Matahari sudah meninggi, aku sudah selesai menyiapkan sarapan, sedangkan mas Wira menemani Dimas bermain dihalaman depan.
Hari sabtu mas Wira tidak bekerja, hanya menyerahkan laporan hasil penjualan dari luar kota."Mas sarapan sudah siap, ajak sekalian Dimas masuk". Panggilku dari dalam rumah, bapak dan anak itu berhamburan masuk kedalam.Pagi ini aku membuat sambal ikan asap, tumis kangkung dan perkedel jagung."Hemmm...enaknya." Mas Wira tak tahan ingin segera makan, mas Wira mendudukan Dimas disebelahku, sementara dia duduk diseberangku.Mas Wira sangat lahap sekali menyantap makanan yang aku masak."Mas wajah Mila kemarin kena alergi kayaknya, mukanya merah-merah, jadi kami gak jadi shopping.""Iya mas tadi antar dia ke dokter." Dengan santainya mas Wira terus mengunyah makanan yang ada dimulutnya."Hah... ngantar ke dokter." Mataku melotot seketika. Namun mas Wira nampaknya belum sadar apa yang dia bicarakan."Eh bukan anu..maksudnya tadi Mila udah minta tolong sama teman-temannya, tapi gak ada yang bisa, jadi dia minta tolong sama mas, kebetulan mas udah ngarah pulang." Jelas mas Wira gugup. Dia nampak gelagapan ketika memberi alasan."Kan ada aku, ngapa dia gak minta tolong sama aku, kemaren pas aku kesana kenapa gak sekalian minta antar ke dokter. Aneh." Jawabku kesal."Iya mungkin dia buntu mau minta tolong sama siapa.""Jadi kepikirannya cuma kamu gitu ya, hem." Aku menyudahi sarapan yang mendadak hambar."Sayang jangan ngambek gitu donk."Aku terus diam, dan melanjutkan memyuapi Dimas. Mas Wira memegang tanganku, sambil tersenyum manis."Udah gak usah sok sok manis gitu." Rajukku sambil memonyongkan bibir. Tapi aku penasaran sebenarnya ada apa dengan wajah Mila."Eh mas emang kenapa wajah Mila kok sampe kayak gitu?""Hemm..kata dokter sih itu kena serbuk gatal, tapi mas heran deh kok bisa Mila bisa serbuk gatal.""Sekarang gimana keadaan dia mas?" Tanyaku makin penasaran."Udah sembuh, tinggal bekas ruamnya aja.""Kata dia kamaren habis pakai bedak mendadak mukanya merah dan gatal-gatal, tapi kok aneh ya mas, kemaren kan bedak yang kata kamu punya Mbak Sinta yang aku kasih serbuk gatal tapi kok Mila hang kena, katanya itu yakin bedak dia, bukan bedak orang lain.""Oh jadi kamu yang masukan serbuk gatal, itu bedaknya Mila, bukan punya Sinta.""Ooppps...jadi punya Mila itu mas, padahal aku mau ngerjain mbak Sinta, habisnya dia suka kegatelan kalau dekat kamu, eh ternyata Mila juga ikut kegatelan sekarang".Muka mas Wira mandadak merah, sorot matanya mengintimidasi. Aku tersenyum puas dalam hati. Perempuan gatel memang harus dibuat gatel beneran.Tanpa babibu mas Wira masuk kekamar, kulihat dia mengambil gawainya mungkinkah dia akan mengadu pada Mila kalau aku yang memberi serbuk gatal itu.Aku ikuti dia dari belakang, ntah mau kemana dia."Dimas selesaikan makannya dulu ya, mama mau susul papa dulu"."Iya ma". Bocilku menurut, dia memang anak yang nurut ketika aku memberinya arahan.Kulihat mas Wira ada diteras, dia sedang mengotak atik gawainya. Ntah apa yang dia lakukan, dari gerak-geriknya, sepertinya mas Wira sedang berbalas pesan. Segitunyakah dia pergatian ke Mila? Hatiku sungguh berkecamuk."Mas". Kupanggil dia, mas Wira menoleh dengan tatapan tak bersahabat."Mas gak usah khawatir gitu