"Kau yakin ini jalan yang benar?" tanyaku. Sudah hampir satu jam aku dan Nur berjalan. Tak kulihat Mustika atau pun makhluk lain yang biasanya mengikuti kami. "Tenang saja. Marni tak mungkin salah." "Sejak kapan Marni bisa mendeteksi hantu?" "Sejak malam ini." Nur terus bergumam sendiri, seperti sedang menyanyikan sebuah lagu jawa kuno. "Bahasa macam apa itu, Nur? Aneh sekali," ledekku terkekeh. Padahal saat ini aku merasakan ketakutan saat Nur tiba-tiba saja bernyanyi. "Ini untuk mengundang mereka. Agar mereka ikut membantu kita mencari jalan." Jawaban Nur sungguh membuatku terperanjat. Apa maksud dari perkataan Nur? Darimana dia tahu tentang hal seperti itu. Apa jangan-jangan dia bukan Nur? Apakah dia ... "Bulan?" Nur kemudian berbalik arah dan tersenyum menyeringai ke arahku. "Ah, kukira siapa. Kenapa kau masuk ke dalam tubuh Nur tiba-tiba? Bikin takut saja," ucapku lega. Baru kali ini aku merasa senang merasakan adanya Bulan di sampingku. Bukan aku sudah tak merasa ta
Di sebuah taman yang indah, aku sedang menimati suasana tenang di depan danau. Danau dengan air yang berwarna biru terang telihat jernih dengan ikan-ikan berenang di dalamnya. Angin sepoi-sepoi serta belaian lembut yang kurasakan membuatku makin terasa mengantuk. "Tidurlah, kau pasti sangat lelah." Ucapan itu keluar dari mulut seorang gadis manis yang cantik bernama Rosmala. Kulitnya yang lembut membelaiku sampai aku memejamkan mata. Tiba-tiba kedua pipiku terasa basah, apa Rosmala ...? Ah ... mengapa pikiranku meracau. Tapi, apa ini? Mengapa rasanya geli? "Ah ...," Aku terperanjat melihat Marni yang tengah menjilati pipiku. Rupanya aku tengah bermimpi. Sial! Betapa indah sekali mimpiku itu. Mengapa aku malah terbangun. Sayang sekali. "Lepaskan aku, Marni."Aku menggendong kucing kampung itu dan melepaskannya jauh dariku. "Dasar kau, Marni, kenapa merusak mimpi indahku?" gerutuku kesal."Kakak sudah bangun?" tanya Nur yang mengintip di sela-sela pintu dapur. "Hmm," jawabku
Saat hendak berkeliling desa, kulihat warung Bu Wangsih terlihat ramai. Wajar saja, ini adalah jam pulang para petani yang baru saja menggarap ladang, dan pekerja kebun teh yang baru selesai bekerja berkumpul di warung tersebut. Aku menyempatkan berkunjung hanya untuk menyapa penduduk desa yang tengah bersantai itu. "Mau ke mana, Aldi?" tanya Bulan. Dengan mimik muka ketus dia mencoba mencegahku menemui penduduk desa. "Kau tak ingat apa yang mereka lakukan padamu semalam?" Aku tersenyum, kemudian menatapnya. "Yang berlalu biarlah berlalu. Aku ingin lebih akrab dengan mereka, itu saja." "Kau ini benar-benar aneh. Apa kau tidak takut? Aku menggeleng dan meneruskan langkahku. "Kalau kau tidak mau ikut. Tunggu saja di sini. Aku tak akan lama." "Cih, dasar keras kepala," gumam Bulan. "Kau bilang ingin menemui Mustika, tapi malah pergi ke warung." Aku terus berjalan tanpa mempedul
