Aku begitu berdebar. Namun, semua itu sirna ketika perempuan tua itu tersenyum dan menggandeng tanganku.
"Oh, iya Nak Aldi. Silahkan masuk! Bibi sudah menunggu Nak Aldi dari tadi."
Aku bergegas melangkah masuk, perasaaanku semakin tak karuan saat terlalu lama berada di teras rumah. Setelah aku memasuki rumah paman, perasaan diikuti seseorang tadi seketika menghilang.
"Duduk dulu, Nak!" ucap nenek tua tadi, "Kenalkan, saya Bi Sari. Saya yang merawat rumah ini selama Suwarno tidak ada."
"Iya, Bi. Aldi sudah dengar dari paman."
Bi Sari tersenyum, beliau lantas menyuruhku duduk di kursi berbahan kayu yang berada di ruang tamu, "Silahkan duduk, Nak Aldi."
"Rumah Bibi ada di belakang rumah ini. Kalau Nak Aldi membutuhkan sesuatu, panggil saja Bibi."
"Baik, Bi. Terimakasih," jawabku ramah.
"Tunggu disini, jangan kemana-mana, Bibi panggil si Mbah dulu ya, sekalian Bibi ambilkan minum." Ucap Bi Sari padaku yang terlihat sudah sangat lelah.
Seumur hidupku, baru kali ini aku melihat rumah tua seperti museum peninggalan jaman dulu yang masih dihuni.Mataku tak bisa berhenti berkeliling, menatap satu persatu dengan jeli. Perabotan antik yang sangat terawat, disimpan dengan rapi di lemari berbahan kayu jati yang kokoh. Tak ada satu pun yang terlewat dari pandanganku, termasuk lukisan jaman dulu yang masih terlihat seperti baru.
Saat itu, mataku tertuju pada sebuah lukisan yang menggantung di atas meja panjang berisi bunga yang berwarna merah menyala. Lukisan seorang gadis muda yang cantik, matanya bersinar seperti memandang ke arahku. Aku tak bisa mengalihkan pandanganku, rasanya aku telah ditarik untuk melihat lukisan itu dari dekat.
'Wusshhh ...' Tiba- tiba angin bertiup ke arahku. Aku memejamkan mataku segera, berharap angin itu tak memasuki kedua mataku.
Saat aku membuka mata, betapa terkejutnya aku yang tiba-tiba berada di sebuah hutan yang gelap dan sepi.
"Di mana aku?" gumamku.
Aku melihat sekelilingku, hanya ada pohon-pohon karet yang tinggi menjulang, seperti sebuah perkebunan.
Aku semakin tak mengerti, kenapa aku berada di tempat ini, apa aku sedang bermimpi?
Dari jauh, aku seperti mendengar suara tawa dari seorang gadis. Tawa yang terdengar seperti sedang bersenda gurau. Seketika aku merasa lega, ternyata ada orang lain selain aku di sini. Aku segera mencari sumber suara itu, berharap semoga benar-benar ada yang orang di sana.
Aku berjalan di antara semak-semak belukar, mencari arah sumber suara itu. Saat tawa itu sudah mulai terdengar semakin dekat, tawa itu berubah menjadi tangisan yang sangat pilu.Aku berhenti, bulu kudukku berdiri. Di kegelapan hutan yang rindang, aku telah mendengar suara tawa yang telah berubah menjadi tangisan. Di mana aku sebenarnya? Aku sangat takut, perasaanku tak karuan. Aku segera berbalik arah dan berlari menjauh.
Tiba-tiba, sosok gadis dengan rambut panjang menjuntai telah berada di hadapanku. Rambut panjangnya menutupi sebagian wajahnya, dia melambaikan tangan yang pucat itu ke arahku.
Sayup-sayup aku mendengar dia berkata dengan pelan, "Aldi ...."
***
Tak!
