Mirna Dewi yang lebih senang disapa Mirna mengusap perutnya. Ia memejamkan mata, ketika tangannya menyentuh luka parut pasca operasi cesar.
Mendadak wajahnya melunglai teringat peristiwa menyakitkan yang mengoyak batin dan meninggalkan jejak trauma mendalam pada perempuan itu. Kesedihan jelas terlukis di wajahnya.
Trauma yang Mirna pendam rapat selama puluhan tahun meski pada Bulan, anaknya sendiri. Hingga gadis itu mati terbunuh dengan membawa pertanyaan yang ingin ia ketahui, lalu Chandra tiba-tiba hadir membawa kenangan pahit itu kembali.
Mirna menghembuskan napas ke udara. Anehnya… saat stress begini justru hasrat bercintanya meningkat. Seks dengan di selingi minum alcohol membuatnya kecanduan. Kedua aktifitas itu memberinya kenikmatan sejenak, meluruhkan re
Semburat cahaya mentari masih malu-malu menyapa. Agil mengayuh sepedanya dengan bersemangat menyusuri gang- gang sempit mencari Chandra. Tak segan ia berhenti bertanya pada sekumpulan ibu-ibu di warung maupun tempat kos tentang Chandra. Peluhnya bercucuran membasahi badan, ia lantas berbelok ke jalan raya. “Ya Allah, tolong beri aku petunjuk di mana Chandra berada,” doanya dalam hati. Selama gadis itu belum ditemukan, hati Agil tak bakalan tenang. Dia merasa berdosa karena tidak memegang amanah Ibu Muji, ibunya Chandra untuk menjaga gadis itu. Maka tiap hari dia mencari Chandra bergantian dengan Pak Maman. Kerongkongan Agil kering, ia menepikan sepedanya di tepi jalan. Kemudian, matanya
“Jangan balik ke rumah Mirna, titik!” bentak Agil tak sadar dan membuang pandangannya ke jalan raya. Ia gusar, apa yang membuat Chandra ingin kembali ke rumah perempuan itu. “Aku kasihan dengan dia, Gil. Tante Mirna sendirian di rumah itu, pasti dia kesepian,” ujar Chandra bersikap tenang. “Bagaimana kalau arwah Bulan datang menakutinya?” Agil tertawa masam. “Apa itu alasan kamu sebenarnya? Atau…” tanya Agil menyelidik. Setelah mendengar cerita Bik Ami, Agil berpikir Mirna tak mungkin kesepian. Ia pasti mencari teman untuk menemaninya. “Atau apa?” balik Chandra. “Kenapa tidak kamu teruskan?” 
“Apakah cinta bisa membuat orang gila?” tanya Chandra setelah kedua orang itu pergi. Ia ngeri membayangkan ada lelaki yang jatuh cinta padanya gila gara-gara ditolak cintanya. Agil melenguh. Ia belum pernah jatuh cinta, bagaimana dia harus menjelaskannya pada Chandra? “Mungkin saja! Cinta bisa membuat perasaan euoforia, tetapi efeknya buruk bila cinta berubah menjadi cinta obsesif, mencintai orang lain hanya untuk mereka sendiri. Lambat laun perasaan itu akan merusak diri sendiri terutama saat orang yang dicintai menolak,” jawab Agil kemudian. Chandra menopang dagu dengan tangan kanannya. “Hmm… menurutmu apakah Arif sangat mencintai Tante Mirna?” Dulu dia menganggap sikap pemuda itu gila saat ber
“Kemana nih si Chandra. Kenapa dia gak nongol-nongol?” gerutu Agil, matanya melongok jam tangan di lengan kirinya. Sudah 1 jam dia menunggu di depan mini market sesuai kesepakatan semalam. Tapi gadis itu belum menampakkan batang hidungnya. Mana dia kebelet ke belakang pula. Hosh! Terpaksa dia harus menahan keinginan itu hingga Chandra datang. Agil meraih ponsel dan menelpon Chandra. Tapi, mukanya beringsut kecewa. Ponsel gadis itu mati! Duh! Masih saja dia seneng jahilin aku di saat genting begini. Pria itu ngedumel dalam hati lalu ia menunduk memainkan botol air mineral di tangannya. “Hai Agil! Kamu gak bosen nunggu aku kan?” canda Chandra renyah. Ia langsung duduk di depan pemuda itu. “Kenapa l
