Nur hanya tersenyum, sorot matanya menggambarkan perasaaan penasaran yang dalam.
"Nur, kau tahu sesuatu tentang Bulan?" tanyaku padanya.Nur terdiam, dia melihat sekeliling kamarku. Sepertinya dia takut akan terdengar oleh Bi Sari dan Mbah Atmo.Nur berbisik pelan, "Aku tidak kenal, tapi aku tahu cerita tentang Kak Bulan dari orangtuaku."Nur kembali duduk di sampingku, dia mulai menarik selimut dan memasukinya perlahan.
"Saat Kak Bulan meninggal, aku masih berusia lima tahun. Jadi, aku belum mengerti. Tapi, konon katanya, Kak Bulan meninggal karena di guna-guna," Nur berdigik. "Apa Kak Aldi mau aku antarkan ke makam Kak Bulan?"Aku merasa itu ide yang bagus, aku masih belum menemukan jawaban yang pasti dari Mbah Atmo tentang Bulan. Kali ini, aku bertekad untuk menemui Bulan sendiri.***Keesokan harinya, Mbah Atmo pamit pergi ke kota. Beliau dan beberapa petani berencana menjual hasil bumi yang mereka miliki. Walaupun hasil panen tidak sebenyak tahun kemarin, tapi bagi mereka, ini sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka beberapa bulan ke depan.Setelah Mbah Atmo pergi, aku dan Nur juga pamit pada Bi Sari. Kami berdalih ingin berjalan-jalan melihat-lihat desa ini. Maklum saja, sudah seminggu lebih aku berada di sini, belum pernah sekali pun aku pergi jauh dari rumah. Lalu, setelah mendapatkan izin dari Bi Sari, aku dan Nur bergegas pergi.
Saat melewati rumah tua yang tampak tak berpenghuni. Aku teringat seorang kakek yang sedang menyalakan tungku api tempo hari di halaman rumah ini."Nur, ini rumah siapa?" tanyaku penasaran."Ini rumah kosong, Kak. Konon katanya, rumah ini dulunya milik seorang dukun terkenal bernama Ki Demang. Beliau sudah lama meninggal. Katanya, Ki Demang ini sering bergentayangan, karena dia meninggal secara tidak wajar," jawab Nur seraya mendekat ke tubuhku. Astaga! Aku terkejut setelah mendengar cerita dari Nur, merinding rasanya ketika tahu bahwa kakek tua yang kutemui itu sudah meninggal.Tiba-tiba sudut mataku menangkap sebuah penampakkan seseorang yang mengintip di balik jendela rumah itu. Sosok itu adalah kakek yang aku temui tempo hari. Lagi-lagi kakek itu tersenyum menyeringai padaku.Aku tak berani berlama-lama melihat rumah itu, segera kulangkahkan kakiku menjauh."Nur, ayo cepat!" pintaku pada Nur sambil menarik tangannya dengan paksa.Setelah jarak kami lumayan jauh dari rumah itu, aku merasa lega. Kami mulai berjalan menjauh dari desa, melewati beberapa pohon besar yang tumbuh di sepanjang jalan menuju makam. Saat melewati sebuah kebun bambu yang rindang, aku dan Nur harus terus berjalan di jalan setapak menuju pemakaman umum warga."Aldi ...." Suara Nur dari belakangku."Apa?" jawabku spontan."Aldi ...." Nur terus memanggil namaku."Apa, Nur?" jawabku tanpa menoleh.Setelah dipikir-pikir, kenapa Nur memanggilku dengan namaku? Biasanya dia memanggilku kakak? Aneh sekali, pikirku. Aku segera menoleh ke belakang. Tapi, Nur tak ada di sana.Aku melihat ke sana ke mari mencari keberadaan Nur. Tiba-tiba, dari arah belakangku terdengar suara derap langkah kaki yang menginjak daun kering.Sruk ... sruk ... sruk ...Suara kaki yang seperti di seret itu semakin mendekat.Pluk!Punggungku terasa berat, seperti ada yang bergelayutan di sana. Aku tak dapat menoleh, tubuhku gemetar hebat. Tapi, saat ini aku tak dapat menggerakkan tubuhku."Hihihi ...." Suara tertawa terdengar nyaring.Telingaku kembali berdengung, rasa sakit di kepalaku kembali datang saat mendengar tawa yang begitu nyaring terdengar dari belakang kepalaku.