"Aku sudah mendengar dari Bapak tentang kejadian semalam di perkebunan," ucap Rosmala memulai percakapan "Kau hebat bisa melakukan itu." Senyum manis terukir di bibirnya, entah mengapa setiap kali Rosmala tersenyum, jantungku terus berdebar tak beraturan. "Ah, bukan apa-apa," ucapku tersipu. "Semua orang akan melakukan itu bila berada di posisiku," ucapku kembali merendah. Rosmala tersenyum. Tak terasa kami pun terbawa suasana sampai beberapa menit telah berlalu. Sungguh singkat pertemuan kami kali ini, karena Rosmala harus mengantarkan pesanan ibunya. Aku berjalan di belakangnya, mengantarnya keluar dari warung tempat kami tadi bercengkrama. Hari mulai gelap, rupanya waktu maghrib sudah dekat. "Apa perlu aku antar?' Rosmala menggeleng. "Tak perlu. Ini sudah sore, kau juga harus pulang dan istirahat." Setelah mendengar ucapan Rosmala, kami pun berpisah menuju rumah masing-masing. Diperjalanan, Bulan mulai berbisik padaku dengan raut wajah yang terlihat masih kesal. "Ada y
Aku tak dapat berkata-kata. Saat ini, aku benar-benar tak tahu harus bagaimana. Salah satu hal yang kutakutkan selama ini terjadi. Aku takut peringatan dari Mbah Atmo benar-benar terjadi. Bahwa aku tak bisa berhenti dengan keinginanku sendiri. Sekali mencoba mau tak mau aku akan terus berhubungan dengan mereka."Tapi, Pak. Mohon maaf, sepertinya Bapak salah orang. Saya bukan orang yang seperti Bapak kira," jawabku. Semoga penjelasanku ini dapat dimengerti oleh Pak Yanto. Tatapan mata Pak Yanto mengisyaratkan kekecewaannya. Dia kemudian menunduk sangat dalam."Saya sudah sangat putus asa melihat keadaaan istri saya yang semakin hari semakin mengkhawatirkan. Saya memiliki 4 orang anak yang masih sangat kecil.""Saya tak sanggup kalau harus kehilangan istri saya," ucapnya lirih."Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Saya tidak bisa membantu Bapak. Lebih baik, Bapak mencari orang yang lebih mengerti dengan keadaan istri Bapak." "Tapi, Nak. Kami penduduk Desa Purnama melihat langsung apa ya
Nur dengan girang segera mengambil sepeda tuanya yang terparkir di pelataran rumah.Aku juga sudah bersiap untuk mengajaknya berbelanja di warung Bu Wangsih. Saat hendak pergi, dari kejuhan aku melihat Mustika berjalan ke arah kami dengan membawa beberapa keranjang."Aldi, Nur, apakah kalian akan pergi?" "Iya. Kakak sudah baikan?" tanya NurMustika mengangguk. Dia lalu melirik ke arahku."Kau bagaimana, Aldi?""Ah. Aku baik-baik saja."Aku belum sempat berterima kasih padamu. Ini, aku bawakan sedikit makanan dan buah-buahan. Kebetulan tadi pagi aku sempat ke pasar," ucap Mustika."Kenapa repot-repot. Aku senang bisa membantumu."Aku mengambil keranjang itu, kemudin menaruhnya di atas meja di teras rumah."Oh, ya. Kalian mau pergi ke mana? Apa aku mengganggu?""Tidak, Kak. Tidak mengganggu sama sekali. Kebetulan kami akan pergi berbelanja ke warung Bu Wangsih. Kakak mau ikut?" ajak Nur ramah.Mustika kembali melirik ke arahku, sepertinya dia ingin meminta izin dariku. Tentu saja aku
Sebelum berpamitan pulang, aku merasa ada yang aneh saat melewati kamar mandi yang berada di sebelah kamar. Aura yang menyesakkan untukku kembali ku rasakan."Pak. Bolehkah saya numpang ke kamar mandi?""Boleh, Nak Aldi. Silahkan, di sebelah sini."Pak Yanto langsung menunjuk ke kamar mandi yang baru saja aku maksudkan.Aku benar-benar terkejut kali ini. Sosok yang kulihat di pangakalan ojek yang menggangggu Pak Sarip tempo hari telah berada di sini. Sosok hitam besar itu berdiri di balik pintu kamar mandi sembari melotot ke arahku yang sedikit gemetar.Taring panjang dan tanduk yang melingkar menjadi ciri khasnya. Sebenarnya makhluk apa itu?"Aduh maaf, Nak Aldi. Saya belum sempat mencuci baju jadi sangat menumpuk," ucap Pak Yanto, melihat tumpukkan baju kotor di samping bak mandi yang berserakan.Sepertinya Pak Yanto melihatku yang nampak terkejut tapi dengan maksud yang lain."Oh, tidak apa-apa, Pak. Saya tidak jadi ke kamar mandi. Kita kembali ke dalam saja, Pak."Aku bergidik, ru