“Lepaskan! Lepaskan! Aku bukan orang gila!” Samar-samar telinga Agil mendengar suara teriakan orang yang sangat dikenalnya. Ia mencari sumber suara itu. Sepertinya dari arah parkiran rumah sakit jiwa. Agil lalu meletakkan gelas es, kemudian berlari ke rumah sakit jiwa. “Hei Mas bayar dulu!” pekik penjual es kelapa muda, dengan nada kesal karena Agil adalah pembeli pertamanya. Agil menoleh. Ah sial! Ia lupa bayar. “Nanti saya balik lagi ke situ.” Ia lalu berlari ke arah kerumunan orang-orang. Di sana dia melihat ada dua orang kekar sedang memegang kuat lelaki berambut gondrong. Ia mengenali salah satu lelaki itu, dia adalah
Arif kaget setengah mati melihat perempuan setengah baya itu. Otaknya segera mengumpulkan file memori. Yah tak salah lagi, dia adalah Bik Eha, pembantunya. Pemuda itu gembira, karena ingatannya masih waras, dia tidak gila! Seperti yang dikatakan mamanya. Tapi… mukanya kembali menekuk, bukankah Bik Eha sudah lama meninggal saat dia berada di Australia? Iya dia ingat, sewaktu pulang sekolah papanya mendapatkan telepon dari mamanya di Indonesia dan mengabarkan kalau kalau Bik Eha meninggal. Setelah itu mamanya mengajak anaknya Bik Eha menjadi pembantunya.` Lantas siapakah perempuan yang mirip Bik Eha tadi? Arif berpikir keras. Dia duduk di tepi ranjang memikir
Dokter Runi memperbaiki posisi duduknya. “Kenapa kamu ingin membunuh mamamu?” Mata Arif menerawang. “Maaf dok, aku lelah dan tak ingin membahasnya,” jawabnya parau. Rasa sesak seketika menyerang dadanya. Setelah itu ia membuang muka dan memejamkan mata. Ia dihantui perasaan muak. Dia malas membicarakan sosok perempuan yang telah membuat hidupnya sengsara. Semakin dipikirkan maka bertambah tumbuh subur kebencian di hatinya. Arif melenguh. “Baiklah kalau begitu, istirahatlah,” kata Dokter Runi dengan suara lembut tanpa memaksa pemuda itu, kemudian ia meninggalkan kamar Arif. Flash back.
Hari minggu berikutnya, Agil mengantarkan Ibu ke Rumah Sakit Jiwa Kenanga menjenguk Bik Eha. Ibu amat bersemangat mendukung kesembuhan Bik Eha. Dia ingin melihat sahabatnya itu sembuh. Kesehatan Bik Eha menunjukkan perkembangan signifikan. Dia mulai bisa diajak berkomunikasi meski sedikit. Tiap ke sana Ibu selalu menenteng oleh-oleh makanan kesukaan Bik Eha mulai dari risoles hingga biscuit. Mata Ibu berbinar, tiap melihat Bik Eha menghabiskan makanannya. “Cepat sembuh ya Ha, nanti kamu nanti ikut aku. Kita masak bareng di rumah. Aku sekarang punya catering.” Ibu bercerita riang. Bik Eha mengangguk sambil menghabiskan risolesnya. “Enak!”&
Dokter Samuel membuka plester dan kain kasa yang menutupi kedua mata Chandra. “Chandra bukalah mata pelan-pelan,” suaranya sangat tenang dan hangat. Chandra membuka matanya pelan-pelan lalu mengerjap- ngerjapkan mata sebelum melihat ke sekeliling. Semua yang ada di kamar itu menahan napas. Senyum Chandra mengembang lebar ketika melihat satu persatu orang yang disayanginya berada di sisinya. Ia menyebutnya satu persatu. “Agil, Tante, Emak, Bapak, Bik Mar.” Chandra terdiam saat melihat lelaki paruh baya berada di samping Bik Mar. “Dia siapa Gil? Apakah itu suami Bik Mar” “Alhamdulillah! Chandra bisa melihat lagi,” seru Agil kemudian dia sujud syukur. Matanya berkaca-kaca. “Terima kasih Dokter!” Agil menyalami Dokter Samuel yang terlihat lega operasinya berhasil. “Sama-sama,” kata Dokter Samuel. Kemudian dia pamit. Ibu, Emak dan Bik Mar serentak menangis memeluk Chandra.
