Seorang laki-laki tampak tengah bersantai di sebuah kursi panjang dekat kolam renang. Menikmati deburan ombak yang tampak dari hotel tempat dia menghabiskan malam. Sesekali laki-laki itu menenggak wain dalam gelas. Tubuh kekarnya yang bertelanjang dada membuat para wanita di sekitar tak berkedip menatap. Ditambah kacamata hitam yang membingkai wajah tegasnya, semakin menambah kesan maskulin.
Beberapa saat kemudian ponsel di sampingnya bergetar. Tertera nama 'Tuan Aidan yaang terhormat' di layar. Dengan enggan Nalendra mengangkat panggilan itu."Kapan kamu ke Yogya? Sahabat Papa sudah menunggu kamu di sana."Nalen menarik napas kasar mendengar ucapan di seberang. "Aku sudah bilang pada Papa, kalau nggak sudi dijodohkan. Papa tahu aku nggak suka terikat.""Papa nggak mau tahu, sekarang juga kamu ke Yogya. Mau sampai kapan kamu keluyuran nggak jelas seperti itu demi hobi kamu! Umurmu sudah lebih dari cukup untuk berkeluarga, dan lagi Papa butuh bantuan untuk mengurus perusahaan." Aidan terdengar marah. Nada bicaranya sedikit meninggi.Nalen memutar mata jengah. Lagi-lagi masalah itu yang dibahas. Muak sekali rasanya."Tapi, Pa-""Kalau kamu nggak pulang, jangan harap Papa bersedia menyuntikkan dana lagi untuk Caffe kamu yang di Bali itu," Potong Aidan tegas.Nalen tak bisa berkata-kata lagi jika papanya sudah menyinggung soal usaha cafe miliknya di Bali. Cafe tersebut memang tak seberapa besar. Tapi, bagi Nalen Caffe itu menyimpan banyak kenangannya tentang mama.Seperti biasa, sambungan diputus sepihak. Aidan Akhtar, ayahnya. Adalah ayah paling egois. Dia benci sekali laki-laki itu lebih dari apa pun di dunia ini. Satu-satunya hal yang membuat Nalen bertahan dan terus menurut adalah Caffe kecil di pinggir danau itu. Sebab jika Nalen berani melawan perintah papa, semua yang dia miliki pasti akan berakhir dihancurkan. Bagi Aidan, hanya perlu menjentikan jari untuk menghancurkan Cafe itu. Sifat berkuasa Aidan memicu Nalen untuk jadi pemberontak. Terlebih setelah sang ayah membuat gadis itu pergi dari pengawasannya."Brengsek!" Nalen melempar gelas di meja kuat-kuat. Dentingan gelas pecah itu menimbulkan perhatian beberapa orang di sana."Sampai mati pun aku nggak akan sudi menuruit kemauannya." Nalen bergegas kembali ke kamarnya setelah meluapkan emosi.Setelah membersihkan diri dia menjatuhkan tubuh ke ranjang. Baru saja matanya hendak terpejam, sebuah notifikasi pesan terdengar, dengan enggan Nalen meraih benda persegi di atas nakas."Nomor nggak dikenal?" gumamnya. Lalu memilih duduk di tepi ranjang.0837 xxxx xxxxAssalamualaikum, Maaf mengganggu. Saya Maira, anaknya Om Hisam. Kata Om Aidan kamu mengajak saya ketemu di benteng vredeburg? Sebenarnya saya malas ketemu kamu. Tapi demi persahabatan Papa sama Om, saya bersedia. Nanti saya kirim foto saya.Nalen mendengkus membaca deretan huruf yang dikirim wanita bernama Maira."Percaya diri sekali dia." Nalen pun melempar ponselnya ke atas kasur tanpa berniat membalas. Dia memilih kembali menjatuhkan tubuhnya. Tapi, suara notifikasi pesan kembali terdengar.Awalnya Nalen tak berniat membuka nya. Tapi jika dipikir-pikir dia belum pernah melihat Maira. Dulu sekali dia memang pernah bertemu wanita yang akan dijodohkan dengannya, ketika usia mereka masih kecil. Dihinggapi rasa penasaran, Nalen akhirnya membuka pesan yang Maira kirim.Begitu di dalam layar memperlihatkan gambar seorang wanita yang tampak tak asing, tubuhnya