“Amiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii, Mamaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaannn.”
Lolongan Ibu memanggil nama Bik Ami dan Pak Maman begitu menyayat hati. Perempuan itu lantas berlari dan merangkul jasad Bik Ami yang tubuhnya nyaris remuk. Darah menggenangi sebagian aspal.
“AAAAAAAAAAAAAAAARGHHHHHHHHHHHHHH,” teriak Ibu histeris. Ia syok luar biasa melihat pemandangan mengerikan yang terjadi di depan matanya. Jeritan Ibu menyadarkan orang-orang dan kerabat. Mereka berbondong-bondong datang melihat.
Bik Marsinah, Chandra dan anak perempuan Bik Ami menangis berguling-guling sebelum pingsan karena tidak kuat melihat tabrakan maut yang merenggut nyawa orang yang mereka say
Selepas Kusno pulang, Agil masih berada di teras dengan sebuah paket yang dibungkus dengan plastik bubble wrap berwarna hitam di depannya. Ia ragu membuka isi paketan itu. Dibacanya sekali lagi nama pengirim paket. “Mirna Dewi.” Dia tak salah membaca. Karena bimbang, Agil mencari Chandra di dalam rumah. Tapi dia terkesima melihat gadis itu tertidur pulas di kursi seperti seorang bocah polos dengan dengkuran halus.Agil duduk di samping Chandra, dia bisa memandang puas tanpa malu, mengagumi kecantikan Chandra. Bulu matanya lentik, hidung bangir dan bibir sensual membingkai indah sangat pas sekali dengan karakter kuat yang dimiliki oleh gadis itu.Agil mesem. Lantas pandangan matanya jatuh ke bibir Chandra, darah muda Agil bergelegak, ingin s
Belum hilang kekagetan Agil dan Chandra, samar-sama terdengar suara teriakan orang-orang. Tak lama setelah itu ada dua truk yang membawa puluhan orang berhenti di tepi jalan di depan rumah Agil lalu menurunkan mereka satu persatu. Mereka terus berteriak. “Bunuh mereka!” “Bakar rumah mereka!” “Usir mereka dari sini!” Semakin dekat suaranya kian menakutkan. “Ayo Pak cepat! Gak ada waktu lagi!” Kusno semakin panik melihat puluhan orang d
Mendengar suara berat laki-laki, reflek Chandra bersembunyi dibalik Agil. Salah satu tangannya memegang baju kaos pemuda itu. “Gil…” kata Chandra khawatir. “Tenang.” Mulut Agil komat-kamit tanpa jeda. KREK Agil mematahkan ranting pohon di sampingnya untuk berjaga-jaga bila terjadi sesuatu. Meski pelan, telinga pria itu mendengar langkah berat kaki yang mendekatinya.BUK… BUK… BUKDia menunggu dengan gelisah. Langkah itu semakin dekat memicu ritme jantung Agil dan Chandra berdenyut lebih cepat. Chandra mempererat memegang kaos Agil.
