Luka yang diterima oleh Leon, bukan berarti mengurangi energinya untuk meluapkan cinta di atas getaran ranjang yang ia buat. Setiap sentuhannya, terasa hangat dan menagih.
Bibir Leon mendarat pada setiap inci kulit Zaila. Tangannya menggenggam erat tangan Zaila. Lengguhan napas terasa semakin panas. Tidak ada sepatah kata yang terucap, selain desahan mesra. Erangan nikmat menambah gairah yang tidak akan mungkin berhenti hanya dengan ciuman panas yang menjamah bibir. Leon menanggalkan satu per satu kain yang melekat ditubuh Zaila. Pemandangan indah ketika lampu yang masih menyala terang menyorot tubuh Zaila. Pinggang yang sangat ramping, dada sintal yang menggugah selera. Dahaga semakin menjadi-jadi. Leon menelan air liurnya. Zaila terlihat seperti wanita yang rapuh. Leon tidak sampai hatiMatahari sudah cukup tinggi. Di dalam sebuah kamar, seseorang tertidur pulas dalam ketenangan. Pakaian yang berserakan di atas lantai dan juga seorang wanita cantik berada dalam dekapannya. Ketukan pintu membangunkannya yang sedang berada di alam mimpi yang mungkin saja cukup indah hingga tidak ingin diakhir. Mau tidak mau, ia harus segera tersadar setelah telinganya mendengar sedikit kegaduhan."Ah, sial! Masuklah!" gerutunya sembari menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya."Kau masih tidur?""Tutup mulutmu. Apa ada hal penting sampai kau mengganggu tidurku, Brian?""Jordan, lagi-lagi kau main-main dengan wanita," ucap Teo."Bukan urusanmu." Wanita yang menghabiskan malam dengan Jordan, ikut bangun. Jordan turun dari ranjang dengan tubuhnya yang tidak mengenakan apapun."Setidaknya pakai celana dalau, sialan!" gerutu Teo yang ikut menemui Jordan."
Naura dan yang lain kembali dari Jepang. Sambutan meriah disajikan untuk mereka yang sudah berjuang. Kiana masih sibuk dengan memilih pakaian mana yang cocok untuknya. Ia berniat untuk liburan sedikit lama di Jepang sembari menemui Zeki. Kiana belum tahu kalau saat ini, Zeki sedang berkumpul bersama keluarganya di lantai bawah."Delice, bisa kita bicara sebentar?" tanya Naura."Iya." Delice mengikuti Naura. Naura keluar dari mansion dan mengajak Delice bicara di teras nomor dua belas. Semua sedang berkumpul, jadi tidak akan ada yang mendengar pembicaraan mereka."Delice, aku akan mengalihkan perhatian Kiana dan membawanya pergi. Kau ajak mereka semua berkumpul di tempat lain. Aku rasa, ini akan mengecewakannya," kata Naura."Sayang, kau jangan khawatir. Aku akan menuruti apa keinginanmu. Kita tidak bisa menghindarinya. Tapi kita bisa mengunduhnya sampai keadaan bisa m
Bayangan indah dan manis, sama sekali tidak terbalaskan. Dulu, mungkin dua bulan yang lalu. Dunia Kiana dan Zeki menjadi satu. Namun saat ini, jarak mereka terbentang luas dan juga tebal. Tangan tidak lagi bisa menggapai. Bagai pungguk merindukan bulan. Seharusnya, ketika Zeki kembali sebagai pria yang dinanti-nanti, rasa bahagia itu menggunung. Seharusnya, Kiana akan berlari dan merangkulnya. Memeluknya dengan mata yang berkaca-kaca. Berbisik kata manis yang membuat keduanya saling berbagi pandangan. Namun... Hati begitu tersentak. Bibir yang hendak tersenyum menjadi canggung. Pandangan mata tidak berkedip melihat ke arah tangan Zeki yang tidak lagi menggenggam tangannya, namun menggenggam bahu wanita lain. Apa yang harus Kiana katakan? Haruskah ia marah?&nb