kenapa, emang ngaruh gitu kalau muka Mila bentol-bentol?". Tanyaku polos."Kalau Mila gak terima kamu bisa dilaporkan ke polisi, kalau mau ngapa-ngapa itu difikirkan dulu Kanaya, jangan asal". Teriaknya sambil bersungut-sungut."Aku gak takut mas, dengan gini aku tau sifat asli dia, bahkan suami temannya sendiri aja digodain, emang sudah habis ya laki-laki singel didunia ini hah?""Dia gak godain aku.""Tapi kamu yang godain dia hah? Sama aja itu mah, sama-sama gatel.""Jaga bicaramu Kanaya.""Eh mas gak usah nyolot gitu donk, serbuk itu gak berbahaya, cuma bentol-bemtol aja, kau lihat d status Mila barusan juga udah gak apa-apa kok, kok malah kamu yang kebakaran jenggot gitu."" Udahlah, nanti mama mau datang ini untuk belanja." Mas Wira menyodorkan uang untukku belanja."Ya anterin donk, masa tega lihat bininya sendirian ke pasar." Sebenarnya sih aku bisa belanja sendiri, tapi sengaja aku mau manja-manjaan sama mas Wira."Biasanya juga belanja sendiri." Sungutnya."Yaduah kalau gak mau. Ini uangnya aku belikan baju aja.""Eh jangan, yaudah ayo." Akhirnya dia menyerah juga. Yang tadinya dia kesal jadi batal kesalnya. Sebenarnya mas Wira itu orangnya tidak tegaan dan penyayang, namun akhir-akhir ini sikap mas Wira sedikit berubah.Aku belanja banyak sekali kebutuhan dapur. Mumpung mama mau datang jadi kesempatan. Biasanya nunggu gajian dulu baru dapat uang belanja lagi. Aku setok sekalain untuk 1 bulan seperti minyak, gula, garam dll. Sedangkan sayur aku hanya setok untuk seminggu.Aku malas jika tiap hari harus kepasar, karena jarak kepasar yang murah lumayan jauh.Sorenya mama datamg bersama adik iparku Gina, dia baru lulus SMA, dan akan lanjut kuliah. Aku lumayan dekat dengan Gina. Acapkali kami sama-sama curhat lewat W*.Pulang dari pasar tadi aku langsung masak, aku masak rendang dan sambal jengkol kesukaan mama mertua eh. HeheheSetelah sholat isya aku menemani Dimas tidur, sedangkan mas Wira, Gina dan mama sedang melepas rindu, sudah satu tahun mereka tak bersua.Lebaran kemarin tidak pulang kampung karena mas Wira ada kerjaan tambahan. Begitulah kerjaan mas Wira, terkadang lebaranpun tak banyak liburnya, kadang aku suka bete sendiri, ketika lagi mau merencanakan liburan, eh malah sudah disuruh masuk kantor lagi.Klunting...bunyi pesan dari ponsel mas Wira. Ternyata sedari mama tiba tadi pria berjenggot itu melupakan gawainya.[Mas pokokny aku mau ngeloporin Kanaya ke polisi, gara-gara dia muka aku jadi begini]Jadi mas Wira sudah mengadu pada perempuan itu. Heeemmm, sepertinya aku harus pura-pura tidak tahu aja kalau ketemu si gatel itu. Aku balas oesan dari Mila, seolah-olah mas Wira yang membalasnya. Sebenarnya ini privasi mas Wira, tapi kalau sudah gini, tak apalah demi mencari bukti.[Udahlah Mil, emangnya kamu ada bukti, bisa-bisa malah kamu yg dituntut balik, lagian muka kamu juga udah sembuh][Istri kamu harus dikasih pelajaran][Kamu sih ceroboh, udah dibilang jangan meninggalkan jejak. Ini malah jatuhin bedak dimobil][Kok kamu jadi nyalahin aku sih]"Nay, Dimas belum tidur? Kok lama dikamar?" Terdengar suara mas Wira memanggilku dari luar. Buru-buru aku letakkan gawainitu dimana asalnya."Iya mas sebentar, mas jangan berisik"Tak kubalas lagi pesan dari Mila, buru-buru kuhapus pesan tadi. Aku akan cari bukti sendiri, sebenarnya sejauh mana hubungan mereka.