“Kalau mau mesum ya nikah dulu!” Nino geleng-geleng kepala, ia berdiri tidak jauh dari tempat Melody dan Edwin.Edwin langsung bangkit dari atas tubuh Melody, pun dengan Melody yang ikut berdiri. Keduanya merasa sangat canggung dengan jantung yang sama-sama berdegup kencang.Untung saja Nino menutup mata kedua bocah yang tadi pamit bawa pelampung itu. Saking kesalnya Nino sampai melempar sandal yang dipakainya hingga mengenai kepala Edwin tadi.“Siapa juga yang mesum.” Edwin mengelak.“Kau pikir biji mataku ini tidak melihat apa? Kalau masih cinta tidak usah sok-sokan saling menjauh, menikah lagi sana daripada muncul adiknya Zea sebelum kalian menikah,” ujar Nino seenak jidat, ia bicara seenaknya tanpa memperdulikan kini wajah Melody merah padam karena malu.“Papa, tadi kakak dan Abang sedang apa, kenapa dimarahi?” tanya Izel polos.“Bocah tidak usah tahu. Ayo main lagi.” Nino sudah melepaskan tangannya yang tadi menutup mata Izel dan Zea.Melody yang sudah terlanjur malu kini beranja
“Sayang!” Amanda berteriak saat melihat Edwin masih berbaring di ranjang sambil memeluk Zea.Edwin terperanjat dan langsung duduk membuat Zea pun menangis karena kaget. Tadi Edwin memanggil Melody karena Zea merengek saat tidak mendapati sang ibu tidur di sampingnya. Zea sangat manja sekarang, tidur pun harus bersama ayah dan ibunya.“Kamu kenapa ada di sini?” tanya Edwin sambil menggendong Zea mencoba membuat anak itu kembali tertidur.“Ternyata begini ya kelakuan kamu. Bilangnya liburan bareng Zea tapi kenyataannya kamu malah selingkuh!”“Keluar! Jangan teriak-teriak di sini, kamu membuat Zea takut.” Edwin malah mengusir Amanda.Wanita itu terbelalak merasa tidak percaya, “Kamu mengusirku, Ed?”“Kamu di sini juga masalah tidak akan selesai, tidak lihat Zea menangis begini.” Edwin tidak peduli lagi dengan pemikiran Amanda, saat ini ia hanya sibuk menenangkan Zea yang malah menangis semakin kencang.“Pintu masih terbuka, silahkan keluar!” Melody buka suara.“Kenapa harus aku yang kelu
Seperti anak kecil yang tidak mau ada yang mendahului, Edwin berlari tanpa kata membuat Amanda dan Andrew melongo melihat apa yang dilakukan oleh Edwin.“Edwin, berhenti!” teriak Andrew yang ikut mengejar Edwin.Sedangkan Amanda menghentakkan kakinya kesal, “Aish! Mana bisa aku berlari mengejar mereka, aku tidak bisa. Yang ada nanti kakiku sakit,” gerutunya. Ia memutuskan kembali ke dalam kamarnya untuk menelepon Bu Sanjaya dan melaporkan apa yang terjadi.Sementara Edwin masih tetap berlari memasuki lift.Saat ini tujuan Edwin adalah kamar Melody, tidak ingin ia jika ada yang mendahului bertemu dengan Melody apalagi Andrew. Kedua lelaki ini memang terlihat sangat kekanakan.Saat sampai di lantai kamar Melody, dengan tergesa-gesa Edwin kembali berlari menuju kamar mantan istrinya itu namun berkali-kali menekan bel tidak ada yang menyahut dari dalam.“Dia kemana? Perasaan saat tadi aku keluar dia masih di kamar bersama Zea?” gumam Edwin sambil mencari kontak Melody untuk menghubungi wa
