiri menyaksikan tatapan tajamnya. Seolah ia ingin menyingkirkan semua permasalahan Orin dengan
Aku menarik napas panjang di antara penjelasan Sahir. Keberuntungan berada di pihakku, ternyata rapat ini justru mengangkat kasus yang sedang digarap oleh firma hukum tempatku bekerja. Setidaknya aku dapat mengetahui sejauh apa pergerakan Wollim juga Orin, dan aku tidak perlu bersusah payah dalam mencari informasi. Tidak sia-sia rasanya menghabiskan waktu untuk penyamaran ini. “Nana, I send you some file. Open the investigation file number three!” (Nana, aku mengirim file. Buka file investigasi nomor tiga!) perintah Suryo. Lagi-lagi Nana menjawab perintah dengan menyebutkan kata tuan di akhir ucapannya. Saat file terbuka, peta empat dimensi muncul di layar hologram. “Ini adalah peta persebaran lokasi pemukiman kedua belas terduga korban, lalu tanda merah adalah titik-titik pengolahan limbah kimia Orin. Sedangkan warna biru adalah jalur air yang mengalir pada pemukiman warga. Kami sedang meneliti kemungkinan kebocoran pada setiap titik pengolahan limbah dan k
Otakku terus berputar memikirkan rencana tercepat untuk menyelamatkan diri dari tereksposenya identitasku. Penyamaran yang terbongkar di tengah rapat adalah pilihan terburuk. Aku tidak ingin tertangkap hidup-hidup di tengah para penyamun buas, terutama dengan adanya sosok Benny Polim, si pengacara bertangan besi dan berdarah dingin. Nama lengkap ayahku, Tora Benjamin, terpampang cukup besar pada layar hologram empat dimensi yang ditampilkan oleh A.I. Nana, tepat di samping lambang perusahaan kami Benjamin Law Firm. “Tora Benjamin adalah pimpinan dari firma hukum Benjamin. Tingkat kemenangan kasus yang ditangani oleh firma hukum ini mencapai tujuh puluh persen. Kebanyakan kasus yang ditanganinya merupakan kasus-kasus yang menarik perhatian publik. Contoh kasus class action serupa yang mereka menangkan dan paling menarik perhatian publik adalah kasus gugatan class action investor pada Ernor Corporation, serta kasus class action masyarak
Di sisi lain Suryo tidak kalah gusar melihat tindakan tidak sopanku. Di dalam ruang meeting, kondisi peserta rapatpun sama gemparnya. Mereka saling berbisik-bisik resah melihat ketidaksopananku. Di tengah situasi kacau ini, Neil seketika menggebrak meja. “Berhenti! Sudah cukup! Sebagai pemimpin rapat, aku meminta seluruh peserta rapat untuk tenang. Saya bisa pastikan kepada Pak Benny dan Pak Suryo bahwa tindakan tidak sopan staf kami ini akan mendapatkan ganjarannya nanti, tapi sekarang saya berikan kesempatan dulu kepada dia yang tidak sopan ini untuk menyampaikan pendapatnya,” Neil mengarahkan seluruh tatapannya kepadaku sebelum dia berbicara lagi dengan nada yang lebih tinggi, “Waktumu lima menit, Sophie! Sebaiknya, apa yang akan kau sampaikan benar-benar berguna!” Neil kemudian diam sembari memajukan tubuhnya dan mengatupkan kedua lengan di atas meja. Ia menatap tepat pada kedua bola mataku sebagai isyarat agar aku mulai bicara. Terdapat ribuan emosi di dalam cah
Haloo teman-teman pembaca, mohon maaf kalau saya sering terlambat untuk upload cerita moonlight kiss akhir-akhir ini, karena saya sedang mengikuti lomba menulis novel Mizan Writing Boothcamp, dan tantangan dari lomba lumayan banyak, sehingga banyak menyita fokus perhatian saya. Jadi mohon dukungan dan doanya ya untuk keberhasilan saya. Dan saya akan terus berusaha untuk mengupdate novel moonlight kiss meskipun selama periode lomba MWB, saya akan cukup terlambat mengupdate, Terima kasih banyak atas pengertian, perhatian, dan dukungannya. Saya akan kembali dengan chapter menarik lainnya. Mari kita nantikan bersama bagaimana kelanjutan kisah antara Sophie, Neil, dan Gerald. Kemanakah bunga-bunga cinta mereka akan berlabuh? lalu bagaimana mereka mengatasi para mafia dan senjata pemusnah massal M.K. Project alias Moonlight Kiss? Mari kita tunggu kelanjutannya... Love you all... -Scarlette-