***Hari ini mas Wira full seharian mengajak mama dan Gina jalan-jalan, dari BIM (Bengkulu Indah Mall), Pantai Panjang dan sorenya mandi di pantai Zakat.Kami tinggal di kota Bengkulu sedangkan mama dan Gina di Sumatra Selatan. Di Bengkulu banyak sekali wisata pantai, karena memang sepanjang dari utara ke selatan langsung berbatasan dengan samudra Hindia.Setelah puas mandi pantai, kami makan dipusat kuliner yang ada di Jl. Kz Abidin, disana banyak sekali menjajakan makanan, dari nasi goreng, nasi Padang, gorengan, bandrek dan lain-lain. Mama dan mas Wira memesan nasi Padang, sedangkan aku dan Gina memesan mie tumis.Setelah megisi perut aku ajak mama beli oleh-oleh khas Bengkulu, aku belikan 5 kotak manisan terong, 1 kg lempuk durian dan sirup kalamansi. Karena esok pagi-pagi sekali mama dan Gina sudah harus pulang ke Sumatra Selatan, jadi beli oleh-olehnya diselesaikan malam ini juga.Lempuk durian itu dodol yang terbuat dari durian asli, tanpa campuran jadi rasanya sangat legit. Pusat
Aku terus mengikuti pergerakan mobil mas Wira, mau kemana sebenarnya dia. Katanya tadi mau beli rok*ok.Tiba-tiba gerimis turun lumayan deras, aku agak kesulitan mengawasi kemana arah mas Wira melaju. Na'as pas dilampu merah aku terjebak. Ketika mobil mas Wira berhasil melalui lampu hijau, pas giliraku, aku kalah cepat dan kehilangan jejak kemana perginya mas Wira."Sial." Gerutuku kesal. Pasti aku diomeli netizen karena gak dilabrak pas mas Wira menaikkan perempuan tadi.Aku cuma tidak ingin aku yang kemakansalah paham, makanya aku akan ikuti kemana mas Wira pergi. Aku putar balik, takut nanti mas Wira sampai aku belum dirumah. Bisa gawat.Hujan turun agak deras, baju yang kukenakan sudah basah karena aku lupakan membawa mantel. Seluruh tubuhku basah kuyup. Sesampainya dirumah, aku langsung diberondong banyak pertanyaan dari mbak Gita."Gimana Nay, Wira pergi kemana?" Tanya mbak Gita khawatir, ntah khawatir atau kepo. Tapi mbak Gita orangnya baik, gak mungkin hanya sekedar kepo bela
Part 6Seharian aku tidak konsentrasi dengan pekerjaan rumahku, dikit-dikit aku baper dengan sikap mas Wira tadi. Aku berfikir untuk menyadap Wa mas Wira. Apa apa gak terlalu berlebihan ya. Nanti coba aku minta pendapat mbak Gita dulu deh.Sesudah memandikan Dimas aku berencana mau antar paket, sore nanti ada acara arisan ibu-ibu RT dirumah bu Julia. Sekalian nanti mampir kerumah mbak Gita.Sambil nunggu waktu arisan aku selonjoran sambil upload foto jualan. Aku scroll beranda aplikasi berlogo F itu. Ada status yang menyita perhatianku.[Pagi-pagi udah ada malaikat bawain nasi uduk]Mana ada malaikat bawa nasi uduk, aneh ini orang.Aku kepo donk siapa pemilik akun, nama akun tersebut "myla chayang wr"Eh kok namanya kayak gak asing gitu. Jiwa kepoku meronta-ronta. Banyak status bucin disana.[Makasih sayang udah anterin ke klinik]Lho lho lho ini kayak akun Mila, apa dia punya pacar. Kok statusnya bucin gitu.Eh sebentar bukannya dia kemaren dianterin mas Wira. Tapi itu status beber
