Bima mengusap dagunya dengan gusar. Dia harus memisahkan kakaknya dengan Erika, tapi bingung harus melakukan apa. Cara paling mudah tentu dengan mengungkap perselikuhan ini, tapi Bima tidak mau. Erika akan beresiko mendapat hujatan, bahkan mungkin akan ditampar jika ini terbongkar dan Bima tak mau itu terjadi. Dia tak mungkin membiarkan Erika terluka dalam bentuk apa pun. “Jadi aku harus ngapain buat merebut Erika?” Bima terus begumam. “Apa mungkin memaksa aja ya? Tapi gimana supaya dia gak takut ya?” Bima jadi makin bingung.*** “Apa sih yang membuatmu mau sama Kaisar?” tiba-tiba saja Cinta bertanya pada sahabatnya, Erika. Saat ini empat orang sahabat itu tengah berkumpul di penthouse Erika. Ini dilakukan agar mereka tidak mendapat gangguan lagi seperti kali lalu. Setidaknya mereka tidak akan tanpa sengaja bertemu dengan seseorang. “Gimana ya aku ngomongnya?” Bukannya menjawab, Erika malah bingung. Bingung harus memberikan jawaban seperti apa. “Katakan saja… ada sesuatu yang
Mata Erika memicing, menatap pria yang duduk di depannya dengan tatapan yang seolah siap memakan manusia hidup-hidup. Mau tidak mau, Bima meringis karenanya. “Sejak kapan aku jadi tunanganmu?” tanya Erika dengan nada ketus. “Pacaran saja tidak.” “Maaf,” gumam Bima pelan. Saat ini dia tidak mau berbuat yang aneh-aneh, karena sang mama juga ada di sana. “Sepertinya aku harus memberitahu satpam di lobi untuk tidak seenaknya membiarkanmu naik ke atas lagi.” “Loh, kenapa? Jangan gitu dong, Erika.” Bukan Bima yang menjawab, tapi Retno. Ya. Lelaki itu pada akhirnya memutuskan untuk melibatkan sang mama untuk menarik perhatian Erika, tanpa tahu yang terjadi di masa lalu. Dia pikir Erika akan luluh dengan sang mama karena merasa perempuan itu baik hati. “Bima hanya kaget karena melihat teman-temanmu. Dia berpikir mereka keluargamu. Itu hanya refleks kurasa,” Retno kembali menjelaskan. “Tapi saya tetap tidak suka dengan kedatangan tiba-tiba anda berdua yang sangat mengganggu. Kami sedang
“Eh, loh?” Lydia tertegun ketika mendengar seseorang menekan pin di pintu rumah Erika, saat baru kembali dari area dapur. “Ka? Ada yang tahu pin rumah kamu?” “Hah?” “Aku dengar ada yang menekan pin dan itu dia sudah masuk,” lanjut Lydia bertepatan dengan suara pintu yang terbuka. “Hah? Siapa?” Erika yang bingung langsung berdiri, hendak melihat siapa yang kira-kira menginvasi rumahnya. Dan betapa terkejutnya semua orang, ketika melihat seorang pria yang mereka kenal masuk dengan santainya. Pria itu adalah Kaisar dan dia langsung terkejut melihat banyak orang di ruang tamu. “Pak Kaisar ngapain ke sini?” tanya Erika dengan mata melotot. Tak ada yang menyangka pria itu akan muncul. “Aku... hanya berkunjung?” Kaisar malah bertanya saking bingungnya. “Berkunjung? Pengunjung mana yang langsung masuk begitu saja? Lagian tahu pin pintu ruumah i
