POV Lidia
Desa Manau, dua puluh lima tahun kemudian
*
*
*
Pov Lidia
"Bugdetnya kebanyakan,Bang," kata Rasyid.
Pemuda itu memperlihatkan catatan Anggaran acara penyuluhan Pertanian yang akan diadakan besok lusa kepada Joseph.
Sebagai ketua dan wakil kelompok mereka kompak banget tetap bersemangat mengerjakan proker sampai tengah malam. Sebenarnya aku sudah ngantuk berat, namun sebagai sekretaris aku harus menunjukan dedikasi ikut rakor terbatas ini, Rani sebagai bendahara sepertinya senasib denganku, dari tadi kulihat dia sudah menguap beberapa kali sampai mengeluarkan air mata. Gina dan Sarah yang menemani kami bahkan sudah tertidur lelap diatas tikar pandan. Mereka menemani aku dan Rani karena di desa ini posko perempuan dan laki-laki terpisah berjarak 200 meter, melalui pematang sawah dan jembatan di sungai kecil.
Malam ini hari ke tiga kami di desa ini. Kami masih buta dengan keadaan desa ini. Ketika kami datang, Datuk kepala desa sudah mempersiapkan rumah untuk posko, posko laki-laki di pinggir jalan utama desa dengan suasana yang lumayan ramai, sedangkan posko perempuan masuk ke dalam melewati persawahan, di sana ada 3 rumah, satu rumah kosong di belakang posko kami, dan sebelahnya rumah cukup besar di huni seorang janda bernama nyai Rudiah dengan ketiga putrinya yang masih SMP dan SD.
Posko perempuan diwanti-wanti sama nyai Rudiah (nyai panggilan untuk nenek yang di hormati) di larang keras untuk dimasuki laki-laki."Lidia, coba catat biaya konsumsinya." Joseph memberi perintah
"Hah? O ... iya Bang. Nggg apa tadi Bang?"
"Biaya konsumsi."
"Oh ...."
Aku malas sebenarnya, mataku sudah tidak bisa diajak kompromi.
Tok...tok...tok....
Tiba-Tiba pintu diketuk dengan keras, membuat mataku dan Rani yang sudah mengantuk kembali terjaga."Dek ... Dek! Oi, Dek," panggil suara dari luar
Secepat kilat Rasyid bangkit dan membuka pintu, nampak di luar seorang pria paruh baya memakai sarung dan peci, dia kepala desa yang biasa dipanggil Datuk. Nama aslinya kami belum ada yang tahu
"O, Datuk. Ada apa tuk?" tanya Rasyid
"Oi, Dek. Kan la sayo bilang, budak betino dilarang ke siko sampe jam 9, kini ko la jam 12."
(Kan sudah saya bilang, anak perempuan dilarang ke sini sampai jam 9, sekarang sudah jam 12.)
"O, maaf, Datuk. Kami ada rapat sampai lupa waktu. Mereka sekarang mau pulang ke poskonya kok," kata Joseph menimpali
"Ayo Lidia, Rani, pulang sana," lanjutnya."Iyo, baleklah. Antar anak betino ni, hari la tengah malam," kata datuk sambil berlalu.
Rani segera membangunkan Gina dan Sarah, mereka bangun dengan malas- malas.
"Ayo, Syid, antar kami," kataku
Aku meminta Rasyid mengantar, bukan tanpa alasan aku memintanya mengantar kembali ke posko cewek, alasannya ... Ah, ada deh, aku belum berani mengungkapkan.
"Gak usah, Rasyid masih ada yg mau dibahas sama aku. Minta antar Markus sama Andre saja," potong Joseph, meruntuhkan harapanku.
Rasyid segera membangunkan Markus, Andre dan Ilham untuk mengantar kami. Dengan perawakan Markus tinggi besar dan berdarah batak setidaknya kami merasa aman, ditambah Andre yang bertampang badboy kurasa bisa nakut- nakuti pemuda nakal di kampung ini.
Sebenarnya aku pengennya Rasyid yang mengantar, pemuda itu memiliki aura yang bisa membuatku nyaman, pertama bertemu aura ahli ibadah terpancar di wajahnya, membuatku... apa ya? Terpesona, penasaran atau apalah aku belum tahu.
