"Woaaah! Lihat! Itu Tuan Hart! OMG! Dia benar-benar datang ke sekolah kita!" "Mana? Mana? Aku juga mau lihat!" Beberapa guru perempuan yang masih berusia kepala dua berlomba-lomba mengintip dari balik jendela kaca. Mereka kasak-kusuk memuji ketampanan Dareen dengan binar mata penuh kekaguman dan mendamba. Kepala Sekolah keluar dari ruangannya. Melihat guru binaannya berkerumun di balik jendela, dia mendeham, "Ehem! Ehem!" Tak satu pun dari mereka yang menggubris teguran darinya. Wanita berusia nyaris setengah abad tersebut mendekat. Ia menarik pundak salah satu dari gadis itu. "Aish! Apaan sih! Ganggu aja! Aku masih betah nih!" omel gadis tersebut tanpa menoleh, seraya menyingkirkan tangan sang Kepala Sekolah dari pundaknya. Ia mengira salah satu temannya yang mengusilinya. Hal tersebut tentu saja membuat wanita paruh baya itu naik pitam. "Bubar! Kembali ke meja kalian!" Hardikan yang diteriakkan dalam jarak dekat tersebut membuat kumpulan para wanita muda itu terperanjat dan
"Selesai!" Arisha menepuk pelan pundak Silla setelah menyampirkan tas punggung gadis itu.Perlahan dia memutar badan Silla agar berhadapan dengannya. Sambil membungkuk, ia tersenyum hangat, "Princess cantik, hari ini mulai bersekolah. Semangat!""Hm!" Silla mengangguk mantap."Hati-hati membuka tempat makannya ya! Kalau Silla kesulitan, Silla boleh minta tolong sama Bu Guru.""Silla pasti bisa. Kak Sha udah ajarin Silla.""Kalau begitu, ayo berangkat!" Arisha membimbing tangan Silla."Tunggu!" cegah Dareen, yang sedari tadi menonton diam-diam interaksi Arisha dan Silla di ruang makan tersebut.Perlahan Dareen mendekati keduanya. Sesaat ia memindai penampilan Silla, kemudian beralih kepada Arisha."Daddy, Kak Sha pagi ini masak enak sekali! Silla juga bawa ke sekolah," lapor gadis kecil itu, tersenyum semringah seraya berlari menyongsong sang daddy.Dareen berjongkok dan merentangkan kedua tangannya untuk menyambut Silla. Kemudian, ia mendaratkan kecupan sayang di kening sang keponakan
"Arisha, tunggu! Aku mau bicara!"Tersadar dari bengongnya, Hanna menyesali keputusannya untuk melepaskan Arisha kali ini. Bergegas ia memburu Arisha dan menyambar lengannya.Arisha menghentikan langkah. Sejenak ia mengembuskan napas kasar. "Saya tidak mengenal Arisha yang Anda maksud, Nona! Tolong lepaskan tangan saya dan biarkan saya pergi! Anda menakuti putri saya."Terpaksa Arisha menahan dongkol dan bersikap biasa saja demi sebuah sandiwara yang sempurna. Dia tidak mau kembali bersama Hanna, apalagi dia tahu persis niat busuk wanita itu."Aku yakin kamu adalah Arisha, temanku. Aku tidak mungkin salah mengenali orang!" Hanna masih teguh pada pendiriannya.Senyum terpaksa terbit di wajah Arisha. "Sebaliknya, saya yang merasa tidak mengenali Anda.""Mommy, ayo pulang!" rengek Silla, menyadarkan Hanna akan kehadiran orang ketiga di antara mereka.Hanna membandingkan wajah gadis kecil itu dengan Arisha.Beruntung Tuhan mengirim Arisha kepada keluarga yang tepat.Hidung dan mata Silla