Kening Erika berkerut ketika merasakan sinar matahari yang masuk dari celah tirai jendelanya. Dirinya yang masih mengantuk, memilih untuk berbalik. Erika tidak begitu merasakan lengan kekar yang menimpa pinggangnya dan dengan gerakan luwes, masuk ke dalam dekapan pria yang memeluknya. Perempuan dengan gaun tidur tipis dengan tali yang sudah terjatuh dari bahu itu, malah mengusapkan kepalanya ke dada bidang yang terasa nyaman dan hangat itu. Mencari posisi terbaik, lalu balas memeluk. ‘Tumben hari ini bisa tidur nyenyak,” Erika bergumam dalam hati, belum menyadari kalau sedari tadi dia memeluk seseorang. Sampai akhirnya Kaisar mengeratkan pelukannya dan membuat Erika tersadar ada yang salah. Ketika membuka mata, hal pertama yang Erika lihata dalah dada bidang Kaisar yang untungnya masih mengenakan kaos. “Tapi kenapa bisa ada di sini? Bukannya kemarin di kamar tamu ya?” “Jangan berisik! Aku masih mau tidur.” Entah Kaisar mengigau atau apa, tapi dia menegeratkan lagi pelukannya d
“Apa Tante mengganggu?” pertanyaan itu yang didengar Erika saat membukakan pintu. “Sangat,” jawabnya tanpa ragu masih dengan napas terengah. Setelah mengetahui siapa yang tadi menelepon, Erika dibantu Kaisar segera membereskan kekacauan yang ada. Perempuan itu bahkan hanya bisa menyambar jubah mandi yang disiapkan di area kolam renang untuk menutupi ketelanjangannya. Semua dilakukan dengan buru-buru karena Retno sedang naik lift menuju unitnya. “Rasanya saya sudah meminta Nyonya untuk berhenti datang.” Erika tetap menyingkir dari pintu, membiarkan Retno dan Bik Sum masuk. “Tumben Neng Erika telat bangunnya,” Bik Sum berbicara sambil menerawang ke arah kolam renang yang masih agak berantakan. Beberapa bagian lantai, masih ada yang basah. “Lagi pengen aja.” Erika mengedikkan bahunya dengan santai. “Tolong diberesin ya, Bik.” “Kamu sudah mandi kan, Ka? Habis re
Kaisar yang berbaring di ranjang, menghela napas panjang. Setelah tadi dia dan Erika bercinta secara kilat di kamar mandi, dia memang membiarkan Erika mandi duluan. Namun siapa sangka setelah mandi, dirinya malah mendengar hal yang tak masuk akal. Kaisar mendengar Erika menuduh ibunya sebagai pembohong dan sang mama pun tak membantah. “Sepertinya ada hal yang aku lewatkan,” gumam Kaisar menutupi mata dengan lengan. “Pak Kaisar?” Panggilan disertai dengan suara ketukan di pintu itu membuat yang empunya nama beranjak ke pintu. “Kenapa, Bik?” “Itu. Non Erika sudah buatkan sarapan, tapi dia katanya capek jadi mau tidur dulu di bawah.” Si Bibik terlihat agak segan memberitahu informasi itu. “Okay.” Jangankan si Bibik, Kaisar sekali pun sedikit bingung. Padahal tadi Erika bertengkar dengan ibunya, tapi masih sempat memasak sarapan yang sudah lewat jamnya? “Ini beneran Erika yang masak?” Kaisar manatap brunch dengan menu nasi goreng. “Iya, Den. Eh, Pak.” Bik Sum segera mengoreksi p
Kaisar mengutuk dirinya sendiri. Bisa-bisanya dia mengatakan hal seperti itu pada orang asing yang menjadi kenalan Erika. Dan sekarang dia tak tahu harus mengatakan apa. “Jadi kau tidak sengaja mengangkat teleponku dan bertengkar dengan seorang pria?” Tidak ada jawaban dari Kaisar. Pria itu hanya membuang muka dengan wajah ketus yang terlihat sangat kekanakan bagi Erika. “Namanya, Chris,” Erika memberitahu tanpa ditanya. “Dia mantanku waktu di Amerika dulu.” “Lalu apa hubungannya denganku? Lagian, mantan mana yang meminta VCS?” hardik Kaisar dengan tak tahu dirinya. “Aku memberi tahu agar tidak ada salah paham. Lalu kami pernah tinggal di Amerika yang sangat bebas itu, VCS adalah hal yang biasa saja.” “Bagaimana kau bisa mendapat suami kalau kelakuanmu seperti itu? Mana ada lelaki yang mau sama perempuan tukang selingkuh?” “Bukankah kau
