Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 24"Oh bagus, akhirnya kamu datang juga. Mana sini, kembalikan Arkan." Aku baru akan merebut Arkan dari tangan lelaki bedebah itu saat dengan cepat dia hentikan."Arkan lagi tidur Sayang, dia suka bangun kalau dipindahkan ke tangan orang lain, sabar," katanya. Tanpa izin permisi dia lalu masuk ke dalam.Rahangku mengeras, emosiku terpancing. "Siapa yang menyuruhmu masuk ke dalam bedebah?"Dia tak peduli, malah terus berjalan ke arah kamar kami. Kemudian meletakan Arkan di atas kasur."Kenapa Mamah harus marah-marah gitu sih, Sayang? Emang salah kalau Papah masuk ke rumah Papah sendiri?"Aku menyeringai, "rumahmu? Apa kamu gak malu, hah?! Dasar bedebah, mokondo." Aku baru akan mendorong tubuhnya saat dengan cepat dihentikan ibu."Biarkan dia Indri, lebih baik jangan terlibat urusan apa pun supaya dia cepat keluar," bisik beliau.Aku pun berusaha menahan diri, walau sulit. Karena jujur, lebih dari mendorongnya aku ingin sekali menyiramkan air ker
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 25POV Lala"Makasih." Aku baru akan turun dari mobil saat tiba-tiba pria itu menarik tanganku."La, nggak salim dulu sama, Papah?"Aku mengerling malas, aku memang tak biasa dan tak sudi mencium tangannya walau dia sudah jadi ayahku yang baru."Ayo salim." Dia menyodorkan punggung tangannya. Mau tak mau akhirnya aku melakukan apa yang dia mau."Nanti pulang sekolah Papah jemput lagi ya.""Gak usah, Lala balik sendiri aja.""Kan gak bawa sepeda La.""Lala nebeng sepeda temen.""Loh jangan dong, ngerepotin." Dia senyum lebar. Senyuman yang bagiku sangat menakutkan. Entah kenapa, aku selalu menangkap sesuatu yang aneh dari senyuman dan tatapan pria itu. Makanya aku menolak setiap kali dia menawarkan diri mengantar atau menjemputku sekolah. Tapi hari ini mamah memaksaku, sebab tadi pagi turun gerimis jadilah aku juga tak punya alasan untuk menolak."Mereka gak keberatan kok." Aku maksa dan cepat turun setelah berhasil membuka pintu mobil."Eh
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 26Aku berjalan gontai menuju pintu kelas. Dari kejauhan aku lihat pria itu masih di dalam mobilnya."Kamu kenapa? Kok lemes gitu La?" tanya Pak Darwin lagi. "Pak, bisa nggak Bapak bilang sama papah Lala kalau Lala udah balik.""Loh, kenapa? Bukannya Lala lagi nunggu dijemput sama papah?"Aku menggeleng pelan, dan refleks berlari ke kelas sebelah setelah kulihat pria itu turun dari mobil."Loh, La." Pak Darwin tampak bingung."Sssttt." Aku memberi kode.Sejurus dengan itu ayah tiriku menghampiri Pak Darwin."Maaf Pak, saya mau jemput Lala. Dia masih di sekolah 'kan?""Lala? Tapi anak-anak sudah pulang semua Pak. Kelas sudah kosong semua, ini sudah saya cek satu-satu."Ah, aku mengusap dada. Untunglah Pak Darwin mau diajak kompromi."Hah masa? Terus Lala kemana ya? Dia belum ada di rumah soalnya.""Mungkin ke rumah temannya Pak, hari ini kelas Lala ada tugas kelompok.""Oooh gitu." Pria itu menggigit bibir sambil mengedarkan pandang ke sekitar