Jadikan hanya aku satu-satunyaSang garwa pambage, sang pelipur laraNyanyikan 'ku kidung setia Tak! Suara nyanyian dari radio itu berhenti. Aku menghela nafas dalam. Hari ini ditemani Mbah Atmo aku akan mengunjungi kembali istri Pak Yanto, Bu Rusmini. Di malam harinya aku tidak bisa istirahat dengan baik. Hatiku masih dengan dua pilihan yang belum aku putuskan, antara membantu Pak Yanto atau memilih melupakan semuanya dan kembali ke kota. Itulah tujuan orangtuaku dan paman mengirimku kemari. Mereka ingin aku menentukan pilihanku sendiri, seperti percakapan tadi malam antara aku dan paman. "Keputusan sepenuhnya ada di tanganmu. Menerima atau melepaskan, hanya itu. Kami tak bisa terus menutupi semuanya. Karena, suatu hari nanti kamu pasti akan mengetahui kebenarannya." Ucapan Paman Suwarno itu membuatku sadar akan sesuatu. Bahwa aku memang sudah ditakdirkan untuk berhubungan dengan mereka. Ini bukan lagi soal kutukan dan ramalan. Melainkan soal keinginanku untuk membantu penduduk D
Suara isak tangis dari Ibu pun terdengar. Aroma minyak angin terasa menyengat. Cahaya lampu yang menyinari wajahku pun terlihat semakin terang. Aku telah sadar sepenuhnya. "Ibu?" Kata pertama yang keluar dari mulutku.Rasa takut itu kini kembali. Apakah aku mungkin akan menyakiti Ibu dan Ayah saat aku kembali tak sadar?"Ibu, Ayah, Aku takut." Tangisku pun pecah.Selama ini aku berpikir aku adalah gadis yang kuat. Tapi, aku salah. Aku sangat lemah. Aku takut, aku takut pada diriku sendiri."Ibu dan Ayah ada di sini bersama Janis. Janis tidak perlu takut," ucap Ibu sembari terus memeluk dan menciumku.Setelah kejadian itu, aku tak masuk sekolah selama satu minggu. Aku hanya beristirahat di rumah ditemani Ibu dan kakak laki-laki keduaku bernama Bagas.Dan benar saja aku sendirian kali ini, Jaka menghilang seperti yang lain. Apa ucapanku tempo hari sangat keterlaluan? Apa Jaka benar-benar tidak akan menemuiku lagi?"Ah ... kenapa aku terus mengingatnya. Padahal dia sama saja dengan hantu
"Kau sungguh bodoh? Atau pura-pura bodoh?" Aku terus berteriak pada Jaka yang terlihat menyesali perbuatannya. Sesekali dia mencoba bicara tapi aku tak membiarkannya. Amarahku terasa mencuat saat melihat wajahnya. "Lihat, gadis itu terus mengikutiku!" bentakku pada Jaka."Maafkan aku, Janis. Saat itu, aku tak tahu harus berbuat apa untuk menyelamatkan temanmu," jawab Jaka."Kau tahu? Akibat dari perbuatan pahlawanmu itu, aku tak bisa lagi hidup sesuai keinginanku. Gadis itu akan terus mengikutiku," bentakku lagi.Jaka terdiam sesaat, lalu bersujud dan kembali berucap lirih."Apa yang harus aku lakukan untuk menebus dosaku padamu?" Matanya mulai berkaca-kaca."Jangan pernah lagi muncul dihadapanku. Aku sudah tak membutuhkanmu!" Jaka terdiam, kini air mata itu benar-benar menetes. "Janis. Apa kau bersungguh-sungguh?" Ucapannya sedikit membuatku merasa iba. Tapi, apa yang Jaka lakukan sudah sangat keterlaluan bagiku."Ha ... ha ... hantuuuuu!!" teriak Mbok Karsih dari dapur.Aku sege