"Aldi, apa kau takut padaku?" tanya suara itu."Nana?"Nana segera turun dari pundakku dan berdiri di hadapanku. Sekarang Nana berada di dalam tubuh Nur."Kenapa kau ada di sana? Cepat keluar!" ucapku pada Nana.
"Tidak mau! Jika aku di sini, aku bisa menyentuh Aldi kapan pun aku mau." Wajah Nana terlihat sumringah, mata bulat yang bersinar itu sangat cantik. Sayang sekali Nana tak berada di dunia ini. Kalau saja Nana masih hidup, tentu dia akan tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik.
"Aldi, kau mau ke mana?" tanya Nana lagi.Entah sejak kapan, aku mulai terbiasa dengan kehadiran Nana di sampingku."Aku akan menemui seseorang," jawabku."Siapa? Kenapa Aldi tak main saja denganku?" ajak Nana."Tidak bisa, dunia kita berbeda. Nana seharusnya tidak di sini."Nana terlihat murung, wajahnya seketika berubah menyeramkan. Aku tersentak, Nana membuatku kembali bergidik saat memperlihatkan wujud aslinya."Nana, maksudku, apa tidak apa-apa berada di tubuh orang lain?"Nana menggeleng. Dia kemudian berbisik, "Asalkan dengan Aldi, tidak apa-apa. Hihihi ...." Tawanya yang khas tak membuatku terbiasa mendengarnya. Aku tetap saja merinding."Keluarlah dari tubuh Nur, kasihan dia. Nur bisa terluka." Aku mencoba membujuk Nana, aku tak tahu apa yang akan terjadi pada Nur jika Nana berada dalam tubuhnya terlalu lama."Oh, jadi namanya Nur," ucap Nana sambil mengernyitkan matanya. "Aku tak suka padanya. Dia selalu mendekati Aldi. Aldi, kan teman Nana," ucap Nana lagi."Tidak begitu, Nur sangat baik pada Aldi. Nur itu teman Aldi. Jadi, Nana juga boleh menganggap Nur sebagai teman Nana, seperti Aldi."
Nana mulai menggangguk walau masih terlihat kesal.
"Aldi, kenapa kau jadi tumbuh besar, kenapa Nana tidak?" tanya Nana.Aku tersentak mendengar pertanyaan Nana. Anak kecil ini begitu polos, dia sepertinya belum mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi padanya. Aku segera menghampiri Nana, mengusap rambut pirangnya."Nana ingin seperti Aldi. Nana ingin selalu bersama Aldi." Matanya mulai berkaca-kaca.