Baju kemeja warna abu-abu polos melekat dibubuh kekar suamiku. Baju yang kemren Mila pilih-pilih ketika belanja denganku. Otakku benar-benar sakit harus memikirkan hal ini. Mas wira makin mendekat, aroma parfum laundry semerbak menggelitik hidungku. "Sayang, mas kangen". Seraya memelukku dan mendaratkan ciuman manis dikeningku. Dan beralih mencium Dimas."Baju baru mas? Tumbeh beli baju sendiri, biasanya nyeret-nyeret istri dulu kalau mau beli baju". Cecarku penuh rasa penasaran.Begitulah mas Wira tidak pernah mau beli baju sendiri, pasti dia akan mengajakku ketika dia suka baju yang dia lihat. Walaupun dia lihat itu ketika dia sendiri, tapi tidak langsung dia beli. Ntah besoknya dia mengajakku untuk membeli baju itu. Aneh bukan?"Eh ini kemarin mas lupa taroh laundryan, alhasih baju mas habis, kebetulan bener temen mas yang baru belajar jualan bawa sampel nya kekosan mas kemaren, jadi mas beli". Mas Wira menjelaskan namun tak mampu memandang mataku, dia berbicara sambil menggoda D
Aku tak bisa diam saja memunggu kabar mas Wira, aku harus ke apotek membeli obat untuk Dimas, kulihat Dimas dikamar sudah tertidur, aku berlari kerumah mbak Gita untuk minta tolong jaga Dimas."Mbak, assalamualaikum." Panggilku, ketika sudah berdiri didepan pintu rumah mbak Gita."Walaikumsalam, ada apa Nay?""Mbak tolong jagain Dimas sebentar ya, dia demam, sedangkan obatnya habis, aku mau ke apotek dulu.""Lho, Dimas demam? Kapan mulai demam Nay?""Tadi pagi mbak, yaudah aku ke apotek dulu ya mbak, nitip Dimas sebentar.""Iya Nay."Tanpa fikir panjang aku langsung melajukan motorku ke ATM terdekat, karena aku sama sekali tidak memegang uang barang sepeserpun, nasib baik, isi bensin dalam motor masih full.Sesampainya di ATM, ada beberpa orang yang tengah mengantre. Sambil menunggu, kau terus mencoba menghubungi mas Wira, namun tetap tak diangkat. Sampai pada giliranku masuk ke bilik ber Ac itu. Kumasukan selembar kartu kedalam mesin, setelah menekan beberapa nomor pin, aku langsung
Aku mondar-mandir menunggu kabar dari lab, mbak Gita terus menguatkanku, Setelah 30 menit berlalu hasil lab akhirnya keluar. Dan benar Dimas terkana DBD. Namun belum cukup parah, karena langsung dibawa ke rumah sakit, jadi bisa langsung ditangani.Setelah Dimas masuk ruang rawat inap Bu Julia izin pamit pulang dan diantar mas Sigit sekalian mengembalikan mobil. Sedangkan mbak Gita tetap menemaniku di rumah sakit."Nay kamu gak ngasih tau Wira kalian disini?"."Gak mbak, biar mas Wira cari tahu sendiri".Aku sengaja mematikan handphone agar aku bisa fokus mengurus Dimas dan melupakan kekesalanku pada mas Wira. Mas Wira benar-benar keterlaluan, sama sekali dia tak menghiraukan anaknya yang tengah sakit."Mbak kalau mbak mau pulang dulu gak apa-apa, mas Sigit pasti belum makan dari tadi mbak, mbak urus dulu mas Sigit".""Kamu gak apa-apa sendirian Nay?" Mbak Gita tampak khawatir. Dia tau aku sedang tidak baik-baik saja."Gak apa-apa mbak"."Yaudah kalau gitu mbak pulang dulu ya, sesuda