Rasanya sulit menggambarkan perasaanku saat ini. Pada satu sisi aku merasa sangat bersyukur dan gembira karena Gerald telah menyelamatkan kami. Pria bermata sayu itu rupanya memiliki keahlian bela diri. Ia dapat mengalahkan satu per satu lawan dengan menggunakan teknik mematikan. Sejenak aku bahkan merasa seperti telah diselamatkan oleh seorang pangeran berkuda putih. Baiklah, aku pun telah diselamatkan oleh Kevin sebelumnya, dengan keahlian peretas kelas wahid, tapi diselamatkan oleh pria yang kita suka terasa sangat berbeda. Jujur, tindakan Gerald membuatku merasa sangat tersanjung dan terpesona.Akan tetapi, komunikasi kami di sepanjang perjalanan membuatku sangat frustasi. Lompatan-lompatan pikiran Gerald sama sekali tidak dapat kubaca. Mata sayunya tampak tidak fokus, dipenuhi dengan kecemasan yang sangat sulit kukorek. Sepanjang jalan tidak terjadi koneksi di antara kami, baik dalam hal perbincangan maupun dari hati. Wajar saja jika saat ini perasaan kagumku kepadanya sedikit b
Ia masih tidak bereaksi. Sama sekali.Tidak mengangguk ataupun menggeleng.Ia sama sekali tidak menanggapi perasaanku.“Gerald!” Kurenggut lengannya. Ia benar-benar tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri.Syukurlah pada akhirnya Gerald menoleh. Sebuah gerakan sederhana yang menunjukkan bahwa ia telah kembali menjadi manusia, bukan patung tanpa nyawa.“Apa? Ada apa?” tanya Gerald dengan mata berkedip-kedip dan pupil yang terus bergerak ke sana ke mari. Ia tampak kebingungan.“Dari tadi aku hanya mau mengatakan terima kasih...,” kuhentikan sejenak perkataanku dan kembali menatap Gerald, memastikan bahwa pria di sampingku telah memulihkan konsentrasinya. Setelah memastikan bahwa Gerald benar-benar mendengarkan, lalu kulanjutkan ucapanku, “Terima kasih karena tadi, kamu sudah menyelamatkanku.”Gerald menatapku secara cepat, hanya sekilas lantas kembali memandang jalur perjalanan di balik kaca bening pelindung kendaraan kami. Gerald menarik napas sangat dalam kemudian menghembuskannya l
Berbeda dengan ketenangan maupun kesigapan yang Gerald tunjukkan saat menghajar para begundal. Laki-laki yang selalu membuat resah hati dan pikiranku, sedari tadi membungkam mulutnya. Kedua bola matanya bergerak ke sana ke mari seakan memikirkan begitu banyak hal. Keringat membasahi pelipis pria seputih pualam itu. Entah apa yang membuat Gerald resah. Namun satu hal yang kutahu pasti, bahwa pria bermata sayu di sampingku tidak akan pernah mau membicarakan isi hati dan pikirannya. Meskipun aku dapat melihat dengan jelas kecemasan dari sorot mata tidak dapat berbohongnya, karena seperti itulah sosok Gerald yang kutahu sejak dulu. Dingin dan pendiam. Seperti sebuah semesta yang tidak dapat kujelajahi. Namun hal itu juga yang menjadi daya tariknya, sebab hanya aku tahu bahwa sebenarnya Gerald memiliki hati yang hangat. Kedua mataku melirik kembali pada pria yang tampak serius mengemudi. Entah mengapa ia selalu menjadi medan magnet perhatianku. Dahi Gerald tampak berkerut hingga jarak ked
Gerald menggenggam tanganku sangat erat dan sedikit kasar. Ia menarikku dengan cepat. Seandainya aku tidak begitu mengagumi pria di hadapanku, aku dapat mengira bahwa ia sedang menyeretku menuju mobil Mitsubishi Pajero berwarna cokelat muda. Karena posisi mobil yang cukup tinggi, tanpa aba-aba, Gerald membuka pintu, lalu mengangkat tubuhku dengan lembut seakan aku adalah kaca yang sangat rapuh, ia mendudukanku di kursi penumpang depan.Gerakan Gerald sangat taktis dan efisien. Setelah menaikkanku ke dalam mobil, ia meminta laki-laki berjas hitam untuk memanggul Doni yang rupanya tidak sanggup berjalan. Pada awalnya Doni mencoba berlari menghampiri, namun baru beberapa langkah Doni sudah menghentikan langkahnya. Ia terjatuh. Tampaknya pertempuran tadi melukai kaki dan bagian-bagian lain dari tubuhnya.Begitu kami semua telah masuk mobil, Gerald lantas menginjak gas meninggalkan lokasi. Di dalam mobil, Gerald mengemudi dengan kecepatan tinggi. Sedangkan pria
Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak menunjukkan ekspresi nyeri meskipun pada kenyataannya luka di leherku sangatlah pedih. Aku tidak ingin Gerald terganggu oleh lukaku. Karena hal terpenting yang harus dilakukan saat ini adalah keluar dari situasi mengerikan dengan selamat dan tanpa kehilangan Moonlight Kiss.Tatapanku kembali mencari sosok Doni, rupanya ia telah roboh di samping mobil tesla. Posisi tidak imbang karena rekan Gerald, si pria berjas hitam harus melawan dua orang. Sebelum menghampiri pria berjas hitam, Gerald dengan gagah menarikku agar berada di balik punggungnya. Kali ini bukan aku yang menjadi perisai hidup bagi seseorang, tapi Gerald menjadikan dirinya perisai hidup yang melindungiku.“Gerald, tolong berhati-hatilah!” ujarku dengan pelan, entah ia mendengarnya atau tidak. Aku bahkan dapat mendengar nada keputusasaan dari suaraku sendiri. Tanganku berusaha menggapai punggung Gerald. Namun debar di dada membuatku urung untuk menjangkaunya
Pukulan Gerard sangat keras. Si pria kuncir kuda terdorong. Pegangannya di leherku terlepas. Aku bergerak mundur mencari jarak aman lalu berjongkok melindungi diri. Aku tidak dapat menemukan lLmborghini hitam di sekitar kami. Kurasa kehadiran Gerald berhasil mengusir mereka. Tapi pria berkuncir ekor kuda belum jatuh. Dia berupaya membalas pukulan Gerald. Tangan kanan si kuncir mengayun kencang. Dia mengincar wajah Gerald. Satu pria berjas hitam tampak bertarung dengan pria botak dan pria brewok berkemeja hawai. Doni terlihat turut membantu pria berjas hitam. Kurasa pria bersetelan hitam itu adalah rekan Gerald.“Awas!” pekikku. Pria berkuncir kuda berhasil mengambil tongkat baseball yang rupanya tidak terpental jauh dari posisi kami dan hendak menghantam kepala Gerald. Tubuhku mendadak terasa lemas membayangkan tongkat itu melukai Gerald.Sayangnya pria yang selalu ada dalam ruang rinduku itu tidak terpengaruh oleh pekikanku. Dia pun tak terpengaruh dengan
Ia menarik tanganku hingga aku terpelanting di atas aspal panas. Sedangkan kedua pria yang mengincar Doni telah berhasil membuka pintu dan turut menarik pria kurus itu keluar dari mobil. Pria brewok berkemeja hawai dan rekannya tampak mengacak-acak isi mobil, mencari keberadaan tabung cairan kimia.Doni terlihat berusaha menghalangi si pria kemeja hawai dengan tendangan tinggi mengarah pada dada, namun pria berkepala botak yang berada di belakangnya segera menghalau tendangan kanan Doni dengan tangkisan tangan kiri. Doni beralih pada pria botak. Satu tonjokkan hampir mengenai pelipis pria itu jika saja dia tidak sigap menahan pukulan yang dilontarkan oleh Doni dengan satu tangan.“Doni, awas!” Aku berteriak ketika pria borak melakukan pukulan balasan menggunakan tangan kirinya yang bebas. Sayangnya Doni terlambat menyadari peringatanku dan membuat pukulan itu tepat mengenai pipi Doni. Meskipun menggunakan kiri, pukulan itu mampu menjatuhkan Doni.Pad
Keinginan hidup membuatku memperhitungkan dengan saksama kedalaman rem yang kupijak. Ini pengereman kedua. Mobil tesla sudah hampir menabrak. Namun jalan masih menurun terjal. Aku melepas lagi rem. Berharap mobil tidak kehilangan kendali, lalu menginjak rem satu kali lagi. Tesla tidak memiliki rem tangan, jadi aku benar-benar harus mengandalkan rem kaki dan kemampuan menyetirku.Mobil berdecit keras. Suaranya pasti terdengar sampai di mall sana.Kecepatan dan daya dorong mobil tesla yang berusaha kukurangi dengan tiga kali rem menciptakan gerakan pendulum. Laju mobil ditambah oleh gaya tarik gravitasi, dilawan oleh rem secara cepat mengakibatkan gaya balik di dalam mobil.Aku dan Doni akan terlempar keluar seandainya tidak mengenakan sabuk pengaman. Untunglah kami mengenakan seat belt. Tubuh kami hanya terdorong ke depan secara mendadak, kemudian terpantul kembali setelah mobil berhenti total. Hanya berjarak sejengkal dari mobil Land Cruiser.Ber