kembali duduk dengan tegak. Dia berusaha menajamkan pengelihatan. Wanita di dalam foto memang mengenakan hijab. Tapi, Nalen tak akan pernah melupakan wajahnya. Wajah yang hampir setiap hari muncul dalam mimpi. Menghantuinya dalam bayang-bayang rasa bersalah. Rupanya, Takdir Tuhan benar ada. Penantian dan doanya ternyata dijawab Tuhan. Walau harus bersusah payah dan pergi ke penjuru negeri ini, Nalen tak pernah menyesalinya."Dia," gumam Nalen. Tanpa membuang waktu laki-laki bermata tajam itu langsung mendial nomor seseorang."Ali, tolong pesankan tiket pesawat untuk ke Yogya hari ini juga," perintah Nalen pada asisten ayahnya. Dia lantas bergegas membereskan semua barang. Dengan perasaan membuncah dia memanjatkan harapan tak berkesudahan, agar kali ini kehadirannya tak terlambat. Ia harap hidup gadis itu sudah berubah lebih baik meski tanpanya.***Safiyya menatap dirinya di dalam cermin. Gamis bermotif bunga dengan hijab pink yang dia kenakan, semakin membuatnya tampak cantik. Beberapa kali terdengar notifikasi pesan masuk dari ponsel yang diletakkan di atas nakas. Dibacanya seksama barisan pesan yang dikirim oleh Maira.Maira FirdausSaf, jangan sampai lupa. Laki-laki itu pakai kemeja denim dengan topi warna hitam. Dia bawa kamera di tangannya. Kata Papa tingginya kira-kira seratus delapan puluh lima centi. Lebih tinggi dari orang Indonesia kebanyakan pokoknya. Nih, nomernya kalau kamu bingung nyari. 0812 xxx xxx aku udah kirim foto kamu kemarin. Ingat, tugas kamu bikin dia ilfil biar bisa batalin perjodohan ini. Jadi, kamu nggak perlu berubah jadi sok jaim. Cukup jadi Safiyya yang urakan dan blak-blakan kek biasa. Bila perlu bikin dia nek sama kelakuan kamu.Safiyya mendengus membaca pesan itu. "Dipikir mau seleksi kerja kali, sampai nyebutin tinggi badan. Apa-apaan juga coba, pake kasih foto aku sembarangan. Kalau disantet gimana? Dasar," grutu Safiyya kesal. Sudah sejak semalam Maira tak hentinya merecoki wanita itu dengan pesan-pesannya. Jika bukan karena persahabatan mereka, ia benar-benar tak sudi melakukan ini semua.Iya bawel!Setelah membalas pesan Maira, Safiyya menyambar tas hitamnya di atas kursi, bergegas tanpa membuang waktu. Begitu ke luar, Halimah dan Gibran tengah sibuk membungkus keripik ubi yang nantinya akan disetor ke warung-warung."Loh, tumben, Fi. Hari libur kamu pergi?" tanya Halimah."Fiyya ada urusan sebentar, Bu. Assalamualaikum," Setelah mencium punggung tangan Halimah, Safiyya benar-benar pergi.Dari rumah Safiyya ke benteng Vredeburg hanya membutuhkan waktu sekitar tiga puluh menit. Wanita itu memilih berkeliling benteng sejenak, menikmati liburan yang membuat perasaannya jauh lebih baik. Mengingat dirinya jarang sekali hang out, bahkan di akhir pekan sekali pun. Biasanya Safiyya lebih sering menghabiskan waktu untuk latihan menyanyi. Saat hari libur nasional seperti ini, benteng Vredeburg selalu ramai dengan turis-turis yang datang.Museum Benteng Vredeburg merupakan salah satu museum yang terkenal di Yogya. Banyak wisatawan dari luar kota maupun turis asing yang berkunjung ke sini, begitu menginjakkan kaki di pintu masuk, langsung disambut halaman utama museum yang luas, bersih, dan asri. Tampak beberapa patung dan replika meriam yang menghiasi, juga bangku batu panjang untuk beristirahat.Safiyya menyapu pandangan berusaha mencari sosok yang Maira maksud. Tapi, sepertinya sedikit sulit mengingat hari ini cukup ramai