Aku tersadar dari lamunanku. Tiba-tiba bahuku terasa sakit, seperti ada yang memukulku berulang kali. Aku melihat sekelilingku. Di sana sudah ada Bi Sari dan seorang kakek tua.
"Nak Aldi tidak apa-apa? Bibi sudah bilang, jangan ke mana-mana!" ucap Bi Sari yang terlihat khawatir.
Aku merasa heran, apa yang terjadi sebenarnya? Seingatku, terakhir kali aku sedang melihat sebuah lukisan gadis muda, lalu aku tiba-tiba berada di sebuah hutan yang gelap. Dan sekarang aku telah kembali berada di rumah ini.
"Nak Aldi, saya Mbah Atmojo, panggil saja Mbah Atmo," ucap Mbah Atmo yang menatapku dalam.
"Sekarang pasti Nak Aldi sangat kebingungan. Minumlah dulu," pinta Mbah Atmo padaku. Segelas air putih diberikan Bi Sari padaku. Dengan wajah yang masih terlihat kebingungan, aku terus mengingat kejadian tadi.
Mbah Atmo berkata lagi padaku, "Tidak usah bingung begitu. Nanti juga Nak Aldi paham."
Aku semakin merasa bingung, sepertinya ada sesuatu yang belum aku ketahui tentang rumah ini dari paman. Tapi, apa?
Mbah Atmo beranjak dari duduknya, beliau menyuruh Bi Sari segera membawaku ke kamar yang telah sengaja disiapkan untukku.
Rumah ini memiliki dua bangunan inti yang dipisahkan oleh sebuah taman kecil. Terdapat berbagai tanaman hias yang sengaja disimpan untuk mempercantik suasana taman. Kebetulan, kamarku berada di bangunan kedua. Jadi, aku harus melewati taman yang memisahkan kedua bangunan itu.
Setelah sampai di depan kamar baruku, aku sudah disuguhi pemandangan yang asri dengan jendela menghadap ke sebuah perkebunan milik warga. Kulihat Bi Sari langsung merapikan tempat tidurku.
Karena masih penasaran, aku terus bertanya pada Bi Sari, "Maaf, Bi. Kalau boleh tahu, tadi itu lukisan siapa ya?"
Bi Sari tersenyum, matanya mulai berkaca-kaca. "Itu lukisan anak Bibi, namanya Bulan. Dia sudah meninggal 10 tahun lalu," jawab Bi Sari lirih.
Air mata Bi Sari jatuh seketika, terlihat tatapan rindu terpancar dari kedua matanya yang telah memiliki kantung mata yang dalam. Kemudian Bi Sari mulai bercerita padaku seraya melipat beberapa handuk yang menggantung di dinding kamarku.
Dari ceritanya, aku mengetahui bahwa sepuluh tahun lalu Bulan tiba-tiba mengalami sakit yang misterius. Badannya sering kali menggigil tanpa ada penyebab. Saat malam tiba, Bulan sering berteriak-teriak seperti memanggil nama seseorang. Dia banyak melamun saat itu, kata Bi Sari.
Kejadian itu bermula saat Bulan berusia tujuh belas tahun. Dia tumbuh menjadi gadis yang cantik jelita dan ceria. Para pemuda di desa ini saling memperebutkan untuk mendapatkan Bulan.
Banyak dari mereka datang ke rumah untuk meminang Bulan yang saat itu masih belia. Bulan masih senang bermain dengan teman-teman sebayanya. Jadi, Bi Sari tak menyuruh Bulan untuk segera menikah.
Tapi, kebahagian Bulan berhenti setelah seorang pria datang ke rumah Bi Sari untuk meminang putri semata wayangnya. Tentu saja, Bi Sari dan Mbah Atmo meminta pendapat Bulan terlebih dahulu. Masih dengan pendiriannya, Bulan tak ingin cepat-cepat menikah. Bulan bilang, dia masih ingin bermain bersama teman sebayanya.
