"Kau tidak bertanya soal Bulan padaku?" tanya Razan tersenyum. "Aku sungguh kecewa." Aku yang kaget mendengar ucapannya hanya bisa terdiam. Bagaimana bisa pemuda ini benar-benar bisa membaca isi pikiranku? Lagi-lagi Razan terlihat tersenyum memaksa. "Padahal, Bulan adalah segalanya bagiku. Dia gadis yang cantik dan baik. Aku bahkan tak bisa membuka hatiku untuk gadis lain selepas Bulan pergi." Celotehan Razan semakin serius. Tapi mulutku kali ini benar-benar tak bisa berkata apa-apa. Sejenak kami berdua terdiam. Menunggu umpan kami bekerja mencari ikan yang malang. "Oh, umpanku dimakan!" teriak Razan girang. Razan segera menarik pancingnya naik ke daratan. Rupanya ikan berwarna emas berukuran lumayan besar telah memakan umpan yang dipasang Razan. Razan terlihat gembira, dia segera melepaskan ikan itu dan memasukkannya ke ember yang sudah disiapkannya. "Satu hal yang ingin aku dengar darimu, Razan." "Kau bilang, Bulan adalah segalanya untukmu. Tapi, kenapa hari itu kau tidak
"Kau di sini?" tanyaku pada Rosmala yang tengah duduk sendiri di teras rumah. Rosmala hanya mengangguk. "Aku ingin bicara denganmu, apa kau sibuk?" ajak Rosmala. "Tentu saja tidak," jawabku segera. Kapan lagi aku bisa mengobrol dengan Rosmala seperti ini. Ini adalah kesempatanku untuk menjelaskan kejadian kemarin bersama Mustika. "Rosmala, aku bisa jelaskan tentang aku dan Mustika kemarin. Sebenarnya ... " Rosmala kembali berkata seraya memotong ucapanku. "Sekarang itu semua tidak penting. Yang lebih penting adalah masalahmu dan keluarga Razan," bisik Rosmala. Tunggu, dari mana Rosmala tahu tentang rencanaku terhadap Razan?Tatapan matanya terlihat serius, dia melihat ke kiri dan kanan sambil terlihat waspada. "Apa di sini kita aman?" Sebenarnya apa yang Rosmala bicarakan? Aku sama sekali tidak mengerti. "Tentu. Aku akan memanggil temanku untuk berjaga," jawabku tanpa tahu apa maksud ucapan Rosmala. "Baiklah, Aldi. Dengarkan aku! Ini bukanlah hal mudah. Tapi, aku bisa memb
Razan terduduk bersimpuh. Tangannya gemetar saat mencoba meraih nisan bertuliskan nama Bulan yang tengah usang. "Bulan ... maafkan aku ... aku terlambat menemuimu." Isak tangis terdengar dari Razan, mulutnya bergetar, tangannya terus menggenggam nisan Bulan dengan kuat. "Aku benar-benar sangat menyesal tak mencarimu," rintih Razan. "Andai dulu aku tak menjadi penakut, tentu kau tak akan seperti ini. Aku terlalu bodoh!" "Jangan menangis Razan. Kau tidak bersalah." Kini Bulan pun ikut menimpali. Walaupun dia tahu, Razan tak mungkin bisa mendengar atau pun melihatnya saat ini."Aku tidak pernah berfikir kau meninggalkanku. Aku tahu, kau sangat mencintaiku."Bulan kembali berucap, seakan-akan Razan bisa mendengarnya."Bulan ... ternyata dunia ini bukan tempat untuk kita. Aku akan segera menemuimu, tunggulah aku, di kehidupan selanjutnya. Aku janji ... " Keduanya pun menangis bersamaan. Bulan menyentuh pundak Razan, memeluknya dari dunia yang berbeda. Aku yang menyaksikan mereka ber
