Share

Empat

Kabar dibunuhnya Useng menyebar tapi banyak yang meragukan dengan mediumisasi yang Hikam lakukan. Hikam sendiri membenarkan hal itu tidak seratus persen benar. Tapi, berbeda dengan Amira yang yakin bapaknya telah dibunuh.

Banyak yang tertarik untuk mengulik tegal Useng yang terkenal angker. Namun, hal itu membuat Amira keberatan karena semakin banyak orang yang kepo dengan sosok Useng.

Salah besar jika setelah mediumisasi keadaan menjadi baik. Selain orang-orang yang numpang biar beken, hal itu tak lepas dari campur tangan para lelembut.

Apalagi, yang muncul ke permukaan hanya hal negatif mengenai Useng. Amira prihatin, mereka tidak menutupi aib orang yang sudah meninggal.

Hal buruk yang terjadi pasti Useng yang kena getahnya. Jembatan roboh gara-gara Useng. Anak kecil tenggelam di bendungan gara-gara Useng. Bahkan, kalah main togel pun gara-gara Useng.

"Orang pelit itu bikin jengkel. Saking jengkel, kadang nyumpahin pengen nyantet. Jika benar si juragan tai dibunuh, mungkin pelakunya saking sakit hati," ujar salah seorang warga kampung ketika di wawancara.

"Ibuk sendiri pernah liat hantu Useng?"

"Hiii! Belom pernah, eh jangan pernah! Amit-amit jabang bayi tujuh turunan!" si ibuk bergidig spontan menginjak-injak tanah.

Lagi-lagi kepelitan Useng dianggap penyebab kematiannya. Hikam semakin kasihan pada Amira. Dugaannya, adanya mediumisasi ataupun tidak nampaknya kampung Amira semakin memburuk.

Mang Asep dan mang Karta pun hendak ke luar dari pekerjaannya. Hikam berusaha, agar mang Asep dan mang Karta tidak pergi begitu saja.

Mereka mengatakan baru pertama kali dipertontonkan hal tak masuk akal saat mediumisasi dan itu terbayang-bayang. Mereka tak menyangka bahwa di tempatnya bekerja banyak sekali lelembut yang diam di sana. Mang Karta dan mang Asep gelisah, mungkinkah selama ini para lelembut memperhatikannya?

Setelah mediumisasi, mereka menjadi pendiam. Dari laporan warga, teror semakin memanas yang diyakini ulah penunggu tegal Useng.

Namun, Hikam menduga pengikut jin tegal Useng bukan hanya dari bangsa lelembut saja melainkan oknum-oknum tak bertanggung jawab yang memanfaatkan keadaan. Dia dan Amira sepakat, akan menangkap basah pembunuh Useng untuk mengaku sendiri.

Seakan aji mumpung, Sulastri memanfaatkan simpati masyarakat. Pundi-pundi rupiah yang Sulastri dapatkan dengan menghadiri podcast membuat Amira tersinggung.

Di setiap kesempatan, Sulastri menyalahkan Amira dan Hikam. Dia pun mengusir Hikam, tapi Amira mencegahnya. Amira berasalan, Hikam akan mengembalikan peternakan Useng seperti sedia kala.

Apalagi, Sulastri dikabarkan dekat dengan pria dengan alasan untuk bisa melupakan Useng.

"Hidup mah kudu realistis, Amira. Jangan munafik, sok-sokan gak butuh harta dunia namanya juga tinggal di dunia," ucap Sulastri dengan tatapan mengejek.

Amira tahu tujuan Sulastri. Sama seperti pada bapaknya, Sulastri hanya inginkan duit mendekati pria itu.

"Gak masalah kalo duda. Tapi, dia suami orang," gadis itu mencoba menyadarkan Sulastri.

Amira pun mengatakan, duit takkan dibawa mati. Sulastri terbahak, dia tak mau kalah seraya mengatakan terasa mau mati jika tidak punya duit. Selain memoroti duitnya, Sulastri menceritakan pada Amira punya dendam pribadi karena pria itu saingan Useng.

Persaingan semakin memanas ketika Useng di masa kejayaannya, hanya karena ingin mempertahankan status juragan tahi mana yang terkaya.

