Mereka lalu mengeluarkan beberapa lembar kain tebal yang biasa mereka pakai untuk selimut untuk menutupi jasad Santi dan menyerahkannya kepada Amar. Usai menutupi jenazah salah satu teman karibnya, Amar pun kembali duduk di ruang tamu, tetapi tidak ada satupun suara keluar dari lisan mereka. Ketegangan masih terasa di udara, dan pertanyaan-pertanyaan misterius masih menghantui pikiran mereka. Apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini? Dan mengapa Santi harus mati dengan cara yang mengerikan?Keenam sahabat itu sibuk dengan pikiran mereka masing-masing, sesekali mereka mengusap tengkuk dan kedua tangan mereka dikarenakan bulu kuduk mereka meremang. Di tengah suasana tegang tersebut, tiba-tiba saja terdengar suara gemuruh tak beraturan dari perut Amar. "Kamu lapar, Mar?" Rusdi yang duduk paling dekat dengan Andin, auto menanyai Amar tanpa berbasa-basi lagi. "Iya, Rus. Maaf, aku tinggal dulu semuanya. Aku mau mencari bahan makanan yang sukup jawaban untuk kita semua." Usai mengatakan h
Alma merasa cemas dan tidak bisa menenangkan dirinya. Dia terus berdoa dalam hati, memohon agar Amar kembali dengan selamat dari rumah yang misterius itu. Pikirannya terus melayang pada Santi yang telah kehilangan nyawanya di tempat ini, dan dia berharap tidak akan ada korban lain.Waktu terus berlalu, dan ketegangan di ruangan semakin terasa. Mereka semua duduk dalam keheningan yang gelap, hanya diselingi oleh suara-suara aneh dari luar rumah. Mereka tahu bahwa Amar adalah satu-satunya harapan mereka untuk mendapatkan makanan, tetapi kekhawatiran mereka semakin mendalam seiring berjalannya waktu.Andin, Rusdi, Baim, dan Aldi juga merasakan ketegangan yang sama. Mereka saling melemparkan pandangan yang penuh kekhawatiran, tetapi tak ada yang berani mengucapkan kata-kata. Mereka hanya bisa menunggu dan berharap bahwa Amar akan kembali dengan selamat, membawa berita bahwa mereka bisa keluar dari rumah itu dan melanjutkan rencana liburan mereka atau kembali ke rumah dengan membawa jenaza
Setelah beberapa lama berusaha, akhirnya, Amar berhasil mencongkel lemari besar itu. Dengan bernafsu, Amar membuka pintu itu, berharap mendapati beberapa bahan makanan yang bisa dibawanya dan dimakan bersama enam sahabat karibnya Namun, ternyata dugaannya salah, yang Amar dapati saat lemari itu berhasil dibuka adalah sepotong tangan kiri yang terlihat masih sangat segar seperti baru saja dipotong. Alih-alih berteriak meminta pertolongan, Amar malah mengamati potongan tangan yang bersimbah darah itu dengan penuh rasa ingin tahu. "Potongan tangan ini...sepertinya aku kenal?" Amar bergumam sendiri sambil mengamati potongan tangan itu. Dengan rasa penasaean, pemuda itu mengambil lempengan besi yang tadi dipakainya untuk mencongkel pintu lemari, kemudian memutar potongan tangan tersebut. "Hei, cincin di jari kelingking ini kenapa mirip sekali dengan cincin yang kupakai, ya? Tapi, masa iya, cincinku itu ada yang menyamai, padahal kan itu pesanan khusus." Lagi-lagi Amar hanya menggumam