"Kenapa kau memberitahukan semuanya pada Razan?" Bulan nampak menghempaskan beberapa buku-buru yang tersususun rapi di lemari. Entah karena kesal atau apa, tapi tak biasanya Bulan bertingkah seperti itu."Razan hampir saja celaka. Dia pasti sangat terguncang dengan perkataanmu!" bentaknya lagi.Ya, seperti yang dikatakan Bulan barusan. Dalam perjalanan pulang, Razan terluka saat mengendarai mobilnya. Dia menabrak sebuah bangunan kosong di jalanan desa."Bukankah itu yang terbaik untuk Razan saat ini? Dia harus tahu tentang kejahatan yang dilakukan Ayah dan Kakaknya," ucapku membela diri.Saat Bulan hendak memalingkan wajahnya, aku lantas segera menyelesaikan ucapanku."Yang kau lakukan untuknya semuanya sia-sia, Bulan. Apa kau belum sadar? Kau tidak bisa pergi bukan karena Razan atau orangtuamu. Tapi, karena dendam yang belum terbalaskan pada mereka yang telah menyakitimu." Aku tahu, ucapanku ini memang agak keterlaluan pada Bulan. Aku hanya ingin Bulan menyadari semuanya sebelum ter
Malam itu ... tubuh Rosmala mengapung di atas langit-langit kamar. Kepalanya berbalik 180 derajat menatap Pak Sarip dan Bi Asih kala itu. "Ros ... " teriak Pak Sarip disusul jeritan Bi Asih. Bi Asih menjadi histeris melihat keanehan yang ditunjukkan Rosmala malam itu. Hatinya terasa tercabik melihat anak gadisnya terlihat begitu tersiksa. Dalam kegetiran, Pak Sarip hendak meraih tangan Rosmala. Walau tubuhnya bergetar hebat, dia tetap ingin menjangkaunya. "Kau telah melanggar perjanjian Sarip! Anak ini adalah milikku." Suara berat nan parau itu keluar dari mulut Rosmala. Sontak Pak Sarip terkejut, ingatannya kembali pada kejadian 15 tahun yang lalu. Saat dirinya meminta bantuan Ki Demang untuk menyembuhkan penyakit yang diderita Rosmala sejak kecil. "Biarkan anak ini menjadi tubuh keduaku. Maka semua ilmuku akan aku turunkan padanya." Ucapan itu terus terngiang di kepala Pak Sarip.Kala itu Pak Sarip hanya mengangguk tanpa berpikir maksud dan akibatnya untuk Rosmala. "Tidak! Di
Sudah hampir 3 hari aku mencari keberadaan Rosmala dengan mengandalkan insting. Tapi tetap saja nihil, walaupun dengan bantuan Bulan dan Nana sekalipun. Sekarang aku mulai putus asa. Dan jalan satu-satunya adalah menghubungi paman Suwarno. Siang itu, telepon genggamku sangat sibuk. Aku terus menghubungi paman, tapi tak ada jawaban. Hanya ada suara perempuan yang memberi kabar bahwa 'Nomor yang Anda tuju, sedang tidak aktif atau di luar jangkauan. Cobalah ... " Tak! Aku bergegas menutup saluran telepon. Geram rasanya saat tahu wanita itu kembali menjawab telepon paman. "Kau tidak berniat menyerah, kan?" tanya Bulan yang sedang asyik mengepang rambut ikal si kecil Nana. Aku menggeleng, "Tentu tidak. Nyawa Rosmala dalam bahaya. Aku harus menolongnya!" ucapku dengan semangat yang menggebu-gebu. "Cih ...!" ejek Bulan. Nana pun bangkit seakan ingin menyemangatiku. "Heh, apa kau ingin mati? Duduk dan diam!" bentak Bulan pada Nana. Si kecil Nana yang ingin merangkulku pun diam dan m