“Jangan bercanda Chandra!” kata Agil setengah menghardik. “Siapa yang bercanda, aku tahu dari penduduk sini, Abah Sarif meninggal karena Covid. Kalau kamu tidak percaya, ayo kita ke sana sekarang!” tantangnya. “Tidak mungkin… tidak mungkin!” sangkal Agil. Dia langsung masuk ke dalam rumah dan baru sadar, di meja tidak ada apa-apa kecuali tas miliknya. Kemudian dia beringsut ke bilik Abah Sarif. Di sana dia disambut oleh sarang laba-laba dan debu tebal yang menempel di kasur tipis serta rokok klobot yang masih utuh di meja. Selanjutnya dia kembali memeriksa dapur, tak ada jejak aktifitas di sana. Agil terhenyak!&nb
Selama perjalanan menuju rumah Kusno. Agil menyembunyikan perasaannya dengan menekuk wajah. Hatinya berdarah menerima tuduhan kotor telah menumbalkan Bik Eha dan Pak Maman untuk penglaris usahanya. “Ya Rabb, aku adalah hamba yang hina, betapa berlikunya jalan menjadi orang baik?” desisnya lirih. Badan pria itu gemetar menahan emosi yang menyelebungi hatinya. Jahat sekali orang yang tega melontarkan fitnahan sekeji itu. Chandra yang duduk di sebelah Agil hanya bisa mengusap punggung Agil, menenangkannya, supaya sopir taksi tak kentara orang yang ia bicarakan barusan adalah customer yang duduk di kursi belakangnya. Akhirnya mereka sampai di rumah Kusno. Bik Marsinah sedang menyuapi Ibu. Perempuan tua itu masih tampak terpukul dengan kejadian semalam. Hati Agil teriris mel
Chandra dan Bik Marsinah menutup mulutnya. Ada kengerian di wajah mereka berdua. Sumpah pocong bukan main-main. Sumpah ini untuk membuktikan suatu tuduhan yang bahkan tidak ada bukti sama sekali. Konsekuensinya bila keterangan tidak benar, maka yang bersumpah akan mendapat laknat dari Tuhan bahkan resiko kematian. “Bu! Istighfar!” ucap Agil menenangkan ibunya. “Apa kamu takut Le? Jika kamu benar, kenapa mesti takut? Kita harus menegakkan kebenaran supaya kita gak diinjek-injek oleh mereka!” ucap Ibu galak dan mata berapi-api. Dia kemudian mendekati Pak Efendi. “Hari ini Anda menang. Anda telah menipu anak saya! Tapi Allah mboten sare! Ingat itu!” Pak Efendi
Agil mengambil ponsel Kusno dan melihat video viral perdebatan antara Pak Rustam dan Ustad Sodiq di warung nasi pecel pincuk, yang mengejutkan video tersebut sudah ditonton sejuta orang.Pemuda itu tercenung setelah membaca banyak komen yang menanyakan soal sumpah pocong. “Asem” gerutu Agil. Sebentar lagi hidupnya tak bakalan tenang karena wartawan pasti memburu ia dan ibunya untuk dijadikan sumber berita. “Kusno, Aku perlu bantuannmu. Tolong antarkan aku ke suatu tempat!” ajak Agil. Dia segera memakai masker dan cepat-cepat melangkahkan kakinya menuju sepeda motor bebek milik Kusno yang terparkir di bawah pohon mangga. “Kemana Pak?” Kusno setengah berlari menyusul Agil. Ia lalu mengambil motor dan menghidupkannya.&
Agil menyeka peluh yang membanjiri keningnya dengan telapak tangan sebelum masuk ke usaha penggilingan Haji Anwar. “Silahkan masuk Pak,” ajak Haji Anwar santun. Dia lalu meminta staffnya untuk membuatkan minum untuk mereka. Agil duduk dan langsung memberikan uang kepadanya. “Saya datang untuk melunasi tagihan beras yang sudah jatuh tempo, sekalian mau mengucapkan terima kasih selama kita bekerja sama. Silahkan uangnya dihitung Pak.” Agil melunasi semua hutangnya, meski tabungannya kosong, hatinya lega, dia tak punya beban. Haji Anwar tersenyum. “Saya gak masalah uang itu Bapak pakai dulu untuk buka usaha lagi karena saya percaya sama Bapak. Ngomong-ngomong kesusahan yan
Dokter Samuel membuka plester dan kain kasa yang menutupi kedua mata Chandra. “Chandra bukalah mata pelan-pelan,” suaranya sangat tenang dan hangat. Chandra membuka matanya pelan-pelan lalu mengerjap- ngerjapkan mata sebelum melihat ke sekeliling. Semua yang ada di kamar itu menahan napas. Senyum Chandra mengembang lebar ketika melihat satu persatu orang yang disayanginya berada di sisinya. Ia menyebutnya satu persatu. “Agil, Tante, Emak, Bapak, Bik Mar.” Chandra terdiam saat melihat lelaki paruh baya berada di samping Bik Mar. “Dia siapa Gil? Apakah itu suami Bik Mar” “Alhamdulillah! Chandra bisa melihat lagi,” seru Agil kemudian dia sujud syukur. Matanya berkaca-kaca. “Terima kasih Dokter!” Agil menyalami Dokter Samuel yang terlihat lega operasinya berhasil. “Sama-sama,” kata Dokter Samuel. Kemudian dia pamit. Ibu, Emak dan Bik Mar serentak menangis memeluk Chandra.