Markus segera mengambil senter, begitu juga Ilham, bahkan Ilham melengkapi diri membawa sebilah belati yang disisipkan di balik jaketnya, perawakan Ilham biasa saja, tampang dan penampilan juga biasa tapi kudengar dia pintar bela diri, suatu prestise yang bisa diandalkan untuk seorang cowok. Hanya Andre yang tangan kosong, memakai celana pendek dan kaos oblong, rambut gondrong selehernya nampak acak-acakan sehabis tidur.
Kami berjalan mengikuti Markus berjejer ke belakang seperti kawanan itik. Ilham menjaga paling belakang. Sesekali Gina yang masih mengantuk hampir terjatuh, untung ada Andre di belakangnya yang sigap menangkap tangan Gina. Kami melewati jembatan setapak di sungai kecil yang kalau siang nampak jernih sekali airnya.
"Jalan hati-hati, ini pematang sawah agak licin lo, kepeleset dikit jatuh ke lumpur sawah," kata Markus ketika kami sudah melewati pematang sawah.
"Kau tu jalannya pelan-pelan Kus, aku susah ni ngejar kamu," kata Rani di belakangnya
"Jam berapa si ini, kok sepi banget." Sarah mulai sadar dan bersuara
"Gak dengar kau kata Datuk tadi sudah jam dua belas," kataku menimpali
"Tepatnya jam 12 lewat 15 menit," kata Ilham dari belakang setelah melihat jam tangannya yang disenteri
"Hii aku takut," ujar Gina
"Tenang saja, Cantik. Ada Bang Markus di sini," seloroh markus yang di ikuti koor dari semua
"Huuù ...."
Kami kompak menyahutnya di ikuti gelak tawa
"Cie ... Markus mulai merayu Gina," sahut Sarah
"Lagak kau Kus, Markus," timpal Andre
Tak terasa kami sudah ada seratusan langkah menyusuri pematang sawah
"Oi, ada orang oi!" kata Markus
Pemuda itu berhenti tiba-tiba. Otomatis kami ikut berhenti sehingga tubuh kami limbung kebelakang, untung kami masih berjarak, kalau tidak di antara kami pasti sudah ada yang jatuh ke sawah.
Nampak sekitar 50 meter di depan kami ada dua obor menyala di tengah sawah."Mungkin orang mencari ikan atau belut di sawah. Ayok, lanjut," kata Andre
Kamipun melanjutkan perjalanan, baru beberapa langkah kami dikejutkan tawa renyah khas anak-anak kecil sedang bermain, nampak di depan kami dua orang anak laki-laki memakai baju khas melayu memakai ikat kepala berjongkok membelakangi kami, tertawa-tawa menusuk-nusuk sesuatu memakai ranting dan seorang anak perempuan memakai baju kurung tertawa sambil berlari menjauh dan mendekat lagi kearah anak laki-laki itu, kalau di taksir umur mereka sekitar 6 sampai 7 tahun. Pemandangan itu membuat sebagian kami takjub dan membatin tak masuk akal.
"Lagi ngapain anak-anak itu?" tanyaku lirih
"Sepertinya lagi mainin kepiting," jawab Andre.cowok itu tepat di depanku, suara pelan bahkan setengah berbisik.
"Hoii!!! Anak siapa kamu malam- malam berkeliaran di tengah sawah? Emang gak dicariin bapakmu ya?"
Tiba- tiba Markus berteriak ke arah anak- anak itu.
"Markus!!"
Serempak kami menghentikan aksi Markus.
Beberapa detik kemudian anak-anak itu terdiam. Terlihat sorot mata tak biasa dari anak perempuan yang menghadap kami, seperti kilat yang tajam mengerikan membuat bulu kuduk kami berdiri, dan kaki kami sulit di gerakkan. Tanganku bahkan sampai gemetaran.