Penolakan Bulan rupanya telah membuat pria itu merasa sakit hati. Entah apa yang diperbuat pria itu, Bulan mengalami sakit yang misterius setelah kejadian itu. Sehingga setahun setelahnya, Bulan meninggal dalam keadaan sakit yang masih belum diketahui oleh dokter sekali pun.
Setelah mendengar cerita Bi Sari, aku merasakan bulu kudukku berdiri. Aku merasa iba sekaligus merasa takut. Rupanya di desa ini masih ada orang yang melakukan perbuatan keji seperti itu. Bi Sari bilang, dia tidak ingin berprasangka buruk. Tapi, pria itu terus muncul di mimpi Bi Sari seperti petunjuk atas doa-doa yang Bi Sari panjatkan untuk almarhumah Bulan.
***Pagi hari, udara masih terasa dingin. Aku membuka setengah pintu jendela kamarku. Burung berkicau riang, matahari mulai menunjukkan cahaya yang membuat udara perlahan mulai terasa hangat.Aku keluar dari kamar melewati taman untuk menuju ke dapur. Perutku rasanya sangat lapar setelah menempuh perjalanan panjang tadi malam.
Tiba-tiba, kurasakan sebuah sosok melewatiku dari belakang. Segera kutengok dengan perasaaan takut. Tapi, tak kutemukan apa-apa di sana.
Aku terus berjalan, sudut mataku menangkap keberadaan sosok itu. Rupanya, dia terus memperhatikanku dari jauh. Kupercepat langkahku menuju dapur, mungkin di sana ada Bi Sari atau Mbah Atmo, pikirku.
Rupanya, di rumah ini sudah tidak ada seorang pun. Bi Sari telah meninggalkan sepucuk surat di atas meja makan yang ternyata sudah tersedia sarapan untukku.
[ Nak, Aldi. Bibi dan Si Mbah sudah pergi ke ladang.Bibi sudah siapkan sarapan untuk Nak Aldi. Kalau Nak Aldi butuh sesuatu, Bibi sudah menyuruh Nur untuk mambantu Nak Aldi. ] begitu isi surat dari Bi Sari.
"Nur? Siapa itu?" gumamku.
"Daarrrr!" Sebuah teriakkan membuyarkan lamunanku."Hahaha ... Kakak takut, ya?" tanya seorang gadis muda di sebelahku yang tadi berteriak."Kamu, Nur?" tanyaku."Hmm ...." Gadis itu menganggukkan kepalanya.Nur-gadis muda berusia sekitar empat belas tahun itu rupanya adalah sosok yang mengikutiku dari belakang. Aku terkejut, anak ini tiba-tiba berada di sebelahku."Jadi, tadi itu kamu yang mengikutiku?" tanyaku sedikit kesal."Iya. Aku sudah menunggu Kakak dari tadi. Kenapa bangun siang sekali?" tanya Nur dengan polos. "Kupikir kau hantu," jawabku sinis."Dasar, penakut!" ejek Nur padaku. Anak ini seperti akan sangat merepotkan, pikirku.Dan benar saja, dia terus mengikutiku seharian ini. Nur bilang, dia ditugaskan oleh Bi Sari untuk menjagaku dengan iming-iming uang jajan tambahan dari Bi Sari.Di siang hari, udara semakin panas. Aku meminta Nur menyalakan kipas angin yang menggantung di langit-langit di ruang tengah."Nur, nyalakan kipasnya," perintahku."Siap, bos!" Nur segara b