"Di pojok sana aja!" Hanna menunjuk pojok kanan kafe yang tampak sepi. "Terserah kau saja," sahut Alfian, mengekori Hanna menuju meja yang dipilihnya. Setelah menarikkan kursi untuk Hanna dan gadis itu telah menempati posisinya, Alfian ikut duduk, saling berhadapan. "Pesan saja! Aku yang traktir," kata Alfian seraya menggerakkan tangan sebagai tanda mempersilakan Hanna untuk membuka daftar menu. "Oke. Siapa takut? Sudah sepantasnya kamu mentraktirku. Anggap saja sebagai kompensasi karena kamu telah menyakiti teman baikku." Hanna meraih kartu menu yang ada di atas meja dan membukanya. "Mbak!" Hanna mengangkat tangan, memanggil pelayan kafe. "Mau pesan apa, Mbak? Mas?" tanya sang gadis pelayan begitu tiba. "Aku … menu rekomendasi hari ini saja dan secangkir espresso," kata Hanna, menaruh kembali kartu menu ke atas meja. "Masnya?" ulang sang pelayan, menoleh pada Alfian. "Makanannya samakan saja. Minumannya Mocca Latte." "Baik, Mbak, Mas. Pesanan Anda akan segera tiba." Setelah
Grab! Hanna mencekal lengan Alfian saat lelaki itu bersiap hendak membuka pintu mobil. Hanna menggeleng seraya berujar, "Jangan turun! Kita awasi aja dari sini." Alfian pun membatalkan niatnya untuk membuka pintu. Ia melingkarkan lengan pada roda kemudi. Tatapannya lurus ke pintu gerbang sekolah. "Kau yakin Arisha bakal ke sini?" "Yakin. Hari itu aku berhasil membuntutinya. Putrinya bersekolah di sini." "Apa? Putri?" "Ck! Kamu gimana sih? Kan aku udah cerita." "Sorry. Lupa." Tiba-tiba Hanna menepuk-nepuk lengan Alfian. "Itu di sana. Lihat!" "Mana? Cuma ada mobil doang." "Ish! Telmi! Tunggu sebentar lagi! Arisha pasti nongol." Seperti perkiraan Hanna, tidak lama kemudian Arisha keluar dari mobil. Ia membimbing Silla, yang hari itu mengenakan gaun biru, menuju gerbang sekolah. "Eh, jangan!" Sekali lagi Hanna mencegah Alfian agar tak turun dari mobil. "Aku mau ketemu Arisha, Hanna! Jangan mencegahku!" "Bodoh! Kalau kamu muncul sekarang, dia akan kabur lagi." Alfian terdia
"Ayo, Sayang! Kasihan Mang Usep nunggu lama." Arisha mengulurkan sebelah tangan pada Silla. Gadis itu baru saja selesai memasang sepatu. Walau dia yang bertanggung jawab mengurus segala keperluan Silla, Arisha tak melakukan semuanya sendiri. Dia lebih memilih untuk membiarkan Silla belajar mandiri. "Aku yang akan mengantar kalian," celetuk Dareen, muncul dari belakang Arisha dan Silla. Arisha mengernyit heran. Biasanya Dareen berangkat lebih pagi untuk menghindari kemacetan. "Jangan terlalu banyak berpikir!" komentar Dareen, dengan wajah datar. "Cepat masuk ke mobil." Arisha masih terpaku tak percaya, menatap punggung Dareen yang telah berlalu bersama Silla. Bahkan, saat tangan Dareen telah bersiap hendak membuka pintu mobil bagian depan, langkah Arisha tercacak di teras rumah. Dareen mendengkus jengkel. "Kamu tidak ikut?" "Huh?" Arisha tersentak. "Ah, i–iya." Mendugas Arisha menyusul masuk ke mobil, di mana Silla telah duduk manis sambil bersenandung kecil. "Udah baca doa, S
"Hei, bukan dua, tapi empat!" protes wanita berambut pendek. "Kau ingin memenggal kepala kami? Sungguh tidak setia kawan sekali kau ini." Sepertinya wanita berwajah bulat itu adalah yang paling cerewet di antara mereka bertiga. "Jangan dengarkan kata-kata nenek bawel ini, Nona! Ayo gabung kemari!" ulang wanita pertama, memanggil Arisha. Merasa tak enak hati menolak permintaan orang yang lebih tua, Arisha memutar arah. Berjalan mendatangi gazebo yang dihuni tiga wanita berlabel nenek-nenek tersebut. "Selamat pagi, Ibu-Ibu!" sapa Arisha seraya melempar senyum ramah dan membungkuk hormat. "Astaga! Tidak perlu bersikap formal begitu. Mari duduk sini!" Wanita pertama yang mengenakan hijab sorong itu entah kenapa sangat tertarik dengan Arisha. Pertama kali melihat gadis itu melintas, ia seperti menemukan sesuatu yang telah lama hilang dari hidupnya. "Ah, baiklah. Terima kasih." Arisha melepas sandal, kemudian mengenyakkan pantat di tempat yang ditepuk wanita berhijab. "Kau cantik se
