Subuh ini, di sebuah rumah sederhana itu, tampak Safiyya tengah membereskan beberapa buku di atas rak. Gerakan tangannya terhenti ketika tanpa sengaja meraih Alquran usang milik almarhum ayahnya. Wanita itu memutuskan duduk di tempat dia tadi melaksanakan shalat subuh, kemudian memicingkan matanya ketika membaca surah An-Nur:31.
Tanpa disadari tubuhnya bergetar, ketika barisan asma Allah itu dia baca berulang-ulang. Entah apa maksud Allah hingga Dia memberi peringatan kepadanya melalui cara seperti ini. Niat awalnya membuka Al-quran untuk dibereskan. Tapi, halaman yang dibuka secara acak itu justru menampilkan ayat peringatan dari surah An-Nur.Bagai sebuah mantra ajaib, mulutnya mengucap istighfar berkali-kali, sementara air matanya semakin deras mengalir. Dadanya terasa begitu sesak, teringat segala bentuk dosa dan kelalaian yang selama ini dia lakukan. Dosa-dosa itu seakan berputar dalam kepalanya satu persatu. Dari mulai nasihat almarhum ayahnya agar dia mengenakan hijab, menutup aurat dan berhenti menjadi penyanyi. Hingga nasihat ibunya tentang kewajiban manusia untuk selalu mendirikan shalat. Dan sayangnya, diabaikan semua nasihat itu.Kini, ketika dia merasa arah jalan yang dilalui begitu sulit, dia baru sadar bahwa tak ada tempat yang bisa dijadikan penopang, dan pendengarnya saat merasa sendiri, kecuali Dzat Yang Maha Agung. Safiyya tahu sekarang mengapa ayah dan ibunya tak pernah lelah berzikir siang dan malam. Karena hanya dengan cara ini mereka mampu menjalani hari-hari yang berat."Astaghfirullah hal adzim. Ampuni hamba ya Allah, ampuni hamba," gumam Safiyya berulang kali sembari bersujud. Berharap Allah mengampuni segala dosa-dosanya di masa lalu."Wey! Bengong aja kamu, Saf!" Teguran Maira membuyarkan lamunan Safiyya tentang kejadian subuh tadi. Gadis berhijab dengan mata bulat itu lantas duduk tepat di sebelah sang sahabat. Hijab berwarna pink yang Maira kenakan menambah manis penampilannya. Kemudian Maira membuka laptop yang dia pegang."Kamu lagi mikirin apa, sih? Udah ketemu dosbim belum?" tanya Maira tanpa melepas perhatiannya pada laptop. Safiyya menggeleng lemah dengan pertanyaan sahabatnya. Dia bingung harus memulai cerita dari mana."Aku mau berhijrah. Tolong, ajari aku menjadi muslimah yang baik." Ucapan Safiyya yang tiba-tiba itu kontan saja membuat Maira terdiam. Gerakan tangannya pada laptop terhenti. Ditatapnya lekat-lekat mata hitam Safiyya, memastikan kali ini dia benar-benar sedang tak salah dengar.Pasalnya, sudah berkali-kali Maira memberi nasihat pada sahabatnya itu agar memikirkan akhirat, dan berhenti menjadi biduan. Selain menghindari maksiat, Maira juga ingin agar Safiyya tak terus-menerus menjadi bahan olokan di kampus. Tapi, wanita dengan lesung pipi itu tak pernah bersedia mendengarnya dengan alasan tak memiliki pekerjaan lain, dan sangat menyukai pekerjaannya. Padahal jika Safiyya mau, Maira dengan senang hati akan menolong."Saf, lo serius?"Safiyya mengangguk mantap dengan pertanyaan Maira.Tak berapa lama kemudian Maira mengucap syukur sembari mengangkat tangan. "Alhamdulillah ya Allah. Akhirnya Kau beri sahabatku hidayah juga,""ya udah, kamu ikut aku sekarang. Kita datangi ustaz Halim sekalian sholat dzuhur," sambung Maira. Tanpa menunggu lama dua wanita itu bergegas pergi.Ustaz Halim yang mereka cari rupanya tengah berada di mushola. Laki-laki