Malam mulai berganti pagi. Tapi aku tak kunjung bangun dari tempat tidur. Aku hanya bisa menatap diriku samar-samar. Seperti versi hologram dari tubuhku. "Kenapa aku bisa seperti ini? Apa aku sudah mati?" Pikiran itu terus terlintas di kepalaku. Tubuhku lagi-lagi tak bisa bergerak seperti orang mati. Kali ini, hanya tersisa raga tanpa jiwa. Aku menatap cermin. Tak ada lagi pantulan wajahku yang terlihat di sana. Begitu pula dengan bayanganku yang tak dapat aku lihat lagi. Apa yang harus ku lakukan?Tok ... tok ... tok"Kak?" Suara Ayla memanggilku.Krieettt ..Pintu kamarku pun terbuka, disusul dengan kedatangan Ayla dari balik pintu."Kakak, ini sudah pagi. Cepat bangun," celotehnya."Belikan aku air untuk mandi."Dasar anak tidak tahu diri. Sudah lebih dari sebulan dia tinggal di sini tapi belum bisa beradaptasi. Mandi pun tetap harus pakai air mineral."Kakak!" Dia terus menggoyang-goyangkan tubuhku yang tengah terbaring kaku."Kau tidak lihat aku sekarang bagaimana?" bentakku
Aku menangis sesegukan. Memangku lutut dan menunduk dalam. Tiba-tiba sebuah tangan mungil menyentuhku perlahan. Mengusap-usap punggungku dan memelukku dari belakang. "Aldi. Jangan menangis, Nana sangat sedih melihat Aldi kesakitan," seru Nana yang tengah memelukku. Aku berpaling menatap Nana, mengelus rambut ikalnya yang berwarna kuning keemasan. Mata coklatnya menimbun air mata. Rasa sedih yang dia rasakan mungkin datang dari ikatan batin yang kami rasakan sejak kecil. Lama ingatan tentang Nana tak pernah muncul di kepalaku. Tapi saat ini tiba-tiba saja ingatan itu muncul dengan sendirinya. Terlintas begitu saja ingatan saat aku masih kecil. Tubuh mungilku tengah merasakan sakit akibat terlalu lama bermain di bawah teriknya sinar matahari. Saat itu, Nana mengantarku pulang dengan wajah yang khawatir. Seperti halnya orangtua pada umumnya, begitu mengetahui aku pulang dalam keadaan sakit, ibu segera memanggil dokter ke rumah kami untuk memeriksaku. Setelah mendapat perawatan dar
Suara isak tangis dari Ibu pun terdengar. Aroma minyak angin terasa menyengat. Cahaya lampu yang menyinari wajahku pun terlihat semakin terang. Aku telah sadar sepenuhnya. "Ibu?" Kata pertama yang keluar dari mulutku.Rasa takut itu kini kembali. Apakah aku mungkin akan menyakiti Ibu dan Ayah saat aku kembali tak sadar?"Ibu, Ayah, Aku takut." Tangisku pun pecah.Selama ini aku berpikir aku adalah gadis yang kuat. Tapi, aku salah. Aku sangat lemah. Aku takut, aku takut pada diriku sendiri."Ibu dan Ayah ada di sini bersama Janis. Janis tidak perlu takut," ucap Ibu sembari terus memeluk dan menciumku.Setelah kejadian itu, aku tak masuk sekolah selama satu minggu. Aku hanya beristirahat di rumah ditemani Ibu dan kakak laki-laki keduaku bernama Bagas.Dan benar saja aku sendirian kali ini, Jaka menghilang seperti yang lain. Apa ucapanku tempo hari sangat keterlaluan? Apa Jaka benar-benar tidak akan menemuiku lagi?"Ah ... kenapa aku terus mengingatnya. Padahal dia sama saja dengan hantu
"Kau sungguh bodoh? Atau pura-pura bodoh?" Aku terus berteriak pada Jaka yang terlihat menyesali perbuatannya. Sesekali dia mencoba bicara tapi aku tak membiarkannya. Amarahku terasa mencuat saat melihat wajahnya. "Lihat, gadis itu terus mengikutiku!" bentakku pada Jaka."Maafkan aku, Janis. Saat itu, aku tak tahu harus berbuat apa untuk menyelamatkan temanmu," jawab Jaka."Kau tahu? Akibat dari perbuatan pahlawanmu itu, aku tak bisa lagi hidup sesuai keinginanku. Gadis itu akan terus mengikutiku," bentakku lagi.Jaka terdiam sesaat, lalu bersujud dan kembali berucap lirih."Apa yang harus aku lakukan untuk menebus dosaku padamu?" Matanya mulai berkaca-kaca."Jangan pernah lagi muncul dihadapanku. Aku sudah tak membutuhkanmu!" Jaka terdiam, kini air mata itu benar-benar menetes. "Janis. Apa kau bersungguh-sungguh?" Ucapannya sedikit membuatku merasa iba. Tapi, apa yang Jaka lakukan sudah sangat keterlaluan bagiku."Ha ... ha ... hantuuuuu!!" teriak Mbok Karsih dari dapur.Aku sege