Beberapa detik selanjutnya, anak laki-laki yang tengah jongkok membelakangi kami, kepalanya menoleh, selanjutnya berputar 180 derajat namun badannya masih di pososi semula, menyadari hal itu membuat kami semua teriak ketakutan, berbalik dan berlari tunggang langgang "Haaa ...." Kami masih terus berlari sekencang-kencangnya.Sampai di posko cowok, pintu kami menggedor bersamaan. "Bukaaa!" "Toloong!" "Buka cepat!" Setelah pintu dibuka kami anak perempuan langsung menerobos kamar, di sana ada beberapa anak laki-laki yang sedang tidur, kami tidak peduli. "Oi, bangun! Pindah sana!" Perintah Rani. Beberapa anak laki-laki tersebut segera pindah keruang tengah, di sana kudengar Markus, Andre dan Ilham sedang menceritakan kejadian tadi dengan heboh. Aku, Rani, Gina dan Sarah beranjak tidur tanpa sepatah kata, kejadian tadi cukup membuat kami shock. Tanganku saja masih gemetar. Kami tidur berpelukan, berharap mengusir rasa takut. Masalah dengan Datuk kepala desa, bodo amat lah .... ****
Sehabis mandi rasanya segar sekali. Beda memang air sungai pegunungan dengan air kran di indekost, rasanya menyegarkan sampai ke sumsum tulang. Selesai menyisir rambut, lampu kamar segera kunyalakan, suasana nampaknya sudah mulai gelap, padahal baru jam setengah enam sore. Walaupun di pedesaan ternyata PLN sudah menerangi wilayah ini, syukurlah tidak perlu takut kegelapan. Segera aku menuju ruang tamu sekaligus ruang keluarga, kunyalakan lampunya juga. Kuamati Rumah posko perempuan ini, ukurannya hanya 7m x 8m, bangunannya semi permanen, lantainya dari semen dan tidak memiliki flapon. Terdapat dua kamar tidur, satu dapur, di dekat dapur ada WC yang tidak di sekat, ada bak mandi dan selang tapi tidak ada airnya, sepertinya airnya harus di alirkan dari sungai memakai pompa air, ya ... terpaksa ngangkat air pakai ember kalau mau buang air. Di antara dapur dan ruang tamu sekaligus ruang keluarga itu ada ruang kecil yang di sekat lemari, ada tikar pandan yang dibentangkan, diatasnya te
Setelah salat subuh, sudah menjadi kebiasaan sejak lama kulanjutkan dengan membaca Alquran. Membaca kitab suci di awal hari selalu memberi energi positif untuk bekal menjalani aktivitas seberat apapun beban kehidupan ini. Hari sudah jam 6 pagi, ketika kubuka jendela depan yang terbuat dari kayu, suurr ... angin dingin nan segar masuk ke dalam rumah. Ah, alam pedesaan memang menyegarkan. Kumanjakan mata ini menikmati pemandangan persawahan yang membentang, padinya mulai berisi, sebagian ada yang mulai menunduk walau warnanya masih hijau, menyejukkan mata sekali. Kuedarkan pandangan lebih jauh sambil membuat gerakan senam ringan, putar kepala, kaki, lengan dan bahu. Kurentangkan tangan ke atas sambil menggeliatkan tubuh, terasa rileks sekali. Kupandangi deretan bukit barisan yang menjulang tinggi, sebagian tertutupi awan tipis, sungguh indah pemandangan desa ini, anugerah Tuhan yang tak ternilai. Berbeda suasananya dengan di kota, dimana kampus kami berada, udara sudah tercemari oleh