Sesampainya aku depan rumah, rupanya Bi Sari dan Mbah Atmo sudah menungguku di teras. Mereka terlihat khawatir padaku. "Nak Aldi, dari mana saja? Bibi sangat khawatir,'" ucap Bi Sari. "Ah ... aku baru saja membeli lilin," jawabku terbata. Aku merasa tidak enak telah membuat Bi Sari dan Mbah Atmo khawatir, aku segera membuka kunci pintu dan menyuruh mereka masuk. "Maaf ya, Bi. Aldi membuat bibi khawatir." "Tidak apa-apa, yang penting Nak Aldi baik-baik saja." Aku segera berlari ke dapur, menyalakan lilin dan mengambil minum untuk Bi Sari dan Mbah Atmo, "Diminum airnya, Mbah, Bi," ucapku sopan. "Iya, terima kasih, ya." Keduanya terlihat heran melihatku, entah apa yang mereka pikirkan, tatapan mereka seperti merasakan sesuatu yang aneh dariku.Setelah berbincang selama kurang lebih tiga puluh menit, aku pamit untuk beristirahat lebih dulu pada mereka. Aku masih tak ingin membahas tentang apa yang kudengar barusan di warung. Aku takut malah nyaliku yang menciut akibat takut menden
"Kakak, minumlah!" pinta Nur yang sedari tadi berada di sampingku. "Mbah Atmo, Bi Sari, apa yang sebenarnya terjadi?" Mbah Atmo dan Bi Sari saling menatap, seperti tengah memikirkan sesuatu.Suasana hening seketika. Semua mata memandang ke arahku."Nur, sebaiknya kau tunggu di luar saja," pinta Mbah Atmo.Nur mengangguk, dia segera keluar dari kamar tanpa bertanya. "Nak Aldi tenang dulu, ya. Mbah akan menjelaskannya perlahan, agar Nak Aldi tidak kaget."Penjelasan Mbah Atmo malah membuatku semakin terkejut, ternyata memang benar ada sesuatu yang mereka sembunyikan dariku. Mbah Atmo mulai bercerita, saat pertama kali aku memasuki desa misterius ini.Seminggu yang lalu, saat Mbah Atmo menerima kabar akan kedatanganku ke desa ini, beliau sudah mempunyai firasat buruk. Kata beliau, sehari sebelum beliau menerima telepon dari paman Suwarno, beliau sudah merasakan sesuatu yang janggal.Desa ini seperti kembali pada zaman dulu, saat semua orang mulai percaya pada adanya makhluk halus dan
Aku membuka mataku kembali, melihat sekitarku. Mbah Atmo dan Bi Sari terlihat masih menungguku.Tiba-tiba perutku mual, seperti ingin mengeluarkan sesuatu."Keluarkan saja, Nak!" pinta Bi Sari. Kemudian Bi Sari langsung memberiku segelas air hangat, membaringkanku di atas ranjang."Istirahatlah, nanti kita bicara lagi." Mbah Atmo kemudian pergi diikuti Bi Sari dari belakang.Nur yang sedari tadi mengintipku dari balik pintu mulai menghampiriku. Dia sangat tak sabar ingin bertanya apa yang sudah terjadi padaku."Kak, Aldi. Apa yang terjadi? Apa Kakak bertemu Kak Bulan semalam?" Nur terus bertanya tanpa membiarkanku bicara. "Tadi Kakak memanggil nama Nana, Nana itu siapa?" "Aih ... anak ini. Bukannya mengkhawatirkanku, kau malah bertanya begitu padaku!" jawabku kesal.Nur hanya tersenyum, sorot matanya menggambarkan perasaaan penasaran yang dalam."Nur, kau tahu sesuatu tentang Bulan?" tanyaku padanya.Nur terdiam, dia melihat sekeliling kamarku. Sepertinya dia takut akan terdengar ole