“PAPA.” Erika menyerobot masuk ke ruangan IGD. Dia berlari sekencang mungkin menuju ke sudut ruangan, tempat di mana orang yang dia kenali sebagai atasan sang papa berdiri menunggu. “Erika.” Seseorang meraih pinggang ramping perempuan yang masih duduk di bangku kuliah itu. Mencegahnya untuk mencapai brankar yang terletak paling ujung. “Lepas. Aku mau lihat Papa.” Erika tentu saja memberontak. “Tidak. Jangan lihat. Ini tidak baik untuk kau lihat, Nak.” “GAK MAU. Aku mau lihat Papa. Aku mau lihat papa,” Erika terus berteriak dan memberontak. “Erika?” Suara lembut yang terdengar bergetar itu membuat yang empunya nama berhenti memberontak. Dia menoleh dan menemukan perempuan yang selama ini mendampingi dan menyemangatinya. “MAMA.” Erika menghambur dalam pelukan ibunya. “Jangan menangis, Nak. Papa akan baik-baik saja,” gumaman pelan penuh emosi itu tidak mampu membuat Erika tenang. “Maaf, permisi! Kami perlu segera memindahkan pasien ke kamar operasi.” Beberapa perawat mende
“Apa kau baik-baik saja?” “Tidak ada yang akan baik-baik saja, setelah keguguran, Nes.” Erika tersenyum pada sahabatnya. “Sorry.” Vanessa yang tadi bertanya, meringis dan merasa bersalah. “Tidak usah merasa bersalah. Itu tidak akan mengubah apa pun,” balas perempuan cantik yang baru saja memotong rambutnya jadi bob itu. “Tumben kau bisa bijak begitu.” Kali ini Lydia yang mengejek Erika. “Sebenarnya itu bukan kata-kataku, tapi kata-kata si dokter.” Kali ini, giliran Erika yang meringis. “Lagi pula, kantungnya juga kosong. Belum ada bayi di dalamnya.” “Bener juga sih, tapi kan harus tetap nunggu beberapa lama dulu kan?” Giliran Cinta yang bertanya. Empat perempuan yang bersahabat itu, kini tengah berkumpul di salah satu kafe kesukaan mereka. Walau semua sibuk dengan urusan rumah tangga masing-masing, tapi mereka menyempatkan diri berkumpul untuk menghibur Erika. “Ya, apalagi aku cuma diberikan obat dan bukan kuret. Jadi mungkin aku harus bertahan minimal tujuh bulan lagi.
“Erika.” Kaisar meneriakkan nama sang istri ketika dia tiba di rumah. “Sayang, kamu di mana?” Lelaki dengan pakaian kerja yang sudah berantakan itu, berlari menaiki tangga karena tidak mendapat jawaban. Dia juga tidak melihat sang istri di ruang tamu, maupun di dapur. Tinggal kamar yang belum diperiksa. “Sayang.” Kaisar langsung mendesah lega melihat istrinya meringkuk di atas ranjang. “Kamu kenapa?” Tidak ada jawaban dari Erika. Perempuan cantik itu bahkan tidak melepas pelukan pada lututnya. Dia bahkan belum mengganti baju, sejak pulang dari mengantar Queenie. “Erika.” Kaisar segera memeluk istrinya karena tahu ada yang tidak beres. Setidaknya, itu yang dikatakan sang kakak ipar. Lelaki yang terlihat makin matang itu, memang buru-buru pulang setelah mendapat pesan dari Queenie. Iparnya itu tidak mengatakan sesuatu yang spesifik, tapi Kaisar tahu ada yang salah. “Queenie ternyata hamil.” Akhirnya Erika bersuara dan mendongak, setelah cukup lama berdiam diri. “Padahal dia tidak