Dan, bersamaan dengan itu mata Amar terbelalak lebar, mulutnya memuntahkan banyak darah tanpa sempat bersuara, dan pada detik berikutnya warna hitam matanya sudah berganti putih dan kepalanya pun terkulai lemas tanpa daya. Sementara itu, enam sekawan yang terkejut mendengar suara tawa menakutkan dan petir yang bersahutan itu pun saling memeluk sambil menutup wajah dan mata mereka masing-masing. "Al, Ndin, i-itu tadi suara siapa? Kenapa begitu menakutkan, sampai sekarang aku masih merinding." Rusdi menanyai Alma yang terkenal paling sensitif dengan hal-hal gaib di antara mereka. Alma menggelengkan kepalanya karena dia sendiri tidak tahu sosok seperti apa yang tertawa begitu nyaring dan melengking menakutkan tadi. "Hih, kenapa aku berada di sini, di tempat laknat yang merenggut nyawa salah satu teman karibku!" Rusdi mulai kembali memaki karena kesalAndin tersentak mendengar kata-kata makian yang keluar dari mulut Rusdi, dan berteriak hingga mengagetkan teman-temannya yang lain. "A
Kekuatan itu semakin lama semakin terasa mempengaruhi emosi mereka. Andin yang sebelumnya sempat merasa kesal dengan tingkah Rusdi yang selalu berkata kasar pun tampak menatap Rusdi dengan tatapan marah. Andin menatap tajam Rusdi, "Rusdi, kata-katamu tadi terlalu kasar! Hilangnya Amar bukanlah salahku atau siapapun di sini."Rusdi menyadari kesalahannya, namun bertahan, "Kita butuh fakta, Andin. Jangan terlalu emosional. Siapa yang tahu ini bukan rencana tersembunyi dari salah satu dari kita?"Andin semakin kesal, "Ini tentang sahabat kita yang hilang, Rusdi! Jangan mencari-cari alasan. Kau pikir aku akan menyusun rencana untuk kehilangan teman?"Rusdi mencoba menenangkan suasana, "Andin, aku tidak bermaksud seperti itu. Tapi kita harus realistis. Amar tidak akan kembali dengan perdebatan. Kita harus fokus pada ritual ini."Andin mengangguk, tetapi ekspresinya tetap tegang. "Baik, tapi jangan sekali-kali meremehkan perasaan kami terhadap Amar. Kita perlu bekerja sama, tapi jangan sam
Tidak hanya Andin, Alma yang lebih sensitif dengan dunia tak kasat mata pun merasakan ketakutan yang sama bahkan jauh lebih besar daripada yang dirasakan Andin. Dia bisa merasakan ada sebuah entitas yang tengah mengawasi, menunggu mereka lengah dan akhirnya seperti nyamuk yang ditepuk keras dengan dua belah tangan.Mereka berlima benar-benar merasa kalut saat ini, sebab hingga saat ini keberadaan Amar masih belum mereka ketahui. Mereka berlima mencoba memanggil nama Amar berkali-kali, tetapi tidak ada jawaban. Suasana gelap dan tegang menggelayut di sekeliling mereka, membuat mereka semakin bingung tentang nasib Amar yang misteriusDalam kegelapan yang semakin menyelimuti, mereka merasa seperti terperangkap dalam sebuah misteri yang semakin dalam. Keberadaan Amar yang masih tidak jelas membuat ketakutan mereka semakin tak tertahankan. Dalam hati, mereka berharap agar Amar segera ditemukan dengan selamat."Ndin, sepertinya lebih baik kita kembali lagi saja ke titik awal kita menunggu A
"E-entah, aku tidak melihat wujud sosok yang bicara itu," jawab Alma dengan suara gemetar menahan takutMendengar jawaban Alma, sontak membuat Andin dan Baim mundur ke belakang dan memilih untuk bersama Alma dan Aldi, sementara Rusdi tetap berdiri di depan memimpin rombongan. Suara gemerincing lampu hias masih terdengar, udara dingin meniup tengkuk mereka dan membuat bulu kuduk meremang. Suara celepuk menambah seram suasana. Di tengah rasa takut yang menguasai, tiba-tiba Baim merasa ada seseorang yang meniup telinganya. Baim yang merasa terganggu itu pun mengusap telinganya. Namun, tidak sampai lima menit telinga kembali seperti ditiup seseorang. "Ish, Aldi, coba, deh, kamu jangan usil," ketus Baim, wajahnya cemberut karena kesal. "Sudah tahu aku ini penakut masih saja menggangguku dengan meniup telingaku."Aldi menatap Baim dengan tatapan heran, lalu menjawab, "meniup telinga apaan? Aku sama sekali tidak mendekatimu, Im. Dari tadi aku berada di sini."Baim langsung menoleh ke arah