Ya motor metik itu tak lain tak bukan milik Hermila Mutiara, nama yang cantik namun sayang kelakuannya tak secantik namanya.Aku sengaja berhenti cukup jauh dari rumahku, agar aku bisa diam-diam memasuki rumah lewat pintu samping.Sekuat tenaga aku menahan emosiku agar tak meledak, karena aku tidak suka ribut-ribut atau semacamnya.Aku berjalan perlahan dengan kamera mode on, siap merekam setiap kejadian yang akan terjadi nanti."Pulanglah Mil, aku akan cari istri dan anakku". Bentak mas Wira."Gak mas, sebelum kamu berjanji akan menikahiku, biarlah mereka pergi atau mat* sekalian agar gak ada lagi pengganggu!"."Jaga ucapanmu Mil, aku tidak akan menikahimu"."Mas ini anakmu, dia harus punya ayah"."Aku tak yakin itu anakku""Tega kamu ngomong gitu mas".Dadaku naik turun menahan amarah, butiran bening seketika luruh tak terkendali. Kututup mulutku agar tak mengeluarkan suara. Masih kugenggam erat handphone yang masih merekam itu agar tak terjatuh.Pembicaraan macam apa ini, Mila hamil
Mereka berdua sangat terkejut melihatku ada diruangan pak Herman. Terlebih si gund*k itu. "Dek kok kmau disini, mas tadi pagi kerumah sakit kamu gak ada"."Sengaja mau kasih kejutan buat kalian"."Kejutan apa?" Tanyanya heranAku hanya memutar bola mata malas, malas melihat dua penghianat itu. Sebelum mereka datang pak Herman sudah menyiapkan proyektor untuk memutar video yang aku kirim. Pasti mereka sangat terkejut."Disini kejutannya". Kata pak Herman sambil menunjuk kearah layar."Pulanglah Mil, aku akan cari istri dan anakku." Bentak mas Wira."Gak mas, sebelum kamu berjanji akan menikahiku, biarlah mereka pergi atau mat* sekalian agar gak ada lagi pengganggu!""Jaga ucapanmu Mil, aku tidak akan menikahimu"."Mas ini anakmu, dia harus punya ayah"."Aku tak yakin itu anakku""Tega kamu ngomong gitu mas".Suara mereka terdengar begitu jelas. Semua kejadian malam tadi terekam walaupun tidak begitu sempurna.Mas Wira tampak emosi melihatku. Aku tak takut dengan apa yang akan dia laku
Beberapa bulan kemudian, setelah kegagalan Maya ber-taaruf dengan Kahfi, pemuda itu di kembalikan ke Palembang, ke tempat asalnya. Kiayi Abdurrahman sangat syok dan kecewa dengan perilaku Kahfi. Beliau tak menyangka jika anak asuhnya mempunyai prilaku seperti itu.Hatiku merasa lega, karena Lia akhirnya angakat suara tentang latar belakang Kahfi yang sebenarnya. Hampir saja Maya tertajuh ke dalam Pelukan laki-laki berprilaku menyimpang itu. Tidak bisa dibayangkan jika Lia sebagai mantan istirnya dulu tidak oernah menceritakan kisah kelamnya, sudah oasti Maya akan menjadi korban ke dua.Siang itu aku akan melakukan check di laboratorium mengenai penyakitku. Menurut dokter, pengobatan yang aku lakukan selama ini menunjukkan perkembangan yang begitu besar. Dan kemungkinan sel kanker itu sudah tidak ada di dalam tubuhku.Dengan harinyang sedikit cemas, aku mwnunggu Yuda mengantre untuk memgambil hasil cek laboratorium, setelah setengah jam memunggu, Yuda berlari tergopoh-gopoh mendekatik
Maya tak menghiraukan keberakan ustadz Kahfi disana. Gadis itu masih begitu saja menuju ruang tengah bersama Gina dan juga Dimas. Sementara Wira ikut duduk dengan Abdul Gani di ruang tamu.Harni tak melepaskan Dimas sedikitpun hingga mereka sampai di ruang tengah."Kangen beratkah, Oma?" ledek Dimas, laki-laki kecil itu mencium pipi omamya yang sudah mulai mengeriput."Tentu saja, anak baik." Harni menjawil hidung bangir milik Dimas."Sama aku gak rindukah?" Maya merajuk, bibirnya dimajukannya cukup panjang."Dikit," kata hari sambi membuat gerakan pada telunjuk dan jempolnya."Ih, ibu." Maya makin merajuk."MasyaaAllah, ada Gina." Harni baru sadar jika da sepasang mata yang memperhatikannya."Hehehe ... Ibu sehat?" ucao Gina kemudian."Alhamdulillah. Sini duduk dulu. Ibu buatkan teh hangat dulu ya."Harni bergegas ke belakang untuk membuatkan tamunya minuman hangat. Gina dan Maya mengekor wanita setengah baya itu. Sementara Dimas sudah sibuk dengan Cimoi--kucing kesayangan Kanaya."B
