"Farhan, kita tidak bisa terus seperti ini," kata Suci, suaranya bergetar meski penuh tekad. Mereka berdiri di tengah ruangan gelap yang penuh dengan debu dan kegelapan, menatap buku-buku kuno dan artefak yang tersimpan di rak-rak kayu tua. "Kita harus tahu lebih banyak tentang ritual gelap yang berhubungan dengan Arman. Hanya dengan cara itu kita bisa mengakhirinya."
Farhan mengangguk, wajahnya tampak lelah dan penuh luka. "Setuju. Tapi kita harus berhati-hati. Setiap langkah kita tampaknya semakin memperburuk situasi."Mereka memulai pencarian di perpustakaan tua yang dilindungi oleh jaring laba-laba tebal dan lampu-lampu redup yang hampir tidak menerangi ruangan. Rak-rak kayu yang berderit di bawah berat buku-buku kuno ini memancarkan suasana yang dingin dan menekan. Suci membuka sebuah buku tua yang penuh debu, dan tampaknya berisi catatan dan gambar-gambar kuno tentang ritual-ritual gelap."Ini dia," kata Suci, menunjuk pada gambar-gambar simbolSuci dan Farhan berjalan perlahan di bawah cahaya bulan purnama yang terang, bayangan mereka sendiri memanjang di tanah di depan mereka. Ketegangan menyelimuti udara, dan setiap langkah yang mereka ambil terasa semakin berat. Setelah apa yang mereka hadapi di ruang rahasia itu, mereka tahu bahwa pertarungan belum selesai. Kegelapan yang mereka rasakan kini seolah menebal di sekitar mereka, seakan bayangan yang pernah mereka kalahkan hanya menunggu kesempatan untuk bangkit kembali."Farhan, ada sesuatu yang tidak beres," bisik Suci, matanya terfokus pada lingkungan sekitar yang tiba-tiba terasa asing. Bayangan pepohonan yang semula biasa, kini tampak hidup, bergerak-gerak perlahan seiring dengan hembusan angin."Kita harus tetap waspada," jawab Farhan dengan nada rendah namun tegas. Ia merasakan hal yang sama—bahwa ada sesuatu yang mengintai mereka, sesuatu yang lebih berbahaya dari sebelumnya.Saat mereka terus berjalan, tanpa sadar langkah mereka membawa
“Farhan, lihat!” seru Suci, suaranya bergema di malam yang sunyi. “Ada jejak darah di sini!”Di bawah cahaya lampu senter yang bergetar, jejak-jejak itu terlihat jelas di tanah basah. Setiap jejak berwarna merah gelap, memudar seiring berjalannya waktu, seakan ada sesuatu yang telah terluka parah dan berusaha kabur. Suci menunduk, memeriksa jejak yang membentang di depan mereka, sementara Farhan berdiri di sampingnya, matanya berkeliling dengan waspada.“Jejak ini mengarah ke dalam hutan,” kata Farhan, menunjukkan arah dengan telunjuknya. “Kita harus mengikuti ini. Mungkin ini akan membawa kita ke pusat kekuatan bayangan.”Mereka melanjutkan perjalanan, jejak darah semakin jelas terlihat saat mereka mendekat. Jejaknya semakin luas dan menyebar, dengan bercak-bercak merah yang membekas di tanah. Kadang-kadang, jejak darah tampak mengalir dari satu tempat ke tempat lainnya, seolah ada sesuatu yang sangat besar dan berbahaya yang bergerak melalui hutan ini.
"Farhan, ada sesuatu yang tidak beres...," bisik Suci dengan suara gemetar. Mereka berdiri di tengah ruangan yang dingin dan sunyi, hanya diterangi oleh cahaya remang-remang yang merembes dari jendela tua yang retak. Bekas jejak darah yang mereka ikuti masih segar di ingatan mereka, mengarah ke tempat yang penuh dengan misteri dan bahaya."Aku tahu, Suci. Tapi kita harus terus maju. Ada sesuatu di sini yang harus kita temukan," jawab Farhan dengan nada yang berusaha menenangkan, meskipun di dalam hatinya dia juga merasakan ketakutan yang sama. Langkah mereka terhenti di depan sebuah pintu besar yang terbuat dari kayu jati yang sudah usang. Ukiran kuno yang penuh dengan simbol-simbol aneh tampak jelas di permukaannya, seolah-olah pintu itu menjadi penjaga rahasia yang telah lama terkubur. Namun, yang paling mengganggu mereka adalah jejak darah yang mengarah tepat ke pintu itu. Dengan hati-hati, Farhan menyentuh pegangan pintu, dan pada saat yang sama, Suc