paruh baya itu adalah ustaz pemilik pondok pesantren kecil di dekat tempat tinggal Safiyya. Mereka biasa bertemu ketika melaksanakan shalat Zuhur atau ketika sedang senggang. Terkadang Maira sengaja mendatangi mushola itu hanya untuk sekedar mendengar ceramah beliau. Maira sangat menyukai gaya berdakwah Ustadz Halim yang terkesan santai.Keduanya memilih mengerjakan shalat Zuhur terlebih dulu sebelum memutuskan menemui Ustaz Halim. Ketika usai shalat mereka menunggu laki-laki itu usai dengan zikirnya."Permisi, Ustaz," sapa Maira. Ustaz Halim yang sudah selesai dengan zikirnya memutar duduk menghadap dua wanita itu."Ada yang bisa saya bantu, Nak Safiyya, Nak Maira?"Maira menatap Safiyya agar sahabatnya memulai pertanyaan. Tapi, Safiyya menyikut lengan Maira agar dia saja yang bertanya. Agaknya Safiyya masih merasa canggung dan gugup."Jadi begini, Ustaz. Safiyya bilang dia ingin berhijrah dan memperbaiki diri."Safiyya menundukan kepala ketika Ustaz Halim menatapnya dengan senyum, usai mendengar ucapan Maira."Syukur, alhamdulillah. Saya senang mendengarnya, Nak. Sudah lama saya ingin kamu mengambil jalan ini. Mengingat ayahmu dulu adalah salah satu guru ngaji di sini. Apa yang mau kamu tanyakan?" ujar Ustaz Halim. Safiyya tak langsung menjawab pertanyaan itu. Gadis berambut hitam sebahu tersebut tampak berpikir sejenak."Saya butuh alasan agar hijrah saya tetap istiqomah. Saya ingin memiliki sebuah pengingat agar ketika dalam hijrah ini saya ditimpa cobaan, saya tetap teguh memegang agama Allah."Ustaz Halim kembali tersenyum menatap Safiyya. "Luruskan niat. Ingat selalu apa tujuan manusia hidup di dunia ini. Tanamkan dalam dirimu rasa takut akan kemurkaan Allah. Ingatlah bahwa negeri akhirat itu lebih baik dibanding dunia dan seisinya. Coba lah selalu melihat yang dibawah ketika kamu merasa lelah dengan ujian hidup yang kamu jalani agar kamu selalu bersyukur. Berserah diri adalah cara terbaik ketika kamu merasa tak mampu menghadapi semua sendiri. Sebab tak ada tempat lain yang lebih nyaman untuk bergantung selain Allah. Berharaplah hanya pada-Nya agar kamu tak pernah kecewa."Safiyya mengangguk paham dengan penuturan Ustaz halim."Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar (Q.s Al-Baqarah ayat 153)".""Tapi saya takut, Ustaz. Saya takut menjadi bahan olok-olokan semua orang setelah saya hijrah."Ucapan Safiyya kembali dibalas senyum oleh ustaz Halim. Sebelum kemudian laki-laki berperawakan kecil itu menjawab perkataan Safiyya."Sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu daripada permulaan (Q.s Ad-Duha:4) Cukup itu yang harus kamu ingat. Manusia yang menentukan adalah akhir hidupnya akan bagaimana. Belum tentu orang yang terlihat shaleh atau shalehah mereka akan berakhir baik, dan sebaliknya."****Safiyya menatap berani pada seorang wanita bertubuh gemuk yang mengenakan wig berwarna coklat terang. Bibir merah wanita itu menyunggingkan senyum sinis ke arah Safiyya, mata besarnya menatap tajam, seakan sengaja membuat nyalinya menciut. Sementara beberapa rekannya yang lain pun menatap wanita itu dengan senyum mengejek.Usai menemui Ustaz Halim, Safiyya menemui Bu Sinta. Berbekal saran dari Maira gadis itu memberanikan diri mengutarakan niatnya untuk mundur dari grup musik. Dan di sini lah dia sekarang, di sebuah ruangan enam kali enam meter yang biasa grup