"Aku baik-baik saja, aku bukan sakit, Mas.""Lalu apa? Jangan membuatku khawatir begini, sayang." Nino menggenggam tangan sang istri, ia benar-benar takut Serra sakit."Aku ... Minum obat pencegah kehamilan," ungkap Serra."Apa?"Teriakan Nino itu sampai membuat kedua anaknya kaget dan melihat ke arah lelaki itu."Maaf." Mata Serra berkaca-kaca karena merasa bersalah, ia tahu betul suaminya ingin punya anak lagi tapi malah dipatahkan oleh Serra yang diam-diam meminum pil KB."Kenapa kamu tidak bilang?""Aku takut kamu marah kalau tahu aku minum itu, kamu 'kan mau sekali punya anak lagi.""Kalau memang kamu belum siap lagi punya anak, bilang saja tidak usah diam-diam begini. Di sini kamu yang mengandung dan melahirkan, kamu bahkan tidak bisa membagi rasa sakit itu padaku.""Maaf, Mas.""Tidak apa. Masuklah, mau mandi 'kan."Tangan Nino terlepas malah membuat hati Serra mencelos, ia tahu apa yang diperbuatnya salah karena tidak seharusnya melakukan sesuatu sebelum memberitahu Nino. Nino
Melody langsung menoleh, matanya terbelalak melihat Edwin berdiri di belakangnya.“Ed, apa yang kau lakukan di sini?” tanya Melody meski ia tahu dari tadi Edwin memang mencari keberadaannya.“Mau membawa Zea,” jawabnya.Padahal niat awal mencari Melody untuk menahan agar Melody tidak bertemu dengan Andrew tapi yang ada di depan mata sukses menyayat hati Edwin.“Papa, kenapa lama?”Edwin menjatuhkan pandangannya pada Zea dan menggendong anak itu, “Makan di tempat lain saja ya.” Sudah terlanjur, ia terlambat dan merasa tidak memiliki harapan. Lebih baik pergi, pikir Edwin.Tanpa bicara lagi Edwin membawa Zea pergi meninggalkan Melody dan Andrew.“Kau lihat bagaimana ekspresinya tadi?” tanya Andrew sambil menahan tawa.“Kau ....” Melody menggantung ucapannya.“Sengaja biar kau tidak perlu melihat lewat rekaman CCTV.” Andrew memainkan alisnya lalu dengan santai menikmati kopi yang baru saja dipesannya.“Berarti Edwin salah paham?”Andrew mengedikkan bahunya, “Kalian itu, aduh ... aku bing
“Mas, ini tidak lucu!” Serra merengut kesal.Nino yang berdiri di depan pintu kamar mandi dengan bertelanjang dada membuat Serra benar-benar kaget. Untung saja ia terjatuh bukan saat kondisi sedang hamil.“Kamu juga tadi mengagetkanku, sekarang gantian,” ujarnya dengan sisa tawanya.Seulas senyum terlihat di bibir Serra, ia merasa lega melihat senyum suaminya. Padahal tadi ia ingat betul jika Nino pergi dari kamar.“Bukannya tadi kamu pergi ke luar, Mas?” tanya Serra, ia baru saja akan berdiri namun dengan gerakan cepat Nino membopong tubuh wanita itu.“Mas, aku bisa jalan sendiri.” Serra protes tapi mengeratkan tangannya di leher Nino.“Tapi aku ingin menggendongmu.” Nino menurunkan Serra di ranjang.“Kamu masih marah?” Ia memulai kembali obrolan itu hanya untuk memastikan jika Nino sudah tidak marah.Meski merasa heran karena tidak sampai lima menit yang lalu Nino masih memasang muka masam dan sekarang sudah full senyum seperti tidak terjadi apa-apa.“Tawaranmu tadi rasanya sayang k
“Tidak boleh kah sekali saja? Kita juga nanti akan menikah.”Tak!Edwin meringis saat keningnya disentil jemari lentik Melody.“Aku tidak mau!”Edwin mengusap keningnya itu, “Aku juga bercanda, Mel. Mana mungkin aku mau melakukannya, aku tidak ingin adiknya Zea datang sebelum waktunya. Besok aku akan bicara pada orang tuamu.”“Jangan bercanda, Ed.”“Kalau tidak mau bercanda, aku serius saja. Kau lebih senang bukan? Aku masih ada kesempatan karena Andrew juga belum bertemu dengan orang tuamu ‘kan?”“Bisa menyingkir dari atasku?”“Oh, maaf.” Edwin langsung berdiri.“Ed, kau benar tidak bercanda ‘kan?” Melody masih tidak percaya.“Lihat besok saja, kau bisa memastikan aku bercanda atau tidak. Tidurlah!” Edwin melangkah ke arah sofa dan merebahkan tubuhnya di sana.Melody memperhatikan gerak-gerik Edwin, ia bahkan sampai mencubit pipinya sendiri untuk memastikan jika memang apa yang baru saja terjadi bukanlah sebuah mimpi.“Bukan mimpi, sakit,” gumam Melody sambil mengusap pipi yang tadi