"Aku gak bisa melihatnya, tapi bisa merasakan energinya, kalian hati-hati. Lidia, tolong baca Alma'surat itu setiap hari sehabis salat subuh, supaya rumah ini bercahaya sehingga makhluk halus takut mendekat." "Iya Mbak, InsyaAllah," kataku sambil memandang kitab kecil itu "Mungkinkah penghuni jeruk bali itu sejenis kun?" "Huss! Rani, jangan diteruskan ucapanmu, kita tahu sama tahu saja, siapa tahu pembicaraan kita didengar olehnya," potong Gina "Bisa jadi mereka ada yang nimbrung di sini," ucap Nurulia "Haish! Stop! Bisa diam nggak?" ucapku meradang, bisa gak sih, gak pakek nakut-nakutin Pantas nyai Rudiah ngelarang mendekati pohon jeruk bali, ternyata ada alasan mistisnya. Atau ada alasan lain? ***** Huuhhhfff ... kehembuskan napas panjang, kuhirup udara dan mengeluarkannya dengan kuat, dada sampai mengelembung. Baru tiga hari di desa ini sudah banyak yang bikin spot jantung. Semalam adalah pengalaman terseram selama hidupku. Membayangkan anak kecil itu memutar kepalanya hiii
Kantor kecamatan seperti sebuah bangunan perkantoran pemerintah daerah pada umumnya. Di tengahnya terdapat gerbang masuk perkantoran. Halamannya nampak gersang, bagian pinggirnya ditumbuhi pohon pinang yang buahnya sudah banyak yang masak. Di depan kantor, terdapat beberapa motor yang terpakir. Kami di sambut salah satu pegawai yang memakai baju olah raga, sepertinya kalau hari jumat mereka memakai seragam olah raga semua, sebelum memulai tugas mereka melakukan senam SKJ dahulu. Namun ada beberapa orang memakai pakaian biasa sedang duduk di bangku panjang yang disediakan, sepertinya mereka warga mau mengurus surat menyurat seperti KTP atau kartu keluarga. Kami menyalami para pegawai di sana, mereka menyambut kami dengan ramah. Selanjutnya kami diarahkan ke sebuah ruangan, di sana kami di sambut oleh seorang bapak, kumis tebalnya membuat bapak tersebut penuh wibawa. "Pak Camat ada urusan di kabupaten, rumah dinasnya ada di belakang kantor ini, tapi kalau akhir pekan beliau pulang ke
Sabtu sore akhirnya proposal ini selesai, ku print satu rangkap dan kuserahkan pada Bang Joseph dan tim pelaksana untuk dikoreksi, ternyata mereka setuju dengan isinya, hanya ada beberapa hal yang harus direvisi. Jam 4 sore semua sudah selesai, sudah diprint dan dijilid. Semua proposal kumasukkan ke tas ransel dan cau, mengunjungi pak kumis baplang. Aku tidak sabaran ketemu dengannya. Kuajak Widya untuk menemani."Cepetan Wid, nanti keburu sore," kataku mendesak Widya yang sedang memakai sepatu."Udah, pakai sandal aja, lama banget. Cuma dekat ini," lanjutku gak sabaran, duh, Widya tibang deket sini aja pakek sepatu kets, bener-bener ni anak."Sabar dong Lid, sendalku gak ada di sini. Sebagai mahasiswa, lebih berkarisma pakai sepatu," katanya sambil mengikat tali sepatu."Lagian buru-buru amat kamu tu, kayaknya kangen banget sama Pak Sumarlin," katanya lagi asal bicara."Iya, kangen aku ama kumisnya," jawabku yang juga asal."Ha?? Lidia... beneran kamu? Udah error nampaknya otakmu seh
Hari minggu pertama di desa ini ... welcome sunday!Rencananya hari ini aku dan teman-teman mau mengobok-obok pasar kalangan. Tapi rencana itu masih jam sepuluh nanti, sekarang masih jam tujuh pagi, waktunya nyuci baju. Eh ... tapi tunggu dulu, aku belum punya ember besar nih, ember kecil seupil gini mana bisa membawa baju kotorku yang sudah empat hari belum di-eksekusi. Ah, mending main ke kontrakan mbak Zarimah, mumpung masih pagi.Sebelum ke rumah mbak Zarimah kusempatkan ke posko cowok, di sana Rani dan Gina sedang memasak, Ilham juga nampaknya sedang mencuci ikan dan wow ... nampak Markus sedang menggiling cabe pakai gilingan batu."Kenapa gak diblender saja Kus?" tanyaku"Ah, dak enak cabe blender-nya. Enak digiling tangan aja nya," jawabnya Sesekali anak itu menyeka keringat memakai bahunya. Hmm, dasar orang medan, kalau ngomong gak ketinggalan nya ... nya ...."Emang gak panas tanganmu?" tanyaku lagi"Ya panas lah ... ae, komentar aja nya kau ni, bantuin kek?" ujarnya masih
