"Terima kasih, Master A." Ujar seorang pria paruh baya dengan pakaian gombrangnya, ia merangkul putrinya yang sedang menangis sesenggukan. "Sudah dua hari putriku tidak pulang ke rumah, dan sudah selama itu juga aku tak dapat tidur karena mencemaskannya. Tapi kini kau dapat menemukannya, aku sungguh-sungguh berterimakasih."
Aquila menggaruk tengkuknya, ia tersenyum canggung. "Aku senang dapat melakukannya untukmu,"
"Seandainya saja aku punya banyak uang, pasti aku akan memberikannya padamu sebagai tanda terima kasih." Pria itu memasang wajah menyesal, ia mencoba merogoh sakunya, "aku hanya memiliki beberapa keping uang logam, apa ini cukup?"
"Eh?" Aquila menggeleng pelan, "aku tidak minta bayaran, Tuan. Aku melakukannya tulus hanya ingin membantumu." Ujarnya. "Sekarang simpan kembali uangmu, lebih baik belikan makanan untuk putrimu."
Pria itu kembali menyimpan uangnya, matanya berkaca-kaca, "seperti rumornya, kau memang orang yang sangat baik, Master
Sepertinya kali ini Zeline sangat berhati-hati, ia masuk ke dalam ruangan gelap yang sulit dijamah orang umum. Aquila bahkan tak menemukan celah untuk masuk. Aquila tak dapat melihat dengan siapa Zeline berbincang, untungnya saja, ia masih dapat mendengar suara mereka. "MADAM, AKU SUNGGUH TAK TAHAN DENGAN SEMUA KEPALSUAN INI!" Seruan Zeline terdengar, ah, ternyata ia bertemu dengan Madam Gienka. Aquila menoleh ke sekitar, ada seberapa banyak tempat persembunyian yang Madam Gienka miliki? Seingatnya, ini berbeda dengan tempat di mana pertama kali Aquila bertemu dengannya. "Ya, kau benar, sihir itu memang membuat Zero cinta mati padaku, ia menuruti semua keinginanku. Tapi, tetap saja rasanya berbeda..." Zeline melanjutkan kalimatnya. "Zero mencintaiku, tapi terasa semu." "Ia bahkan tak pernah merasa cemburu atau sekalipun bertanya setiap melihatku berdua dengan pria lain," Tuturnya. "Reaksinya berbeda sekali setiap melihat Aquila dengan
Rasanya sulit bagi Zero untuk fokus pada kegiatannya saat ini. Kalimat Aquila semalam terus saja menempel pada pikirannya. Zero menatap Zeline yang sedang memberi makan angsa kerajaan di sebelahnya. Seperti biasa, Zeline terlihat sangat manis. Sulit dipercaya wanita selembut dan semanis itu adalah pemakai sihir hitam— yang terhitung pelanggaran berat pada Kekaisaran Timur. Zero menghela napasnya. "Ada apa Yang Mulia?" Zeline berlarian kecil ke arah Zero. "Hari ini kau terlihat berbeda... Tidak seperti biasanya." Zeline menatap Zero dengan mata bulatnya. "Kau terlihat kurang fokus... Apa ada masalah?" Zero menggeleng pelan. "Tidak, aku baik-baik saja. Kau jangan khawatir." "Ah, syukurlah." Zeline berujar lega, wanita itu memeluk lengan Zero dengan erat. "Aku khawatir sekali padamu, untungnya saja kau tidak apa-apa." Zero tersenyum tipis, mengelus rambut Zeline. Tuh, kan. Zeline adalah orang yang paling perhatian dan pali
Perempuan berambut pirang itu hanya bisa duduk diam sembari mengetuk-ngetukkan ujung jarinya ke atas meja. membuat irama secara sembarang. Menunggu itu rasanya sungguh membosankan. Apalagi, jika tak ada kepastian kapan orang yang ditunggu itu akan tiba. Panjang umur. Aquila segera menoleh saat mendengar suara pintu terbuka. Akhirnya! Orang yang sedari tadi ia tunggu datang juga. "Rose." Aquila menyebut nama orang itu. "Jadi, bagaimana?" Rose, dayang Aquila yang ternyata adalah mata-mata kiriman Zeline, menghadap Aquila. "Nona Zeline kemarin meninggalkan ruangannya untuk waktu yang cukup lama." Lapor Rose yang kini sudah memihak Aquila. "Tapi Nona Zeline tak menemui siapapun lagi selain Yang Mulia Putra Mahkota. Nona Zeline keluar hanya untuk berkencan dengannya." tuturnya. "Hanya itu?" Aquila menyipit, "kau yakin tidak ada lagi yang hendak kau sampaikan?" Rose menggeleng, "tidak, Nona." ungkapnya. "Setelah selesai menghabiskan waktu de