“Sabar.” Nino menepuk pundak Melody dan Edwin, “Papa juga menunggu Bunda tidak sebentar, dua tahun. Lumayan lah. Ed, kau juga harus mencoba menunggu dua tahun.”“Tidak, tidak. Aku akan berusaha agar secepat mungkin menikahi Melody.” Edwin tidak ingin ada yang mendahuluinya.“Berlomba saja dengan Andrew, siapa tahu dia juga berubah pikiran.” Serra mengompori, sengaja ingin membuat Edwin kepanasan.“Jangan begitulah, Bun. Kalau ada yang datang untuk melamar Melody, katakan saja kalau Melody sudah ada yang punya.”Melody mencibir, “Sebelumnya kau seperti jijik padaku sekarang malah takut kehilanganku.”“Tidak usah saling menyindir, kalian berdua itu sama! Pokoknya sebelum menikah kalian tidak boleh berduaan.” Tian langsung memberi peringatan.“Aku tidak begitu lagi, Yah.” Melody merengut kesal.“Bagaimana kalau Melody ikut ayah saja, biar tidak ada kesempatan kalian berduaan.” Tian memberikan saran yang langsung ditolak mentah-mentah oleh keduanya.“Jangan begitu juga, Yah. Aku tidak bis
“Kenapa?”Aku memaksakan senyum agar papa tidak curiga.“Tidak apa-apa, Pa. Edwin bilang sebentar lagi sampai, papa pulang saja. Kasihan Bunda sendirian.”“Benar tidak apa-apa papa pulang?”“Iya, Pa. Zea juga sudah diberi obat, demamnya pasti sebentar lagi turun.”“Ya sudah. Kalau ada apa-apa langsung kabari papa ya?”“Eh, Papa pulang pakai apa?”Papa meringis, “Pinjam motornya Edwin. Besok dikembalikan.”Aku mengangguk, “Sebentar, aku ambil dulu jas hujannya.”Setelah Papa pulang pun Edwin tak kunjung memperlihatkan batang hidungnya membuatku semakin gelisah.“Apa mungkin dia ….”Aku menggeleng, menepis semua pikiran buruk itu. Tidak akan mungkin Edwin melakukan itu, orang yang mengirimkan pesan pasti hanya orang iseng saja. Tapi Edwin pergi kemana sampai belum pulang, ini sudah sangat larut.Tidak ada yang bisa kutanyai teman kantornya karena memang tidak ada yang kukenal.Apa aku tanya saja pada wanita itu ya. Dia teman kerjanya Edwin. Tapi aku takut malah nanti Edwin malah dipanda
POV Melody“Kalau tidak tertukar di toko itu sendiri, berarti di kantor. Aku hanya ke dua tempat itu saja. Saat jam makan siang curi-curi waktu kesana untuk membelikan hadiah eh malah tertukar.”Edwin bicara dengan santai. Tidak terlihat mencurigakan.Aku percaya Edwin bukan lelaki seperti itu.“Sudah, tidak apa-apa. Kita lanjut makan ya, aku sudah lapar.” Senyumku masih tersungging.Tidak mau membuatnya malah tidak enak karena hadiah tertukar ini.Aku berpikir malah ada yang sengaja sudah menukarnya. Tapi tidak tahu orang itu siapa. Tidak seharusnya aku memikirkan masalah seperti ini, malah membuat pikiran buruk semakin berkembang.Selesai makan, kami kembali ke kamar. Duduk di sofa yang menghadap jendela, memandang rintik hujan yang belum ada tanda-tanda reda.Kusandarkan kepala di pundak Edwin.“Bagaimana pekerjaanmu hari ini?”“Lumayan melelahkan. Maaf ya, aku malah terlambat datang. Kamu sampai ketiduran tadi.”“Tak masalah, aku mengerti.”“Nanti tunggu libur panjang baru aku aka
“Anak-anak sudah tidur semua, Mas?”“Sudah. Sekarang giliran bundanya yang tidur.” Nino naik ke atas ranjang.Ia sudah memastikan jika anak-anaknya sudah tidur. Anak-anak memang sudah dibiasakan untuk tidur sendiri tapi tetap saja mereka memantau menggunakan monitor.Sebagai pasangan tentu mereka harus memiliki waktu berkualitas untuk berduaan, untuk menjaga keharmonisan rumah tangga.“Aku masih belum ngantuk, kamu tidur saja kalau sudah mengantuk. Besok kerja ‘kan?” Serra menarik selimut dan membaringkan tubuhnya tanpa ada niat untuk tidur karena memang matanya belum merasa berat.“Aku akan menemanimu. Mana mungkin wanita secantik ini kubiarkan begadang sendirian.” Nino tersenyum lebar, ia berbaring miring menghadap sang istri.“Kapan kemampuan merayumu itu hilang?” Serra mencibir.“Saat ada di hadapan wanita lain.”Laki-laki yang orang pikir tidak akan setia malah sebaliknya. Nino memiliki segalanya, harta, popularitas dan juga tampang. Tapi dalam benaknya sama sekali tidak terpikir