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 27"Sssttt." Dia menempelkan jari telunjuknya di depan hidung seraya menyorongkan tubuhnya padaku.Aku lihat hari itu, kedua sorot matanya sangat liar dan wajahnya juga tampak menyeramkan lebih dari biasanya."Pergi!""Sssttt jangan takut, Papah cuma mau bilang kalau mamah lagi gak ada di rumah dan Papah disuruh menjagamu," bisiknya seraya mencoba menyentuh pipiku. "Pergi!" Suaraku memekik."Heii, gak usah takut, Sayang. Beberapa hari ini Lala selalu cuek dan menghindarin Papah, kenapa sih?""Pergii! Mamaaah!"Hap!Secepat kilat, aku dibekapnya kasar."Diam, kalau kamu seperti ini Papah justru akan semakin kesal.""Lepas!" Aku meronta dan terus teriak, meski suaraku tak bisa keluar karena telapak tangannya sudah mengunci seluruh bagian mulutku."Diam! Papah bilang diam, ya diam!"Brak!Dia terhuyung ke belakang ketika sekuat tenaga kutendang perutnya kencang."Aaaw!"Aku cepat membuka pintu, lalu kabur menuruni anak tangga. Pikirkanku kacau, a
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 28"Iya kayaknya Lala demam, mau ke dokter? Yuk.""Gak usah Pah, Lala mau minta dibeliin rujak dan minuman yang segar-segar aja.""Loh kok minuman seger, 'kan Lala lagi demam.""Biar cepet sembuh.""Ah ya udah. Tapi nanti sore ya, ini 'kan masih pagi, belum ada yang jual rujak."Aku mengangguk. Setelah menyelimuti dan membuatkan teh hangat untukku dia pun kembali pergi. "Papah ke toko dulu ya, sore ke sini lagi. Oke.""Iya, Pah."***Aku pikir, setelah beristirahat di kontrakan selama dua minggu aku akan baikan, tapi nyatanya badanku makin terasa tak enak."Ke dokter aja yuk La, takut Lala kenapa-kenapa loh. Itu guru-guru Lala juga pasti curiga kalau Lala gak masuk terus.""Iya Pah, tapi sore aja ya, sekarang kepala Lala pusing banget, ngantuk juga.""Oh ya udah, sini Papah pijitin."Aku setuju dan lekas menaruh kepalaku pada pah*nya.Tring!Sedang serius memijit, tiba-tiba ponsel Papah dering."Mamah, telepon La."Aku relfeks duduk. "Angkat d
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 29"Tadinya mamah mau ikut tapi untungnya bisa Papah larang, bisa gawat kalau mamah sampai ikut.""Iya Pah, ya udah ayo sekarang aja Pah, biar cepet ketahuan Lala sakit apa."Dengan susah payah kami yakinkan mamah agar bisa pergi sepagi mungkin. Selain aku suka malas kalau sudah kena matahari, aku juga tak sabar rasanya ingin tahu, apakah benar terjadi sesuatu yang kami takutkan ini."Maaf Pak sebelumnya, saya harus mengatakan berita yang mungkin akan membuat Bapak syok."Aku tertegun dengan jantung berdegup kencang ketika dokter yang sudah memeriksaku mulai membuka percakapan."Katakan saja Dok, putri saya sakit apa?" Papah nampak tak sabar dan sama tegangnya denganku."Putri Bapak, hamil.""Apa?" Papah melotot dan refleks melirik ke arahku. Aku menelan ludah. Ya Tuhan, jadi benar aku hamil? Seketika air mata luruh melewati pipi. Takut, bingung dan sedih, entah harus bagaimana."Y-ya sudah, terimakasih banyak, Dok." Papah menarik pergelangan
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 30POV Halbi (Ayah)Aku menarik Indri ke dapur, sementara Lala kusuruh pergi ke kamarnya. "Indri, ada yang harus kita bicarakan serius."Kening Indri berkerut, lalu duduk di kursi makan sambil menatapku serius."Ada apa?" tanyanya tak sabar."Soal Lala, aku rasa dia benar, dia tak membutuhkan psikiater."Dia mendelik, "lalu?""Dia hanya membutuhkan kita. Kita yang salah, maka dari itu kita juga yang harus menyembuhkannya.""Apa maksud kamu, Mas?"Aku mulai menceritakan apa yang Lala utarakan dalam mobil tadi. Sesuatu yang berhasil menusuk dadaku hingga aku menangis sesegukan untuk pertama kalinya dalam hidup."Jadi maksud kamu kita ...?" Ucapan Indri menggantung, dia tampak ragu melanjutkan apakah yang dia pikirkan sama dengan yang ada di kepalaku."Setelah urusanmu dengan Darma beres, mari kita mencoba memperbaiki semuanya lagi. Apa kamu setuju?"Dia menyipitkan mata. Seperti tak percaya dengan apa yang didengarnya."Aku serius."Dia menarik