Brak!"Sialan! Keluar kau bajingan!" Lima pemimpin HG Group sedang berkumpul untuk membicarakan sesuatu yang penting. Namun, Leon datang mengamuk dengan kondisi tubuhnya yang hampir tidak bisa berdiri dengan benar. Leon hampir kehabisan napas. Ia menggunakan sisa tenaganya untuk mendatangi Jordan. Dadanya terasa sesak hingga ia terlihat terengah-engah. Namun, Jordan melihatnya begitu santai."Hai!" sapa Jordan. Ia tersenyum seolah-olah tidak ada yang terjadi."Bajingan! Bisa-bisanya kau tersenyum!" teriak Leon. Ia tambah mengamuk melihat ekspresi Jordan. Jordan berjalan ke arah Leon. Ia membantu Leon untuk masuk. Jordan bahkan tidak berniat untuk menjelaskan apapun."Sudahlah. Untuk apa kau berteriak? Lihat saja kondisimu yang sedang sekarat," kata Jordan."Diam, bangsat! Aku seperti
Orva beralih untuk mengendarai mobil. Sedangkan Oscar mengejar sembari meninggalkan jejak yang akan membuat Orva bisa mudah menyusulnya. Oscar melompat. Ia bergelantungan di mobil. Mobil melaju sangat cepat. Tangannya yang berkeringat menjadikan pegangannya semakin licin. Ujung kukunya terasa terkoyak. Napas Oscar mulai terengah-engah. Ia harus menahan terpaan angin sembari bergelantungan tanpa arah.Brak! Brak! Brak! Oscar menendang kaca mobil. Namun, tenaganya sangat terbatas dan konsentrasinya terbagi sehingga beberapa kali tendangan hanya meretakkan kaca tersebut, atau mungkin saja, bisa jadi mobil yang digunakan sudah dimodifikasi supaya tidak mudah untuk dihancurkan."Akh!" teriak Oscar.Bruk! Oscar terjatuh. Mobil itu tiba-tiba banting stir sehingga Oscar langsung terpental. Jalanan begi
Tuan Dogam tidak membiarkan Renza pergi sendirian. Ia mengejarnya dan mencegah Renza untuk pergi. Renza yang diliputi oleh amarah, tidak peduli siapa lawannya. Entah itu guru yang mengajarkan teknik padanya atau bahkan orang lain.“Lepas! Anda pikir saya akan diam saja? Bajingan itu membawa Kiana!” bentak Renza. Ia berbicara formal karena kepercayaannya telah hilang. Emosi melenyapkan akal sehatnya.“Apa yang bisa kau lakukan dengan keterbatasanmu seperti ini? Kau pikir kau bisa mengalahkan mereka? Bukankah sama dengan mengantarkan nyawa?” balas Tuan Dogam. “Pikirkan tawaranku. Lampaui Kiana dan jadilah dirimu sendiri,” sambungnya.“Berhenti bicara omong kosong dan biarkan aku pergi!” Mulut Renza ingin sekali memaki tapi fokusnya terbagi.“Kalau kau bisa melampaui Kiana, menghabisi mereka adalah hal kecil. Renza, jangan kekanak-kanakan.” Tuan Dogam masih berusaha untuk membuat Renza masuk ke dala
“Ren!” Renza akhirnya menoleh. Kiana terlihat sangat berantakan. Wajah memerah. Matanya yang indah sedikit bengkak. Mungkin karena ia sudah banyak mengeluarkan airmata. Suaranya juga terdengar sangat lemas. Ia seperti tidak memiliki gairah hidup. Perasaan Renza tersayat-sayat. Ia langsung bergegas dan memeluk Adik yang sangat ia cintai. Adik yang selalu ingin ia bahagiakan sampai tidak memiliki waktu untuk memikirkan wanita lain yang mengemis meminta untuk mengisi hatinya.“Kiana!” Renza memeluk Kiana dengan erat. “Ada apa denganmu? Kenapa kau datang-datang langsung memelukku?” tanya Kiana. “Berhenti bersikap cengeng, sialan!” imbuhnya.“Diamlah!”
Delice meminggirkan mobilnya ditepi jalan. Ia memegang tangan Naura yang sedari tadi menunjukkan kecemasan."Renza sudah mengatasinya, sayang. Kau tidak perlu khawatir," kata Delice."Iya. Seharusnya aku tidak seperti ini. Hanya saja, aku merasa menyesal karena tidak mengatakan pada Kiana sedari awal," kata Naura."Hei!" Delice memegang dagu Naura. Ia meminta Naura untuk menatapnya. "Bukan salahmu. Kau percaya takdir, bukan?" sambungnya."Maaf, Delice. Seharusnya aku tidak selemah ini." Naura yang dulunya lembut, tetap saja menjadi wanita yang lembut. Tidak ada yang berubah darinya meski dari tangan kecilnya, ia sudah membunuh beberapa orang dengan keji."Apa kau tidak merindukanku? Bagaimana kalau malam ini kita tidak pulang dan kau fokus padaku?" ucap Delice."Delice, apa kau suka melakukannya dalam keadaan seperti ini?""Tidak juga. Aku ingin melakukan dalam keadaan apapun karena bersamamu."