Nana memelukku, dia seperti telah nyaman berada di dalam tubuh Nur."Nana boleh datang padaku kapan saja. Aku pasti akan bermain dengan Nana," ucapku menghibur.Nana kemudian keluar dari tubuh Nur, menyisakan luka di hati Nur yang Nur sendiri tak tahu penyebabnya. Nur seketika menangis, dia merasakan sakit hati yang amat luar biasa."Kenapa aku menangis? Hiks ... hiks ... hiks ..., apa yang terjadi padaku?" ucap Nur yang sepertinya merasa heran. "Tidak apa-apa. Ayo kita jalan lagi, nanti keburu sore," ajakku pada Nur.***Siang hari, matahari sangat terik. Aku dan Nur telah sampai di makam Bulan. Di makam itu ditanami tumbuhan yang menghasilkan bunga yang mulai bermekaran.Nur segera mencabut rumput liar yang bersatu dengan tanaman itu. Kata Nur, dia dan keluarganya sangat berhutang budi pada Mbah Atmo dan Bi Sari. Mereka sering membantu orangtua Nur yang sering kali mengalami gagal panen. Karena itu, Nur sering datang ke rumah Mbah Atmo dan Bi Sari hanya untuk sekedar membantu memb
Aku tak menyangka akan bertemu Bulan secepat ini. Bulan terlihat sangat cantik, persis seperti yang ada dalam mimpiku. "Kau tahu, terlalu banyak yang terjadi di desa ini saat itu. Akibat dari mereka yang terlibat dengan makhluk seperti kami." Ucap Bulan yang terus menatap sinar bulan di atas langit malam.Aku memberanikan diri untuk bertanya padanya, "Lalu, kenapa kau masih di sini? Apa alasanmu masih berada di sini adalah orangtuamu?"Bulan menggeleng, "Tidak. Aku sendiri tak tahu apa alasannya. Tapi, aku merasa belum bisa pergi dari sini." "Apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu? Aku benar-benar ingin membantumu, Bulan," bujukku pada Bulan.Bulan menatapku nanar, "Entahlah. Aku sendiri tidak tahu apa penyebabnya. Orangtuaku sudah lama merelakanku dan aku pun begitu. Tapi, aku merasakan seperti ada yang mengganjal di hatiku. Seperti sesuatu yang belum tuntas." Penjelasan Bulan itu sangat tak kumengerti. Mungkin itu alasan Bulan meminta tolong padaku waktu itu. Dalam mimpiku, se
"Aku tak tahu. Kami pernah berjanji bertemu setelah kejadian itu. Tapi Razan tak pernah datang," jawab Bulan lirih.Sekarang aku mulai mengerti. Mungkin maksud Bulan, sesuatu yang mengganjal di hatinya itu adalah perasaannya pada Razan. Bulan masih menunggu jawaban dari Razan yang tak datang saat itu. Itulah alasannya mengapa Bulan belum bisa pergi dengan tenang."Bulan. Aku berjanji akan membantumu pergi dengan tenang. Kau harus pergi bila melihat cahaya yang menjemputmu, oke?" ucapku mengutip kalimat dari pembawa acara sebuah tayangan misteri di youtube.Bulan tertawa cekikikkan. Dia pikir, mungkin itu tidak akan lagi membuatku merasa takut. Tetap saja, bulu kudukku merinding dibuatnya."Kau ini sudah seperti pemburu hantu saja," jawab Bulan."Memang ... apakah benar cahaya seperti itu ada?" tanya Bulan padaku seakan tak percaya.Aku langsung berkata, "Tentu saja. Mereka akan menemukan cahaya dan kembali bahagia. Biasanya seperti itu, kan?"Bulan seperti tak bersemangat. Dia terus m