musiknya gunakan untuk latihan sebelum manggung. Ruangan yang dicat dengan warna kuning menyala itu semakin ramai dengan ornamen-ornamen khas dangdut. Alat-alat musik berjajar rapi di sudut ruangan, dengan satu sofa panjang yang biasa digunakan Bu Sinta duduk untuk mengawasi mereka. Ada pula sebuah meja yang biasa digunakan untuk makan ramai-ramai sambil menonton tv."Kamu bilang apa tadi? Coba ulangi!" ulang wanita gemuk itu sekali lagi."Saya ingin berhenti menyanyi, Bu Sinta." Wanita bernama Sinta mendengus sinis. Menatap Safiyya dari atas ke bawah. Lalu bangkit dari duduknya dan menghampiri Safiyya."Kamu sadar dengan yang kamu katakan?" Bu Sinta menekankan kalimatnya. Nada geram terdengar dari mulutnya."Saya sangat sadar, Bu. Tekad saya sudah bulat. Saya ingin berhijrah."Semua orang tertawa mendengar ucapan Safiyya. Kata-kata hijrah yang dilontarkan gadis itu terdengar seperti lelucon bagi mereka."Heh, Safiyya! Koe yo mbok mikir. Orang-orang seperti kita meski menutup tubuh dengan rapat, tetap akan dipandang sebelah mata. Karena apa? Mau kemanapun kamu lari. Kamu tetap lah mantan biduan. Yang menjual lekuk tubuh dan suaramu di depan banyak orang," ucap Marni, rekan sesama penyanyi."Apa sing di omongno Marni bener, Saf. Pikir-pikir sek keputusanmu. Bukannya kamu harus membiayai hidup ibu dan adikmu, toh? Kalau kamu berhenti menyanyi, kamu mau hidup dari mana?" ucap Ranti menambahkan. Wanita bertubuh mungil itu menepuk bahu Safiyya. Dari sekian banyak rekannya, Ranti adalah yang paling tulus pada Safiyya"Nggak, Mbak. Keputusan Fiyya sudah bulat. Fiyya mau berhijrah menjadi wanita yang lebih baik. Insyaallah rezeki Allah bisa datang dari mana saja.""Walah, Saf ... Saf. Wong ora duwe be yo belagu. Macam-macam mau hijrah segala. Hijrah kui belakangan, toh umurmu masih muda," ejek Mas Pur, penabuh genderang di dalam kelompok grup musik. Yang di angguki setuju semua orang."Usia nggak ada yang tahu, Mas. Fiyya cuman mau hidup Fiyya lebih baik. Nggak cuma mentingin dunia.""Ya sudah, kalau itu keputusanmu. Tapi, ingat, kamu jangan menyesal setelah ini. Karena saya nggak akan pernah bersedia membantu kamu lag, dan hutang-hutangmu saya tunggu pelunasannya." Akhirnya meski setengah hati, Bu Sinta bersedia melepas Safiyya.Gadis itu pun mengangguk senang."Terima kasih, Bu. Saya janji akan mencari pekerjaan secepatnya, dan membayar hutang-hutang saya pada Ibu. Terima kasih untuk semua kebaikan Ibu selama ini."Safiyya hendak menyalami Bu Sinta karena terlalu senang. Tapi, wanita itu mengibas-ngibaskan tangannya. "Sudah ... sudah ... kamu boleh pergi."Dengan senyum tersungging di bibir Safiyya akhirnya pergi. Rasanya begitu lega sudah mengutarakan niatnya. Sekarang yang harus dilakukan adalah memikirkan hari besok, serta rencana-rencananya ke depan. Dia begitu tak sabar menjalani hidup barunya setelah berhijrah."Bismillah, semoga ini yang terbaik ya Allah. Hamba mohon permudah semuanya," gumam Safiyya, gadis itu lantas memutuskan pulang cepat untuk mengutarakan berita ini pada ibu dan adiknya. Mereka pasti senang, pikirnya.Awal BaruPagi ini, di rumah keluarga Amran tampak ada kejadian menarik. Halimah yang tengah menata sarapan di meja mendadak menjatuhkan sendok di tangannya. Wanita yang kini mengenakan kerudung abu-abu itu terpaku menatap Safiyya yang baru saja keluar dari kamar. Gibran