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 31POV Indri."Buku permintaan, Lala boleh minta apa pun sejak detik ini dengan cara nulis di buku itu, tapi Lala harus janji, Lala membolehkan Mamah membuka buku itu setiap hari supaya Mamah tahu apa yang Lala inginkan," jawabku dengan penuh rasa gembira."Wah beneran? Kalau Lala mau minta Papah diizinkan ke sini boleh?"Seketika senyumku pindah. Suasana juga mendadak hening. Kami saling melirik satu sama lain sambil menarik napas berat dan panjang."La-""Selamat ulang tahun sayangnya, Papaaah!" sambar seseorang yang baru saja muncul di ambang pintu.Aku relfeks menoleh, si laknat yang berada di sana rupanya."Kamu? Mau apa kamu kesini?" Aku cepat bangkit, tapi saya baru saja akan menghampirinya Lala juga cepat pasang badan. "Biarin Papah kesini, Mah.""Lala, apa yang kamu katakan? Mundur."Lala mencekal lenganku alih-alih mundur. Bapaknya Lala dengan sigap membantu."La, ayo, jangan dekati laki-laki itu, dia bukan orang baik, Nak.""Nggak Pa
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 90Aku terperangah dan menggeleng-gelengkan kepala. "Astagfirullah Bu Een. Jangan menuduh orang lain tanpa bukti Bu, fitnah keji itu namanya. Memangnya kapan saya pernah bicara seperti itu?" "Halah bilang aja kamu mau nyangkal.""Saya bukannya menyangkal Bu Een," sanggahku tegas. "Bahkan kalau Bu Een bersedia, ayo kita bersumpah atas nama Tuhan, siapa yang sumpahnya palsu, maka dia siap mendapatkan konsekuensinya."Bu Een menelan ludah. Sementara orang-orang yang hadir di sana makin ramai berbisik-bisik. "Kalau Bu Een berani bersumpah atas tuduhan yang dilontarkan oleh Bu Een itu, maka semua orang boleh percaya pada Bu Een dan semua orang boleh mengobrak-abrik toko saya. Tapi seandainya Bu Een bohong, maka konsekuensinya adalah berupa penderitaan hidup dan nikmat yang siap dicabut oleh Tuhan. Bagaimana?" tantangku.Semua orang saling lirik. Mereka lalu setuju tampak dengan usulku. Sampai akhirnya aku pun melakukan sumpah di bawah Alquran. Ka
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 89Pagi itu, aku duduk di depan toko bersama Mas Halbi. Matahari masih rendah, tapi udara sudah terasa hangat. Toko kami masih sepi. Tak ada satu pun pelanggan yang datang sejak kemarin. Semalam aku sudah cerita pada ibu, soal ini, aku pikir ibu tahu kira-kira kenapa penyebab toko kami bisa sepi seperti ini, tapi ibu bilang namanya jualan pasti ada masa rame dan sepinya. Tapi entah kenapa aku tetap merasa ada yang tak beres dengan tokoku ini.“Mas, aku kepikiran sesuatu."Mas Halbi menoleh. “Apa?”“Gimana kalau hari ini kita bagi-bagi sembako gratis lagi seperti awal kita buka?”Kening Mas Halbi berkerut. "Ya, anggap aja ini sedekah. Selain itu, ini bisa jadi cara buat narik orang-orang supaya mereka kembali belanja di toko kita.”Mas Halbi terdiam sebentar, lalu tersenyum kecil. “Boleh juga idenya. Ya udah, ayo kita siapin sekarang.”Tanpa menunda lagi, kami mulai mengemas sembako. Aku dan Mas Halbi bekerja dengan penuh semangat, berharap u