orang berlalu-lalang."Orang berkemeja denim 'kan, banyak, gimana cara nemuin dia coba," gumam Safiyya kebingungan. Kepalanya terus dia gerakkan untuk memindai semua orang. Hingga sebuah tepukan lembut terasa di bahunya.Begitu memutar tubuh, Safiyya terpaku. Di hadapannya sekarang berdiri seorang laki-laki berwajah indo. Tubuh tingginya membuat Safiyya harus mendongkak untuk bisa menatap wajah itu dengan jelas. Sinar matahari yang mengintip dari balik siluetnya, seolah semakin memancarkan keindahan ciptaan Tuhan. Tampan, sangat-sangat tampan. Bahkan meski rambut dan penampilannya sedikit berantakan. Kemeja denim kusut yang dilapisi kaos hitam itu tak mengurangi karismanya. Meski berwajah indo, kulit kecoklatannya menandakan laki-laki ini adalah penggila traveling. Safiyya bahkan sampai ternganga. Dia tak habis pikir kenapa Maira menolak laki-laki sesempurna ini. Pikir wanita itu.Tapi, ada sesuatu yang aneh dalam tatapan mata tajamnya. Tatapan itu entah mengapa terlihat begitu sendu. Seolah tengah menahan rindu dan rasa sakit. Ah, apa yang aku pikirkan. Mana mungkin begitu? Batin Safiyya terus menerka."Hei, kenapa bengong?" Suara serak dan dalam itu membuyarkan angan Safiyya. Wanita itu otomatis mengerjapkan mata. Seolah mengakhiri imajinasinya tentang laki-laki bernetra coklat madu yang berdiri menjulang di depannya. Safiyya hanya sebatas dada Nalen."Saya Nalendra. Kamu Maira, kan? Panggil saja saya Nalen. Senang bisa bertemu kamu lagi." Nalen mengulurkan tangannya ke arah Safiyya."Hah?""Ah, maksud Saya, senang bisa bertemu kamu." Nalen merakat ucapannya yang terdengar sok akrab."I-iya saya Sa ... ah, Maira. Maira Firdaus. Senang bertemu Anda," ucap Safiyya membalas uluran tangan Nalen. Hampir saja dia juga keceplosan dan mengenalkan dirinya sebagai Safiyya.Nalen tersenyum samar melihat kegugupan Safiyya. Walau dia tahu wanita di depannya bukalah Maira, Nalen akan tetap berpura-pura tak tahu agar Safiyya tak lari dari nya. "Jangan bicara seformal itu. Santai saja, ayo kita masuk."Ajakan Nalen hanya dijawab anggukan samar Safiyya. Dengan gugup dia berjalan di samping laki-laki itu. Baru kali ini Safiyya merasakan jantungnya berdegup sangat kencang karena laki-laki.Memasuki ruang Diorama satu, mereka langsung disuguhi kisah mengenai Perang Diponegoro dan juga berisi kisah pembentukan organisasi-organisasi perjuangan seperti Budi Utomo, Muhammadiyah, dan Jong Java."Kata Papa kamu suka wisata sejarah," ucap Nalen memulai percakapan. Safiyya hanya menanggapi ucapan Nalen dengan anggukan kaku. Sejak kapan aku suka wisata sejarah. Ke tempat ini aja jarang. grutu Safiyya dalam hati. Hening lagi setelah itu. Baik Safiyya atau Nalen tak ada yang berniat membuka percakapan lagi.Setelah itu mereka berpindah lagi ke Diorama 2, Diorama di gedung kedua ini menggambarkan bagaimana perjuangan rakyat Indonesia, khususnya di Yogyakarta, dalam mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih. Ada juga diorama saat pejuang Indonesia melucuti para tentara Jepang, hingga kedatangan Soekarno dan tokoh besar lainnya ketika hijrah ke Yogya.Tidak hanya itu, Diorama 2 juga membahas proses pendirian Universitas Gadjah Mada."Pria membosankan," gumam Safiyya. Bersama laki-laki ini sehari saja sudah terasa benda mati. Apa lagi seumur hidup. Sepertinya Safiyya harus meralat kekagumannya pada laki-laki ini. Nalen memang tampan, tapi terlalu cuek. Wanita mana yang akan