"Nana, keluarlah. Aku membutuhkan Nur untuk menunjukkan jalan," pintaku pada Nana."Hmm ... baiklah, Aldi. Tapi Aldi janji, ya. Setelah ini, Aldi akan bermain dengan Nana." Rengek Nana sambil menarik-narik bajuku dari belakang."Tentu. Aldi pasti akan bermain dengan Nana." Jawabku mengiyakan ajakan Nana saat itu. ***Setelah menempuh hampir 20 menit perjalanan, akhirnya kami pun sampai di perkebunan karet milik kepala desa. Di sana banyak pekerja yang sedang menyadap pohon karet. Aku berjalan di antara mereka, menyusuri setiap tempat yang ada di sana.Anehnya, aku seperti merasakan udara dingin menusuk ke tulangku. Padahal ini baru tengah hari, matahari pun masih berada di atas kepalaku.Udara di sini memang sangat berbeda, bulu kudukku merinding tatkala melihat sosok-sosok makhluk yang mendekatiku dengan wujud asli mereka yang terlihat menyeramkan. Aku mencoba tetap tenang, melawan rasa takut agar tak terlihat mencolok di hadapan mereka."Anak kecil ini sungguh merepotkan," gerutu Bu
Suara isak tangis dari Ibu pun terdengar. Aroma minyak angin terasa menyengat. Cahaya lampu yang menyinari wajahku pun terlihat semakin terang. Aku telah sadar sepenuhnya. "Ibu?" Kata pertama yang keluar dari mulutku.Rasa takut itu kini kembali. Apakah aku mungkin akan menyakiti Ibu dan Ayah saat aku kembali tak sadar?"Ibu, Ayah, Aku takut." Tangisku pun pecah.Selama ini aku berpikir aku adalah gadis yang kuat. Tapi, aku salah. Aku sangat lemah. Aku takut, aku takut pada diriku sendiri."Ibu dan Ayah ada di sini bersama Janis. Janis tidak perlu takut," ucap Ibu sembari terus memeluk dan menciumku.Setelah kejadian itu, aku tak masuk sekolah selama satu minggu. Aku hanya beristirahat di rumah ditemani Ibu dan kakak laki-laki keduaku bernama Bagas.Dan benar saja aku sendirian kali ini, Jaka menghilang seperti yang lain. Apa ucapanku tempo hari sangat keterlaluan? Apa Jaka benar-benar tidak akan menemuiku lagi?"Ah ... kenapa aku terus mengingatnya. Padahal dia sama saja dengan hantu
"Kau sungguh bodoh? Atau pura-pura bodoh?" Aku terus berteriak pada Jaka yang terlihat menyesali perbuatannya. Sesekali dia mencoba bicara tapi aku tak membiarkannya. Amarahku terasa mencuat saat melihat wajahnya. "Lihat, gadis itu terus mengikutiku!" bentakku pada Jaka."Maafkan aku, Janis. Saat itu, aku tak tahu harus berbuat apa untuk menyelamatkan temanmu," jawab Jaka."Kau tahu? Akibat dari perbuatan pahlawanmu itu, aku tak bisa lagi hidup sesuai keinginanku. Gadis itu akan terus mengikutiku," bentakku lagi.Jaka terdiam sesaat, lalu bersujud dan kembali berucap lirih."Apa yang harus aku lakukan untuk menebus dosaku padamu?" Matanya mulai berkaca-kaca."Jangan pernah lagi muncul dihadapanku. Aku sudah tak membutuhkanmu!" Jaka terdiam, kini air mata itu benar-benar menetes. "Janis. Apa kau bersungguh-sungguh?" Ucapannya sedikit membuatku merasa iba. Tapi, apa yang Jaka lakukan sudah sangat keterlaluan bagiku."Ha ... ha ... hantuuuuu!!" teriak Mbok Karsih dari dapur.Aku sege