Pagi yang dingin, kabut masih menyelimuti pondok. Titik-titik embun yang menempel di daun kersen sesekali jatuh membasahi sepasang anak manusia yang bersenda gurau di bawahnya. Mereka duduk di amben. “Kita main tebak-tebakkan, yuk,” kata Agil dengan hati senang melihat Chandra ada bersamanya. Chandra menelengkan mukanya, beberapa hari tinggal di pondok membuat mukanya kian cantik berseri. “Mmmm… sepertinya menyenangkan. Kita main tebak-tebakan apa?” “Dalam permainan tebak-tebakan ini, aku ingin menguji indra penciuman dan pengecapmu. Setelah itu kamu mengatakannya kepadaku apa rasa makanan
“Kenapa tak kau tanyakan saja pada Silvia!” bentak Agil. “Sekarang aku bertanya kepadamu? Untuk apa kamu membakar rumahku, Dil?!! Untuk apa juga kamu membayar orang untuk membunuhku dan Chandra!!” dengusnya kesal. Mata Fadil terbelalak. Dia tak menyangka Agil mengetahui apa yang dia lakukan. Pria itu mendekatkan wajahnya ke wajah Agil. Giginya gemeretuk menahan marah. “Aku ingin melenyapkanmu karena kamu tahu terlalu banyak. Bukankah sudah kukatakan jangan turut campur dengan kematian Bulan. Sayangnya kamu mengabaikan nasehatku.” Matanya menatap penuh kebencian pada Agil. “Bukankan tugas kamu sebagai penegak hukum? Kenapa kamu justru melarangku? Aku hanya mau membantunya mencari keadilan!”
“Tidak!” Jawaban singkat yang terucap dari bibir Mirna yang menyilet hati Arif. Lelaki itu mendorong pelan tubuh Mirna ke dinding. Tatapan kecewa tampak jelas dari sorot matanya.“Bukankah dulu kita saling mencintai sayang? Aku tahu kamu masih menungguku. Jika tidak kamu pasti sudah merubah password apartemen ini,” tuduh laki-laki itu membela diri. Suara Arif mulai meninggi, wajahnya menegang. Dia tetap teguh dengan keputusan ingin menikahi perempuan pujaannya itu. Mirna memejamkan mata, dan mengeluarkan napas perlahan. “Maafkan aku. Sayangnya kamu salah! Cintaku kepadamu tak sebesar cintaku pada papamu, selama ini aku hanya memanfaatkan kamu untuk mengobati rasa rinduku padanya,” kata Mirna dengan suara serak. Sepahit apap
Siang yang begitu terik, matahari semakin garang memancarkan panasnya.Mirna pasrah, saat dirinya diikat dengan rantai dan diseret seperti sebuah mainan. Seluruh badannya lebam dan luka terkena batu-batu kerikil yang tajam. Kemudian tanpa ampun perempuan bercadar itu melemparkan tubuh Mirna di atas bantalan rel kereta api dan menindih pahanya dengan sebuah batu besar. Dia tak bisa bergerak dan membiarkan kulitnya melepuh terkena panasnya landasan besi kereta api. Perempuan bercadar itu berjongkok di samping Mirna, tangannya memegang wajah Mirna dengan kasar. “Kali ini kamu pasti mampus. Sebentar lagi kereta api datang dan mencincang tubuh seksimu!” Perempuan itu tertawa terbahak-bahak lalu menangis pilu. “Sudah lama sekali aku ingin membunuhmu, tapi baru kali aku berani.” Dia mengambil jeda. “Aku sangat benc