Charelle memaksakan matanya untuk terpejam. Tapi sangat sulit rasanya! Tak peduli selarut apa sekarang, ia masih terjaga. Semenjak kejadian di mana ia dijebloskan ke dalam penjara bawah tanah, hidupnya serasa menjadi mimpi buruk. Ia sering merasa ketakutan, sulit untuk tertidur, bahkan iapun enggan menyentuh makanannya. Terdengar berlebihan, mungkin. Tapi bagi Charelle yang selama ini selalu hidup dimanjakan, bergelimang harta, dan dikelilingi oleh barang-barang mewah, tentu, penjara bawah tanah dapat memberinya perasaan traumatis seperti saat ini. Charelle ingat betul penjara bawah tanah itu, bahkan tengkorak beserta tulang belulang yang berada pada sel di sampingnya pun masih melekat dengan erat di pikirannya. Air matanya lolos begitu saja, membasahi bantalnya. Charelle terisak. Terdengar suara ketukan pintu, salah seorang pelayan masuk, "Nona belum tidur?" tanya pelayan tersebut dengan nada lembut. Charelle tak menjawab meskipun ia
"Aku tidak akan mempercayaimu lagi, Zeline." Ujar Zero dengan ekspresi marah. Bisa-bisanya, kekasih yang selama ini selalu ia percaya... Kekasih yang selalu ia anggap sebagai sosok yang sangat baik dan berhati suci, mengkhianatinya seperti ini! "Z- Zero..." Zeline terbata-bata, ia sungguh tak menyangka Zero akan datang ke sini. Meskipun tubuhnya belum pulih, Zeline masih berusaha untuk meraih tangan Zero. "Yang Mulia, sungguh, ini adalah sebuah kesalahpahaman!" ujar Zeline dengan air mata bercucuran. Zeline menoleh lalu menunjuk ke arah Aquila, "aku dijebak! Nona Aquila yang telah menjebakku! Iblis itu pasti sudah merencanakan ini semua." Aquila memutar bola matanya. Kenapa jadi dia yang dikambinghitamkan? "Drama apalagi yang tengah kau ciptakan, Zeline?" Zero menatap tajam. "Sudah cukup hatiku yang kau hancurkan, jangan coba-coba menuduh sahabat masa kecilku yang tidak-tidak." "Aku bisa menjelaskannya padamu!" Ze
Zeline duduk meringkuk, memeluk kedua lututnya sendiri. Tatapannya nampak kosong, kulitnya terlihat begitu pucat. Zeline terjaga, kepalanya seakan pecah memikirkan apa yang akan terjadi padanya. Zero sudah mengetahui semuanya, tentang sifat aslinya. Sial, habislah sudah. Zeline tak tahu harus berbuat apa. Apakah ia benar-benar akan berakhir di sini? Tidak, tidak. Zeline tak boleh menyerah begitu saja. Ia tak bisa membiarkan hal ini! Ia tidak sudi membiarkan Aquila menang diatasnya. Suara langkah kaki terdengar, Zeline langsung menoleh ke arah sumber suara, ada dua penjaga berbaju zirah di sana, menatap Zeline dengan sorot dingin. "Nona Aideos, kami diperintahkan untuk membawamu." Tanpa menunggu respon dari Zeline, kedua penjaga itu sudah menarik tangannya, menyeretnya entah ke mana. Zeline menunduk pasrah, hukumannya sebentar lagi tiba. Apakah, ini benar-benar akhir darinya? ***