Perih!Sekali lagi rasa itu menikam hati Arisha.Sepertinya semesta masih betah menyuguhkan asamnya kehidupan, di mana pun ia berada. Bahkan, lewat lidah seseorang yang baru saja dikenalnya.Arisha memaksakan bibirnya mengukir senyuman. "Terima kasih atas nasihatnya, Bu."Si bawel mengerling sinis. "Memang sudah seharusnya kau berterima kasih padaku. Itu semua demi kebaikanmu. Kecantikanmu tidak akan bertahan lama kalau kau tak merawatnya."Arisha mengangguk, masih dengan senyum canggungnya yang berbalut lara. "Iya, Bu. Akan saya pikirkan.""Eeeh, jangan cuma dipikirkan, tapi laksanakan!""Iya, Bu." Arisha malas berdebat.Wanita berhijab geleng-geleng kepala. "Arisha, jangan masukkan ke hati apa yang diucapkan Nyonya Yati."Sekali lagi Arisha mengangguk. Di saat bersamaan ponselnya berbunyi."Maaf, Ibu-Ibu. Saya permisi sebentar." Arisha memanfaatkan momen tersebut untuk pergi menjauh dari si bawel. Untuk apa bertahan pada lingkungan toksik yang menghadirkan penderitaan batin.Setiap
"Sayang, kamu kembali? Aku mencemaskanmu." Dareen melesat menyongsong Arisha begitu mendengar derit pintu dibuka. "Jangan menyentuhku!" Arisha menepis tangan Dareen yang ingin memeluknya. "Ya Allah, Sayang … aku sudah mandi lho …." Arisha mendelik. "Mandi sana! Atau kamu tidur di sofa!" Dareen garuk-garuk kepala. Wanita kalau cemburu, semua jadi salah. "Ini sudah malam banget, Sayang. Nanti kalau aku masuk angin, bagaimana?" Arisha menulikan telinga. Ia naik ke atas kasur, lalu bersandar di kepala ranjang sambil bersedekap tangan. Tatapan tajamnya menembus manik kelabu milik Dareen. Dareen merasa semakin serba salah. "Serius … aku harus mandi lagi nih?" "Terserah. Aku nggak maksa." Dareen tersenyum lebar. Mudah sekali membujuk Arisha. "Terima kasih, Sayang!" "Tidur di sofa!" Arisha melempar bantal. Senyum Dareen lenyap. Terlalu cepat ia melakukan selebrasi. Ah, ternyata dia salah memahami makna kata terserah yang terucap dari bibir Arisha. "Ya, ya. Aku mandi lagi." Dareen
"Heh, siapa yang menggoda suamimu? Della? Tidak mungkin. Dia bukan wanita murahan dan bodoh seperti kamu!"Ratih tak terima putri semata wayangnya dianggap sebagai wanita penggoda."Oh ya? Terus apa namanya kalau perempuan masuk ke kamar orang lain dan memeluk laki-laki yang bukan suaminya? Perempuan terhormat tidak akan menyerahkan diri pada laki-laki yang baru dikenal, Tante." Arisha menyeringai sinis. "Dia bahkan dengan tak tahu malu memanggil suamiku sayang. Apa begini hasil didikan, Tante?"Ratih mengeritkan gigi. Kesal lantaran Arisha kini berani melawan kata-katanya."Setelah meninggalkan hotel ini besok, Tante, terutama putri kesayangan Tante ini, jangan pernah muncul lagi di hadapanku!""Sombong kamu sekarang ya! Kamu lupa siapa yang merawat dan membesarkanmu selama ini? Kalau bukan karena tante yang menampungmu, kamu sudah jadi gembel di jalanan."Arisha mencebik. "Tentu aku tidak pernah lupa, Tante. A—""Bagus kalau kamu sadar. Pikirkan juga bagaimana caranya kamu membalas