Matahari pagi mulai menunjukkan eksistensinya. Sorot cahaya dari lampu tidurku mulai meredup.Aku bangun dari tidurku yang nyenyak, disuguhi dengan Jason yang sudah menungguku di balik tirai kamar.Ketenangan itu berubah menjadi suara bising yang Jason timbulkan saat melihatku mulai membuka mata."Kakak. Ayo main ... " ajaknya seperti biasa.Aku meregangkan otot-ototku yang telah dipaksa untuk beraktivitas kembali. Mengumpulkan nyawa sembari menguap, begitu pula dengan Jason yang mulai terbawa suasana."Aku harus ke sekolah hari ini. pulang sekolah, Kakak berjanji akan bermain denganmu." Jason hanya mengangguk pasrah. Mengalah untuk kesekian kalinya."Oh ya, di mana, Jaka?" tanyaku pada Lastri saat hendak sarapan.Seperti biasa, sekolah adalah tempat yang paling menyebalkan bagiku saat ini. Bukan hanya gangguan dari Maria dan Intan, tetapi gangguan dari mereka yang merasakan aku memiliki kemampuan melihat mereka pun terus mengikutiku dari gerbang menuju gedung sekolah. Kebanyakan da
Beberapa hari setelahnya. Seperti biasa aku pamit pada Jason yang selalu menungguku setiap pulang sekolah untuk bermain. Di sana juga ada Lastri yang sudah bergelantungan di pohon manggis depan rumah. Ya, pohon besar itu sudah menjadi rumah untuk Lastri berpuluh-puluh tahun yang lalu. "Mba, Janis. Ini makan siangnya ketinggalan!" panggil Mbok Karsih. "Oh, iya. Terima kasih, ya, Mbok." Aku segera mengambil bekal itu dan berlari menuju mobil yang dikendarai ibuku. Beberapa hari ini aku mulai membawa bekal makan siang ke sekolah. Kejadian tempo hari membuatku jadi lebih waspada akan kehadiran mereka. Sesampainya di sekolah, aku keluar dari mobil setelah berpamitan dengan ibuku yang juga akan berangkat mengajar. "Hati-hati, ya. Kalau ada apa-apa, segera telepon Ibu," perintahnya. Aku hanya mengangguk. Itu adalah kata-kata yang selalu terucap dari mulut ibuku selama tujuh belas tahun. Ibu selalu terlihat khawatir sejak mengetahui bahwa aku memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh
Pukul dua siang, pelajaran pun telah usai. Aku segera keluar dari kelas untuk menemui Jaka. Pasti dia telah menungguku di gerbang sekolah. Berbahaya jika dia melihat makhluk lain yang mengganggu di sekolah ini. Pasti dia selalu ingin ikut campur pada masalah orang lain. Tiba-tiba saja, aku dikejutkan dengan seseorang yang menarik tanganku dan menyeretku pergi dari ruang kelas. Dia adalah Maria dan Intan. "Apa yang kalian lakukan?" Aku mencoba melepaskan genggaman Maria yang terasa sangat kasar. Namun, tenagaku rupanya tak cukup kuat untuk melawan mereka."Ikuti saja kami. Jangan banyak tanya!" bentak Maria. Rupanya mereka berencana membawaku ke gedung olahraga yang sudah kosong. Gedung itu berada di barisan gedung sekolah paling belakang, jadi sangat jarang dilewati oleh murid kecuali ada pertandingan olahraga yang mengharuskan memakai gedung tersebut. Maria dan Intan sepertinya sengaja membawaku kemari.