Aku tak bisa berkata apa-apa. Nana pasti sangat sedih bila aku beritahu bahwa dia tidak akan tumbuh besar seperti manusia biasa. Ditambah lagi, kenyataan sebenarnya yang lebih menyakitkan adalah dia tidak memiliki kehidupan.Nana memelukku, dia seperti telah nyaman berada di dalam tubuh Nur."Nana boleh datang padaku kapan saja. Aku pasti akan bermain dengan Nana," ucapku menghibur.Nana kemudian keluar dari tubuh Nur, menyisakan luka di hati Nur yang Nur sendiri tak tahu penyebabnya. Nur seketika menangis, dia merasakan sakit hati yang amat luar biasa."Kenapa aku menangis? Hiks ... hiks ... hiks ..., apa yang terjadi padaku?" ucap Nur yang sepertinya merasa heran. "Tidak apa-apa. Ayo kita jalan lagi, nanti keburu sore," ajakku pada Nur.***Siang hari, matahari sangat terik. Aku dan Nur telah sampai di makam Bulan. Di makam itu ditanami tumbuhan yang menghasilkan bunga yang mulai bermekaran.Nur segera mencabut rumput liar yang bersatu dengan tanaman itu. Kata Nur, dia dan keluarganya sangat berhutang budi pada Mbah Atmo dan Bi Sari. Mereka sering membantu orangtua Nur yang sering kali mengalami gagal panen. Karena itu, Nur sering datang ke rumah Mbah Atmo dan Bi Sari hanya untuk sekedar membantu memb
Aku tak menyangka akan bertemu Bulan secepat ini. Bulan terlihat sangat cantik, persis seperti yang ada dalam mimpiku. "Kau tahu, terlalu banyak yang terjadi di desa ini saat itu. Akibat dari mereka yang terlibat dengan makhluk seperti kami." Ucap Bulan yang terus menatap sinar bulan di atas langit malam.Aku memberanikan diri untuk bertanya padanya, "Lalu, kenapa kau masih di sini? Apa alasanmu masih berada di sini adalah orangtuamu?"Bulan menggeleng, "Tidak. Aku sendiri tak tahu apa alasannya. Tapi, aku merasa belum bisa pergi dari sini." "Apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu? Aku benar-benar ingin membantumu, Bulan," bujukku pada Bulan.Bulan menatapku nanar, "Entahlah. Aku sendiri tidak tahu apa penyebabnya. Orangtuaku sudah lama merelakanku dan aku pun begitu. Tapi, aku merasakan seperti ada yang mengganjal di hatiku. Seperti sesuatu yang belum tuntas." Penjelasan Bulan itu sangat tak kumengerti. Mungkin itu alasan Bulan meminta tolong padaku waktu itu. Dalam mimpiku, se
"Aku tak tahu. Kami pernah berjanji bertemu setelah kejadian itu. Tapi Razan tak pernah datang," jawab Bulan lirih.Sekarang aku mulai mengerti. Mungkin maksud Bulan, sesuatu yang mengganjal di hatinya itu adalah perasaannya pada Razan. Bulan masih menunggu jawaban dari Razan yang tak datang saat itu. Itulah alasannya mengapa Bulan belum bisa pergi dengan tenang."Bulan. Aku berjanji akan membantumu pergi dengan tenang. Kau harus pergi bila melihat cahaya yang menjemputmu, oke?" ucapku mengutip kalimat dari pembawa acara sebuah tayangan misteri di youtube.Bulan tertawa cekikikkan. Dia pikir, mungkin itu tidak akan lagi membuatku merasa takut. Tetap saja, bulu kudukku merinding dibuatnya."Kau ini sudah seperti pemburu hantu saja," jawab Bulan."Memang ... apakah benar cahaya seperti itu ada?" tanya Bulan padaku seakan tak percaya.Aku langsung berkata, "Tentu saja. Mereka akan menemukan cahaya dan kembali bahagia. Biasanya seperti itu, kan?"Bulan seperti tak bersemangat. Dia terus m