Melody menghela napas panjang, melempar begitu saja ponsel ke sofa.“Siapa lagi yang menginginkan keretakan hubunganku dan Edwin?” gumamnya.Ya, ia baru saja melihat foto Edwin yang dipeluk oleh Sarah. Nomor tidak dikenal mengirimkannya pada Melody namun hal itu sama sekali tidak membuat Melody hilang akal dan melabrak ke kantor. Ini masih jam kantor dan Edwin pasti masih sibuk bekerja.Melody itu mantan orang jahat, bilang saja begitu karena dulu ia sama sekali tidak pernah peduli pada siapapun. Jadi ia tahu jelas apa yang terjadi sebenarnya adalah sebuah kesengajaan yang dilakukan oleh salah satu pihak yang mungkin pernah dirugikan baik oleh Melody atau pun Edwin.Ia mengira jika sudah menikah dengan Edwin maka tidak akan ada lagi masalah yang datang tapi ternyata salah. Tetap saja ada masalah yang menghadang karena sangat mustahil kehidupan berjalan tanpa sebuah masalah. Bahkan Serra dan Nino sekalipun yang hidupnya tampak sempurna pasti memiliki masalah dalam kehidupan mereka.“Me
“Kalau kau sudah tidak ada rasa, kembalikan aku dengan baik-baik pada orang tuaku.”Perkataan Melody sukses membuat Edwin terbelalak, tangan lelaki itu terangkat menyentuh kening Melody, “Tidak panas.”Melody mencebik, “Kau kira kau mengigau apa? Aku serius, Ed.”“Jangan bicara sesuatu yang mustahil begitu, Mel. Aku tidak akan mungkin meninggalkanmu dalam situasi apapun, kita sudah sama-sama berjanji. Dulu kali pertama aku berjanji dan aku ingkar dan ini kali kedua aku tidak ingin mengingkari janjiku lagi.”Dulu Edwin memang berjanji untuk menjaga Melody dan juga mencintainya sepenuh hati namun karena keras hatinya wanita itu Edwin akhirnya harus mengalah dan melepaskannya meski akhirnya sekarang mereka kembali bersama.Edwin tidak sekedar berucap janji, tapi ia benar-benar akan membuktikannya. Sejauh ini Edwin memang sudah menjalankan perannya dengan baik, bukan hanya sekedar sebagai suami tapi juga ayah untuk Zea.“Isi hati orang tidak akan ada yang tahu, Ed. Aku hanya berpikir real
"Jangan, Ma. Mama di rumah, temani aku dan Zea di sini. Aku tidak akan membiarkan Mama pindah dari sini, aku tidak bisa tenang. Edwin juga pasti sama." Melody mencoba membujuk ibu mertuanya.Sebenarnya Bu Sanjaya terlanjur malu makanya ia tidak enak tinggal bersama dengan Melody dan Edwin, bukannya benci atau tidak suka. Mengingat apa yang sudah dilakukannya dulu membuat Bu Sanjaya malu setiap bertemu dengan Melody dan Edwin, dan di sini mereka bersama setiap hari.Bu Sanjaya sudah mengakui kesalahannya, ia sadar perbuatannya tidak pantas dan ingin memperbaiki semuanya. Tidak ada kata terlambat untuk berubah menjadi lebih baik. Meski mereka tinggal satu atap dengan keyakinan berbeda tapi itu sama sekali tidak merubah apapun."Mama malu" aku Bu Sanjaya.Melody mengerti apa maksud ibu mertuanya itu."Sudah ya, Ma. Jangan bahas masa lalu, aku pun malu dengan masa laluku sendiri. Sekarang kita jalani saja kehidupan sekarang. Sama-sama memperbaiki diri, kita sudah saling memaafkan bukan."