Matahari pagi mulai menunjukkan eksistensinya. Sorot cahaya dari lampu tidurku mulai meredup.Aku bangun dari tidurku yang nyenyak, disuguhi dengan Jason yang sudah menungguku di balik tirai kamar.Ketenangan itu berubah menjadi suara bising yang Jason timbulkan saat melihatku mulai membuka mata."Kakak. Ayo main ... " ajaknya seperti biasa.Aku meregangkan otot-ototku yang telah dipaksa untuk beraktivitas kembali. Mengumpulkan nyawa sembari menguap, begitu pula dengan Jason yang mulai terbawa suasana."Aku harus ke sekolah hari ini. pulang sekolah, Kakak berjanji akan bermain denganmu." Jason hanya mengangguk pasrah. Mengalah untuk kesekian kalinya."Oh ya, di mana, Jaka?" tanyaku pada Lastri saat hendak sarapan.Seperti biasa, sekolah adalah tempat yang paling menyebalkan bagiku saat ini. Bukan hanya gangguan dari Maria dan Intan, tetapi gangguan dari mereka yang merasakan aku memiliki kemampuan melihat mereka pun terus mengikutiku dari gerbang menuju gedung sekolah. Kebanyakan da
Beberapa hari setelahnya. Seperti biasa aku pamit pada Jason yang selalu menungguku setiap pulang sekolah untuk bermain. Di sana juga ada Lastri yang sudah bergelantungan di pohon manggis depan rumah. Ya, pohon besar itu sudah menjadi rumah untuk Lastri berpuluh-puluh tahun yang lalu. "Mba, Janis. Ini makan siangnya ketinggalan!" panggil Mbok Karsih. "Oh, iya. Terima kasih, ya, Mbok." Aku segera mengambil bekal itu dan berlari menuju mobil yang dikendarai ibuku. Beberapa hari ini aku mulai membawa bekal makan siang ke sekolah. Kejadian tempo hari membuatku jadi lebih waspada akan kehadiran mereka. Sesampainya di sekolah, aku keluar dari mobil setelah berpamitan dengan ibuku yang juga akan berangkat mengajar. "Hati-hati, ya. Kalau ada apa-apa, segera telepon Ibu," perintahnya. Aku hanya mengangguk. Itu adalah kata-kata yang selalu terucap dari mulut ibuku selama tujuh belas tahun. Ibu selalu terlihat khawatir sejak mengetahui bahwa aku memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh
Pukul dua siang, pelajaran pun telah usai. Aku segera keluar dari kelas untuk menemui Jaka. Pasti dia telah menungguku di gerbang sekolah. Berbahaya jika dia melihat makhluk lain yang mengganggu di sekolah ini. Pasti dia selalu ingin ikut campur pada masalah orang lain. Tiba-tiba saja, aku dikejutkan dengan seseorang yang menarik tanganku dan menyeretku pergi dari ruang kelas. Dia adalah Maria dan Intan. "Apa yang kalian lakukan?" Aku mencoba melepaskan genggaman Maria yang terasa sangat kasar. Namun, tenagaku rupanya tak cukup kuat untuk melawan mereka."Ikuti saja kami. Jangan banyak tanya!" bentak Maria. Rupanya mereka berencana membawaku ke gedung olahraga yang sudah kosong. Gedung itu berada di barisan gedung sekolah paling belakang, jadi sangat jarang dilewati oleh murid kecuali ada pertandingan olahraga yang mengharuskan memakai gedung tersebut. Maria dan Intan sepertinya sengaja membawaku kemari.