"Nay, Yuda ...." Wira menjeda ucapannya, dia mengatur nafas berkali-kali."Wira ada apa?" Yuda mengambil alih kamera."Tadi di toko bakery, kami ketemu dengan Anisa. Dia mengatakan hal buruk tentg Kanaya, yang membuat Dimas ketakutan.""Astaghfirullah," Kanaya membekap mulutnya."Terus gimana Wir?" Sambung Yuda tak kalah khawatir."Tadi Dimas sedikit ketakutan, tapi sekarang sudah ceria lagi." "Wir, tolong kalau Dimas audah di pesantren, sering-sering kamu jenguk ya." Ada rasa nyeri dalam hari Wira ketika mendengar perhatian Yuda yang begitu dalam terhadap Dimas, seandainya Lely pun begitu terhadap Dimas, mungkin Dimas tidak akan ketakutan seperti tadi, ketika bertemu dengan Lely."Sudah pasti, "ucap Wira."Anisa dan ibunya itu bisa dikatakan berhabaya Wir, beberapa kali Anisa mengirimkan oesan untuk Kanaya yang berisi ancaman.""Sampai separah itu?" Wira menanggapi."Aku tak tahu pasti bagaimana mereka, tapi dari cara ibunya Anisa membujuk ibuku agar aku bisa menikah dengan Anisa,
Dimas semakin dakam bersembunyi dibalik tubuh Gina yang tinggi. Sementara Wira membawa istrinya masuk kedalam kamar. Laki-laki yang selalu rapi itu tak habis pikir dengan tikah istrinya yang keterlaluan."Kamu bisa gak, jangan ngomong kasar begitu. Dari awal sebelum kita menikah, aku sudah kasih tahu kamu status aku. Aku punya anak, dan kamu setuju untuk mengganggap Dimas sebagai anak kamu sendiri, tapi kenapa sekarang begini?" ujar Wira dengan nada tinggi."Mas, itu dulu sebelum aku melihat wajah Kanaya, tapi setelah melohat wajah Kanaya, aku jadi merasa kalau kamu menikahiku karena aku mirip dengan Kanaya." Suara Lely tak kalah tinggi."Jadi apa mau kamu, hah?" Wira tak mampu menahan emosi."Aku mau bocah itu tidak pernah datang kesini, aku anggap kamu duda tanpa anak!""Lely ...." Wira mengangkat tangannya dan hampir menampar waja Lely, namun dengan sekuat tenaga dia menahan amarahnya."Apa mas? Mau nampar aku? Tapar aja!""Oke, aku akan bawa Dimas pergi, tapi jangan harap kamu aka
Maya masih syok dengan pengakuan Lia, dia kini terbaring didalam kamar yang ada di toko Kanaya. Lia kembali turun untuk bergabung dengan karyawan lainnya.Pemandangan aneh terlihat ketika Lia sampai di anak tangga dituruninya satu persatu. Dimas yang tengah merajuk sedang dibujuk olelh Wira."Mas Wira," panggil Lia seraya mendekat."Eh ... Lia. Mana Maya?" tanya Wira."Istirahat diatas Mas, mas Wira mau ngajak Dimas keluar?" "Iya, mau aku ajak nginap di rumah, tapi sepertinya dia sedang merajuk karena aku telat jemputnya," ucap WiraSebenarnya Wira sempat ke bandara, tetapi sampai disana Dimas dan Maya sudah tidak ada. Ternyata dari tadi dia mengabaikan pesan Kanaya, jika Dimas dan Maya sudah dijemput Lia."Papa ingkar janji!" desis Dimas. Mukannya ditekuk. Wira kembali mendekati Dimas yang duduk di sofa."Maaf ya sayang, tadi kerjaan papa gak bisa ditinggal," bujuk Wira."Dimas mau popcorn?" Sepertinya pertahanan Dimas mulai runtuh ketika mendengar makanan kesukaannya disebut."