Kejutan luar biasa! “Tapi… bagaimana bisa dan kenapa Silvia ingin membunuh Bik Eha?” tanya Agil tak mengerti. Tak mudah bagi Agil untuk mempercayai penjelasan Bik Eha. Semua terlihat tak masuk akal. Bagaimana mungkin Bik Eha dapat memerankan aktingnya, berpura-pura gila begitu sempurna selama belasan tahun? Bik Eha tertawa kecil. “Bisa saja Mas, karena tidak ada yang peduli dengan orang gila.” Penyamaran jenius! Agil manggut-manggut mengagumi Bik Eha dalam mempertahankan hidupnya. Bik Ehan benar. Siapa yang perduli dengan orang gila. Sebagian besar masyarakat menganggap orang gila negatif, bukan hanya dikucilkan mereka juga dijauhi. Agil menelan kekecewaan sekaligus ke
Atas persetujuan Dokter Runi, Agil membawa Bik Eha berlibur. Pagi-pagi sekali dia sudah berada di RSJ Kenanga. Dari jauh Agil melihat Bik Eha duduk di depan kamarnya, dia memakai celana kulot hitam dan kaos warna ungu. Rambutnya diikat satu. “Pagi, Bibik apa sudah sarapan?”“Sudah.” Bik Eha kelihatan senang sekali, matanya berpendar indah saat melihat Agil datang.“Hari ini Agil mau mengajak Bik Eha bersenang-senang. Kita ke salon, beli baju, makan dan jalan-jalan sepuasnya. Bik Eha sudah siap kan?” tanya Agil.“He-eh.” Bik Eha girang, dia langsung mengamit tangan Agil.Agil membukakan pintu mobil untuk Bik Eha, dan membantu mengenakan seat belt untuknya. Perempuan itu duduk anteng di sebelah Agil.Pemuda itu mengetik pesan di messanger sebelum naik ke mobil. &ld
Jam 4 sore Agil menemui Frans di rumahnya yang asri. Di sana sudah ada AKP Ajun yang hari itu memakai kaos polo warna tosca dan jeans hitam. Dia kelihatan santai sambil menikmati wine dan kue keju. Menilik dari bentuk dan aromanya, Agil bisa menebak kue keju itu kiriman dari Tante Mirna. Frans baru selesai mandi ketika Agil datang. Rambutnya masih basah dan wangi sabun menyeruak dari badannya. “Duduklah dulu, kamu minum apa? Kopi atau wine? “Air putih saja, Om,” jawab Agil. Dia tidak terbiasa minum wine. AKP Ajun tertawa, “Ayolah man, apa salahnya mencicipi sedikit wine, supaya badan hangat dikit.” Dia menepuk bahu Agil.
Seminggu berlalu dengan lambat. Setelah urusan kantor selesai, Agil bergegas pergi menemui Chandra di apartemen Tante Mirna. Rasa kangennya pada gadis itu membuncah. Agil mampir ke toko bunga yang berdampingan dengan toko coklat membelikan Chandra bunga lavender serta sekotak coklat kesukaannya. Pria itu berjalan riang naik lift menuju tempat tinggal Tante Mirna. Imajinasinya melayang Chandra akan menyambutnya hangat. Tante Mirna membuka pintu, apron yang dipakainya belepotan tepung, dia mengajak Agil masuk. Rupanya Tante Mirna sedang membuat. Aroma harum menyebar membuat pria itu penasaran apa yang dibuat oleh Tante Mirna. Penampilan perempuan itu kini berubah drastis. Yang dulunya suka pake baju ketat, kini lebih suka memakai daster bila di rumah. Ia juga amat sabar mer