tahan. Bagaimana caranya membuat laki-laki ini ilfil? Sementara menatapnya pun enggan."Kamu bilang apa?" tanya Nalen tanpa mengalihkan perhatiannya pada diorama."Ah, nggak Pa-pa.""Aku ini manusia, bukan patung. Kalau dia mau sibuk dengan kamera itu silahkan aja. Mending keliling benteng sendirian," gumam Safiyya nyaris seperti bisikan. Wanita itu memutuskan pergi begitu saja tanpa pamit pada Nalen.Dia memilih memasuki ruang audio visual di mana di sana ada sebuah bioskop yang khusus memutar film-film perjuangan."Cukup menyenangkan," gumam Safiyya. Ketika film telah diputar setengah jalan, seseorang duduk di dekatnya. Wanita itu sedikit keget saat tahu orang tersebut adalah Nalen."Kenapa nggak bilang mau nonton ini?" Safiyya hanya diam. Dia tak memiliki niat untuk membalas pertanyaan itu. Bahkan hingga film selesai diputar tak ada dari mereka yang bersuara.Safiyya melangkah ke luar lebih dulu dari dalam bioskop, berjalan dengan cepat seolah enggan bersama Nalen."Aku bisa gila lama-lama bareng manusia kutub kayak dia. Nggak ada bedanya kencan atau bukan," gerutu Safiyya."Anda ngapain ngikutin saya. Saya mau pulang sendiri," ucap Safiyya kesal ketika Nalen terus menempel padanya."Biar saya antar."Safiyya mendengus mendengar tawaran bernada datar itu. Tanpa mendengar persetujuan Nalen dia memilih pergi. Di luar, Safiyya melihat beberapa anak kecil yang tengah bermain game perang. Wanita itu tersenyum lebar dan menghampiri mereka. Bermain game adalah hal paling menyenangkan di sini.Safiyya tak menyadari, bahwa dari kejauhan sepasang mata terus mengawasinya, dan sesekali mengarahkan jepretan kamera padanya saat wanita itu tertawa. Nalen menyunggingkan senyum samar saat melihat Safiyya terlihat bahagia."Setelah sekian lama, akhirnya aku bisa menemukanmu," gumam Nalen sembari menatap potret yang dia ambil."Sumpah, ya, ogah banget aku ketemu calon suami kamu lagi," gerutu Safiyya kesal. Wanita itu lantas memilih duduk di atas kasur setelah langkahnya mencapai kamar."Kenapa? Cerita dong. Dia gimana orangnya?" tanya Maira antusias dari ambang pintu. Setelah menutup pintu kamarnya rapat-rapat dia menyusul Safiyya duduk di ranjang.Hari ini Safiyya tengah berada di rumah Maira. Tepatnya di kamar nyaman milik sahabatnya. Kamar yang didominasi warna putih itu terlihat minimalis tapi elegan dan mewah. Tepat di depan ranjang ada nakas berbentuk persegi panjang berwarna putih untuk meletakan televisi, Ada sebuah kamar mandi minimalis yang menggunakan kaca transparan di beberapa sisi. Tepat di sebelah pintu kamar mandi ada meja rias dan lemari. Sementara di dekat sisi kepala ranjang terdapat ruangan khusus untuk seluruh koleksi fashion Maira.Sudah tak terhitung berapa kali Safiyya ke sini. Tapi tetap saja ia tak pernah berhenti mengagumi kamar tersebut.Semenjak Safiyya pulang dari benteng verd
Nalen menghentikan mobilnya di depan rumah bergaya minimalis. Rumah yang terletak dekat pusat kota Jogja itu memiliki bangunan bertingkat dua, dengan warna dominan abu-abu dan putih. Rumah ini adalah rumah pribadi keluarga Akhtar yang memang hanya dipakai ketika mereka ke Jogja. Meski jarang dikunjungi, keluarga Akhtar tetap menyewa orang untuk mengurus rumah itu jika sewaktu-waktu dia ke sini.Sejujurnya Nalen benci sekali berada di rumah tersebut. Rumah milik mendiang kakeknya itu adalah saksi bisu bagaimana hancurnya Nalen setelah kehilangan Alice, mantan kekasihnya. Juga saksi bagaimana dia harus menanggung beban rasa bersalah seumur hidup.Sambil memindai beberapa gambar yang dia ambil tadi, Nalen berjalan masuk tanpa mempedulikan Aidan yang kini sudah duduk di ruang tengah. Senyum samar sesekali tersungging di bibir Nalen saat mengingat pertemuannya dengan Safiyya tadi pagi. Begitu satu kakinya baru menaiki anak tangga pertama, teguran Aidan terdengar. Diam-diam sang ayah memper