"Baru saja, Mbok," jawabku.Sejak Jaka meninggal, Mbok Sum hanya tinggal seorang diri. Ayah Jaka telah lebih dulu meninggal karena penyakit yang sama dengan yang diderita Mbok Sum."Ini, Janis belikan obat untuk Mbok Sum. Tolong diterima, ya." Aku memberikan sebuah kantong plastik berwarna putih. Isinya obat-obatan yang biasa Mbok Sum konsumsi. Semua itu resep yang diberitahukan Jaka padaku.Jaka terlihat begitu sangat khawatir pada Mbok Sum yang sering sakit-sakitan. Sesekali dia terlihat menyeka air matanya, memandang ibunya dengan perasaan sedih karena tak bisa berada di sisinya.Jaka merasa tak bisa tenang untuk meninggalkan Mbok Sum sendiri dan aku pun telah berjanji akan membantu mengurus keperluannya.***Malam hari adalah waktu yang sangat menyebalkan bagiku. Betapa tidak, mereka yang sedari tadi sudah mengawasiku kini mulai berani mendekat. Mulai dari memainkan rambut, melempar buku, hingga menunjukkan wujud me
Hai, perkenalkan namaku Ajeng Ayu Janis Rastiti. Usiaku tujuh belas tahun tepat di bulan Mei mendatang. Aku tinggal bersama kedua orangtuaku di sebuah rumah dinas. Karena Ayahku adalah seorang abdi negara. Lebih tepatnya seorang prajurit tentara angakatan darat.Saat ini kami tinggal di sebuah daerah di Jawa Tengah. Aku dan keluargaku memang sudah terbiasa berpindah rumah karena pekerjaan Ayahku.Aku memiliki dua orang kakak laki-laki bernama Wisnu Adiputro dan Bagas Suwarno. Kebetulan saat ini kakak pertamaku sudah bekerja di Jakarta. Sedangkan kakak keduaku sedang menempuh pendidikan di kota Yogyakarta.Aku sendiri adalah murid SMA di sekolah swasta dekat dengan komplek perumahan militer ini. Aku anak yang cukup spesial. Aku memiliki kemampuan yang tak dimiliki orang lain sejak kecil, yaitu bisa melihat makhluk lain selain manusia.Awalnya, aku sangat terganggu dan takut. Ingin rasanya membuang semuanya dan hidup normal. Tapi, perlahan aku mulai
Hari itu, hujan deras membasahi sebagian bumi. Aku berjalan pulang dari sekolah menuju rumah. Aku melewati jalan pintas yang sepi dan licin untuk mempersingkat waktu. Waktu pun berlalu cukup lambat, tidak seperti dugaanku. Mungkin karena keadaan sedang hujan. Walaupun tidak besar, tapi cukup untuk membuat jalanan menjadi basah dan sukar untuk dilewati.Hari semakin sore, aku merasa banyak pasang mata mulai memperhatikanku saat itu. Perlahan mereka mulai mengusikku, menungguku merespon keberadaan mereka.Aku mencoba tetap tenang dan mempercepat langkahku. Sekali saja aku lengah akan sangat merepotkan nantinya.Sama halnya dengan sebelumnya. Aku selalu mendapat gangguan dari mereka, entah itu di rumah, sekolah, atau tempat umum lainnya. Aku selalu mencoba menghindar, tapi mereka tetap mengikutiku. Pernah di tempat tinggalku yang dulu, sepasang suami istri mengikutiku hingga ke rumah. Aku selalu menghindari tempat sepi, tapi tetap saja mereka terus mengikutiku. Walaupun itu sangat meng
Keesokan harinya, tepat pukul sepuluh Ibu sudah sampai di rumah mengendarai motor trail kesayangannya. Ya, Ibuku memang agak unik, selain menyukai motor modelan seperti itu. Ibu juga memiliki hobi ekstrem lainnya. Seperti hiking dan diving.Saat motor Ibu telah sampai tepat di pelataran rumah, aku dan Ayla pun menyambutnya dengan suka cita."Ibumu cantik sekali," ucap Bulan saat melihat wajah Ibu setelah melepaskan helm yang dipakainya."Mari Nur bantu, Tante," ucap Nur yang dengan segera mengambil barang bawaan Ibu.Kali ini, Ibu benar-benar menjadi mangsa empuk untuk Nur. Pasti sebentar lagi dia akan meminta imbalan pada Ibu.Saat aku berpaling ke sisi Nana, gadis kecil itu tengah berkaca-kaca. Entah apa yang ada dipikiran Nana. Mungkinkah Nana teringat sosok Ibunya?Setelah sampai di teras dengan barang bawaan yang cukup banyak. Ibu pun menghampiri Nur."Terima kasih, ya," ucap Ibu."Tadi namamu siapa? Nur, ya?"Nur mengangguk lalu mulai menunjukkan ekspresi andalannya.Ibu pun me