Hari senin ini giliran aku piket. Rasanya belum hilang capekku setelah kemarin menyusuri pasar kalangan, membeli semua sembako. Ada minyak, beras, tepung, gula, kopi yah... segala macam barang. Walau rame-rame aku kebagian membawa sekerdus mie instan. Memang tidak terlalu berat, tapi kalau berjalan 1 km? ya pegel juga.Aku piket bareng mbak Zarima, Nurulia, Rasyid dan Ilham. Mbak Zarima walau sudah menikah ternyata tidak pandai memasak.Kalau di kampus, dia jarang masak, seringnya beli lauk matang atau nasi bungkus. "Mbak cuma berdua dengan dedek Zidan. Bang Ikhram kan jarang bersama kami kalau nggak weekend," katanya memulai cerita."Bahkan waktu pertama nikah dulu, aku di suruh goreng ayam tepung sama mertua, luarnya sudah gosong, dalamnya masih mentah. Serumah ada ayah mertua, kakak ipar dan adik Ipar mau muntah makan masakan aku," kata mbak Zarima, sambil mengiris-iris bawang merah."Nggak kebayang itu ayam dua kilo tekenyah* untuk makan kucing sama anjing tetangga," sambungnya s
POV Bayu Arya"Kenapa ngelihatin aku kekgitu? Awas ... aku mau mandi!" teriaknya galak sambil mendorong tubuhku.Duh ... lucunya, kalau lagi malu kayak gitu toh tingkahnya, aku terus menatapnya dengan senyum menggoda. Dia hempaskan pintu kamar mandi dengan kuat. Tenang saja cantik, akan kutaklukan kegalakkanmu nanti.Selagi dia mandi aku keluar kamar, menyuruh pelayan hotel membawa minuman hangat karena yang dingin sudah ada di kulkas, serta menyuruhnya membawa penganan pempek kesukaan istriku, kuberi mereka beberapa lembar uang, aku menyuruhnya mencari di restoran yang terkenal menyediakan makanan tersebut, juga membeli sate madura kesukaanku, dan beberapa makanan ringan. Sesampainya di kamar, kulihat istriku itu sudah selesai mandi, dia masih memakai piyama mandi warna putih, duduk di tepi ranjang sambil memainkan handphonenya. "Darimana?" tanyanya"Pesan makanan. Nanti kalau pesanan datang, terima ya? aku mau mandi," kataku melangkah ke kamar mandi"Aku gak mau, pelayannya cowok
Pov BayuSetelah akad nikah, aku kembali lagi ke hotel, sesuai perjanjian kami, kami tidak akan bermalam pertama jika resepsi belum di gelar.Kenapa aku menyetujui perjanjian konyol yang di ajukan Lidia itu. Ah, sekarang aku yang tersiksa sendiri kan? Wajah cantiknya di akad nikah tadi yang seperti bidadari turun dari kayangan sekarang jadi terbayang-bayang. Apa coba yang akan aku lakukan seharian besok Sabtu? Coba kalau ... jiah, aku benar-benar harus bersabar sekarang.Aku melangkah ke lobby hotel bintang lima di kota ini, menuju resepsionis. Aku pesan kamar presiden suit, sekarang aku tinggal di kamar VVIP. Kupesan agar kamar itu dihiasi dan didekorasi untuk bulan madu. "Untuk minggu Malam, ya!" kataku pada petugas hotel"Baik, pak," jawab petugas hotel ituAku kembali ke kamar dan rebahan, kucek status facebookku di grub relawan yang pernah aku ikuti, ternyata sudah ramai sekali. Ada yang mendoakan pernikahanku, bahkan sebagian mereka akan segera meluncur ke kota ini. Kubalas sa