Safiyya berjalan tak tentu arah. Wanita itu tengah bingung memikirkan cara mendapat uang untuk operasi ibu. Tak enak hati jika harus meminta tolong pada Maira lagi, dia akhirnya memutuskan mendatangi Bu Sinta. Tapi syarat yang diajukan Bu Sinta sangat berat untuk Safiyya lakukan kala itu."Saya akan membantu kamu, dengan satu syarat," ujar Bu Sinta. Ada jeda sejenak, wanita bertubuh gemuk itu menanti respon dari lawan bicaranya yang masih diam. "Kamu sanggup?" sambung Bu Sinta."Saya harus tahu dulu syaratnya apa."Bu Sinta tersenyum culas, kemudian menghampiri Safiyya, lalu membelai wajah cantik wanita itu dengan gerakan seringan kapas. Seolah tengah mengagumi sebuah karya Tuhan."Buka hijab kamu, dan datang besok ke club biasa. Ada seseorang yang harus kamu temui."Safiyya terdiam mendengar syarat yang diajukan Bu Sinta. Hatinya kembali dilanda kebimbangan. Satu sisi dia tak memiliki banyak waktu lagi. Disisi lain dia tak bisa menerima jika harus kembali ke masa lalu."Bagaimana?" u
"Bodoh, pastikan bahwa dia tak akan kabur! Orang ku sudah menunggunya di sana. Aku tak mau tahu, kalau sampai rencana ini gagal aku tak akan segan-segan melaporkanmu ke polisi." Laki-laki itu menutup panggilan sepihak setelah memperingatkan seseorang di seberang sana. Wajahnya mengeras menahan amarah."Dasar brengsek!" makinya kemudian sambil melempar ponsel dengan kasar. Tindakannya pun tak ayal menimbulkan suara gaduh di apartemen itu.Mendengar keributan tersebut seorang wanita cantik tergopoh-gopoh datang. "Apa yang terjadi?"Pertanyaan si wanita semakin membuat laki-laki bertubuh tinggi dengan sedikit jambang, jengkel dan frustasi. Dengan wajah penuh amarah ia menatap wanita cantik di depannya."Si brengsek itu hampir saja mengacaukan rencana kita. Berani-beraninya dia …," Laki-laki tersebut menggantung kalimat, seakan tak bisa berkata-kata lagi. Rasa bencinya pada Nalen yang sudah mengakar kuat di hati seolah sudah tak bisa dibendung."Apa maksudmu Nalen?" Wanita di sampingnya m
Jam satu lebih, mobil sedan hitam berhenti tepat di depan rumah Safiyya. Wanita cantik itu tak langsung masuk ke rumah, dia mengajak bicara orang di dalam mobil terlebih dulu. Tak lain adalah pelanggan Bu Sinta."See you tomorrow weekend. Don't forget your promise to accompany me again."Safiyya membalas ucapan laki-laki itu dengan anggukan. Ia tak berminat sama sekali memperpanjang obrolan itu. Kemudian mobil sedan di hadapannya melesat pergi. Baru hendak melangkah masuk dia dikagetkan dengan sebuah suara yang berasal dari teras rumah.Maira berlari kecil menghampiri Safiyya, seolah dia sudah menunggu kehadirannya cukup lama. "Kamu dari mana aja? Kenapa kamu pakai pakaian kayak gini, Saf? Apa yang terjadi? Kenapa kamu nggak bilang kalau Ibu masuk RS?"Safiyya tak menjawab pertanyaan beruntun Maira. Dia lebih memilih masuk ke rumah, mengabaikan wanita cantik di belakangnya yang terus merecoki dengan pertanyaan bertubi-tubi."Saf, jawab dong pertanyaan aku! Kenapa kamu jadi kayak gini?