Matahari pagi mulai menunjukkan eksistensinya. Sorot cahaya dari lampu tidurku mulai meredup.Aku bangun dari tidurku yang nyenyak, disuguhi dengan Jason yang sudah menungguku di balik tirai kamar.Ketenangan itu berubah menjadi suara bising yang Jason timbulkan saat melihatku mulai membuka mata."Kakak. Ayo main ... " ajaknya seperti biasa.Aku meregangkan otot-ototku yang telah dipaksa untuk beraktivitas kembali. Mengumpulkan nyawa sembari menguap, begitu pula dengan Jason yang mulai terbawa suasana."Aku harus ke sekolah hari ini. pulang sekolah, Kakak berjanji akan bermain denganmu." Jason hanya mengangguk pasrah. Mengalah untuk kesekian kalinya."Oh ya, di mana, Jaka?" tanyaku pada Lastri saat hendak sarapan.Seperti biasa, sekolah adalah tempat yang paling menyebalkan bagiku saat ini. Bukan hanya gangguan dari Maria dan Intan, tetapi gangguan dari mereka yang merasakan aku memiliki kemampuan melihat mereka pun terus mengikutiku dari gerbang menuju gedung sekolah. Kebanyakan da
Beberapa hari setelahnya. Seperti biasa aku pamit pada Jason yang selalu menungguku setiap pulang sekolah untuk bermain. Di sana juga ada Lastri yang sudah bergelantungan di pohon manggis depan rumah. Ya, pohon besar itu sudah menjadi rumah untuk Lastri berpuluh-puluh tahun yang lalu. "Mba, Janis. Ini makan siangnya ketinggalan!" panggil Mbok Karsih. "Oh, iya. Terima kasih, ya, Mbok." Aku segera mengambil bekal itu dan berlari menuju mobil yang dikendarai ibuku. Beberapa hari ini aku mulai membawa bekal makan siang ke sekolah. Kejadian tempo hari membuatku jadi lebih waspada akan kehadiran mereka. Sesampainya di sekolah, aku keluar dari mobil setelah berpamitan dengan ibuku yang juga akan berangkat mengajar. "Hati-hati, ya. Kalau ada apa-apa, segera telepon Ibu," perintahnya. Aku hanya mengangguk. Itu adalah kata-kata yang selalu terucap dari mulut ibuku selama tujuh belas tahun. Ibu selalu terlihat khawatir sejak mengetahui bahwa aku memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh
Pukul dua siang, pelajaran pun telah usai. Aku segera keluar dari kelas untuk menemui Jaka. Pasti dia telah menungguku di gerbang sekolah. Berbahaya jika dia melihat makhluk lain yang mengganggu di sekolah ini. Pasti dia selalu ingin ikut campur pada masalah orang lain. Tiba-tiba saja, aku dikejutkan dengan seseorang yang menarik tanganku dan menyeretku pergi dari ruang kelas. Dia adalah Maria dan Intan. "Apa yang kalian lakukan?" Aku mencoba melepaskan genggaman Maria yang terasa sangat kasar. Namun, tenagaku rupanya tak cukup kuat untuk melawan mereka."Ikuti saja kami. Jangan banyak tanya!" bentak Maria. Rupanya mereka berencana membawaku ke gedung olahraga yang sudah kosong. Gedung itu berada di barisan gedung sekolah paling belakang, jadi sangat jarang dilewati oleh murid kecuali ada pertandingan olahraga yang mengharuskan memakai gedung tersebut. Maria dan Intan sepertinya sengaja membawaku kemari.