“Aku mohon.” Erika menggumamkan kalimat pendek itu, dengan mata terpejam dan kedua tangan terkatup. “Aku mohon kali ini berhasil.” Setelah sekali lagi menggumamkan kalimat serupa, si cantik itu membuka mata. Dia mengeluarkan stik yang sudah terendam beberapa menit pada cairan kuning dalam wadah kecil. Sayang sekali, hasilnya tidak membuat Erika senang. “Negatif lagi.” Erika mengatakan itu pada suaminya, ketika dia keluar dari kamar mandi. “Kamu tes lagi?” tanya Kaisar disertai dengan wajah prihatin. “Tentu saja aku akan terus melakukan tes, setiap kali kita selesai berhubungan,” jawab Erika dengan jujur. “Maksudku, tidak langsung juga.” “Sayang, tidak perlu buru-buru.” Selesai merapikan dasi, Kaisar langsung pergi memeluk istrinya itu. “Kita masih punya cukup banyak waktu untuk punya anak.” “Tapi ini sudah hampir dua tahun, Kai. Lydia saja sekarang sudah hamil anak kedua.” Tentu saja Erika akan mengeluh. Dia sudah sangat ingin menggendong malaikat kecil yang mirip dirinya atau
“Selamat pagi, Pak.” Kaisar menunduk ramah pada lelaki di depannya. “Halo, Kaisar.” Seorang lelaki pria tinggi besar mengulurkan tangan untuk menjabat. “Saya senang karena masih bisa menghubungi kamu.” “Saya yang harusnya senang karena Pak Herdiyanto masih mau menghubungi saya dan menawarkan pekerjaan.” Tentu saja Kaisar akan menunduk sopan. “Itu karena akan sangat sayang kalau bakat sepertimu hanya bekerja sebagai ojek saja.” Pak Herdiyanto menjawab dengan senyum cerah. “Syukurnya saya melihat postingan tunanganmu kamu dan kebetulan juga ada yang baru mengajukan pengunduran diri.” “Sangat kebetulan, Pak.” Kaisar sedikit meringis ketika mendengar hal itu. “Tapi bagi saya, tidak ada kebetulan di dunia ini.” Melihat lawan bicaranya sedikit canggung, Pak Herdiyanto mengatakan hal itu diiringi dengan kedipan mata. “Semua pasti ada alasannya.” Tak ada lagi yang bisa dikatakan oleh Kaisar, selain mengangguk. Dia kemudian mengikuti pria paruh baya itu ke ruangannya dan melakukan wawanca
“Kenapa kau tidak pernah bilang tentang pekerjaanmu?” tanya Erika dengan mata melotot, tidak peduli kalau sekarang dia sedang berada di tempat umum. “Tunggu dulu Erika.” Kaisar yang tadinya masih duduk di atas motor, kini turun untuk menjelaskan. “Aku mohon jangan marah dulu. Aku punya alasan untuk semua ini.” “Yang benar saja?” Erika makin melotot. “Bagaimana mungkin aku tidak marah ketika kau menyembunyikan semua ini.” “Aku tidak berniat untuk menyembunyikan apa pun. Aku hanya ....” “Hanya ingin bersenang-senang dengan cara membonceng perempuan lain?” Erika memotong kalimat tunangannya itu dengan kedua tangan terlipat di depan dada. “Mana mungkin aku seperti itu, aku hanya .... Tunggu dulu.” Kaisar tiba-tiba saja menjadi bingung dengan apa yang dikatakan sang tunangan barusan. “Kau barusan bilang apa?” “Kau mau mengambil kesempatan dari penumpang perempuan kan?” tanya Erika tampak tidak mau menahan diri lagi. “Kau akan dengan sengaja mengerem mendadak agar nanti dada mereka b
“Kau itu bodoh atau apa?” tanya Viktor dengan kedua alis yang terangkat. “Mana bisa main menikah saja di catatan sipil dengan KTP saja?” “Aku hanya ... terburu-buru,” ringis Kaisar merasa agak malu juga. “Aku lupa kalau banyak yang harus diurus sebelumnya.” “Kau benar-benar bucin.” Viktor pada akhirnya hanya bisa menggeleng melihat temannya itu. “Bisa jangan terus menghina, Kai?” Setelah sekian lama diam, akhirnya Erika ikut berbicara. “Aku hanya mengatakan kenyataan, bukan menghina.” Viktor tentu akan membantah karena memang seperti itu dan membuat Erika mendengus kesal. Erika dan Kaisar memang langsung ke kantor Viktor si pengacara setelah dari DISDUKCAPIL dan ditolak. Tentu saja mereka datang ingin meminta bantuan dan bisa dengan mudah ditebak oleh Viktor. “Jadi mau dibantu nih?” tanya Viktor memainkan kedua alisnya, sekedar hanya untuk menggoda. “Kalau kau tidak sibuk dan mau,” jawab Kaisar rasional. Dia tahu sahabatnya itu cukup sibuk dan sebenarnya punya tarif yang m