Safiyya melangkahkan kaki menyusuri koridor rumah sakit. Wanita berhijab itu terlihat cantik dalam balutan blus berwarna pink, berpadu celana kulot hitam. Pagi ini sebelum bekerja Safiyya memutuskan terlebih dulu menemui ibunya untuk memastikan kondisi Halimah sudah jauh lebih baik atau belum. Pasalnya akhir-akhir ini ia sibuk di kantor dan jarang bisa menemani sang ibu selama dua puluh empat jam."Ass-" Ucapannya terhenti begitu ia membuka tirai, dan mendapati laki-laki yang paling dihindarinya setengah mati kini duduk di samping ranjang Halimah. Tiga orang di sana tengah asyik mengobrol. Nalen bahkan terlihat akrab dengan ibu dan Gibran.Safiyya mendekat meski ragu. Ia meletakan kantong plastik berisi makanan ke atas nakas. "Anda kenapa di sini?" Safiyya bertanya tanpa melepas perhatiannya pada makanan yang tengah ia keluarkan.Nalen bangkit dan menyunggingkan senyum ke arah Safiyya "Saya kebetulan ada keperluan di sekitar sini, jadi sekalian mampir. Ada hal penting juga yang ingi
Suara percikan air terdengar dari kamar mandi rumah Safiyya. Mengalir tanpa henti ke sekujur tubuh kuyu itu. Safiyya meringkuk seperti bayi dalam kandungan dengan baju masih membalut tubuhnya. Sudah seharian lebih dia berada di sana tanpa berniat menyudahi aktivitasnya. Benar, bahwa Safiyya memang berpikir lebih baik mati saja.Tangannya terus menggosok kasar sisa-sisa sentuhan biadab itu. Seolah dengan begitu dia bisa menghapus noda yang telah ditinggalkan. Noda yang mungkin tak akan pernah hilang selamanya."Kotor ...." Bibir pucatnya mengucapkan kalimat itu tanpa henti. Wajahnya nyaris tanpa ekspresi, bahkan ketika gesekan-gesekan yang ia lakukan mulai menimbulkan rasa nyeri, Safiyya tetap tak peduli. Baginya rasa perih itu tak sebanding dengan apa yang telah hilang darinya.Tak banyak yang tahu, meski Safiyya seorang biduan, ia berusaha keras untuk melindungi kehormatannya. Tapi segala bentuk perlindungan yang ia usahakan selama ini sudah berakhir sia-sia. Harusnya ia menuruti per
Safiyya masih bergeliat di dalam selimut siang ini. Sudah satu minggu setelah ibunya meninggal, dan selama itu pula ia seakan tak memiliki tenaga untuk melakukan apa pun. Bahkan hingga acara tahlil yang digelar selesai, wanita itu tak pernah keluar dari kamar. Jika saja Safiyya tak ingat masih ada Gibran yang membutuhkan keberadaannya, ia pasti lebih memilih menyusul ibu.Bulir bening meluncur dari pipi wanita itu ketika bayang-bayang ibu menari dalam ingatan, mengirim beribu penyesalan yang tak berkesudahan. berganti dengan kejadian pilu yang dialaminya.Andaikan waktu itu ia tak begitu saja mempercayai Mr. Harry, andaikan waktu itu ia memilih pulang lebih awal, semua kemalangan ini pasti tak akan pernah terjadi. Yang Safiyya sesali adalah kenyataan ia tak bisa berada di sisi ibu bahkan di saat terakhirnya.Safiyya kembali menarik selimut, wanita itu merapatkan tubuh, dan meringkuk seperti bayi dengan bulir bening terus meluncur dari matanya. Dadanya sesak sekali. Tubuhnya kuyu, tak
Tiga bulan berlalu dari semua kekacauan hidup yang Safiyya alami. Wanita itu kini tengah menikmati kebahagiaan berlimpah. Terlebih keadaan Nalen pulih dengan cepat setelah melakukan banyak terapi. Kini keduanya tengah berbahagia untuk menanti kelahiran buah hati. Usia kandungan Safiyya kini sudah berusia enam bulan.Safiyya menatap pantulan dirinya di dalam cermin. Gaun putih brokat dengan detail payet nan mewah bermodel mengembang, membalut tubuh Safiyya dengan pas. Hijab putihnya dipercantik dengan mahkota kecil di atas kepala. Penampilannya hari ini sungguh sangat menakjubkan.Safiyya tersenyum lebar lalu menarik nafas untuk menghilangkan kegugupan, mengingat hari ini acar resepsi pernikahannya akan segera digelar. Keduanya memang sepakat untuk mengundur rencana peresmian pernikahan mereka sampai Nalen benar-benar pulih. Seperti rencana terakhir kemarin, acara itu benar-benar digelar di Bali. Tepatnya di belakang cafe Nalen dengan latar danau Baratan dan pure-pure nan megah."Sayan