"K–kamu mengusir kami? Keluarga istri kamu sendiri?"Kenyataan yang terjadi tak semanis impian Ratih. Sungguh ia tak percaya Dareen akan mengusir dirinya dan Della."Saya rasa apa yang saya katakan sangat jelas. Ayo!" Dareen bangkit dan mulai mengayun langkah menuju pintu."Ma, bagaimana ini? Masa kita balik lagi ke kampung?" rengek Della, berbisik resah di telinga Ratih."Sudah. Ikuti saja dulu! Rencana selanjutnya bisa kita pikirkan nanti."Meski enggan, Ratih dan Della tak punya pilihan selain mengikuti Dareen ke hotel."Wah, Ma … akhirnya kita bisa merasakan tidur di hotel." Della tersenyum semringah, duduk mengempas-empaskan pantatnya pada permukaan kasur."Iya, tapi cuma malam ini," keluh Ratih dengan muka ditekuk masam. "Pasti anak pembawa sial itu menjelek-jelekkan kita di hadapan suaminya. Kalau tidak, mana mungkin suaminya itu mengusir kita. Argh, padahal mama sudah membayangkan hidup enak jadi nyonya besar."Ratih menjatuhkan bobot tubuhnya ke atas kasur. "Eh, benaran empuk
Dua minggu kemudian, Arisha baru saja selesai dirias."Waah, Non Arisha cantik banget," puji Bi Minah dengan pupil yang membesar. "Tuan bakal makin klepek-klepek ini mah.""Apaan sih, Bi. Nggak jelas banget." Pipi Arisha merona merah jambu."Ho oh, Mommy. Mommy kayak princess. Sumpah!" Silla ikut mengacungkan dua jempol."Apakah pengantin wanita sudah siap keluar?" Seorang wanita masuk ke ruangan itu. "Acara akan segera dimulai.""Siap! Siap! Aman!" sahut sang penata rias.Arisha melangkah pelan dengan kepala tertunduk malu ketika MC memanggil dirinya dan Dareen untuk keluar dan naik ke pelaminan."Angkat kepalamu! Saatnya kamu bangga dengan diri sendiri," bisik Dareen, menghadirkan rasa geli di telinga Arisha. "Kamu wanita hebatku. I love you!"Tiga kata terakhir dari Dareen mampu memantik rasa percaya diri Arisha yang sempat tenggelam dilindas hinaan dan cacian oleh orang-orang di sekitarnya.Senyum lebar merekah di bibir Dareen. Menyaksikan Arisha mulai menerima diri sendiri sunggu
"Sayang, Silla anak yang kuat. Silla akan sembuh." "Tapi … Mommy kok nangis? Semua orang juga pada nangis. Silla takut mati, Mommy." Arisha memeluk Silla dengan sebelah tangannya yang bisa bergerak bebas. "Cup, cup. Silla salah paham, Sayang. Mommy … dan semua yang ada di sini nangis, itu … karena terharu Silla akhirnya sadar dan akan segera sembuh." "Benarkah?" Silla memandangi wajah orang yang mengelilinginya satu per satu. Mereka kompak mengangguk tanpa sanggup mengucapkan kata-kata. Arisha mengambil gelang di tangan Dareen. "Lihat! Mommy punya dua gelang. Satu untuk mommy, satu untuk Silla. Silla mau?" "Mau, mau!" Silla menjawab antusias, lupa akan kesedihannya barusan. Sejenak Arisha memilah gelang mana yang akan diberikannya pada Silla. Akhirnya, ia memakaikan gelang bernama Arisha Ayuningtyas kepada Silla. "Di balik gelang ini, terukir nama mommy. Nanti, walaupun Silla nggak bisa melihat mommy karena terhalang jarak dan waktu, percayalah … mommy selalu ada di dekat Sil
"Silla takut." Silla menarik tangan Dareen. Sementara matanya tertuju pada Bian. "Lho, kenapa takut, Sayang? Om itu bukan orang jahat kok. Justru Om itu telah mendonorkan darahnya untuk menyelamatkan Silla." Dareen mengelus lembut punggung jangan Silla. "Benarkah?" "Iya. Om itu saudara mommy." Silla kembali tenang dan memberanikan diri untuk membalas senyum Bian. "T–terima kasih, Om," ujar Silla, sedikit gugup. "Iya. Anak manis. Cepat sembuh ya …." Bola mata Bian terus bergerak memindai wajah Silla dan Arisha. Otaknya berpikir keras. Tidak mungkin ada begitu banyak kebetulan tentang kemiripan Silla dan Arisha. "Tuan Hart, bisakah kita bicara empat mata?" "Tentu. Mari kita ngobrol sambil minum kopi, tapi … tunggu sampai omaku tiba di sini. Tidak mungkin kita meninggalkan mereka berdua, bukan?" "Oh. Oke." Sepuluh menit berselang, Nyonya Hart datang dengan langkah tergesa-gesa. "Silla, Sayang. Oma senang kamu akhirnya sadar. Terima kasih. Kamu anak yang kuat!" Nyonya Hart men