"Nana, keluarlah. Aku membutuhkan Nur untuk menunjukkan jalan," pintaku pada Nana."Hmm ... baiklah, Aldi. Tapi Aldi janji, ya. Setelah ini, Aldi akan bermain dengan Nana." Rengek Nana sambil menarik-narik bajuku dari belakang."Tentu. Aldi pasti akan bermain dengan Nana." Jawabku mengiyakan ajakan Nana saat itu. ***Setelah menempuh hampir 20 menit perjalanan, akhirnya kami pun sampai di perkebunan karet milik kepala desa. Di sana banyak pekerja yang sedang menyadap pohon karet. Aku berjalan di antara mereka, menyusuri setiap tempat yang ada di sana.Anehnya, aku seperti merasakan udara dingin menusuk ke tulangku. Padahal ini baru tengah hari, matahari pun masih berada di atas kepalaku.Udara di sini memang sangat berbeda, bulu kudukku merinding tatkala melihat sosok-sosok makhluk yang mendekatiku dengan wujud asli mereka yang terlihat menyeramkan. Aku mencoba tetap tenang, melawan rasa takut agar tak terlihat mencolok di hadapan mereka."Anak kecil ini sungguh merepotkan," gerutu Bu
Blarr ... ! Jgeeer ... Suara dentuman petir yang menyambar dari langit. Hari mulai terlihat semakin gelap. Hujan yang tadinya gerimis, kini disertai kilatan petir. Aku bergegas berlari sembari memanggil Nana, "Nana, kau di mana?" teriakku sambil melirik ke sana ke mari. Tak terdengar suara sautan dari Nana, hanya ada suara hujan yang mulai membasahi tanah tempatku berpijak. Hujan semakin deras, jalanan menjadi sangat becek dan licin. Aku tak dapat menemukan Nana. Makhluk-makhluk yang berada di sekitarku beberapa kali mulai mencoba menggangguku. Mulai dari suara-suara aneh terdengar di sekitarku, sosok-sosok yang melayang -layang di atas tanah mulai mendekatiku. Aku merasakan jantungku berdebar sangat cepat, mereka semakin mendekat. Ssss ... ssss ... ssss .... Sosok ular raksasa dengan sisik yang berukuran sebesar piring saji itu terus berdesis di sampingku, seakan ingin segera menyantapku hidup-hidup. "Astaga! Makhluk apa itu?" A
"Eh, Bulan. Sedang apa kau di tubuh Nur? Aku kan bisa melihatmu tanpa kau memasuki tubuh Nur." Sat ... set ... sat ... set ... ! Begitulah kira-kira Bulan saat memasuki tubuh Nur. Pergerakannya sangat cepat, sampai-sampai mataku tak punya waktu untuk berkedip. Bulan tiba-tiba sudah berada di pangkuanku dengan tubuh Nur. "A-apa ini?" Suaraku mulai bergetar, dadaku sesak. Mengapa ada adegan seperti ini? "Apa kau ingin mati bersamaku?" Bulan berbisik pelan di telingaku. "Jangan pernah mencoba mendekati Rosmala. Dia sangat berbahaya, kau mengerti?" "Rosmala?" tanyaku heran. "Astgfirullah ... Nur, apa yang kamu lakukan? Cepat turun dari sana!" Teriak Bi Sari yang terlihat kaget melihat posisi yang sangat tak lazim ini. Bi Sari lekas berlari dari arah dapur untuk menarik Nur dari atas tubuhku. "Isshhh ... kamu ini Nur, kenapa kamu ada di sana? Cepat minta maaf pada Nak Aldi." Pinta Bi Sari yang melihatku dalam keadaan syok berat. Bulan tiba-tiba menangis. Dengan tubuh Nur, Bulan ak