yang masih berada di kamarnya pun otomatis keluar karena mendengar dentingan beda jatuh."Ibu ada ap-" Belum selesai kalimat yang diucapkan dari bibirnya, Gibran juga ikut terpaku menatap kakaknya. Safiyya menyunggingkan senyum lebar ke arah adik dan ibunya. "Gimana, Bu? Safiyya cocok ndak pakai hijab?" tanya wanita itu dengan senyum ceria. Sembari memutar tubuh, membuat rok plisket berwarna peach yang dikenakan mengembang. Tak ada respons dari dua orang di depannya. Halimah dan Gibran justru tampak saling berpandangan. Seolah terkejut dengan perubahan mendadak sang putri. Pasalnya Safiyya semalam memang belum sempat memberitahukan keinginannya berhijrah pada Halimah dan Gibran."Gimana? Safiyya nggak cocok, ya, pak
Hari ini Safiyya menyusuri seluruh sudut kota Yogya. Sesekali wanita berkulit kuning langsat itu menyeka peluh di dahinya. Dia yang masih tampak cantik dengan seragam hitam putih, menarik napas lelah. Amplop coklat yang digenggamnya pun diletakkan di atas kepala untuk melindungi wajahnya dari sengatan sinar matahari. Sudah sejak pagi Safiyya kesana-kemari mencari pekerjaan. Berharap ada satu perusahaan yang bersedia mempekerjakan dirinya sebagai karyawan magang. Tapi, hari sudah menjelang sore tak ada tanda-tanda dia akan berhasil. Semua tempat yang didatanginya sedang tak membutuhkan karyawan magang seperti dirinya.Tiba-tiba dering suara ponsel terdengar dari dalam tas, tertera nama Maira di layar. Safiyya berhenti dan memutuskan duduk di depan sebuah mini market, kemudian mengangkat panggilan itu."Assalamualaikum, ada apa, Mai?" tanyanya pada orang di seberang." ......""Aku di jalan, lagi nyari lowongan buat magang, kenapa?"" ......""Di mana? Kamu kirim lewat chat aja alamatn
Seorang laki-laki tampak tengah bersantai di sebuah kursi panjang dekat kolam renang. Menikmati deburan ombak yang tampak dari hotel tempat dia menghabiskan malam. Sesekali laki-laki itu menenggak wain dalam gelas. Tubuh kekarnya yang bertelanjang dada membuat para wanita di sekitar tak berkedip menatap. Ditambah kacamata hitam yang membingkai wajah tegasnya, semakin menambah kesan maskulin. Beberapa saat kemudian ponsel di sampingnya bergetar. Tertera nama 'Tuan Aidan yaang terhormat' di layar. Dengan enggan Nalendra mengangkat panggilan itu."Kapan kamu ke Yogya? Sahabat Papa sudah menunggu kamu di sana." Nalen menarik napas kasar mendengar ucapan di seberang. "Aku sudah bilang pada Papa, kalau nggak sudi dijodohkan. Papa tahu aku nggak suka terikat.""Papa nggak mau tahu, sekarang juga kamu ke Yogya. Mau sampai kapan kamu keluyuran nggak jelas seperti itu demi hobi kamu! Umurmu sudah lebih dari cukup untuk berkeluarga, dan lagi Papa butuh bantuan untuk mengurus perusahaan." Aidan
"Sumpah, ya, ogah banget aku ketemu calon suami kamu lagi," gerutu Safiyya kesal. Wanita itu lantas memilih duduk di atas kasur setelah langkahnya mencapai kamar."Kenapa? Cerita dong. Dia gimana orangnya?" tanya Maira antusias dari ambang pintu. Setelah menutup pintu kamarnya rapat-rapat dia menyusul Safiyya duduk di ranjang.Hari ini Safiyya tengah berada di rumah Maira. Tepatnya di kamar nyaman milik sahabatnya. Kamar yang didominasi warna putih itu terlihat minimalis tapi elegan dan mewah. Tepat di depan ranjang ada nakas berbentuk persegi panjang berwarna putih untuk meletakan televisi, Ada sebuah kamar mandi minimalis yang menggunakan kaca transparan di beberapa sisi. Tepat di sebelah pintu kamar mandi ada meja rias dan lemari. Sementara di dekat sisi kepala ranjang terdapat ruangan khusus untuk seluruh koleksi fashion Maira.Sudah tak terhitung berapa kali Safiyya ke sini. Tapi tetap saja ia tak pernah berhenti mengagumi kamar tersebut.Semenjak Safiyya pulang dari benteng verd