Safiyya menatap gundukan tanah merah di depannya dengan perasaan tak menentu. Di sampingnya Maira terus menenangkan wanita itu yang tampak sudah kelelahan. Pemakaman tersebut hanya dihadiri beberapa rekan kantor dan orang-orang yang kenal baik dengan Anna. Sedangkan Brian dikuburkan di samping makam Anna. Keduanyya meninggal dalam waktu bersamaan. Meski dengan kematian keduanya kasus kecelakaan Alice akhirnya tak diusut, Safiyya tetap merasa bersyukur. Mungkin ini yang terbaik menurut Allah.Ya, hari ini Safiyya tengah berada di depan makam Anna dan Brian untuk mengantarkan mereka ke peristirahatan terakhir. Setelah perjuangan Anna selama beberapa hari, wanita itu akhirnya menyerah.Bersamaan dengan itu, Nalen juga dirawat di ruang ICU. Suaminya masih belum bangun hingga detik ini setelah menjalani oprasi."Ayo kita pulang. Anna sudah tenang di alam sana bersama Brian," ujar Maira sambil menuntun Safiyya menjauh dari pemakaman.Safiyya tak banyak bicara, sejak semua kejadian itu ia me
Safiyya terbangun subuh hari karena suara putrinya yang memanggil. Gadis kecil itu naik ke kasur empuk dimana di sana ada ibunya yang masih terlelap."Bunda, Papa pergi." Tiba-tiba Nafis berkata seperti itu sambil mengguncang tubuh Safiyya. Mendengar ucapan putri nya, Safiyya reflek bangun, ia mendapati tempat tidur di sampingnya sudah kosong. Wanita itu menundukkan kepala karena sedih. Firasatnya ternyata benar, Nalen pergi setelah mengucap salam perpisahan padanya semalam."Permisi, Bu."Bu Anni menginterupsi obrolan Safiyya dan putrinya, lalu masuk ke kamar. "Ada apa, Bu Ani?" tanya Safiyya dengan nada lemah, wajahnya terlihat pucat dan sembab karena terus menangis sejak malam tadi."Pak Nalen semalam menitipkan ini pada saya. Dia bilang maaf karena pergi dengan cara diam-diam. Beliau nggak mau melihat Ibu sedih dan menangis lagi." Bu Ani lalu menyodorkan sebuah surat pada Safiyya."Ibu tolong bawa Nafis keluar dulu, ya."Bu Ani pun mengangguk lalu membawa gadis kecil itu keluar ka
Seperti rencana kemarin, hari ini Nalen dan keluarga kecilnya berangkat lebih dulu ke Bali. Ia berusaha melakukan yang terbaik untuk melindungi keluarganya. Bukan tanpa alasan mengapa Nalen merasa khawatir dengan belum tertangkapnya Brian.Mark mengatakan pada Nalen beberapa minggu lalu, bahwa Brian pernah memiliki catatan buruk masalah kesehatan mental yang dia derita. Laki-laki itu meski lahir dari keluarga kaya, tapi keluarganya terlalu misterius untuk ditelusuri. Kemungkinan alasan Brian tinggal bersama neneknya di Australia, adalah karena latar belakang keluarganya.Mark hanya bisa membantu Nalen untuk menyelidiki sebatas itu. Dia bilang terlalu berisoko menelusuri lebih jauh keluarga Brian. Sebab Brian sudah lama memilih tinggal terpisah dengan keluarganya yang kaya dengan alasan penyembuhan. Neneknya lah yang mengasuh Brian sejak dia duduk di bangku sekolah menengah.Kenyataan itu semakin membuat Nalen ketakutan setiap hari. Terlebih ia pernah memiliki masalah dengan laki-laki
Safiyya menatap kondisi Anna dari jendela kaca besar di sebuah kamar rumah sakit. Wanita itu masih terbaring lemah di ruang ICU setelah dua hari ini dirawat. Safiyya kembali mengingat perkataan dokter yang menangani Anna waktu itu. Sebuah kalimat yang membuat hatinya seakan ikut tersayat."Wanita ini telah mengalami pemerkosaan yang sangat parah. Sekujur tubuhnya mengalami luka memar akibat pukulan yang sangat keras. Organ vitalnya pun telah dihancurkan dengan cara paling tak manusiawi. Saya tak yakin dia akan sadar dalam waktu dekat setelah siksaan yang ia terima. Beruntung dia masih kuat pergi jauh ke rumah Anda untuk meminta pertolongan. Jiak tidak saya tak yakin dia mampu bertahan dalam waktu tiga hari saja dengan kondisinya yang seperti ini."Dada Safiyya sesak membayangkan apa yang menimpanya dulu harus dialami pula oleh Anna. Meski Anna begitu jahat padanya, tapi hati nuraninya sebagai sesama wanita yang pernah mengalami nasib tragis itu, benar-benar ikut merasa sakit. Butuh wa
