Bulan dengan polos melayang mendekatiku. Dia membungkuk untuk menyamakan posisi denganku yang tengah terduduk. Bulan kemudian tersentak setelah mendengar apa yang aku katakan. "Itu akan membahayakanmu, Aldi." "Tidak mungkin. Hanya kali ini saja, bantu aku. Setelah itu, aku berjanji tidak akan berurusan dengan makhluk seperti itu lagi." Bulan seperti ragu. Bulan tahu, risiko dari apa yang ingin kulakukan sangat besar. Aku bisa saja celaka atau dianggap aneh oleh warga desa. "Baiklah. Tapi, berjanjilah padaku, untuk baik-baik saja apa pun yang akan terjadi." Aku tersenyum, rasanya ingin aku peluk Bulan saat ini. *** "Apa?" Mbah Atmo kembali meletakkan cangkir berisi kopi hitam yang tengah berada di tangannya. "Apa Nak Aldi yakin?" Mbah Atmo kembali bertanya padaku yang terlihat bersemangat. "Yakin, Mbah," jawabku tegas. "Nak Aldi, pikirkan baik-baik. Ini bukan hanya soal berhubungan dengan manusia, tapi makhluk lain. Kita tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya." Mbah Atmo
Malam yang di tunggu telah tiba, Kardun segera membangunkan istri dan anaknya sebagai syarat untuk menemui Ki Demang.Sehari sebelumnya, Kardun nekad menemui Ki Demang pada malam Jumat kliwon. Ditemani sahabatnya, Sarip.Malam itu Kardun dan Sarip berjalan sangat pelan. Sambil menengok ke sana kemari untuk melihat keadaan di sekitar mereka. Kardun dan Sarip tentu tahu, konsekuensi bila mereka terlihat oleh warga desa. "Aku hanya bisa mengantar sampai di sini saja. Aku tak bisa mengantarmu ke dalam." Sarip berbisik tatkala menarik lengan Kardun yang berjalan di depannya.Kardun mengernyitkan keningnya, "Kenapa memangnya, Rip?" tanya Kardun heran."Kau harus menemui Ki Demang sendiri. Ini perintah langsung dari beliau," jawab Sarip menegaskan. Malam begitu sunyi. Angin malam yang menusuk kian berhembus di sekitar tubuh Kardun. Kardun menggenggam erat ujung baju yang sudah lusuh dengan tangan yang bergetar. Apa ini sudah benar? Sebuah pertanyaan terus terngiang di telinga Kardun. Dia ta
Lewat tengah malam, ritual baru selesai dilakukan oleh Ki Demang. Kardun dan Suminah pamit pulang sembari menggendong Mustika yang tengah tertidur saat ritual berlangsung. Malam akan berlalu berganti fajar, Kardun dan Suminah berjalan tergesa menuju rumah mereka yang tidak begitu jauh dari rumah Ki Demang. Sesuai dengan perintah Ki Demang. Kardun dan Suminah harus melakukan ritual ini setiap malam jumat kliwon. Dengan membawa semua persyaratan yang diminta Ki Demang. Saat hari menjelang petang. Kardun terlihat mondar-mandir di teras rumahnya. Tampaknya dia tengah menunggu seseorang. Kring ... kring ... Suara bel dari sepeda tua menghampirinya dari luar pekarangan rumahnya. Rupanya itu Sarip. Kardun segera membuang lintingan tembakau yang baru saja dihisapnya. "Ke mana saja kau, Rip? Lama sekali." Tanya Kardun yang sepertinya sudah tak sabar. Sarip menepikan sepeda tuanya, dia menaiki tangga rumah panggung milik Kardun. "Sabar , Dun. Tadi aku baru mengantar istri dan anakku k