Nalen menghentikan mobilnya di depan rumah bergaya minimalis. Rumah yang terletak dekat pusat kota Jogja itu memiliki bangunan bertingkat dua, dengan warna dominan abu-abu dan putih. Rumah ini adalah rumah pribadi keluarga Akhtar yang memang hanya dipakai ketika mereka ke Jogja. Meski jarang dikunjungi, keluarga Akhtar tetap menyewa orang untuk mengurus rumah itu jika sewaktu-waktu dia ke sini.Sejujurnya Nalen benci sekali berada di rumah tersebut. Rumah milik mendiang kakeknya itu adalah saksi bisu bagaimana hancurnya Nalen setelah kehilangan Alice, mantan kekasihnya. Juga saksi bagaimana dia harus menanggung beban rasa bersalah seumur hidup.Sambil memindai beberapa gambar yang dia ambil tadi, Nalen berjalan masuk tanpa mempedulikan Aidan yang kini sudah duduk di ruang tengah. Senyum samar sesekali tersungging di bibir Nalen saat mengingat pertemuannya dengan Safiyya tadi pagi. Begitu satu kakinya baru menaiki anak tangga pertama, teguran Aidan terdengar. Diam-diam sang ayah memper
Safiyya berjalan tak tentu arah. Wanita itu tengah bingung memikirkan cara mendapat uang untuk operasi ibu. Tak enak hati jika harus meminta tolong pada Maira lagi, dia akhirnya memutuskan mendatangi Bu Sinta. Tapi syarat yang diajukan Bu Sinta sangat berat untuk Safiyya lakukan kala itu."Saya akan membantu kamu, dengan satu syarat," ujar Bu Sinta. Ada jeda sejenak, wanita bertubuh gemuk itu menanti respon dari lawan bicaranya yang masih diam. "Kamu sanggup?" sambung Bu Sinta."Saya harus tahu dulu syaratnya apa."Bu Sinta tersenyum culas, kemudian menghampiri Safiyya, lalu membelai wajah cantik wanita itu dengan gerakan seringan kapas. Seolah tengah mengagumi sebuah karya Tuhan."Buka hijab kamu, dan datang besok ke club biasa. Ada seseorang yang harus kamu temui."Safiyya terdiam mendengar syarat yang diajukan Bu Sinta. Hatinya kembali dilanda kebimbangan. Satu sisi dia tak memiliki banyak waktu lagi. Disisi lain dia tak bisa menerima jika harus kembali ke masa lalu."Bagaimana?" u
"Bodoh, pastikan bahwa dia tak akan kabur! Orang ku sudah menunggunya di sana. Aku tak mau tahu, kalau sampai rencana ini gagal aku tak akan segan-segan melaporkanmu ke polisi." Laki-laki itu menutup panggilan sepihak setelah memperingatkan seseorang di seberang sana. Wajahnya mengeras menahan amarah."Dasar brengsek!" makinya kemudian sambil melempar ponsel dengan kasar. Tindakannya pun tak ayal menimbulkan suara gaduh di apartemen itu.Mendengar keributan tersebut seorang wanita cantik tergopoh-gopoh datang. "Apa yang terjadi?"Pertanyaan si wanita semakin membuat laki-laki bertubuh tinggi dengan sedikit jambang, jengkel dan frustasi. Dengan wajah penuh amarah ia menatap wanita cantik di depannya."Si brengsek itu hampir saja mengacaukan rencana kita. Berani-beraninya dia …," Laki-laki tersebut menggantung kalimat, seakan tak bisa berkata-kata lagi. Rasa bencinya pada Nalen yang sudah mengakar kuat di hati seolah sudah tak bisa dibendung."Apa maksudmu Nalen?" Wanita di sampingnya m