Pagi yang dingin, kabut masih menyelimuti pondok. Titik-titik embun yang menempel di daun kersen sesekali jatuh membasahi sepasang anak manusia yang bersenda gurau di bawahnya. Mereka duduk di amben. “Kita main tebak-tebakkan, yuk,” kata Agil dengan hati senang melihat Chandra ada bersamanya. Chandra menelengkan mukanya, beberapa hari tinggal di pondok membuat mukanya kian cantik berseri. “Mmmm… sepertinya menyenangkan. Kita main tebak-tebakan apa?” “Dalam permainan tebak-tebakan ini, aku ingin menguji indra penciuman dan pengecapmu. Setelah itu kamu mengatakannya kepadaku apa rasa makanan
“Kenapa tak kau tanyakan saja pada Silvia!” bentak Agil. “Sekarang aku bertanya kepadamu? Untuk apa kamu membakar rumahku, Dil?!! Untuk apa juga kamu membayar orang untuk membunuhku dan Chandra!!” dengusnya kesal. Mata Fadil terbelalak. Dia tak menyangka Agil mengetahui apa yang dia lakukan. Pria itu mendekatkan wajahnya ke wajah Agil. Giginya gemeretuk menahan marah. “Aku ingin melenyapkanmu karena kamu tahu terlalu banyak. Bukankah sudah kukatakan jangan turut campur dengan kematian Bulan. Sayangnya kamu mengabaikan nasehatku.” Matanya menatap penuh kebencian pada Agil. “Bukankan tugas kamu sebagai penegak hukum? Kenapa kamu justru melarangku? Aku hanya mau membantunya mencari keadilan!”
“Tidak!” Jawaban singkat yang terucap dari bibir Mirna yang menyilet hati Arif. Lelaki itu mendorong pelan tubuh Mirna ke dinding. Tatapan kecewa tampak jelas dari sorot matanya.“Bukankah dulu kita saling mencintai sayang? Aku tahu kamu masih menungguku. Jika tidak kamu pasti sudah merubah password apartemen ini,” tuduh laki-laki itu membela diri. Suara Arif mulai meninggi, wajahnya menegang. Dia tetap teguh dengan keputusan ingin menikahi perempuan pujaannya itu. Mirna memejamkan mata, dan mengeluarkan napas perlahan. “Maafkan aku. Sayangnya kamu salah! Cintaku kepadamu tak sebesar cintaku pada papamu, selama ini aku hanya memanfaatkan kamu untuk mengobati rasa rinduku padanya,” kata Mirna dengan suara serak. Sepahit apap
Siang yang begitu terik, matahari semakin garang memancarkan panasnya.Mirna pasrah, saat dirinya diikat dengan rantai dan diseret seperti sebuah mainan. Seluruh badannya lebam dan luka terkena batu-batu kerikil yang tajam. Kemudian tanpa ampun perempuan bercadar itu melemparkan tubuh Mirna di atas bantalan rel kereta api dan menindih pahanya dengan sebuah batu besar. Dia tak bisa bergerak dan membiarkan kulitnya melepuh terkena panasnya landasan besi kereta api. Perempuan bercadar itu berjongkok di samping Mirna, tangannya memegang wajah Mirna dengan kasar. “Kali ini kamu pasti mampus. Sebentar lagi kereta api datang dan mencincang tubuh seksimu!” Perempuan itu tertawa terbahak-bahak lalu menangis pilu. “Sudah lama sekali aku ingin membunuhmu, tapi baru kali aku berani.” Dia mengambil jeda. “Aku sangat benc