Kedua kampung tersebut saling bersaing sudah sejak dulu. Bahkan, nenek moyangnya membuat peraturan dari warga sana dilarang ada yang menikah.

Sulastri sudah tak memperdulikan omongan orang-orang karena dianggap melanggar peraturan. Dia tak seperti Amira yang cuma manut-manut saja.

Meskipun begitu, adakalanya dia merindukan sosok Useng. Tak ada yang tahu, di kamarnya Sulastri sering terisak. Biar bagaimanapun, Useng pernah mengisi hatinya. Wanita mana yang tak bahagia diratukan suaminya? Apalagi yang di harapkan Sulastri selain cinta, keluarga dan duit yang mengalir.

Selama ini, tak ada keinginannya yang tak dituruti Useng. Seringkali Sulastri melihat sosok Useng sampai dia berteriak histeris. Karena merasa dihantui, dia pun rutin mendatangi dukun untuk meminta solusinya.

***

Dalam satu hari, tak terhitung laporan orang yang mendapat teror Useng. Amira mencoba sabar untuk tidak menanggapinya. Lagipula, arwah orang yang sudah meninggal tak mungkin kembali selain jin yang menyerupai.

Amira menatap sedih tegal yang dimiliki bapaknya. Dulu, tempat itu tak pernah sepi karena domba-domba milik Useng saling bersahutan.

Dari hasil kerja kerasnya, bukan uang sedikit untuk mendapatkan tegal tersebut. Ada beberapa wajah yang dia kenal melabrak Useng karena berhasil memiliki padang rumput sengketa itu.

Selama ini, orang hanya melihat keburukan Useng saja. Seperti uang logam yang punya dua sisi, dia pun memiliki sisi baik. Amira salut, sosok Useng dikenal anti berhutang jika tidak terdesak. Menurut Useng, berhutang itu untuk bertahan hidup bukan memenuhi gaya hidup.

Namun, ada yang mengganggu pikiran Amira. Menurut Hikam, ada sosok jin kiriman yang menempati tegal. Tapi, Hikam tak menyebutkan siapa pengirimnya.

Amira menatap pohon nangka. Gadis itu sampai beristighfar karena teringat kondisi bapaknya pada waktu itu. Amira menangis, Useng tak seburuk yang orang-orang katakan.

Mbeee mbeee

Suara Bargola mengembalikan kesadaran Amira. Gadis itu melihat Hikam memberikan domba Garut itu sayuran. Mang Asep dan mang Karta sampai mendelik, pikir mereka enak sekali jadi si Bargola sampai Hikam membelikan lima domba betina untuk dikawinkan dan tiga domba jantan lainnya biar tidak sepi.

Amira menyiapkan makanan seadanya untuk mereka bertiga lalu kembali ke rumah. Jika tak ada pemuda itu, Amira tak tahu akan seperti apa. Hikam menolak digaji oleh Amira selain untuk makan. Pemuda itu bukan dari keluarga miskin tapi tetap rendah hati.

"Ceng! Seumur-umur baru pertama kali saya kesurupan! Saya sadar, tapi kayak ada yang mengendalikan. Tapi, udahnya sakit sekujur badan," keluh mang Asep.

Mang Karta bergumam tak jelas sampai Hikam mengangkat alis padanya.

"Jangan diulangi lagi ya, Ceng!" Mang Karta memohon.

Hikam tersenyum tipis. Dia pun mengatakan, tidak usah takut dengan sebangsa jin. Tak hanya pada mereka, dia mengatakan hal sama ketika warga kampung mengeluh padanya.

Hikam melihat sosok yang ikut nimbrung bersama mereka. Qorin Useng tak lagi dilihatnya selain makhluk lain. Hikam mencoba biasa saja dan berbincang seputar kehidupan.

Insting Hikam cukup tajam. Pemuda itu bisa menerka kepribadian lawan bicaranya. Namun, Hikam dikejutkan dengan sosok yang tiba-tiba hadir. Spontan Hikam mengucek mata berulang kali membuat mang Asep menegurnya. Sosok perempuan cantik tiba-tiba mengedipkan matanya pada Hikam.