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 88Ah aku tidak peduli. Yang penting aku ingin yang terbaik untuk anakku.***Pagi-pagi sekali, aku sudah bersiap untuk pergi ke rumah Asep. Mas Halbi menyarankan agar aku tak pergi sendirian, tapi aku yakin ini adalah urusanku sebagai ibu. Aku ingin menyampaikan keputusan Lala dengan baik-baik. Bagaimanapun juga, hubungan baik harus tetap dijaga, meski harus membawa kabar yang mungkin mengecewakan mereka.Saat tiba di rumah Asep, aku melihat Asep sedang duduk di teras rumah, sepertinya baru saja selesai sarapan. Ia tersenyum sopan saat melihatku."Bibi. Silakan masuk, Bi," katanya ramah.Aku mengangguk dan melangkah masuk. Di ruang keluarga, Bu Een duduk di kursi roda dengan wajah yang jauh lebih segar dibandingkan terakhir kali aku melihatnya. Ia sudah bisa berbicara meskipun pelan, dan nenek Asep juga ada di sana, duduk bersisian sambil merajut sesuatu.Setelah berbasa-basi sebentar dan menanyakan kondisi Bu Een, aku pun menghela napas. Aku
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 87Aku menarik napas dalam, "Bu Een sakit, La. Dia kena stroke sekarang, setelah mengalami stres berat akibat luka bakar yang dilakukan oleh majikannya di Arab. Sekarang dia cuma bisa duduk di kursi roda, dan Asep yang merawatnya."Mata Lala membulat. "Serius, Mah? Ya ampun ... Lala baru tahu. Kasihan banget. Lala harus jenguk Bu Een. Bisa antar Lala ke sana sekarang, Mah?"Aku mengangguk. "Tentu. Yuk, kita pergi sekarang."Kami segera berangkat ke rumah Bu Een. Saat sampai, aku melihat Bu Een duduk di kursi roda di halaman rumahnya, ditemani Asep. Dia tampak jauh lebih kurus dari sebelumnya, dan wajahnya penuh dengan kesedihan yang mendalam. Asep yang berdiri di sampingnya terlihat lebih dewasa dari terakhir kali aku melihatnya.Lala melangkah mendekat dengan hati-hati. "Assalamualaikum."Asep menoleh dan langsung tersenyum kecil. "Waalaikumsalam, La."Bu Een hanya menatap kami dengan mata yang tampak lelah. Aku bisa melihat ekspresi di wajahn
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 86POV IndriHari itu, seperti biasa, aku dan Mas Halbi sedang duduk di toko sembako yang kami kelola di depan rumah. Kami tengah menunggu pelanggan datang, menikmati sejenak waktu yang tenang setelah pagi yang sibuk. Tiba-tiba, sebuah ambulans melintas dengan sirene meraung. Aku terperanjat, dan secara otomatis mataku mengikuti mobil itu. Mas Halbi yang sedang duduk di sampingku juga mengalihkan perhatian. Kami berdua melihat ambulans itu lalu berbelok."Ambulans mau ke mana itu Ndri?" tanya Mas Halbi sambil melirikku."Nggak tahu, Mas."Tak lama, tetangga yang juga melihat ambulans itu mulai berkerumun, lalu mengikuti ambulans tersebut. Penasaran, aku pun memutuskan untuk ikut keluar dan bergabung dengan mereka. Sampai akhirnya ambulans itu berhenti tepat di depan rumah Bu Een, aku melihat para petugas medis membuka pintu ambulans dan dengan hati-hati mengeluarkan seseorang yang terbaring di tandu."Astaghfirullah," gumamku pelan, terkejut s
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 85Aku menggeleng. “Nulis, Ndri. Di HP-nya.”Indri menghela napas lega. “Oalah, syukurlah. Aku kira Lala lagi sedih, makanya mengurung diri di kamar.”“Enggak, untungnya. Tadi aku lihat Lala malah semangat banget.”“Syukurlah kalau gitu. Aku cuma takut kalau Lala kenapa-kenapa.”Aku ikut tersenyum. Mungkin ini jalannya Lala untuk membuktikan sesuatu. Dan aku akan mendukungnya, sebaik mungkin.***Seperti biasa, aku dan Indri sudah bangun sejak pukul 03.00 pagi untuk menyiapkan dagangan. Kami bekerja dengan cekatan di dapur, meracik bahan-bahan agar semuanya siap sebelum subuh.Tiba-tiba, langkah kaki terdengar dari arah kamar. Aku menoleh dan melihat Lala berjalan ke arah kami, masih dengan mata setengah terpejam.“Mah, Yah, hari ini Lala nggak bantuin dulu gak apa-apa kan? Lala mau lanjut nulis novel.”Aku dan Indri saling pandang. Indri tersenyum sambil mengangguk. “Iya, nggak apa-apa, La. Kalau kamu mau fokus nulis, Mamah izinkan.”Mata Lala