Pov LidiaPersiapan pesta pernikahan tinggal dua puluh persen, undangan sudah tersebar. Mas Bayu tidak mengundang temannya sama sekali, katanya hanya akan mengabari di grup facebook. Akad nikah akan diadakan hari Jum'at selepas salat Jum'at dan resepsinya hari minggu, sudah menjadi kebiasaan di sini resepsi diadakan hari minggu, mengingat hari libur, bagi yang kerja kantoran bisa menghadiri pesta.Selama persiapan pesta Mas Bayu tinggal di hotel, Mamak bilang pamali bertemu mempelai wanita sebelum hari H. Aku dan dia hanya bisa ngobrol via telpon, rasanya kangen banget tiga hari gak ketemu sama dia. Sebelum tidur, dia pasti selalu menghubungiku dulu. "Sayang, sedang apa?" tanyanya di seberang telpon.Aku masih belum terbiasa dengan panggilannya, rasanya ada yang menggelitik di hati ini, Sayang? Ow, uwu ...."Emm, baru mau tidur Mas," kataku malu-malu meong."Oya, tadi kata Pakdo Marlin Bibi Rudiyah sudah pulang dari Rumah sakit, keadaannya juga sudah membaik, InsyaAllah besok dia ke
Aku tak kuasa menahan tangis melihat kondisi Nyai Rudiyah yang tinggal kulit berbalut tulang. Napasnya tinggal satu, dua tersengal-sengal. Rofita, Afikah dan Aida begitu senang aku datang. Aku sempatkan membeli oleh-oleh jajanan di sebuah warung sebelum ke sini."Nyai, apa kabar? Ini Lidia ... Nyai sakit kenapa tidak ngabari?" kataku tulus sambil menggenggam tangannya."Lidia ... kenapa datang jauh-jauh? terima kasih sudah datang menemuiku." "Nyai, kami akan membawa nyai ke Rumah sakit. Mau ya, nyai dirawat di rumah sakit?" "Ah, tidak usah repot-repot Lidia. Sepertinya kau membawa teman, siapa dia?" kata Nyai Rudiah sambil menoleh ke arah Mas Bayu yang dari tadi berdiri di depan pintu kamar.Aku melambai ke arahnya, Mas Bayu mendekat ke arah kami."Bibi ... Bibi harus segera sembuh," kata lelaki itu mendekat ke arah Nyai Rudiyah.Wanita tua itu tercekat, dia sangat terkejut melihat siapa yang datang. Matanya melotot, bibirnya bergetar, bahkan seluruh tubuhnya gemetaran. Mas Bayu mer
Walau aku sudah mendengar tadi subuh obrolan mereka, namun mendengar langsung dari mulutnya membuatku sedikit berdebar. "Maukah kau menikah denganku?" tanyanya Aku hanya tersenyum simpul, jadi dia sedang melamar nih ceritanya? "Kau melamarku di mobil yang tengah melaju?" "Kenapa? Kurang romantis, ya?" "Lamarlah pada Bapakku, minta baik-baik sama dia." "Oo, itu pasti, sampai rumahmu langsung kuminta anak gadisnya," katanya tersenyum lebar. "Kalau gitu aku sekalian ngundang Pakdo Marlin sama Nyai Rudiyah," kataku "Kenapa? Mereka bisa tahu dong kalau aku masih hidup," katanya. "Sebaiknya mereka tahu, kau tidak perlu memusnahkan rumahmu, biar mereka yang melakukan. Sekalian Mas minta maaf pada nyai Rudiyah, walau bukan diri Mas yang menghabisi anak-anaknya, namun peliharaan Mas yang melakukannya, itu sama saja jadinya. Kalau Pakdo Marlin, diakan sudah tahu juga aku pernah bertemu denganmu," kataku "Ya, baiklah jika menurutmu begitu." ****Kami memasuki lorong kediaman Pakdo M
Pagi ini aku bangun tidur lebih cepat, kulihat di handphone menunjukkan pukul 4 pagi. Aku segera melaksanakan salat Tahajud, kuminta Allah agar segera membebaskan lelakiku itu dari pasungan jin yang menguasainya selama ini.Aku masih terbayang bagaimana Kiyai Amran sangat kesulitan menaklukkannya, hingga Kiyai Amran kuwalahan menangkis serangan dari Mas Bayu. Ah, pria itu benar-benar sakti, dikeroyok beberapa orang saja menang. Semua orang sampai takut-takut menyerangnya. Sehingga dia dilumpuhkan pakai senapan obat bius. Ah, sudah seperti memburu harimau sungguhan.Selepas mengaji aku bergegas ke musola ingin ikut salat subuh berjamaah. Ternyata masih lima belas menit lagi Azan Subuh. Aku segera memasuki masjid yang masih lenggang belum ada jamaah putri yang datang. Aku duduk mengambil tempat paling depan. Rencana mau kusambung tilawahku sambil menanti Azan Subuh. Tiba-tiba beberapa jamaah pria datang, suara sandal dan obrolan jelas terdengar, karena tempat wanita dan pria dibatasi se