Pada suatu malam, Kardun telah merencanakan pembunuhan untuk Suminah. Kardun telah mengasah golok yang biasa dia pakai untuk menyembelih binatang peliharaannya. Saat Suminah masih tertidur pulas di kamarnya, Kardun mengendap masuk ke kamar dengan sebuah golok di tangannya. Tanpa berpikir panjang, Kardun mengambil ancang-ancang untuk menebas leher Suminah. Tapi, Suminah tiba-tiba bangun dan langsung menjerit. Kardun terkaget dan mengurungkan niatnya. Kardun menyembunyikan golok itu dibelakang tubuhnya, wajahnya berubah tegang. "Istigfar, Pak. Nyebut." Teriak Suminah yang langsung berdiri menjauh. Kardun menyeringai, seperti bukan Kardun yang biasanya. "Pak. Ini Ibu, Pak. Bapak kenapa?" ucap Suminah dengan suara bergetar. Air liur terus keluar dari mulutnya yang menganga. Kardun tak bisa mengontrol tubuhnya, seperti ada sosok yang masuk ke dalam tubuhnya dan mengendalikannya. Kardun kembali mengayunkan goloknya. Namun nahas, Suminah tak bisa menghindar lagi. Kardun berhasil mene
Saat gadis itu menoleh padaku, terlintas bayangan aneh yang mengikuti gadis itu dari belakang."Kau ... Mustika?" ucap Yanto sembari tergagap.Gadis itu mengangguk pelan. Dia menunduk seperti sedang menghindari tatapan dari semua orang.Aku terkejut. Secepat ini Bulan membawa Mustika ke hadapanku. Gangguan pada Mustika dari Bulan pasti sangat keterlaluan, pikirku."Kenapa kau kemari? Kau ingin membuat desa ini mengalami teror lagi?" teriak Yanto. Mustika hanya diam, tak satu pun kata keluar dari mulutnya.Agus dan beberapa orang langsung menghalangi Yanto agar tak membuat keributan. Begitu pula aku, aku ikut berdiri melerai walaupun aku terganggu dengan sosok di samping Mustika. Sosok nenek tua yang menyeramkan dengan rambut abu-abu yang tergerai tak beraturan. Dia memakai kebaya dan kain jarik jaman dulu. Tubuhnya membungkuk sembari memegang tongkat kayu di tangannya. "Saya tahu rumah Pak RT. Mari saya antar," ajakku pada Mustika yang terlihat sedikit ketakutan.Aku segera memberita
Siang harinya, aku dan Mbah Atmo mengunjungi Mustika di rumahnya. Rumah yang sudah sekian lama tak di tempati itu terlihat sangat kotor. Tumbuhan ilalang tumbuh tinggi melebihi tubuhku. "Assalamualaikum," ucap Mbah Atmo. "Waalaikum salaam." Terdengar seseorang telah menjawab salam Mbah Atmo dari dalam rumah. Rupanya itu Mustika, dia terlihat membuka pintu dan masih menggunakan kaos putih dan celana pendek selutut. Rambut pendeknya terlihat di kuncir seadanya. Sendal jepit berwarna kuning melekat di kakinya. "Mbah?"Teriak Mustika girang saat melihat kedatanganku dan Mbah Atmo. Mbah Atmo tersenyum, rupanya mereka benar-benar saling mengenal. "Apa kabar kamu, Mustika?" tanya Mbah Atmo. "Baik," jawab Mustika tanpa berkedip. Terlihat Mustika sangat senang bertemu Mbah Atmo, wajahnya berubah sumringah tidak seperti tadi pagi saat aku pertama kali melihatnya. "Masuk, Mbah, Aldi," ajak Mustika. Mbah Atmo kemudian masuk ke dalam diikuti Mustika dari belakang. Saat hendak mengikuti