Lianita alnama yang diberikan kedua orang tuaku, aku asli Palembang, dan merantau ke Bengkulu karena suatu hal yang mengharuskanku menjauh dari tempat yang sudah menorehkan luka menganga dihatiku. Luka itu bahkan hingga saat ini masih terasa sakit Aku menghubungi ayuk Gita--kerabat jauh mama, untuk mencari informasi pekerjaan di Bengkulu. Ayuk merupakan panggilan seperti mbak bagi orang Sumatra.Ayuk Gita sudah lama tinggal di Bengkulu ikut suaminya. Nasib baik tengah menghampiriku, ayuk Gita mempunyai sahabat bernama mbak Kanaya. Mbak Kanaya mempunyai toko baju yang sedang membutuhkan karyawan untuk tokonya.Dulu toko itu jaga sendiri oleh mbak Kanaya, karena semkain hari tokonya semakin ramai, makan dia memutuskan untuk mencari karyawan. Bukan karyawan sebenarnya, patner kerja kebih tepatnya. Karena mbak Kanaya tidak memperlakukan karyawannya seperti karyawan, tetapi seperti teman kerja. Tak segan-segan mbak Kanaya meminta pendapat kami jika mengalami masalah.Berkat rekomendasi da
Dimas berkali-kali menoleh kebelakang demi melihat Kanaya yang masih melambaikan tangan. Bocah yang kini sudah beranjak besar itu rasanya tak ingin lagi pisah dari Kanaya--ibunya, namun apalah daya, Kanaya harus menjalani pengobatan secara rutin karena sel kanker yang kemarin sudah diangkat, kini tumbuh lagi dan harus dilakukan kemoterapi.Kini Dimas dan Maya memasuki bandara, mwnuju pintu masuk pesawat, Dimas menggenggam erat tangan Maya, seoalh takut terpisah diataran ratusan orang yang tengah berdesakan."Tante, apa di pesantren Al Mukmin akan sama kayak di pesantren yang kemarin?" Dimas merasa cemas dan trauma atas apa yang menimpa diririnya beberapa bulan terakhir. Awalnya Dimas memang sekolah di SD berbasis Islam, namun karena keterbatasan penjagaan akhirnya Dimas dimasukkan ke pesantren, selain bisa belajar agama lebih dalam, tentunya Kanaya merasa aman karena tinggal di pesantren, ada yg mengawasinya.Sungguh malang yang menimpa Dimas, anak baik itu harus menerima perundungan
Tangisku kembali pecah ketika mendengar pengakuannya selama di pesantren. Hal yang paling menyedihkan ketika Dimas bilang dia tidak diizinkan tidur dikasur.Jadi selama ini Dimas hanya tidur dilantai beralaskan kain sarung. Bisa dibayangkan bagaimana dinginnya cuaca disana. Kembali kupeluk erat tubuh kurus anak baikku ini, aku baru sadar jika tubuhnya kini kurus. Aku terlalu memikirkan diriku sendiri. "Kenapa Dimas tidak cerita?""Karena Dimas tidak mau Mama sedih, apalagi Mama sedang saki," jawabnya polos."Sayang, maafin Mama ya! Besok mama sama ayah ke pesantren untuk mengurus kepindah Dimas. Untuk sementara Dimas sekolah didekat oma gak apa-apa kan?""Iya Ma, Dimas lebih senang dekat dengan oma.""Atau mau sekolah dekat papa?" tanyaku memberi pilihan. Bagaimanapun Dimas sudah besar, dia sudah mampu berpikir mana yang baik mana yang tidak.Dimas menggeleng, "deket sama oma aja Ma, Dimas gak tinggal sama tante Lely.""Iya gak apa-apa, besok kalau tante Maya pulang, Dimas sekalian
"Jangan ngaco May, Lia tahu darimana?""Aku juga gak tahu mbak, kemarin kan aku telfon mbak Lia, mau kasih tau dia kalau minggu depan aku mau pulang, terus minta tolong jemput di bandara, terus dia kan nanya-nanya tu, mau apa pulang. Ya Kau ceritakan kalau mau ketmeu ustat Kahfi. Terus tiba-tiba dia nanya, di cv ustadz kahfi statusnya apa? Gitu, y aaku jawab single." Maya manaruk nafas panjang dan membenarkan posisi duduknya."Terus apa lagi kata Lia?" Aku makin penasaran dengan cerita Maya tetang ustadz Kahfi."Mbak Lia bilang kalau sebenarnya ustadz kahfi udah pernah menikah.""Kamu percaya begitu aja dengan Lia?""Lho, bukannya selama ini Mbak Lia jadi orang kepercayaan Mbak dalam ngurusin toko, mada iya dia bohong mbak. Apa motivasinya coba dia bohongin aku."Kau berfikir sejenak, "iya juga ya May, atau mungkin kerabatnya Lia kenal siapa ustadz Kahfi. Tapi kan dia putranya kiayi Abdurrahman."Aku bingun sendiri dengan penuturan Maya. Kiyai Abdurrahman setahuku mempunyai empat anak