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 84Wanita itu tersenyum sinis, "anak baik. Terus berita-berita yang dulu kami dengar itu apa Indri? Jangan kamu pikir saya nggak tahu ya, mentang-mentang saya tinggal di luar negeri. Saya bahkan tahu kalau itu udah nggak perawan kan?""Cukup!" teriak Indri tak tahan.Tapi bukannya berhenti, wanita itu malah lanjut nyerocos.“Kalian juga harusnya sadar diri! Kalian ini cuma pedagang kecil dan tukang ojek, nyari duit hanya dari hasil serbautan. Sementara anak saya? Ya kalian lihat sendirilah. Itulah sebabnya anak saya harusnya berteman dengan orang-orang yang bisa mendukung masa depannya, bukan seperti anak kalian.”Indri baru akan kembali menimpali ucapan tajam itu saat aku mengeratkan genggamanku di tangannya, memberi isyarat agar dia tetap tenang.“Bu, kalau memang Ibu keberatan anak ibu berteman dengan anak saya, sebaiknya Ibu bicarakan baik-baik dengan anak Ibu. Karena kami nggak pernah memaksa anak Ibu untuk berteman dengan anak saya," ucap
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 83Asep tersenyum. "Saya cuma mau nganterin buku buat Lala, Paman. Ini ada catatan tugas yang tadi dia belum sempat salin di sekolah. Asep juga izin mau jemput Lala belajar lagi di rumah Rina."Aku mengangguk. "Oh, gitu. Makasih ya, Sep. Lala ada di dalam, masuk aja.""Terimakasih Paman, Asep nunggu di bangku aja."Asep lalu duduk di bangku kayu dekat pohon. Aku memperhatikan anak itu sebentar. Entah kenapa, aku mulai berpikir bahwa mungkin suatu hari nanti, anak ini bisa jadi seseorang yang lebih berarti di hidup Lala.Aku menghela napas dan tersenyum kecil.Hidup memang penuh kejutan. Dulu aku selalu khawatir kalau Lala dekat dengan laki-laki, tapi kali ini, untuk pertama kalinya, aku merasa tenang.Setelah beberapa menit dan Lala tak kunjung keluar, aku pun memutuskan untuk mengajaknya ngobrol."Asep, sini sebentar," panggilku.Anak itu langsung bangkit dan berjalan ke arahku. "Iya, Paman?" tanyanya sopan.Aku menepuk teras yang ada di sebel
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 82Pagi itu, setelah semuanya siap, aku, Indri, dan Lala berdiri di depan meja dagangan, menanti pembeli pertama yang datang. Sinar matahari mulai menghangatkan udara, dan bau gorengan yang masih hangat menyeruak ke udara, mengundang selera siapa saja yang melintas di depan rumah kami.Tak butuh waktu lama, beberapa tetangga mulai berdatangan satu per satu. Ada yang membeli sekadar untuk sarapan, ada juga yang sekalian belanja banyak untuk keluarga mereka. Aku bisa melihat wajah sumringah Indri ketika dagangannya laris manis."Wiih tahu gorengnya kayak enak banget," ujar seorang pembeli.Indri tersenyum. "Alhamdulillah."Aku yang berdiri di sampingnya ikut merasa bangga. Baru hari pertama jualan, tapi responsnya sudah sangat baik. Ini memberi harapan besar bagi kami.Namun, di tengah suasana yang menyenangkan itu, tiga orang ibu-ibu tetangga tiba-tiba datang. Mereka awalnya terlihat antusias memilih gorengan dan makanan matang yang dijual Indri