Kegaduhan pun terjadi. Suara teriakkan dari warga terdengar bersaut-sautan. Meneriakkan pengusiran untuk Mustika."Usir dia dari kampung ini!""Ya. Usir saja. Kami tidak mau jadi tumbal pesugihannya'.""Bakar saja rumahnya!"Suara umpatan dan makian semakin terdengar jelas. Rupanya warga sudah sampai di depan rumah Mustika.Sesekali aku mengintip ke sebuah jendela yang telah ditutup gorden. "Mustika, tunggu di sini sebentar. Aku akan melihat keluar." "Cepatlah kembali, Aldi. Aku takut!" sembari masih menggenggam erat tanganku. Aku mengangguk, mengiyakan permintaan Mustika. Rupanya, para warga datang berbondong-bondong membawa balok kayu di tangan mereka dengan penuh amarah.Mbah Atmo terlihat mencoba menenangkan mereka. Tapi, warga semakin brutal. Mereka ingin memaksa masuk ke dalam.Walaupun sudah dicegah oleh Pak RT dan Mbah Atmo. Mereka tetap bersikukuh ingin mengusir Mustika. Aku memundurkan langkah, mencari tangan Mustika untuk ku genggam.Saat aku menolah, Mustika sudah tak
Hari semakin terang, cahaya matahari yang muncul perlahan menyinari sebagian ladang dan kebun milik warga di Desa Purnama.Aktivitas warga pun kembali di mulai. Seperti biasa, petani mulai menggarap sawah dan kebun mereka.Aku tak bisa tidur semalaman, memikirkan bagaimana keadaan Mustika. Bulan pun tak kunjung memberikan kabar. Apa Bulan belum menemukan Mustika? Apa yang sebenarnya terjadi pada Mustika? Pikiranku hanya bergelayut pada Mustika. Tak seperti biasanya, aku tak bisa tidak memilikirkannya walau sesaat.Aku merasa harus bertanggung jawab terhadap Mustika. Aku yang bersisikukuh untuk mengamankan desa dengan memunculkan kembali Mustika di desa ini."Ah ... kau memang bodoh, Aldi." Makian terus terucap dalam pikiranku.Tok! Tok! Tok! Suara ketukan dari balik pintu kamar, suara itu diikuti dengan suara parau dari Mbah Atmo. "Nak Aldi, sudah bangun?" "Iya, Mbah. Sudah." Aku bergegas menghampiri gagang pintu dan membukanya. Mbah Atmo juga terlihat lelah, seperti tidak tidur
Suara isak tangis dari Ibu pun terdengar. Aroma minyak angin terasa menyengat. Cahaya lampu yang menyinari wajahku pun terlihat semakin terang. Aku telah sadar sepenuhnya. "Ibu?" Kata pertama yang keluar dari mulutku.Rasa takut itu kini kembali. Apakah aku mungkin akan menyakiti Ibu dan Ayah saat aku kembali tak sadar?"Ibu, Ayah, Aku takut." Tangisku pun pecah.Selama ini aku berpikir aku adalah gadis yang kuat. Tapi, aku salah. Aku sangat lemah. Aku takut, aku takut pada diriku sendiri."Ibu dan Ayah ada di sini bersama Janis. Janis tidak perlu takut," ucap Ibu sembari terus memeluk dan menciumku.Setelah kejadian itu, aku tak masuk sekolah selama satu minggu. Aku hanya beristirahat di rumah ditemani Ibu dan kakak laki-laki keduaku bernama Bagas.Dan benar saja aku sendirian kali ini, Jaka menghilang seperti yang lain. Apa ucapanku tempo hari sangat keterlaluan? Apa Jaka benar-benar tidak akan menemuiku lagi?"Ah ... kenapa aku terus mengingatnya. Padahal dia sama saja dengan hantu
"Kau sungguh bodoh? Atau pura-pura bodoh?" Aku terus berteriak pada Jaka yang terlihat menyesali perbuatannya. Sesekali dia mencoba bicara tapi aku tak membiarkannya. Amarahku terasa mencuat saat melihat wajahnya. "Lihat, gadis itu terus mengikutiku!" bentakku pada Jaka."Maafkan aku, Janis. Saat itu, aku tak tahu harus berbuat apa untuk menyelamatkan temanmu," jawab Jaka."Kau tahu? Akibat dari perbuatan pahlawanmu itu, aku tak bisa lagi hidup sesuai keinginanku. Gadis itu akan terus mengikutiku," bentakku lagi.Jaka terdiam sesaat, lalu bersujud dan kembali berucap lirih."Apa yang harus aku lakukan untuk menebus dosaku padamu?" Matanya mulai berkaca-kaca."Jangan pernah lagi muncul dihadapanku. Aku sudah tak membutuhkanmu!" Jaka terdiam, kini air mata itu benar-benar menetes. "Janis. Apa kau bersungguh-sungguh?" Ucapannya sedikit membuatku merasa iba. Tapi, apa yang Jaka lakukan sudah sangat keterlaluan bagiku."Ha ... ha ... hantuuuuu!!" teriak Mbok Karsih dari dapur.Aku sege