Suara gemuruh bergema di sepanjang lorong sempit yang baru saja mereka lewati. Napas Suci terengah-engah, menyelaraskan dirinya dengan denyut nadi yang berdebar kencang. "Apa yang sebenarnya kita hadapi di sini?" bisiknya, mata terfokus ke bayangan yang berkelindan di sekitarnya. Farhan menatapnya dengan cemas, namun ia tak tahu harus berkata apa. Kegelapan yang sebelumnya mereka hadapi telah berubah menjadi sesuatu yang lebih jahat, lebih nyata.Sebuah desisan tajam terdengar, membuat Suci dan Farhan serentak memutar tubuh ke arah suara itu. Dari sudut ruangan yang tertutup debu, makhluk itu muncul. Tinggi, besar, dan bertanduk dengan mata yang memancarkan kemarahan tak terbendung. Bayangan di sekitarnya seakan-akan bergerak mengikuti irama napasnya, seolah mereka hidup dalam dendam yang membara.Makhluk itu bukan sekadar entitas dari dunia lain—ia adalah wujud dari rasa sakit dan dendam yang tertanam dalam. "Mereka menghancurkan hidupku... dan sekarang kalian aka
"Farhan, aku tidak bisa percaya ini... semua ini ada hubungannya dengan... kita," Suci terengah-engah, suaranya penuh ketegangan saat mencoba menyusun kembali semua potongan teka-teki yang mereka temukan.Farhan menatap simbol-simbol yang tertulis di buku kuno yang mereka temukan di reruntuhan gua. Cahaya senter yang redup membuat bayangan di wajahnya tampak lebih gelap, menambah kesuraman situasi. "Tidak mungkin, Suci. Jika ini benar, maka kita sudah terlambat."Mereka berdua berdiri di tengah ruangan kecil yang penuh dengan ukiran aneh. Simbol-simbol itu tak lagi tampak hanya sebagai hiasan kuno yang terlupakan, melainkan sebuah skenario mengerikan yang tengah terbentang di hadapan mereka. Udara dingin mulai memenuhi ruangan, membuat tubuh Suci merinding."Terlambat untuk apa?" Suci bertanya, meski dalam hatinya ia sudah tahu jawabannya.Mereka berdua kini dihadapkan pada kenyataan yang tak terhindarkan: bayangan jahat yang mengejar mereka sel
"Farhan... bangun! Kau tidak boleh menyerah sekarang!" Suci berteriak panik, mengguncang tubuh Farhan yang tergeletak di lantai batu dingin. Luka di dadanya yang dalam mengucurkan darah yang tidak berhenti mengalir, dan wajahnya memucat. Makhluk bayangan yang mereka hadapi telah pergi, namun rasa takut yang membelenggu belum juga sirna.Farhan mengerang pelan, matanya setengah terbuka, tapi tatapannya kosong. "Suci... aku... aku tidak bisa bergerak," katanya terputus-putus, suaranya lemah, seperti napas terakhir seorang prajurit yang kalah di medan perang.Suci menggigit bibirnya, menahan air mata. "Kita sudah sejauh ini, kau tidak boleh mati!" Suaranya pecah. Di sekeliling mereka, bayangan gelap masih menyelimuti, seolah menanti saat yang tepat untuk melancarkan serangan berikutnya.Mereka berada di ruangan besar yang gelap, dindingnya dipenuhi ukiran-ukiran kuno yang tampak semakin jelas dalam cahaya redup lentera yang mulai meredup. Ruangan ini adalah p
“Farhan, lihat!” Suci berteriak dengan suara yang bergetar. Tangannya menunjuk ke arah dinding yang tampak berbeda dari sisa ruangan. Dinding tersebut memiliki tekstur dan warna yang sedikit berbeda dari yang lainnya. Garis-garis halus membentuk pola misterius di bawah cahaya lentera mereka.Farhan, meski lelah dan hampir kehilangan tenaga, menatap dinding dengan saksama. “Ini berbeda,” katanya sambil mengusap matanya yang berat. “Ini pasti penting.”Suci mengangguk dengan penuh tekad. “Kita harus mencari tahu apa yang ada di balik dinding ini. Bisa jadi ini adalah kunci untuk mengalahkan bayangan.”Mereka berdua mendekati dinding dengan hati-hati. Suci memeriksa setiap inci, mencoba menemukan sambungan atau mekanisme tersembunyi. Dinding itu tampaknya lebih tebal dari yang mereka duga, dan tidak ada tanda-tanda bahwa itu bisa digeser atau dibuka dengan mudah.“Periksa sudut-sudutnya,” saran Farhan. “Mungkin ada sesuatu yang kita lewatkan.”
“Apakah kamu mendengarnya?” tanya Suci, suaranya bergetar saat dia menoleh ke Farhan. Mereka berdiri di tengah ruangan yang gelap, dikelilingi oleh bayangan yang tampak semakin intens dan menakutkan.Farhan menatap ke sekitar, wajahnya dipenuhi kekhawatiran. “Ya, aku juga mendengarnya. Suara-suara bisikan itu—sepertinya datang dari semua arah.”Suci memfokuskan pendengarannya, mencoba menangkap kata-kata yang samar itu. Suara-suara itu terdengar seperti desisan lembut, bercampur dengan gema yang tidak bisa mereka tempatkan. “Bisikan itu aneh. Mereka seperti... memanggil kita, tapi juga menyuruh kita pergi.”Farhan mengerutkan dahi, mencoba mengidentifikasi sumber suara. “Bisikan-bisikan ini tampaknya memiliki kekuatan untuk mempengaruhi pikiran kita. Kita harus tetap tenang dan tidak membiarkan mereka mengacaukan konsentrasi kita.”“Bagaimana kita bisa melawan ini?” tanya Suci, merapatkan jaketnya lebih erat. “Kita sudah menghadapi berbagai macam