"Aku mohon, Nalen. Maafkan aku. Aku janji jika kamu membebaskan aku, aku tak akan pernah muncul di depan kalian," mohon Anna dengan kondisi memprihatinkan. Wajahnya terlihat lebam dengan rambut acak-acakan. Matanya menatap Nalen penuh harap."Aku sudah bilang, Anna. Kali ini aku tak akan tertipu lagi dengan sandiwaramu," jawab Nalen tegas, lalu ia mengajak Safiyya pergi dari sana."Nalen aku mohon, kali ini saja beri aku kesempatan!" seru Anna sekali lagi.Nalen menghentikan langkah, ia berusaha menulikan telinganya meski saat melihat Anna, Nalen benar-benar tak tega. Di sampingnya Safiyya menggenggam tangan sang suami, seolah memberi kekuatan agar ia bisa mengambil keputusan dengan benar."Aku akan memaafkanmu, tapi kamu tetap harus mempertanggungjawabkan semuanya, dan ingat, setelah ini jangan lagi berani muncul di depanku," jawab Nalen dengan posisi memunggungi Anna lalu pergi."Sayang, kamu di sini?"Sapaan lembut itu menghentikan lamunan Safiyya tentang pertemuannya dengan Anna d
Safiyya menatap kehadiran Anna dengan perasaan was-was. Ia tak menyangka wanita itu benar-benar nekad datang menemuinya di sini."Untuk apa kamu ke sini, Anna?" Safiyya menekankan kalimat itu dengan sikap waspada. Ia menarik Nafis agar berdiri di belakang nya guna menghindari hal tak diinginkan. Sebab di depan sekolah putrinya keadaan sudah tampak sepi."Apa kamu sengaja mengikuti aku ke sini?" seru Safiyya dengan wajah marah. Ia tak habis pikir, bisa-bisanya Anna menguntit nya seperti ini. Kata-kata keras Safiyya membuat Nafis tampak ketakutan. Ia semakin menenggelamkan kepalanya di balik pinggang sang ibu."Tidak, Safiyya. Aku benar-benar tak bermaksud menguntitmu dan Nafis. Aku ada keperluan di sekitar sini. Jadi saat melihat Nafis tadi aku memutuskan turun," terang Anna dengan suara lembut. Ia berusaha meyakinkan Safiyya agar wanita itu percaya, tapi nyatanya tak semudah itu.Rasa kecewa Safiyya pada Anna mungkin sulit untuk digambarkan dengan kata-kata. Wanita berhijab itu sudah
"Jadi kamu dan Nalen bertengkar lagi gara-gara Anna, Saf?" tanya Maira penasaran. Ia dan Safiyya memilih menghabiskan waktu istirahat untuk bicara di balkon lantai tiga. Di sana adalah tempat paling aman untuk bicara masalah serius di kantor itu.Safiyya menjawab pertanyaan Maira dengan anggukan lesu. Ia seakan sudah tak memiliki gambaran lagi untuk melanjutkan hubungan dengan Nalen. "Aku benar-benar ingin menyerah dengan pernikahan ini, Mai. Nalen terus saja menyakiti aku dengan selalu membawa-bawa Anna dalam hubungan kami. Baik dulu atau sekarang aku seolah hanya jadi bayangan untuknya. Sebenarnya aku atau Anna yang istrinya? Aku hampir nggak bisa membedakan soal itu." Safiyya terdengar putus asa. Ia menatap Maira dengan mata terluka."Kamu jangan berpikir macam-macam dulu. Bisa jadi bukan itu maksud Nalen. Cobalah berdamai dengan Anna, Saf. Maafkan dia dengan tulus. Siapa tahu dengan begitu kamu bisa lebih lega." Maira memberi usul, karena ia pun tak ingin melihat sahabatnya terus
"Jadi kamu sama Nalen akan meresmikan pernikahan kapan?" tanya Kalyra di seberang sana."Jangan lupa kabari kami kalau kalian menikah!" seru suara lain yang Safiyya tahu adalah Ken. Lalu disusul suara gaduh bersahutan.Safiyya tersenyum, ia jadi merasa rindu dengan keluarga Rebecca yang selalu ramai. "Pasti, Ken. Aku tak akan melupakan kalian.""Ngomong-ngomong bagaimana dengan Anna? Apa dia masih belum menyerah mengusikmu?" Kalyra mengambil alih ponsel nya kembali.Pertanyaannya membuat Safiyya terdiam. "Sebenarnya aku menghubungimu juga untuk membahas Anna. Dia sudah bebas dari penjara. Entah siapa yang menolong.""Apa! Bisa-bisanya ada orang yang membebaskan wanita jahat itu. Menurutmu siapa? Apa Nalen mencabut tuntutannya?""Aku sendiri tak tahu, Kaly. Tapi Anna tiba-tiba berubah. Dia bukan seperti Anna yang dulu.""Maksudmu?""Ya, sikapnya berubah total. Dia jadi lebih baik. Bahkan sikap arogan dan permusuhan yang biasa diperlihatkan padaku sudah tak ada. Dia meminta maaf pada se