Matahari pagi mulai menunjukkan eksistensinya. Sorot cahaya dari lampu tidurku mulai meredup.Aku bangun dari tidurku yang nyenyak, disuguhi dengan Jason yang sudah menungguku di balik tirai kamar.Ketenangan itu berubah menjadi suara bising yang Jason timbulkan saat melihatku mulai membuka mata."Kakak. Ayo main ... " ajaknya seperti biasa.Aku meregangkan otot-ototku yang telah dipaksa untuk beraktivitas kembali. Mengumpulkan nyawa sembari menguap, begitu pula dengan Jason yang mulai terbawa suasana."Aku harus ke sekolah hari ini. pulang sekolah, Kakak berjanji akan bermain denganmu." Jason hanya mengangguk pasrah. Mengalah untuk kesekian kalinya."Oh ya, di mana, Jaka?" tanyaku pada Lastri saat hendak sarapan.Seperti biasa, sekolah adalah tempat yang paling menyebalkan bagiku saat ini. Bukan hanya gangguan dari Maria dan Intan, tetapi gangguan dari mereka yang merasakan aku memiliki kemampuan melihat mereka pun terus mengikutiku dari gerbang menuju gedung sekolah. Kebanyakan da
Beberapa hari setelahnya. Seperti biasa aku pamit pada Jason yang selalu menungguku setiap pulang sekolah untuk bermain. Di sana juga ada Lastri yang sudah bergelantungan di pohon manggis depan rumah. Ya, pohon besar itu sudah menjadi rumah untuk Lastri berpuluh-puluh tahun yang lalu. "Mba, Janis. Ini makan siangnya ketinggalan!" panggil Mbok Karsih. "Oh, iya. Terima kasih, ya, Mbok." Aku segera mengambil bekal itu dan berlari menuju mobil yang dikendarai ibuku. Beberapa hari ini aku mulai membawa bekal makan siang ke sekolah. Kejadian tempo hari membuatku jadi lebih waspada akan kehadiran mereka. Sesampainya di sekolah, aku keluar dari mobil setelah berpamitan dengan ibuku yang juga akan berangkat mengajar. "Hati-hati, ya. Kalau ada apa-apa, segera telepon Ibu," perintahnya. Aku hanya mengangguk. Itu adalah kata-kata yang selalu terucap dari mulut ibuku selama tujuh belas tahun. Ibu selalu terlihat khawatir sejak mengetahui bahwa aku memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh
Pukul dua siang, pelajaran pun telah usai. Aku segera keluar dari kelas untuk menemui Jaka. Pasti dia telah menungguku di gerbang sekolah. Berbahaya jika dia melihat makhluk lain yang mengganggu di sekolah ini. Pasti dia selalu ingin ikut campur pada masalah orang lain. Tiba-tiba saja, aku dikejutkan dengan seseorang yang menarik tanganku dan menyeretku pergi dari ruang kelas. Dia adalah Maria dan Intan. "Apa yang kalian lakukan?" Aku mencoba melepaskan genggaman Maria yang terasa sangat kasar. Namun, tenagaku rupanya tak cukup kuat untuk melawan mereka."Ikuti saja kami. Jangan banyak tanya!" bentak Maria. Rupanya mereka berencana membawaku ke gedung olahraga yang sudah kosong. Gedung itu berada di barisan gedung sekolah paling belakang, jadi sangat jarang dilewati oleh murid kecuali ada pertandingan olahraga yang mengharuskan memakai gedung tersebut. Maria dan Intan sepertinya sengaja membawaku kemari.