"Duh, Gusti. Tolong bantu kami supaya bisa menemukan teman kami Amar," batin Baim. Setelah beberapa lama berada dalam tekanan rasa takut, akhirnya gangguan-gangguan itu pun berhenti begitu saja, suasana kembali tenang meski masih mencekam. Untuk meyakinkan diri bahwa tidak akan ada lagi gangguan dari makhluk-makhluk tak kasat mata, Andin, Alma, Aldi, Rusdi, dan Baim kembali melanjutkan pencarian. Di depan sebuah ruangan, Rusdi yang berjalan paling depan melihat ada sebuah kain yang tertinggal di paku yang ada di pintu. Dengan penuh rasa ingin tahu, Rusdi bergegas mendekati pintu itu dan mengambil sobekan kain yang terkait di sana. "Gaes, ini kain baju Amar, bukan, sih?" tanya Rusdi seraya menunjukkan sobekan kain di tangannya. Merasa penasaran dengan yang ditunjukkan oleh Rusdi keempat remaja itu menghampiri Rusdi dan mengambil sobekan kain yang dimaksud. "Iya, bener, Rus. Ini memang sobekan pakaian yang dipakai Amar, kenapa bisa sobek begini? Dan, ini...sepertinya ini adalah nod
Melihat hal itu, Baim tidak dapat lagi menahan rasa mual yang dia rasakan. Di detik berikutnya, Baim memuntahkan semua isi perutnya yang sudah tidak terlalu banyak. Setelah berhasil menguras habis semuanya, dengan tenaga yang hanya tersisa sedikit, pemuda itu mengajak Alma dan Aldi keluar dari tempat itu. "Tunggu, apa itu? Kalian berdua keluar saja terlebih dahulu, aku menyusul. " Aldi yang melihat beberapa buah gulungan di bawah tumpukan pakaian Andin dan Rusdi pun bergegas mengambilnya dan membawanya keluar menyusul adik dan sahabatnya sambil menatap nanar ke arah mayat kedua sahabatnya yang begitu mengerikan. Setelah Aldi dan dua temannya bergegas keluar dari rumah nomor tiga belas, mereka merasa gemetar dan cemas. Aldi memegang gulungan-gulungan tersebut, dan begitu mereka berada di luar, dia membukanya. Gulungan-gulungan itu berisi sejumlah dokumen dan catatan rahasia. Dalam catatan-catatan itu, terkuaklah rahasia besar yang selama ini tersembunyi di dalam rumah tersebut.Merek
"Astaga, Al! Lihat ini, kalian harus melihat ini sekarang! Kalian tidak akan mempercayainya!" Baim berteriak memanggil Alma dan Aldi, sementara Rusdi terkulai lemas di atas jasad Andin dengan darah yang terus mengucur keluar dari luka menganga di lehernyaAlma dan Aldi yang sempat saling pandang satu sama lain langsung mendatangi Baim yang masih heboh menunjuk ke sebuah arah, lebih tepatnya ke bawah tubuh kedua teman mereka tersebut. Kedua remaja tujuh belas tahun itu tersentak kaget, Andin bahkan berteriak lalu menangis saat dirinya melihat apa yang terpampang di depan matanya. "Astaga, Rusdi! Kenapa kamu dan Andin bisa melakukan hal semenjijikan ini di sini, bahkan kalian berdua menjadi gancet dan tidak bisa dipisahkan lagi." Aldi mengusap wajahnya kasar sambil mengentakkan kaki kanannya geram. "Terus bagaimana ini, Al? Apa yang harus kita lakukan untuk memisahkan mereka berdua?" tanya Baim pada Alma yang masih terlihat syok dengan apa yang sudah dilakukan kedua sahabat mereka.