Kejutan luar biasa! “Tapi… bagaimana bisa dan kenapa Silvia ingin membunuh Bik Eha?” tanya Agil tak mengerti. Tak mudah bagi Agil untuk mempercayai penjelasan Bik Eha. Semua terlihat tak masuk akal. Bagaimana mungkin Bik Eha dapat memerankan aktingnya, berpura-pura gila begitu sempurna selama belasan tahun? Bik Eha tertawa kecil. “Bisa saja Mas, karena tidak ada yang peduli dengan orang gila.” Penyamaran jenius! Agil manggut-manggut mengagumi Bik Eha dalam mempertahankan hidupnya. Bik Ehan benar. Siapa yang perduli dengan orang gila. Sebagian besar masyarakat menganggap orang gila negatif, bukan hanya dikucilkan mereka juga dijauhi. Agil menelan kekecewaan sekaligus ke
Atas persetujuan Dokter Runi, Agil membawa Bik Eha berlibur. Pagi-pagi sekali dia sudah berada di RSJ Kenanga. Dari jauh Agil melihat Bik Eha duduk di depan kamarnya, dia memakai celana kulot hitam dan kaos warna ungu. Rambutnya diikat satu. “Pagi, Bibik apa sudah sarapan?”“Sudah.” Bik Eha kelihatan senang sekali, matanya berpendar indah saat melihat Agil datang.“Hari ini Agil mau mengajak Bik Eha bersenang-senang. Kita ke salon, beli baju, makan dan jalan-jalan sepuasnya. Bik Eha sudah siap kan?” tanya Agil.“He-eh.” Bik Eha girang, dia langsung mengamit tangan Agil.Agil membukakan pintu mobil untuk Bik Eha, dan membantu mengenakan seat belt untuknya. Perempuan itu duduk anteng di sebelah Agil.Pemuda itu mengetik pesan di messanger sebelum naik ke mobil. &ld
Jam 4 sore Agil menemui Frans di rumahnya yang asri. Di sana sudah ada AKP Ajun yang hari itu memakai kaos polo warna tosca dan jeans hitam. Dia kelihatan santai sambil menikmati wine dan kue keju. Menilik dari bentuk dan aromanya, Agil bisa menebak kue keju itu kiriman dari Tante Mirna. Frans baru selesai mandi ketika Agil datang. Rambutnya masih basah dan wangi sabun menyeruak dari badannya. “Duduklah dulu, kamu minum apa? Kopi atau wine? “Air putih saja, Om,” jawab Agil. Dia tidak terbiasa minum wine. AKP Ajun tertawa, “Ayolah man, apa salahnya mencicipi sedikit wine, supaya badan hangat dikit.” Dia menepuk bahu Agil.
Seminggu berlalu dengan lambat. Setelah urusan kantor selesai, Agil bergegas pergi menemui Chandra di apartemen Tante Mirna. Rasa kangennya pada gadis itu membuncah. Agil mampir ke toko bunga yang berdampingan dengan toko coklat membelikan Chandra bunga lavender serta sekotak coklat kesukaannya. Pria itu berjalan riang naik lift menuju tempat tinggal Tante Mirna. Imajinasinya melayang Chandra akan menyambutnya hangat. Tante Mirna membuka pintu, apron yang dipakainya belepotan tepung, dia mengajak Agil masuk. Rupanya Tante Mirna sedang membuat. Aroma harum menyebar membuat pria itu penasaran apa yang dibuat oleh Tante Mirna. Penampilan perempuan itu kini berubah drastis. Yang dulunya suka pake baju ketat, kini lebih suka memakai daster bila di rumah. Ia juga amat sabar mer