"Baru saja, Mbok," jawabku.Sejak Jaka meninggal, Mbok Sum hanya tinggal seorang diri. Ayah Jaka telah lebih dulu meninggal karena penyakit yang sama dengan yang diderita Mbok Sum."Ini, Janis belikan obat untuk Mbok Sum. Tolong diterima, ya." Aku memberikan sebuah kantong plastik berwarna putih. Isinya obat-obatan yang biasa Mbok Sum konsumsi. Semua itu resep yang diberitahukan Jaka padaku.Jaka terlihat begitu sangat khawatir pada Mbok Sum yang sering sakit-sakitan. Sesekali dia terlihat menyeka air matanya, memandang ibunya dengan perasaan sedih karena tak bisa berada di sisinya.Jaka merasa tak bisa tenang untuk meninggalkan Mbok Sum sendiri dan aku pun telah berjanji akan membantu mengurus keperluannya.***Malam hari adalah waktu yang sangat menyebalkan bagiku. Betapa tidak, mereka yang sedari tadi sudah mengawasiku kini mulai berani mendekat. Mulai dari memainkan rambut, melempar buku, hingga menunjukkan wujud me
Hai, perkenalkan namaku Ajeng Ayu Janis Rastiti. Usiaku tujuh belas tahun tepat di bulan Mei mendatang. Aku tinggal bersama kedua orangtuaku di sebuah rumah dinas. Karena Ayahku adalah seorang abdi negara. Lebih tepatnya seorang prajurit tentara angakatan darat.Saat ini kami tinggal di sebuah daerah di Jawa Tengah. Aku dan keluargaku memang sudah terbiasa berpindah rumah karena pekerjaan Ayahku.Aku memiliki dua orang kakak laki-laki bernama Wisnu Adiputro dan Bagas Suwarno. Kebetulan saat ini kakak pertamaku sudah bekerja di Jakarta. Sedangkan kakak keduaku sedang menempuh pendidikan di kota Yogyakarta.Aku sendiri adalah murid SMA di sekolah swasta dekat dengan komplek perumahan militer ini. Aku anak yang cukup spesial. Aku memiliki kemampuan yang tak dimiliki orang lain sejak kecil, yaitu bisa melihat makhluk lain selain manusia.Awalnya, aku sangat terganggu dan takut. Ingin rasanya membuang semuanya dan hidup normal. Tapi, perlahan aku mulai
Hari itu, hujan deras membasahi sebagian bumi. Aku berjalan pulang dari sekolah menuju rumah. Aku melewati jalan pintas yang sepi dan licin untuk mempersingkat waktu. Waktu pun berlalu cukup lambat, tidak seperti dugaanku. Mungkin karena keadaan sedang hujan. Walaupun tidak besar, tapi cukup untuk membuat jalanan menjadi basah dan sukar untuk dilewati.Hari semakin sore, aku merasa banyak pasang mata mulai memperhatikanku saat itu. Perlahan mereka mulai mengusikku, menungguku merespon keberadaan mereka.Aku mencoba tetap tenang dan mempercepat langkahku. Sekali saja aku lengah akan sangat merepotkan nantinya.Sama halnya dengan sebelumnya. Aku selalu mendapat gangguan dari mereka, entah itu di rumah, sekolah, atau tempat umum lainnya. Aku selalu mencoba menghindar, tapi mereka tetap mengikutiku. Pernah di tempat tinggalku yang dulu, sepasang suami istri mengikutiku hingga ke rumah. Aku selalu menghindari tempat sepi, tapi tetap saja mereka terus mengikutiku. Walaupun itu sangat meng
Keesokan harinya, tepat pukul sepuluh Ibu sudah sampai di rumah mengendarai motor trail kesayangannya. Ya, Ibuku memang agak unik, selain menyukai motor modelan seperti itu. Ibu juga memiliki hobi ekstrem lainnya. Seperti hiking dan diving.Saat motor Ibu telah sampai tepat di pelataran rumah, aku dan Ayla pun menyambutnya dengan suka cita."Ibumu cantik sekali," ucap Bulan saat melihat wajah Ibu setelah melepaskan helm yang dipakainya."Mari Nur bantu, Tante," ucap Nur yang dengan segera mengambil barang bawaan Ibu.Kali ini, Ibu benar-benar menjadi mangsa empuk untuk Nur. Pasti sebentar lagi dia akan meminta imbalan pada Ibu.Saat aku berpaling ke sisi Nana, gadis kecil itu tengah berkaca-kaca. Entah apa yang ada dipikiran Nana. Mungkinkah Nana teringat sosok Ibunya?Setelah sampai di teras dengan barang bawaan yang cukup banyak. Ibu pun menghampiri Nur."Terima kasih, ya," ucap Ibu."Tadi namamu siapa? Nur, ya?"Nur mengangguk lalu mulai menunjukkan ekspresi andalannya.Ibu pun me