“Den Edwin, Tuan meninggal.”Hati Edwin mencelos mendengar kabar duka yang disampaikan oleh art di rumah orang tuanya. Lutut lelaki itu lemas seketika. Tanpa bisa dikomando cairan bening berjatuhan membasahi pipi. Ia manusia biasa yang bisa merasakan kesedihan apalagi ditinggal orang yang begitu disayanginya. Bukan ditinggalkan sementara tapi selamanya, mereka sudah beda alam dan tidak akan bisa bertemu lagi.Edwin dan Pak Sanjaya memang baru dekat akhir-akhir ini, saat hubungan mereka sudah membaik. Lelaki paruh baya itu malah pergi tanpa pamit dan menyisakan luka mendalam bagi mereka yang ditinggalkan.Beranjak menuju kamar untuk memanggil Melody. Ia tidak kuasa untuk mengatakan kabar duka ini. Padahal rencananya mereka akan pergi ke rumah Pak Sanjaya, namun takdir berkata lain. Sebelum mereka sampai ke sana, Pak Sanjaya pergi lebih dulu.Melody mengambil alih ponsel Edwin karena lelaki itu tidak kunjung berkata. Hanya air mata yang bicara.“Halo, Bi. Ada apa?” tanya Melody, kebetul
Apa yang sudah terjadi waktu itu berdampak buruk pada usaha Pak Sanjaya, meski memang wajah Edwin dan Melody tidak sampai tersorot tapi tetap saja nama baik tidak bisa dipulihkan. Edwin bahkan mulai mencari pekerjaan di tempat lain, meski bisa saja ia meminta pekerjaan pada Nino tapi Edwin ingin belajar mandiri agar tidak selalu bergantung pada siapapun.Edwin harus bisa bertanggung jawab.“Kita langsung pulang?” tanya Melody.“Iya. Kau mau beli sesuatu?”Melody menggeleng, “Aku ingin cepat sampai rumah dan rebahan.”Zea yang lelah bermain dengan Izel kini terlelap dalam dekapan sang ibu. Sampai di rumah, Zea langsung ditidurkan di kamarnya. Zea harus dibiasakan tidur di kamarnya sendiri. Anak ini sangat manja, mungkin jika sudah memiliki adik tidak akan semanja ini.“Lelah sekali?” Edwin melirik Melody yang tengah mengambil pakaian tidurnya.“Hm. Padahal hanya di rumah, tapi mengurus anak-anak membuatku lelah. Mereka nakal sekali.”Melody tidak hanya menjaga Zea saja tapi juga kedua
“Ini nomor Mamamu yang terdaftar, tapi bisa juga bukan Mamamu yang melakukannya. Tunggu saja sampai ada informasi lanjutan soal penyebar video itu. Jangan dulu hubungi Mamamu.” Nino menepuk pundak Edwin sebelum meninggalkan lelaki itu.Tangan Edwin mengepal, “Aku tidak tahu lagi harus seperti apa kalau memang itu Mama.”Dalam hati kecilnya Edwin berharap bukan sang ibu yang melakukannya. Meski hubungan mereka renggang tapi Edwin sama sekali tidak mengharapkan hal buruk pada Bu Sanjaya.Edwin menghampiri Melody di kamar sebelah. Serra yang menemani langsung keluar membiarkan Edwin yang menemani Melody. Karena tidak ingin Zea banyak bertanya jadi sementara Melody di kamar sebelah dulu.Sedangkan Serra menghampiri suaminya yang ada di ruang tengah, Nino tampak sibuk menatap layar ponselnya.“Mas.”Lelaki itu langsung mendongak saat dipanggil, “Kenapa, sayang.”“Sudah dapat?” tanyanya lalu menghempaskan bokongnya untuk duduk di samping Nino.Nino menggeleng, “Belum tapi nomor yang kirim p