"Baru saja, Mbok," jawabku.Sejak Jaka meninggal, Mbok Sum hanya tinggal seorang diri. Ayah Jaka telah lebih dulu meninggal karena penyakit yang sama dengan yang diderita Mbok Sum."Ini, Janis belikan obat untuk Mbok Sum. Tolong diterima, ya." Aku memberikan sebuah kantong plastik berwarna putih. Isinya obat-obatan yang biasa Mbok Sum konsumsi. Semua itu resep yang diberitahukan Jaka padaku.Jaka terlihat begitu sangat khawatir pada Mbok Sum yang sering sakit-sakitan. Sesekali dia terlihat menyeka air matanya, memandang ibunya dengan perasaan sedih karena tak bisa berada di sisinya.Jaka merasa tak bisa tenang untuk meninggalkan Mbok Sum sendiri dan aku pun telah berjanji akan membantu mengurus keperluannya.***Malam hari adalah waktu yang sangat menyebalkan bagiku. Betapa tidak, mereka yang sedari tadi sudah mengawasiku kini mulai berani mendekat. Mulai dari memainkan rambut, melempar buku, hingga menunjukkan wujud me
Hai, perkenalkan namaku Ajeng Ayu Janis Rastiti. Usiaku tujuh belas tahun tepat di bulan Mei mendatang. Aku tinggal bersama kedua orangtuaku di sebuah rumah dinas. Karena Ayahku adalah seorang abdi negara. Lebih tepatnya seorang prajurit tentara angakatan darat.Saat ini kami tinggal di sebuah daerah di Jawa Tengah. Aku dan keluargaku memang sudah terbiasa berpindah rumah karena pekerjaan Ayahku.Aku memiliki dua orang kakak laki-laki bernama Wisnu Adiputro dan Bagas Suwarno. Kebetulan saat ini kakak pertamaku sudah bekerja di Jakarta. Sedangkan kakak keduaku sedang menempuh pendidikan di kota Yogyakarta.Aku sendiri adalah murid SMA di sekolah swasta dekat dengan komplek perumahan militer ini. Aku anak yang cukup spesial. Aku memiliki kemampuan yang tak dimiliki orang lain sejak kecil, yaitu bisa melihat makhluk lain selain manusia.Awalnya, aku sangat terganggu dan takut. Ingin rasanya membuang semuanya dan hidup normal. Tapi, perlahan aku mulai
Hari itu, hujan deras membasahi sebagian bumi. Aku berjalan pulang dari sekolah menuju rumah. Aku melewati jalan pintas yang sepi dan licin untuk mempersingkat waktu. Waktu pun berlalu cukup lambat, tidak seperti dugaanku. Mungkin karena keadaan sedang hujan. Walaupun tidak besar, tapi cukup untuk membuat jalanan menjadi basah dan sukar untuk dilewati.Hari semakin sore, aku merasa banyak pasang mata mulai memperhatikanku saat itu. Perlahan mereka mulai mengusikku, menungguku merespon keberadaan mereka.Aku mencoba tetap tenang dan mempercepat langkahku. Sekali saja aku lengah akan sangat merepotkan nantinya.Sama halnya dengan sebelumnya. Aku selalu mendapat gangguan dari mereka, entah itu di rumah, sekolah, atau tempat umum lainnya. Aku selalu mencoba menghindar, tapi mereka tetap mengikutiku. Pernah di tempat tinggalku yang dulu, sepasang suami istri mengikutiku hingga ke rumah. Aku selalu menghindari tempat sepi, tapi tetap saja mereka terus mengikutiku. Walaupun itu sangat meng
Keesokan harinya, tepat pukul sepuluh Ibu sudah sampai di rumah mengendarai motor trail kesayangannya. Ya, Ibuku memang agak unik, selain menyukai motor modelan seperti itu. Ibu juga memiliki hobi ekstrem lainnya. Seperti hiking dan diving.Saat motor Ibu telah sampai tepat di pelataran rumah, aku dan Ayla pun menyambutnya dengan suka cita."Ibumu cantik sekali," ucap Bulan saat melihat wajah Ibu setelah melepaskan helm yang dipakainya."Mari Nur bantu, Tante," ucap Nur yang dengan segera mengambil barang bawaan Ibu.Kali ini, Ibu benar-benar menjadi mangsa empuk untuk Nur. Pasti sebentar lagi dia akan meminta imbalan pada Ibu.Saat aku berpaling ke sisi Nana, gadis kecil itu tengah berkaca-kaca. Entah apa yang ada dipikiran Nana. Mungkinkah Nana teringat sosok Ibunya?Setelah sampai di teras dengan barang bawaan yang cukup banyak. Ibu pun menghampiri Nur."Terima kasih, ya," ucap Ibu."Tadi namamu siapa? Nur, ya?"Nur mengangguk lalu mulai menunjukkan ekspresi andalannya.Ibu pun me