Jam satu lebih, mobil sedan hitam berhenti tepat di depan rumah Safiyya. Wanita cantik itu tak langsung masuk ke rumah, dia mengajak bicara orang di dalam mobil terlebih dulu. Tak lain adalah pelanggan Bu Sinta."See you tomorrow weekend. Don't forget your promise to accompany me again."Safiyya membalas ucapan laki-laki itu dengan anggukan. Ia tak berminat sama sekali memperpanjang obrolan itu. Kemudian mobil sedan di hadapannya melesat pergi. Baru hendak melangkah masuk dia dikagetkan dengan sebuah suara yang berasal dari teras rumah.Maira berlari kecil menghampiri Safiyya, seolah dia sudah menunggu kehadirannya cukup lama. "Kamu dari mana aja? Kenapa kamu pakai pakaian kayak gini, Saf? Apa yang terjadi? Kenapa kamu nggak bilang kalau Ibu masuk RS?"Safiyya tak menjawab pertanyaan beruntun Maira. Dia lebih memilih masuk ke rumah, mengabaikan wanita cantik di belakangnya yang terus merecoki dengan pertanyaan bertubi-tubi."Saf, jawab dong pertanyaan aku! Kenapa kamu jadi kayak gini?
Tiga bulan berlalu dari semua kekacauan hidup yang Safiyya alami. Wanita itu kini tengah menikmati kebahagiaan berlimpah. Terlebih keadaan Nalen pulih dengan cepat setelah melakukan banyak terapi. Kini keduanya tengah berbahagia untuk menanti kelahiran buah hati. Usia kandungan Safiyya kini sudah berusia enam bulan.Safiyya menatap pantulan dirinya di dalam cermin. Gaun putih brokat dengan detail payet nan mewah bermodel mengembang, membalut tubuh Safiyya dengan pas. Hijab putihnya dipercantik dengan mahkota kecil di atas kepala. Penampilannya hari ini sungguh sangat menakjubkan.Safiyya tersenyum lebar lalu menarik nafas untuk menghilangkan kegugupan, mengingat hari ini acar resepsi pernikahannya akan segera digelar. Keduanya memang sepakat untuk mengundur rencana peresmian pernikahan mereka sampai Nalen benar-benar pulih. Seperti rencana terakhir kemarin, acara itu benar-benar digelar di Bali. Tepatnya di belakang cafe Nalen dengan latar danau Baratan dan pure-pure nan megah."Sayan
Safiyya menatap gundukan tanah merah di depannya dengan perasaan tak menentu. Di sampingnya Maira terus menenangkan wanita itu yang tampak sudah kelelahan. Pemakaman tersebut hanya dihadiri beberapa rekan kantor dan orang-orang yang kenal baik dengan Anna. Sedangkan Brian dikuburkan di samping makam Anna. Keduanyya meninggal dalam waktu bersamaan. Meski dengan kematian keduanya kasus kecelakaan Alice akhirnya tak diusut, Safiyya tetap merasa bersyukur. Mungkin ini yang terbaik menurut Allah.Ya, hari ini Safiyya tengah berada di depan makam Anna dan Brian untuk mengantarkan mereka ke peristirahatan terakhir. Setelah perjuangan Anna selama beberapa hari, wanita itu akhirnya menyerah.Bersamaan dengan itu, Nalen juga dirawat di ruang ICU. Suaminya masih belum bangun hingga detik ini setelah menjalani oprasi."Ayo kita pulang. Anna sudah tenang di alam sana bersama Brian," ujar Maira sambil menuntun Safiyya menjauh dari pemakaman.Safiyya tak banyak bicara, sejak semua kejadian itu ia me