Aldi yang berada paling depan otomatis bergerak mundur dengan perlahan, diikuti oleh Alma dan Baim yang sempat terhipnotis dengan sosok bayangan hitam tersebut"Al, kita balik aja, yuk. Aku takut," bisik Baim pada Alma yang berada di depannya. "Ssstt, aku juga takut, Im. Tapi, kita tidak bisa balik lagi, kalau kita balik bagaimana nasib Andin dan Rusdi," kata Alma yang juga berbisik. Baim menghela napasnya dalam, di dalam hatinya membenarkan apa yang dikatakan oleh sahabat karibnya itu. "Ya, sudah kalau begitu. Ayo, kita lanjutkan lagi," sambung Baim masih dengan berbisik. "Sabar, kita tunggu dulu sampai bayangan itu menghilang, baru kita bergerak lagi." Kali ini Aldi ikut menimpali. Alma dan Baim menganggu, mereka kembali bergeser mundur dengan sangat perlahan hingga akhirnya makhluk tak kasat mata yang mengerikan itu menghilang dari pandangan.Setelah memastikan makhluk astral itu benar-benar tidak ada lagi, barulah mereka bergerak maju kembali dengan langkah tak kalah pelan de
Alma dan Aldi spontan memelototkan mata mereka ke arah BaIm yang masih tertawa konyol. Tatapan tajam kedua sahabatnya, rupanya mampu membuat tawa Baim hilang dari bibirnya. Pemuda yang terkadang gemar bergaya seperti wanita itu kontan menunduk dan meminta maaf karena kekonyolan yang sudah baru saja dia lakukan. "Sekarang bukan waktunya bercanda, Im. Kami tau kamu pasti merasa tertekan dengan semua tekanan ini. Kami pun sama sepertimu tapi tolong jangan pernah menganggap remeh dunia tak kasat mata jika kau ingin selamat," tandas Alma. "Maafkan aku, Al. Aku hanya ingin kita bertiga tidak terlalu tertekan dengan semua ini, apalagi jika nantinya kita menjumpai Andin dan Rusdi dalam keadaan tidak seperti yang kita inginkan," ucap Baim lirih. "Maafkan aku, ya.""Huft, ya. Maafkan kami juga, Im. Sekarang lebih baik kita kembali fokus mencari Andin dan Rusdi, semoga saja mereka berdua dalam keadaan selamat."Baim dan Aldi mengangguk setuju, sebelum masuk ke dalam ruang bawah tanah lebih j
Alma, Aldi, dan Baim terus menyusuri ruang bawah tanah rumah mewah itu, mencari tahu keberadaan Andin dan Rusdi. Di tengah gelapnya lorong, suara aneh bergema di sekitar mereka, dan udara terasa semakin dingin. Mereka merasa bahwa sesuatu yang jahat mengintai di sana.Terdengar suara langkah mereka bergema di koridor gelap ruang bawah tanah. Lampu redup bergetar, menciptakan bayangan yang menakutkan di dinding. Alma, Aldi, dan Baim terus berjalan, hati-hati memeriksa setiap sudut ruang.Saat mereka mendekati pintu yang terbungkus oleh aura misterius, Baim merasa bulu kuduknya merinding. "Apa yang kita cari di sini?" tanyanya, suaranya gemetar.Aldi yang mencoba menjaga ketenangan menjawab, "seperti rencana awal, kita mencari di mana Andin dan Rusdi. Kita sudah terlalu lama terpisah dari mereka berdua, semoga saja tidak terjadi apa-apa pada mereka berdua."Mereka meraih gagang pintu dengan perasaan waspada. Saat pintu terbuka, mereka dihadapkan pada pemandangan yang mengejutkan. Di dal
Andin berusaha keras memisahkan diri dari Rusdi tetapi semuanya sia-sia belaka, sebab bukannya terlepas, mereka berdua malahan semakin menempel satu sama lain, milik Rusdi seakan terhisap begitu kuat oleh inti tubuh Andin. Mereka berdua bergerak ke sana-ke mari berusaha melepaskan inti tubuh masing-masing, tetapi hisapan itu semakin kuat seolah tidak ingin melepaskan milik Rusdi. Kedua manusia berbeda jenis kelamin itu terus bergerak liar maju mundur, ke atas dan ke bawah berharap bisa terlepas. Erangan, desahan, dan desisan bercampur baur menjadi satu dengan keringat yang mengalir di tubuh mereka berdua. Keinginan untuk melepaskan diri, timbul tenggelam oleh kenikmatan haram yang mereka reguk bersama-sama. "Ugh, gila, Ndin. Kenapa ini rasanya enak sekali, meskipun agak sedikit sakit tapi rasa nikmatnya sungguh luar biasa," ucap Rusdi dengan napas tersengal oleh kenikmatan duniawi. "Huh, iya, Rus. Enaknya sungguh tak terperikan," jawab Andin. "Gerakan pinggulmu sedikit lebih cepa