Entah siapa sosok itu. Jika iman Hikam lemah, pemuda itu pasti dibuat meleleh. Tapi, Hikam tak mudah dikelabui. Secantik-cantiknya pun, dianggap sia-sia jika bukan manusia.

Rupanya, perempuan itu salah satu jin penggoda. Sosok yang sering menampakkan diri berwajah cantik selalu hadir menggoda petugas ronda.

Salah satu petugas ronda ditemukan tak sadarkan diri di area tegal Useng. Dia pun seperti orang linglung dan butuh beberapa hari mengembalikan kesadarannya.

Ketika ditanya, dia mengikuti perempuan cantik. Tapi, setelahnya berubah menjadi nenek-nenek menyeramkan dengan buah dada menjuntai ke tanah. Karena itu, orang-orang menyebutnya 'Nyi rayud'.

Namun, sosok itu tiba-tiba menghilang dari pandangan Hikam. Rupanya, padang rumput itu bukan hanya persoalan Useng saja. Dengan sendirinya, misteri-misteri lain pun ikut muncul membuat Hikam mengkerutkan kening. Apa, yang sebenarnya terjadi di tegal ini sebelum dimiliki Useng?

Namun, perhatian Hikam pun teralihkan setelah mendengar teriakan seorang gadis. Dia menoleh ke sumber suara, benar saja Amira dan seorang ibu berlarian memanggil namanya.

Spontan mang Asep dan mang Karta merangkul satu sama lain. Mereka merasa telah terjadi sesuatu yang buruk. Sejurus kemudian, Hikam berjalan mendekati keduanya.

"Tenang," ucap Hikam.

"Kang Hikam, ada yang kesurupan!" Amira berkata ngos-ngosan.

Tangis ibu yang bersama Amira pecah membuat Hikam menenangkannya. Putranya yang bernama Ibro bertingkah aneh. Ibro mengamuk dan meracau tak jelas seperti tak biasa sembari mengaku-ngaku penunggu tegal Useng.

Hal itu membuat orang-orang kewalahan bahkan takut mendekatinya. Mereka pun pergi untuk melihat apa yang terjadi. Sesampainya di sana, Hikam cuma menggeleng tak henti mengucapkan istighfar.

Seorang pemuda kribo dicekal dua orang pria. Ibro menggeram dengan mata melotot. Mata Hikam memindai pemuda itu dari atas hingga bawah sembari mengkerutkan kening. Hikam pun meminta Ibro dilepaskan. Spontan dia memasang jurus hendak melawan Hikam membuat orang-orang menjerit.

"Ibro ini mamah! Eling, sayang! Sok ikutin, astaghfirullah ... astaghfirullah," ibu Ibro menggenggam tangan anaknya namun ditepis kasar sampai terjatuh.

Hikam melotot tak suka.

"Galak jinnya. Duh, sakti pisan kayaknya," celetuk salah seorang penonton.

"Tenang. Duduk yang anteng, kita ngobrol secara baik-baik kamu pengen apa?" Hikam memelankan suaranya membuat Ibro duduk.

Hikam pun duduk di depannya sembari memegang pundak Ibro. Lantunan istighfar dari bibirnya tak letih terucap. Ibro susah sekali dikendalikan membuat Hikam meminta orang-orang agar tak mengerubunginya. Hikam pun mencoba berkomunikasi dengan Ibro.

"Gak usah ngamuk, kasihan badan Ibro! Coba ngomong sama saya, kamu mau apa?" tanya Hikam.

Hikam diajarkan saat menghadapi orang kerasukan tidak boleh dengan kekerasan. Ajak baik-baik untuk berkomunikasi dan tanyakan apa tujuannya. Tapi, Hikam tak mendapat jawaban selain geraman.

Ibro kembali memasang jurus. Karena tingkahnya agresif dia sampai memecahkan vas. Pemuda itu mengatakan akan membawa jiwa Ibro ke alamnya.

"Santai, santai! Kenalan dulu, namanya siapa? Asal dari mana? Ada keperluan apa sama Ibro?" tanya Hikam mengunci pergerakan Ibro.

"Aing?! Siapaaaa yaaa?!"

Ibro terlihat bingung. Jika dirinya saja bingung apalagi yang lainnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status