Safiyya terbangun subuh hari karena suara putrinya yang memanggil. Gadis kecil itu naik ke kasur empuk dimana di sana ada ibunya yang masih terlelap."Bunda, Papa pergi." Tiba-tiba Nafis berkata seperti itu sambil mengguncang tubuh Safiyya. Mendengar ucapan putri nya, Safiyya reflek bangun, ia mendapati tempat tidur di sampingnya sudah kosong. Wanita itu menundukkan kepala karena sedih. Firasatnya ternyata benar, Nalen pergi setelah mengucap salam perpisahan padanya semalam."Permisi, Bu."Bu Anni menginterupsi obrolan Safiyya dan putrinya, lalu masuk ke kamar. "Ada apa, Bu Ani?" tanya Safiyya dengan nada lemah, wajahnya terlihat pucat dan sembab karena terus menangis sejak malam tadi."Pak Nalen semalam menitipkan ini pada saya. Dia bilang maaf karena pergi dengan cara diam-diam. Beliau nggak mau melihat Ibu sedih dan menangis lagi." Bu Ani lalu menyodorkan sebuah surat pada Safiyya."Ibu tolong bawa Nafis keluar dulu, ya."Bu Ani pun mengangguk lalu membawa gadis kecil itu keluar ka
Seperti rencana kemarin, hari ini Nalen dan keluarga kecilnya berangkat lebih dulu ke Bali. Ia berusaha melakukan yang terbaik untuk melindungi keluarganya. Bukan tanpa alasan mengapa Nalen merasa khawatir dengan belum tertangkapnya Brian.Mark mengatakan pada Nalen beberapa minggu lalu, bahwa Brian pernah memiliki catatan buruk masalah kesehatan mental yang dia derita. Laki-laki itu meski lahir dari keluarga kaya, tapi keluarganya terlalu misterius untuk ditelusuri. Kemungkinan alasan Brian tinggal bersama neneknya di Australia, adalah karena latar belakang keluarganya.Mark hanya bisa membantu Nalen untuk menyelidiki sebatas itu. Dia bilang terlalu berisoko menelusuri lebih jauh keluarga Brian. Sebab Brian sudah lama memilih tinggal terpisah dengan keluarganya yang kaya dengan alasan penyembuhan. Neneknya lah yang mengasuh Brian sejak dia duduk di bangku sekolah menengah.Kenyataan itu semakin membuat Nalen ketakutan setiap hari. Terlebih ia pernah memiliki masalah dengan laki-laki
Safiyya menatap kondisi Anna dari jendela kaca besar di sebuah kamar rumah sakit. Wanita itu masih terbaring lemah di ruang ICU setelah dua hari ini dirawat. Safiyya kembali mengingat perkataan dokter yang menangani Anna waktu itu. Sebuah kalimat yang membuat hatinya seakan ikut tersayat."Wanita ini telah mengalami pemerkosaan yang sangat parah. Sekujur tubuhnya mengalami luka memar akibat pukulan yang sangat keras. Organ vitalnya pun telah dihancurkan dengan cara paling tak manusiawi. Saya tak yakin dia akan sadar dalam waktu dekat setelah siksaan yang ia terima. Beruntung dia masih kuat pergi jauh ke rumah Anda untuk meminta pertolongan. Jiak tidak saya tak yakin dia mampu bertahan dalam waktu tiga hari saja dengan kondisinya yang seperti ini."Dada Safiyya sesak membayangkan apa yang menimpanya dulu harus dialami pula oleh Anna. Meski Anna begitu jahat padanya, tapi hati nuraninya sebagai sesama wanita yang pernah mengalami nasib tragis itu, benar-benar ikut merasa sakit. Butuh wa
Anna membanting pintu dengan keras begitu ia masuk ke dalam rumah. Tatapan matanya menyiratkan kebencian dan amarah. "Hah, Brengsek! Bisa-bisanya mereka mentertawakan aku seperti tadi. Awas saja kalian, tunggu pembalasanku." Napas Anna naik turun karena teriakan itu. Bukan saja marah karena lelucon sahabat Safiyya. Ia juga marah karena wanita itu akhirnya mengandung anak Nalen. Jika sudah begitu semuanya akan semakin sulit."HAAAAAH!" Terlalu kuat teriakan itu hingga membuat nafas Anna kembali naik turun. Merasa sudah tak sanggup lagi menghadapi kesedihan dan rasa putus asa, Anna jatuh terduduk lalu suara tangisnya mulai terdengar memenuhi rumah itu.Haruskah ia menyerah sekarang atau berjuang hingga titik darah penghabisan? Kenapa cinta Nalen begitu sulit untuk digapai? Mengapa perjuangannya tak pernah sedikitpun dilihat olehnya? Memikirkan semua itu, mata Anna tiba-tiba menggelap karena dendam. "Jika aku tak bisa memilikimu, maka kamu tak akan bisa menjadi milik orang lain," ujarnya