Pov LidiaKami akhirnya benar-benar pergi siang ini ke Merangin. Bapak sebenarnya keberatan, karena aku baru sembuh dari sakit, namun lelaki itu meyakinkannya bahwa dia akan menjagaku. Andika kuminta menemaniku, tapi dia menolak beralasan kalau dia sudah banyak tertinggal mata kuliah sewaktu menungguku di rumah sakit.Kami berangkat selepas salat zuhur, sesudah makan siang. Lelaki itu melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, aku duduk di sebelahnya memandang lurus ke depan."Tidurlah, biar badanmu lebih sehat. Atur kursinya, agar bisa berbaring nyaman," katanya Kutarik besi pengatur kursi, namun posisinya tidak juga berubah."Gimana sih ngaturnya ini?" gerutuku, karena sudah berusaha tetapi belum juga kursi itu rebah.Lelaki itu menepikan mobilnya ke badan jalan, ditariknya besi pengatur itu sehingga kursi itu rebah, jaraknya yang tertalu dekat denganku membuat dada ini mendesir, tercium aroma tubuhnya seperti dulu, aroma yang pernah kucium ketika berboncengan motor dengannya. Ku
Pov. Bayu Arya"Apakah kau sudah mendapat apa yang kau cari dengan keliling dunia, Mas?" tanya gadis itu. Dia menatap air sungai yang tenang, setenang wajahnya yang kini dibalut jilbab, sehingga seluruh tubuhnya tertutup. Aku menyukai cara berpakaian dia sekarang, dia lebih terlihat anggun dan mempesona. "Aku sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya aku cari, aku melakukan semua itu sebenarnya hanya pelarian, mencoba melupakan istriku, namun semakin aku melupakannya, justru luka itu semakin dalam." "Kau sudah menuntut ilmu sampai ke Universitas nomor satu di dunia, bahkan dua Universitas paling top di dunia dengan biaya yang sangat mahal. Namun, pernahkah kau berpikir untuk mencari ilmu agama, bekal untuk menuju kehidupan yang akan kekal abadi di akherat?" Kata-kata gadis itu menohok ke relung hati yang paling dalam. Aku tidak bisa berkata apapun, aku hanya terdiam seribu bahasa."Mas Bayu ... mungkin kegersangan hatimu karena kau belum menemukan petunjuk dan hidayah dari Allah. Car
POV Bayu Arya Gadis itu sekali pandang sudah membuatku jatuh hati, lentik bulu matanya, hidungnya yang bangir, senyumnya yang ... aduh, tidak bisa kujelaskan karena aku benar-benar mabuk dibuatnya. Aku tahu, Aslan yang memilih gadis itu untuk meneruskan keturunan keluarga Aslan. Namun, aku juga mencintainya sedalam-dalamnya.Sudah tiga puluh tahun usiaku, namun baru kali ini aku merasakan jatuh cinta pada wanita, ternyata jatuh cinta itu sangat membuatku bahagia dan bersemangat. Tidak butuh waktu yang lama untuk menyuntingnya jadi pendamping hidupku. Aku tidak lagi hidup sendiri, karena ada belahan jiwa yang bisa kusalurkan rasa kasih sayang dalam jiwaku.Tidak ada yang mengenal namaku Bayu Arya selain paman Ja'far dan Bibi Rudiyah. Mereka semua mengenalku Bagindo Aslan, maka ketika ijab qobul aku memakai nama Bagindo Aslan. Namun, satu yang tidak kusadari, Paman Ja'far menulis nama lengkapku ketika menjadi saksi pernikahan Sumarlin, bocah yang kuselamatkan nyawanya memakai racikan a