"Suasana di luar memang sangat tenang bukan?"Maira membuyarkan lamunan ketika suara bariton terdengar masuk ke gendang telinga. Wanita yang kini tengah duduk di taman itu sedikit terkejut saat mendapati laki-laki yang tadi dilihat nya bersama Anna sudah berdiri di samping bangku ia duduk."Anda ...." Maira menggantung kalimat. Ia menatap Brian kaget.Bukanya menjawab, Brian malah tersenyum. "Boleh saya duduk di sini?" tanya Brian sopan sambil menunjuk kursi kosong di samping Maira.Lama tak kunjung ada jawaban, hingga Brian kembali membuka suara. "Kalau tak bo-""Silahkan," jawab Maira akhirnya.Brian pun tersenyum mendengar jawaban itu, kemudian duduk. "Sebelumnya kenalkan, saya Brian. Senang bertemu denganmu. Kamu yang tadi bersama Nalen dan istrinya, kan?"Maira mengangguk ragu, ia menatap tangan Brian yang terulur sebelum membalasnya. "Saya Maira, senang juga berkenalan dengan Anda," jawabnya sesopan mungkin. Biar bagaimanapun Maira merasa perlu waspada dengan orang yang baru pe
Seperti rencana pasangan itu kemarin, hari ini Safiyya dan Nalen akan berangkat ke Jogja. Tak lupa mereka juga mengajak Maira dan yang lain ke sana. Bahkan semua biaya akomodasi ditanggung oleh Nalen karena memang mereka akan menginap di rumah laki-laki itu.Safiyya terlihat cantik dengan terusan crinkle berwarna peach berpadu hijab pashmina hitam. Ia dan semua sahabatnya sedang menunggu seseorang."Ini kita nunggu siapa lagi, sih, Saf?" tanya Maira tak sabaran.Tak berapa lama Yusuf terlihat datang sambil memyeret kopernya. Kehadiran laki-laki itu membuat jantung Maira tiba-tiba berdetak."Kenapa Yusuf harus ikut, sih, Saf?" gerutu Maira kesal. Pasalnya kemarin Safiyya bilang Yusuf tak bisa pergi."Emang kenapa, Mbak? Kok kayaknya Mbak Maira ketus mulu dari kemarin sama Mas Yusuf?" ujar Gibran heran. Sebab tak sekali dua kali ia melihat mereka bertengkar.Ucapan Maira juga dihadiahi lirikan kesal Felis. "Bener kata Gibran. Kenapa sih sewot mulu sama Pak Yusuf? Toh dia ikut juga karen
Sekitar satu setengah jam, akhirnya Safiyya dan Nalen sampai di kota Jogja. Pak Paijo dan bu Sumi, sepasang suami istri yang bertugas menjaga rumah itu sudah menunggu kedatangan mereka di sana."Selamat datang di rumah ini lagi, Mas Nalen, Non Safiyya," ujar Paijo ketika Nalen dan Safiyya turun."Halo, Jo, Kalian apa kabar? Akhirnya setelah sekian lama kita bisa bertemu lagi." Nalen membalas sapaan mereka dengan perasaan bahagia, lalu memeluk Paijo yang memang seumuran dengannya. Dulu ketika Nalen kecil ia sering sekali bermain dengan Paijo."Kamu sudah menyiapkan kamar untuk mereka semua, kan?" ujar Safiyya ketika ia sudah melepas pelukan dengan Sumi."Sudah, Non. Mari silahkan masuk," ujar Sumi pada semua sahabat Safiyya.Paijo terdiam saat matanya menangkap sosok Brian ikut turun. "Mis Anna?"Anna hanya menyunggingkan senyum kaku. Ia menatap Nalen was-was, karena laki-laki itu kini tengah menatap ke arahnya penasaran."Kamu kenal Anna, Jo?"Tubuh Anna menegang saat Nalen bertanya d
Yusuf berjalan dengan gontai memasuki rumah Nalen. Begitu ia baru mencapai pintu depan, sebuah obrolan terdengar samar-samar. Ia mencari sumber suara yang ternyata berasal dari percakapan Anna dan seorang laki-laki berkulit sawo matang. Dari gesturnya Anna seperti tengah memarahi laki-laki itu. Yusuf menduga orang yang bersama Anna adalah pekerja di rumah ini.Tak ingin ikut campur, Yusuf pun akhirnya memilih masuk ke dalam rumah. Jam sudah menunjukan pukul empat sore saat ia sampai ke sana. Begitu mengucap salam, semua orang ternyata tengah berkumpul di ruang tengah."Kamu baru sampai atau mampir dulu ke rumah Maira?" tegur Safiyya."Paling juga mampir ke rumah Maira. Lihat aja tuh rantang di tangannya," timpal Nalen kemudian, sambil menunjuk rantang putih yang ditenteng Yusuf.Pasangan suami istri itu tak sadar bahwa kata-kata mereka membuat mood Felis berubah seketika. Wanita itu langsung pergi dari sana karena kesal.Safiyya yang baru menyadari itu pun merasa tak enak hati. "Fel,