"Baru saja, Mbok," jawabku.Sejak Jaka meninggal, Mbok Sum hanya tinggal seorang diri. Ayah Jaka telah lebih dulu meninggal karena penyakit yang sama dengan yang diderita Mbok Sum."Ini, Janis belikan obat untuk Mbok Sum. Tolong diterima, ya." Aku memberikan sebuah kantong plastik berwarna putih. Isinya obat-obatan yang biasa Mbok Sum konsumsi. Semua itu resep yang diberitahukan Jaka padaku.Jaka terlihat begitu sangat khawatir pada Mbok Sum yang sering sakit-sakitan. Sesekali dia terlihat menyeka air matanya, memandang ibunya dengan perasaan sedih karena tak bisa berada di sisinya.Jaka merasa tak bisa tenang untuk meninggalkan Mbok Sum sendiri dan aku pun telah berjanji akan membantu mengurus keperluannya.***Malam hari adalah waktu yang sangat menyebalkan bagiku. Betapa tidak, mereka yang sedari tadi sudah mengawasiku kini mulai berani mendekat. Mulai dari memainkan rambut, melempar buku, hingga menunjukkan wujud me
Hai, perkenalkan namaku Ajeng Ayu Janis Rastiti. Usiaku tujuh belas tahun tepat di bulan Mei mendatang. Aku tinggal bersama kedua orangtuaku di sebuah rumah dinas. Karena Ayahku adalah seorang abdi negara. Lebih tepatnya seorang prajurit tentara angakatan darat.Saat ini kami tinggal di sebuah daerah di Jawa Tengah. Aku dan keluargaku memang sudah terbiasa berpindah rumah karena pekerjaan Ayahku.Aku memiliki dua orang kakak laki-laki bernama Wisnu Adiputro dan Bagas Suwarno. Kebetulan saat ini kakak pertamaku sudah bekerja di Jakarta. Sedangkan kakak keduaku sedang menempuh pendidikan di kota Yogyakarta.Aku sendiri adalah murid SMA di sekolah swasta dekat dengan komplek perumahan militer ini. Aku anak yang cukup spesial. Aku memiliki kemampuan yang tak dimiliki orang lain sejak kecil, yaitu bisa melihat makhluk lain selain manusia.Awalnya, aku sangat terganggu dan takut. Ingin rasanya membuang semuanya dan hidup normal. Tapi, perlahan aku mulai
Hari itu, hujan deras membasahi sebagian bumi. Aku berjalan pulang dari sekolah menuju rumah. Aku melewati jalan pintas yang sepi dan licin untuk mempersingkat waktu. Waktu pun berlalu cukup lambat, tidak seperti dugaanku. Mungkin karena keadaan sedang hujan. Walaupun tidak besar, tapi cukup untuk membuat jalanan menjadi basah dan sukar untuk dilewati.Hari semakin sore, aku merasa banyak pasang mata mulai memperhatikanku saat itu. Perlahan mereka mulai mengusikku, menungguku merespon keberadaan mereka.Aku mencoba tetap tenang dan mempercepat langkahku. Sekali saja aku lengah akan sangat merepotkan nantinya.Sama halnya dengan sebelumnya. Aku selalu mendapat gangguan dari mereka, entah itu di rumah, sekolah, atau tempat umum lainnya. Aku selalu mencoba menghindar, tapi mereka tetap mengikutiku. Pernah di tempat tinggalku yang dulu, sepasang suami istri mengikutiku hingga ke rumah. Aku selalu menghindari tempat sepi, tapi tetap saja mereka terus mengikutiku. Walaupun itu sangat meng
Keesokan harinya, tepat pukul sepuluh Ibu sudah sampai di rumah mengendarai motor trail kesayangannya. Ya, Ibuku memang agak unik, selain menyukai motor modelan seperti itu. Ibu juga memiliki hobi ekstrem lainnya. Seperti hiking dan diving.Saat motor Ibu telah sampai tepat di pelataran rumah, aku dan Ayla pun menyambutnya dengan suka cita."Ibumu cantik sekali," ucap Bulan saat melihat wajah Ibu setelah melepaskan helm yang dipakainya."Mari Nur bantu, Tante," ucap Nur yang dengan segera mengambil barang bawaan Ibu.Kali ini, Ibu benar-benar menjadi mangsa empuk untuk Nur. Pasti sebentar lagi dia akan meminta imbalan pada Ibu.Saat aku berpaling ke sisi Nana, gadis kecil itu tengah berkaca-kaca. Entah apa yang ada dipikiran Nana. Mungkinkah Nana teringat sosok Ibunya?Setelah sampai di teras dengan barang bawaan yang cukup banyak. Ibu pun menghampiri Nur."Terima kasih, ya," ucap Ibu."Tadi namamu siapa? Nur, ya?"Nur mengangguk lalu mulai menunjukkan ekspresi andalannya.Ibu pun me