Sekitar pukul tujuh pagi, aku sudah bersiap untuk pergi ke rumah Nur. Aku sengaja mengambil jalan alternatif yang ditunjukkan Mbah Atmo untuk pergi ke rumah Nur dengan alasan tak ingin melihat sosok kakek penunggu rumah kosong di pertigaan jalan. Aku berjalan sekitar lima belas menit menuju arah jalan desa. Jalanan rupanya sudah dipenuhi dengan penduduk desa yang akan memulai kegiatan berkebuh mereka. Ada juga yang menggunakan sepeda untuk membawa perlengkapan berkebun, ada pula yang menggiring hewan peliharaan mereka untuk dipekerjakan di ladang. Sungguh benar-benar suasana desa yang sebenarnya. Udaranya pun sangat sejuk, ditambah pemandangan asri yang memanjakan mataku. Aku teringat mencari sebuah warung di sekitar sini, aku sudah berjanji akan memberikan makanan enak untuk Nur. Saat aku hendak menuju warung yang terletak di seberang jalan, sebuah motor yang melaju cepat datang dari arah depan. Dengan pengemudi yang tampak tak asing bagiku. Eh, tapi kenapa motor itu malah semaki
Tanpa berpikir panjang, aku segera berlari menerobos pintu rumah Nur yang kebetulan tidak terkunci. Aku melihat sekeliling, tak kutemukan Nur di sana. Aku kembali berlari ke arah kamar Nur. "Nur? Kau di mana?" Aku semakin cemas, rupanya Nur juga tak ada di kamarnya. "Kakak?" Suara Nur dari belakang. "Astaga! Kau mengagetkanku saja, Nur," jawabku sambil mengelus dada. "Seharusnya aku yang kaget, Kakak tiba-tiba ada di sini?" "Syukurlah kau baik-baik saja," ucapku pada Nur yang terlihat heran. Aku dan Nur kemudian keluar untuk mengobrol di teras rumah, di sana ada seekor kucing betina bernama Mirna. Mirna adalah kucing kampung yang setiap hari selalu datang kemari untuk meminta diberi makan oleh Nur. "Hai, cantik. Kau mencariku, ya? Ini makanlah." Ucap Nur sembari menyodorkan semangkuk nasi sisa yang telah dicampur dengan potongan ikan segar. "Kau sendirian di rumah? Orangtuamu ke mana?" ucapku sembari duduk di kursi kecil berbahan kayu di teras rumah. Nur yang tengah mengelus
Suara isak tangis dari Ibu pun terdengar. Aroma minyak angin terasa menyengat. Cahaya lampu yang menyinari wajahku pun terlihat semakin terang. Aku telah sadar sepenuhnya. "Ibu?" Kata pertama yang keluar dari mulutku.Rasa takut itu kini kembali. Apakah aku mungkin akan menyakiti Ibu dan Ayah saat aku kembali tak sadar?"Ibu, Ayah, Aku takut." Tangisku pun pecah.Selama ini aku berpikir aku adalah gadis yang kuat. Tapi, aku salah. Aku sangat lemah. Aku takut, aku takut pada diriku sendiri."Ibu dan Ayah ada di sini bersama Janis. Janis tidak perlu takut," ucap Ibu sembari terus memeluk dan menciumku.Setelah kejadian itu, aku tak masuk sekolah selama satu minggu. Aku hanya beristirahat di rumah ditemani Ibu dan kakak laki-laki keduaku bernama Bagas.Dan benar saja aku sendirian kali ini, Jaka menghilang seperti yang lain. Apa ucapanku tempo hari sangat keterlaluan? Apa Jaka benar-benar tidak akan menemuiku lagi?"Ah ... kenapa aku terus mengingatnya. Padahal dia sama saja dengan hantu
"Kau sungguh bodoh? Atau pura-pura bodoh?" Aku terus berteriak pada Jaka yang terlihat menyesali perbuatannya. Sesekali dia mencoba bicara tapi aku tak membiarkannya. Amarahku terasa mencuat saat melihat wajahnya. "Lihat, gadis itu terus mengikutiku!" bentakku pada Jaka."Maafkan aku, Janis. Saat itu, aku tak tahu harus berbuat apa untuk menyelamatkan temanmu," jawab Jaka."Kau tahu? Akibat dari perbuatan pahlawanmu itu, aku tak bisa lagi hidup sesuai keinginanku. Gadis itu akan terus mengikutiku," bentakku lagi.Jaka terdiam sesaat, lalu bersujud dan kembali berucap lirih."Apa yang harus aku lakukan untuk menebus dosaku padamu?" Matanya mulai berkaca-kaca."Jangan pernah lagi muncul dihadapanku. Aku sudah tak membutuhkanmu!" Jaka terdiam, kini air mata itu benar-benar menetes. "Janis. Apa kau bersungguh-sungguh?" Ucapannya sedikit membuatku merasa iba. Tapi, apa yang Jaka lakukan sudah sangat keterlaluan bagiku."Ha ... ha ... hantuuuuu!!" teriak Mbok Karsih dari dapur.Aku sege