"Kamu masih marah? Maaf, aku tidak bermaksud untuk membohongimu. Aku … hanya belum menemukan waktu yang pas untuk menceritakan semuanya." Dada Dareen terasa sesak mendapat perlakuan tak acuh dari Arisha. Semenjak kejadian di dekat ruang ICU, Arisha masih melakukan aksi tutup mulut dengannya. Sekarang saja Arisha berbaring sambil membuang muka. Gadis itu bahkan menjauhkan tangannya saat merasakan jemari Dareen menyentuh kulitnya. "Arisha, kamu boleh memakiku, tapi tolong … jangan mendiamkanku. Aku akui aku salah karena tidak jujur sejak awal." Arisha mengerti Dareen tentu memiliki alasan untuk menyimpan jati diri Silla dari dirinya. Hanya saja, ia tetap merasa kecewa. "Kalau kamu tidak bisa memercayaiku, tidak ada alasan untuk mempertahankan pernikahan ini." Akhirnya Arisha mau juga bicara. Kepercayaan terhadap pasangan merupakan salah satu pilar utama bagi kokohnya mahligai rumah tangga, selain kejujuran, saling menyayangi, dan menjaga komunikasi. "Arisha, aku belum memberitah
"James, kumpulkan karyawan yang sehat dan biasa mendonorkan darah! Silla butuh darah cepat." "Siap, Bro. Golongan darah apa?" "B negatif." "Kok bisa sama ya?" celetuk James dengan kening mengerut. "Apanya yang sama?" "Itu … golongan darah Silla. Kok sama dengan Arisha. Kebetulan yang aneh." Dareen termangu. Kenapa dia bisa lupa bahwa Arisha juga memiliki golongan darah B negatif. "Jangan ngaco! Walaupun golongan darah mereka sama, aku tidak mungkin meminta Arisha untuk mendonorkan darahnya. Dia bahkan masih dirawat." "Siapa yang butuh darah Arisha?" Dareen dan James menoleh kaget. "Tuan Bian," ucap keduanya serentak. "Ya. Aku sempat mendengar kalian menyebut nama Arisha." Bian menatap Dareen dan James bergantian. Akhirnya Dareen yang menjawab. "Putriku kritis dan butuh darah. Kebetulan golongan darahnya sama dengan Arisha." "Kalau begitu, izinkan aku membantu." "Tapi, Tuan … Anda belum lama mendonorkan darah pada Arisha." "Tidak masalah. Waktu itu cuma satu kantong. Lag
"Aku berhasil mendapatkan rekaman CCTV dari bangunan di seberang sekolah," lapor James seraya menyodorkan ponselnya pada Dareen, yang sedang sibuk di belakang meja kerjanya. "Lihat ini! Hanya saja, gambarnya tidak begitu jelas." Dareen mengambil ponsel dari tangan James. Matanya menyipit, memperhatikan setiap detail gerak yang terekam dalam potongan video tersebut. "Aku seperti mengenali postur tubuh wanita yang mendekati Silla," komentar James, terlihat berpikir. "Tapi, aku tidak yakin tebakanku benar." "Anggita!" seru Dareen, terlonjak tegak. Mukanya menegang. "Aku yakin wanita dalam rekaman ini adalah Anggita. Walaupun dia memakai seribu topeng, aku tidak akan pernah salah mengenalinya." "Ah, pantas saja aku merasa tidak asing. Eh, bukankah kalian sudah putus?" "Dia gila!" Dareen mengirimkan rekaman tersebut ke ponselnya, lalu mengembalikan gawai milik James. "Ayo, ikut aku!" "Rasanya, tidak mungkin Anggita membawa Silla ke apartemennya." James meneleng seraya menggeleng tak