"Rus, ini semakin aneh. Apakah kamu merasa bahwa kita berada di jalur yang benar?" tanya Andin dengan ketidakpastian.Rusdi mengangguk, "Iya, Andin. Ada sesuatu di sini yang memandu kita, tapi kita harus tetap waspada."Mereka melanjutkan langkah mereka, semakin dalam ke dalam ruang bawah tanah yang gelap. Cahaya senter Rusdi mengungkapkan lebih banyak misteri di sekitar mereka, seperti simbol-simbol aneh di dinding dan lorong-lorong yang tampaknya tak berujung.Ketika mereka berjalan, tiba-tiba suara gemuruh terdengar dari kejauhan. Rasanya seperti bumi berguncang. Andin dan Rusdi saling memandang, jantung mereka berdebar kencang."Apakah itu gempa, Rus?" tanya Andin dengan nada khawatir.Rusdi merasa udara semakin panas, "Aku tidak yakin, Andin, tapi kita harus mencari tahu. Ini bisa jadi kunci dari semua misteri ini."Mereka terus berjalan menuju asal suara gemuruh tersebut, dengan harapan bahwa mereka akan menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang menghantui mereka. Akan tetapi,
Dengan perasaan campuran antara harapan dan kekhawatiran, Andin berkata, "Rusdi, kita harus mencari Permata Kelam ini. Mungkin itulah kunci untuk menghentikan kekuatan jahat ini."Rusdi setuju, "Tapi kita harus berhati-hati. Kita tidak tahu apa yang akan kita temui dalam pencarian ini. Kami mungkin harus bersiap untuk menghadapi bahaya yang lebih besar."Mereka memutuskan untuk mengakhiri sesi penelitian mereka dan bersiap-siap untuk pencarian Permata Kelam. Dengan harapan dan keberanian, mereka merasa semakin dekat dengan mengungkap semua misteri dan mengatasi kekuatan jahat yang mengancam mereka dan rumah ini.Andin dan Rusdi memasuki ruang bawah tanah yang gelap dan penuh misteri di rumah kuno itu. Mereka membawa senter sambil mencari petunjuk untuk menemukan Permata Kelam yang konon tersembunyi di dalamnya. Suasana yang terasa semakin mencekam membuat detak jantung mereka semakin kencang."Kita harus tetap hati-hati dan selalu waspada, Ndin. Jangan terbuai dengan apapun yang kita
Tiba-tiba, suasana berubah. Cahaya merah yang mengepung mereka memudar, dan bayangan itu lenyap. Mereka merasa beban mencekam hilang dari ruangan, dan mereka bisa keluar dengan aman. Namun, mereka tahu bahwa rumah itu menyimpan rahasia yang lebih dalam dan menakutkan dari yang mereka bayangkan.Andin dan Rusdi keluar dari kamar dengan perasaan lega, tetapi rasa ingin tahu mereka menggelitik. Mereka berdua duduk di ruang tengah yang kuno, ditemani oleh cahaya temaram dari lilin yang mereka nyalakan.Rusdi bertanya dengan hati-hati, "Andin, apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini? Mengapa kita merasa ada kekuatan gelap di sini?"Andin merenung sejenak sebelum menjawab, "Mungkin ini adalah rumah yang menyimpan kenangan yang tak pernah terselesaikan. Mungkin ada seseorang atau sesuatu yang masih terikat di sini."Mereka berdua merasa seperti ada yang memanggil mereka. Tiba-tiba, sebuah suara bisikan pelan terdengar di udara, "Kembalilah, kembalilah ke rumah ini..."Rusdi menelan ludah, "