Matahari pagi mulai menunjukkan eksistensinya. Sorot cahaya dari lampu tidurku mulai meredup.Aku bangun dari tidurku yang nyenyak, disuguhi dengan Jason yang sudah menungguku di balik tirai kamar.Ketenangan itu berubah menjadi suara bising yang Jason timbulkan saat melihatku mulai membuka mata."Kakak. Ayo main ... " ajaknya seperti biasa.Aku meregangkan otot-ototku yang telah dipaksa untuk beraktivitas kembali. Mengumpulkan nyawa sembari menguap, begitu pula dengan Jason yang mulai terbawa suasana."Aku harus ke sekolah hari ini. pulang sekolah, Kakak berjanji akan bermain denganmu." Jason hanya mengangguk pasrah. Mengalah untuk kesekian kalinya."Oh ya, di mana, Jaka?" tanyaku pada Lastri saat hendak sarapan.Seperti biasa, sekolah adalah tempat yang paling menyebalkan bagiku saat ini. Bukan hanya gangguan dari Maria dan Intan, tetapi gangguan dari mereka yang merasakan aku memiliki kemampuan melihat mereka pun terus mengikutiku dari gerbang menuju gedung sekolah. Kebanyakan da
Beberapa hari setelahnya. Seperti biasa aku pamit pada Jason yang selalu menungguku setiap pulang sekolah untuk bermain. Di sana juga ada Lastri yang sudah bergelantungan di pohon manggis depan rumah. Ya, pohon besar itu sudah menjadi rumah untuk Lastri berpuluh-puluh tahun yang lalu. "Mba, Janis. Ini makan siangnya ketinggalan!" panggil Mbok Karsih. "Oh, iya. Terima kasih, ya, Mbok." Aku segera mengambil bekal itu dan berlari menuju mobil yang dikendarai ibuku. Beberapa hari ini aku mulai membawa bekal makan siang ke sekolah. Kejadian tempo hari membuatku jadi lebih waspada akan kehadiran mereka. Sesampainya di sekolah, aku keluar dari mobil setelah berpamitan dengan ibuku yang juga akan berangkat mengajar. "Hati-hati, ya. Kalau ada apa-apa, segera telepon Ibu," perintahnya. Aku hanya mengangguk. Itu adalah kata-kata yang selalu terucap dari mulut ibuku selama tujuh belas tahun. Ibu selalu terlihat khawatir sejak mengetahui bahwa aku memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh
Pukul dua siang, pelajaran pun telah usai. Aku segera keluar dari kelas untuk menemui Jaka. Pasti dia telah menungguku di gerbang sekolah. Berbahaya jika dia melihat makhluk lain yang mengganggu di sekolah ini. Pasti dia selalu ingin ikut campur pada masalah orang lain. Tiba-tiba saja, aku dikejutkan dengan seseorang yang menarik tanganku dan menyeretku pergi dari ruang kelas. Dia adalah Maria dan Intan. "Apa yang kalian lakukan?" Aku mencoba melepaskan genggaman Maria yang terasa sangat kasar. Namun, tenagaku rupanya tak cukup kuat untuk melawan mereka."Ikuti saja kami. Jangan banyak tanya!" bentak Maria. Rupanya mereka berencana membawaku ke gedung olahraga yang sudah kosong. Gedung itu berada di barisan gedung sekolah paling belakang, jadi sangat jarang dilewati oleh murid kecuali ada pertandingan olahraga yang mengharuskan memakai gedung tersebut. Maria dan Intan sepertinya sengaja membawaku kemari.