Safiyya melangkahkan kaki memasuki kantor dengan langkah ringan. Sepanjang jalan ia tiba-tiba merasa semua orang memperhatikan dirinya."Mereka semua kenapa, Mas?" tanya Safiyya heran sambil mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kantor. Dimana orang-orang tengah memperhatikan dirinya dan Nalen.Mendengar ucapan istrinya, Nalen pun tersenyum. "Mereka pasti sudah tahu berita bahagia tentang kamu."Safiyya menautkan Alis mendengar ucapan suaminya. Ia masih tak paham karena Safiyya memang sudah dua hari ini tak berangkat ke kantor. Nalen terus memaksanya istirahat. Bahkan hari ini juga Nalen ingin Safiyya keluar dari kantor demi kesehatan bayinya sekaligus menjaga dari kemungkinan terburuk. Nalen khawatir kalau Anna bisa saja merencanakan mencelakakan dia dan bayinya di kantor ini. Mempertimbangkan semua itu Safiyya pun akhirnya setuju. Dan hari ini dia akan berpamitan pada semua teman baiknya di sini."Selamat, Bu Safiyya, atas kehamilannya," ucap seorang karyawan yang berpapasan dengan
Safiyya keluar dari ruang dokter dengan perasaan tak menentu. Ia menatap lagi kertas putih yang ia bawa dan membaca setiap huruf bertuliskan kalimat 'positiv' dengan seksama. Senyum Safiyya merekah kala mengingat Nalen pasti akan sangat bahagia jika tahu bahwa ia kini tengah mengandung anaknya.Maira yang melihat tingkah aneh sang sahabat akhirnya ikut mendekat. Ia pun penasaran. "Gimana hasilnya, Saf? Apa kata dokter?" Maira sungguh penasaran.Safiyya menatap Maira sejenak sebelum menjawab pertanyaannya, senyumnya merekah. "Aku hamil, Mai. Aku hamil!" seru Safiyya bahagia. Ia langsung memeluk Maira antusias. Bahkan sangking bahagianya ia seolah tak peduli dengan tatapan aneh orang-orang di sana.Senyum Maira pun mengembang mendengar kabar itu. Ia ikut senang dengan kabar baik ini. "Selamat, Saf. Aku ikut bahagia mendengarnya. Nalen pasti seneng banget kalau tahu," ujar Maira tulus. Ia mengurai pelukan dan menatap Safiyya yang kini menitikan air mata karena terharu."Ayo kita pulang d
"Lepas, brengsek!" Anna berteriak pada beberapa orang yang coba menghajarnya ketika ia di jalan menuju rumah. Mereka terdiri dari dua orang laki laki dan dua perempuan.Mereka semua adalah teman-temannya yang hidup di jalanan dan bernasib kurang beruntung sepertinya. "Heh Anna, sekarang kau sombong sekali. Mentang-mentang bisa sekolah di tempat orang kaya!" Seru salah satu dari mereka. Sementara dua yang lain memegangi tangan wanita itu."Kalau kau ingin seperti aku, belajarlah agar otakmu bisa cerdas sepertiku, dasar sampah!" Balas Anna arogan.Mendengar hinaan itu, perempuan di depan Anna pun marah. Tanpa pikir dua kali mereka bergantian memukuli Anna. Ia sudah akan menyerah ketika sebuah suara tiba-tiba terdengar menginterupsi."Apa yang kalian lakukan!" seru suara itu mendekat. Kehadirannya membuat anak-anak itu pun ketakutan, lalu membubarkan diri.Nalen mengalihkan perhatian pada Anna yang sekarang kondisinya sudah babak belur. "Kau tak apa?" tanya Nalen sambil membantu Anna ber