Anna membanting pintu dengan keras begitu ia masuk ke dalam rumah. Tatapan matanya menyiratkan kebencian dan amarah. "Hah, Brengsek! Bisa-bisanya mereka mentertawakan aku seperti tadi. Awas saja kalian, tunggu pembalasanku." Napas Anna naik turun karena teriakan itu. Bukan saja marah karena lelucon sahabat Safiyya. Ia juga marah karena wanita itu akhirnya mengandung anak Nalen. Jika sudah begitu semuanya akan semakin sulit."HAAAAAH!" Terlalu kuat teriakan itu hingga membuat nafas Anna kembali naik turun. Merasa sudah tak sanggup lagi menghadapi kesedihan dan rasa putus asa, Anna jatuh terduduk lalu suara tangisnya mulai terdengar memenuhi rumah itu.Haruskah ia menyerah sekarang atau berjuang hingga titik darah penghabisan? Kenapa cinta Nalen begitu sulit untuk digapai? Mengapa perjuangannya tak pernah sedikitpun dilihat olehnya? Memikirkan semua itu, mata Anna tiba-tiba menggelap karena dendam. "Jika aku tak bisa memilikimu, maka kamu tak akan bisa menjadi milik orang lain," ujarnya
Safiyya melangkahkan kaki memasuki kantor dengan langkah ringan. Sepanjang jalan ia tiba-tiba merasa semua orang memperhatikan dirinya."Mereka semua kenapa, Mas?" tanya Safiyya heran sambil mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kantor. Dimana orang-orang tengah memperhatikan dirinya dan Nalen.Mendengar ucapan istrinya, Nalen pun tersenyum. "Mereka pasti sudah tahu berita bahagia tentang kamu."Safiyya menautkan Alis mendengar ucapan suaminya. Ia masih tak paham karena Safiyya memang sudah dua hari ini tak berangkat ke kantor. Nalen terus memaksanya istirahat. Bahkan hari ini juga Nalen ingin Safiyya keluar dari kantor demi kesehatan bayinya sekaligus menjaga dari kemungkinan terburuk. Nalen khawatir kalau Anna bisa saja merencanakan mencelakakan dia dan bayinya di kantor ini. Mempertimbangkan semua itu Safiyya pun akhirnya setuju. Dan hari ini dia akan berpamitan pada semua teman baiknya di sini."Selamat, Bu Safiyya, atas kehamilannya," ucap seorang karyawan yang berpapasan dengan
Safiyya keluar dari ruang dokter dengan perasaan tak menentu. Ia menatap lagi kertas putih yang ia bawa dan membaca setiap huruf bertuliskan kalimat 'positiv' dengan seksama. Senyum Safiyya merekah kala mengingat Nalen pasti akan sangat bahagia jika tahu bahwa ia kini tengah mengandung anaknya.Maira yang melihat tingkah aneh sang sahabat akhirnya ikut mendekat. Ia pun penasaran. "Gimana hasilnya, Saf? Apa kata dokter?" Maira sungguh penasaran.Safiyya menatap Maira sejenak sebelum menjawab pertanyaannya, senyumnya merekah. "Aku hamil, Mai. Aku hamil!" seru Safiyya bahagia. Ia langsung memeluk Maira antusias. Bahkan sangking bahagianya ia seolah tak peduli dengan tatapan aneh orang-orang di sana.Senyum Maira pun mengembang mendengar kabar itu. Ia ikut senang dengan kabar baik ini. "Selamat, Saf. Aku ikut bahagia mendengarnya. Nalen pasti seneng banget kalau tahu," ujar Maira tulus. Ia mengurai pelukan dan menatap Safiyya yang kini menitikan air mata karena terharu."Ayo kita pulang d
"Lepas, brengsek!" Anna berteriak pada beberapa orang yang coba menghajarnya ketika ia di jalan menuju rumah. Mereka terdiri dari dua orang laki laki dan dua perempuan.Mereka semua adalah teman-temannya yang hidup di jalanan dan bernasib kurang beruntung sepertinya. "Heh Anna, sekarang kau sombong sekali. Mentang-mentang bisa sekolah di tempat orang kaya!" Seru salah satu dari mereka. Sementara dua yang lain memegangi tangan wanita itu."Kalau kau ingin seperti aku, belajarlah agar otakmu bisa cerdas sepertiku, dasar sampah!" Balas Anna arogan.Mendengar hinaan itu, perempuan di depan Anna pun marah. Tanpa pikir dua kali mereka bergantian memukuli Anna. Ia sudah akan menyerah ketika sebuah suara tiba-tiba terdengar menginterupsi."Apa yang kalian lakukan!" seru suara itu mendekat. Kehadirannya membuat anak-anak itu pun ketakutan, lalu membubarkan diri.Nalen mengalihkan perhatian pada Anna yang sekarang kondisinya sudah babak belur. "Kau tak apa?" tanya Nalen sambil membantu Anna ber