"Baru saja, Mbok," jawabku.Sejak Jaka meninggal, Mbok Sum hanya tinggal seorang diri. Ayah Jaka telah lebih dulu meninggal karena penyakit yang sama dengan yang diderita Mbok Sum."Ini, Janis belikan obat untuk Mbok Sum. Tolong diterima, ya." Aku memberikan sebuah kantong plastik berwarna putih. Isinya obat-obatan yang biasa Mbok Sum konsumsi. Semua itu resep yang diberitahukan Jaka padaku.Jaka terlihat begitu sangat khawatir pada Mbok Sum yang sering sakit-sakitan. Sesekali dia terlihat menyeka air matanya, memandang ibunya dengan perasaan sedih karena tak bisa berada di sisinya.Jaka merasa tak bisa tenang untuk meninggalkan Mbok Sum sendiri dan aku pun telah berjanji akan membantu mengurus keperluannya.***Malam hari adalah waktu yang sangat menyebalkan bagiku. Betapa tidak, mereka yang sedari tadi sudah mengawasiku kini mulai berani mendekat. Mulai dari memainkan rambut, melempar buku, hingga menunjukkan wujud me
Hai, perkenalkan namaku Ajeng Ayu Janis Rastiti. Usiaku tujuh belas tahun tepat di bulan Mei mendatang. Aku tinggal bersama kedua orangtuaku di sebuah rumah dinas. Karena Ayahku adalah seorang abdi negara. Lebih tepatnya seorang prajurit tentara angakatan darat.Saat ini kami tinggal di sebuah daerah di Jawa Tengah. Aku dan keluargaku memang sudah terbiasa berpindah rumah karena pekerjaan Ayahku.Aku memiliki dua orang kakak laki-laki bernama Wisnu Adiputro dan Bagas Suwarno. Kebetulan saat ini kakak pertamaku sudah bekerja di Jakarta. Sedangkan kakak keduaku sedang menempuh pendidikan di kota Yogyakarta.Aku sendiri adalah murid SMA di sekolah swasta dekat dengan komplek perumahan militer ini. Aku anak yang cukup spesial. Aku memiliki kemampuan yang tak dimiliki orang lain sejak kecil, yaitu bisa melihat makhluk lain selain manusia.Awalnya, aku sangat terganggu dan takut. Ingin rasanya membuang semuanya dan hidup normal. Tapi, perlahan aku mulai
Hari itu, hujan deras membasahi sebagian bumi. Aku berjalan pulang dari sekolah menuju rumah. Aku melewati jalan pintas yang sepi dan licin untuk mempersingkat waktu. Waktu pun berlalu cukup lambat, tidak seperti dugaanku. Mungkin karena keadaan sedang hujan. Walaupun tidak besar, tapi cukup untuk membuat jalanan menjadi basah dan sukar untuk dilewati.Hari semakin sore, aku merasa banyak pasang mata mulai memperhatikanku saat itu. Perlahan mereka mulai mengusikku, menungguku merespon keberadaan mereka.Aku mencoba tetap tenang dan mempercepat langkahku. Sekali saja aku lengah akan sangat merepotkan nantinya.Sama halnya dengan sebelumnya. Aku selalu mendapat gangguan dari mereka, entah itu di rumah, sekolah, atau tempat umum lainnya. Aku selalu mencoba menghindar, tapi mereka tetap mengikutiku. Pernah di tempat tinggalku yang dulu, sepasang suami istri mengikutiku hingga ke rumah. Aku selalu menghindari tempat sepi, tapi tetap saja mereka terus mengikutiku. Walaupun itu sangat meng
Keesokan harinya, tepat pukul sepuluh Ibu sudah sampai di rumah mengendarai motor trail kesayangannya. Ya, Ibuku memang agak unik, selain menyukai motor modelan seperti itu. Ibu juga memiliki hobi ekstrem lainnya. Seperti hiking dan diving.Saat motor Ibu telah sampai tepat di pelataran rumah, aku dan Ayla pun menyambutnya dengan suka cita."Ibumu cantik sekali," ucap Bulan saat melihat wajah Ibu setelah melepaskan helm yang dipakainya."Mari Nur bantu, Tante," ucap Nur yang dengan segera mengambil barang bawaan Ibu.Kali ini, Ibu benar-benar menjadi mangsa empuk untuk Nur. Pasti sebentar lagi dia akan meminta imbalan pada Ibu.Saat aku berpaling ke sisi Nana, gadis kecil itu tengah berkaca-kaca. Entah apa yang ada dipikiran Nana. Mungkinkah Nana teringat sosok Ibunya?Setelah sampai di teras dengan barang bawaan yang cukup banyak. Ibu pun menghampiri Nur."Terima kasih, ya," ucap Ibu."Tadi namamu siapa? Nur, ya?"Nur mengangguk lalu mulai menunjukkan ekspresi andalannya.Ibu pun me