“Aku gak jadi nikah.” Erika meneriakkan itu di depan ponselnya. “Hah? Maksudnya gimana?” Para sahabat Erika yang terhubung melalui panggilan video call, langsung memekik karena terkejut. “Aku udah balikin cincin yang dikasih Kaisar,” jawab Erika dengan wajah cemberut, siap untuk menangis. “Loh? Kenapa?” Cinta yang paling pertama bereaksi. “Perasaan baru berapa hari lalu kamu dilamar.” “Iya, tapi dia hanya asal ngelamar. Gak beneran mau nikah, apalagi dalam waktu dekat.” Erika menjawab dengan ekspresi kesal yang berlebihan. “Bentar-bentar.” Lidya langsung menghentikan sahabatnya yang baru mau menyambung kalimat itu. “Maksudnya gimana sih? Coba cerita yang detail.” Akhirnya, mengalirlah cerita Erika begitu saja. Tentu saja dia menceritakan itu dengan menggebu-gebu karena benar-benar merasa kesal. Tapi ternyata, itu membuat para sahabatnya jadi bingung. “Kenapa kau langsung minta pisah sih?” Vanessa yang bertanya dengan bingung. “Itu kan bisa dibicarakan baik-baik dulu.” “Aku su
“Erika.” Kaisar berteriak, sembari mengetuk pintu. “Kau belum makan.” Tentu saja tidak ada jawaban dari balik pintu. Perempuan cantik itu, bungkam dan tidak ingin berbicara pada sang kekasih. Entah Erika yang terlalu negatif atau apa, tapi dia merasa terkhianati. “Aku bukannya tidak ingin menikah.” Pada akhirnya, Kaisar kembali mencoba menjelaskan. “Aku tidak mempermainkanmu. Aku hanya meminta sedikit waktu, sampai aku cukup stabil untuk menghidupimu.” “Saat ini aku bahkan tidak pekerjaan, loh. Aku hanya bantu-bantu mama buat jualan dan itu pun masih baru merintis. Aku janji tidak akan lama-lama.” Seberapa banyak penjelasan yang diberikan Kaisar, tampaknya Erika enggan mendengar. Perempuan itu tetap bungkam dan mengunci diri di dalam kamar. Itu jelas membuat Kaisar menjadi makin sakit kepala. *** “Kenapa sih perempuan sulit sekali dimengerti?” Gagal membujuk Erika keluar kamar, pada akhirnya Kaisar berkunjung ke rumah temannya. “Kalau mereka mudah dimengerti, bukan perempuan
“Kurasa aku akan menikah dalam waktu dekat,” ucap Erika dengan raut wajah riang. “Eh, kok bisa?” Vanessa yang paling pertama menyahut dengan raut wajah kaget. Kebetulan, mereka memang sedang melakukan panggilan video grup. “Lelaki mana yang akhirnya berani melamarmu?” Lydia juga ikut bertanya dengan nada antusias. “Padahal kupikir kau akan menunggu Kaisar sampai tua.” Cinta yang meledek, sambil menyuapi anaknya makan. “Aku dengan Kaisar kok,” jawab Erika masih dengan nada riang. “Tadi pagi dia melamarku.” Seruan bernada kaget langsung terdengar. Satu per satu sahabat Erika, mulai menanyakan banyak hal. Mereka tentu saja penasaran kenapa bisa Kaisar Arya Jayantaka pada akhirnya memutuskan untuk menikah dengan Erika Wiratama. Tentu saja Erika tidak keberatan menceritakan lamaran yang sama sekali tidak romantis itu, tapi tetap berhasil membuatnya terharu. Dia bahkan memamerkan cincin tipis yang dibelikan Kaisar. “Cantik kan?” tanya Erika benar-benar tak bisa untuk tidak tersenyum