Aquila melihat ke arah luar jendela, menatap gelapnya langit yang tanpa dihiasi bulan. Beberapa hari belakangan ini ia benar-benar sibuk. Penyerangan terhadap Charelle, Penangkapan Zeline, dan Zero yang berusaha menutupi kejadian sebenarnya. Ditambah lagi, Aquila masih sibuk mengurusi bisnisnya bersama dengan Countess Eris. Yah, untungnya bisnisnya menunjukkan prospek yang baik. Napasnya sedikit terasa sesak, Aquila berpegangan pada besi balkon, menatap sayu pemandangan sekitar. Pengap. "Kenapa belakangan ini suasananya..." Jantungnya berdegup begitu kencang, entah mengapa belakangan ini perasaanya terasa buruk, seperti ada yang janggal, seperti ada hal yang terlewatkan. Aquila segera mengambil langkah panjang, memakai jubahnya, lalu mengendap-endap. Ada hal yang harus ia periksa. *** Silir angin menerpa rambut pirangnya, Aquila menoleh ke atas, malam ini terasa lebih gelap dan dingin dibanding biasanya. Ia
Aquila menatap sendu Rose yang dibaringkan pada ranjangnya, kali ini, tatapannya berpindah pada sosok tabib yang selesai mengobatinya. "Bagaimana keadaannya?" "Sangat parah," tabib itu menghela napasnya, kembali membereskan ramuan yang telah ia buat. "Keadaannya lebih parah dari yang ku kira, untung saja Nona Aquila segera memanggilku." katanya. "Lukanya cukup dalam. Untuk sekarang, aku sudah mengusapkan obat dan membalutnya, tapi, aku tak bisa menjamin apa-apa untuk kedepannya." "Kita hanya bisa berharap pada keajaiban." Aquila memejamkan matanya yang terlihat lelah, ia menghela napas sembari memegangi pelipisnya. Separah... itukah? Seseorang menyentuh pundak Aquila dengan lembut, itu Ahn. Ahn tersenyum sembari memberi tatapan menguatkan pada Aquila. "Nona, anda terlihat sangat kelelahan." Ahn menatap khawatir, "ada baiknya anda istirahat sejenak." Aquila merasa ragu, ia bahkan tak terpikirkan sedikitpun untuk meninggalkan rua
Ekhm, halo semua! Aku Alet selaku author dari cerita yang berjudul ‘Miss Villain and The Protagonist’ sekarang lagi ngerasa seneng karena akhirnya aku bisa tamatin cerita ini! Nggak kerasa udah hampir dua tahun lamanya semenjak pertama kali aku publish cerita MVATP di pertengahan 2021. Sejak saat itu, aku bener-bener ngerasa seperti di rollercoaster, ada kalanya aku semangat & excited banget buat publish, tapi beberapa hari setelahnya aku langsung kena writer block. Ada masanya aku ngerasa seneng sama hasil tulisanku sendiri, tapi nggak lama setelahnya aku jadi ngerasa nggak pede lagi. Setelah semua perasaan campur aduk itu, akhirnya aku bisa ngebawa cerita MVATP hingga ke bagian akhir. Semoga kalian suka, ya, sama endingnya! * Jujur, aku deg-degan banget sebelum publish bagian akhir, aku mikir apakah endingnya memuaskan? Atau apakah kalian bakal suka? Tapi aku udah ngelakuin yang terbaik, aku berharap banget para pembaca bakal suka. Rasanya waktu tuh berjalan cepet banget, seinge
“Selamat atas penobatanmu, Yang Mulia.” Aquila tersenyum, menatap Revel yang terlihat kikuk.“Hanya ada kita berdua di sini, tolong panggil aku dengan nama saja, seperti biasa.”“Anda tahu sendiri kan, hal itu sudah tidak bisa lagi saya lakukan.”Benar. Dengan tingginya posisi Revel saat ini, bisa dianggap seperti penghinaan jika orang lain mendengar Aquila memanggilnya langsung dengan nama.“Padahal anda pasti sedang sibuk-sibuknya, tapi anda masih bisa meluangkan waktu untuk saya. Saya merasa terhormat.” Tutur Aquila.“Saya yang justru merasa tidak enak karena tiba-tiba memanggil anda ke sini.”Aquila menyadari kalau Revel tiba-tiba mengubah gaya bicaranya menjadi lebih formal. “Saya tidak enak jika membuang waktu anda lebih banyak lagi, apa ada hal yang anda ingin saya sampaikan sehingga memanggil saya ke istana?”Revel menatap Aquila, terdengar helaan napas darinya. “Aku tidak akan basa-basi lagi. Aku butuh bantuanmu.”“Apa?”“Seperti yang kau tahu, aku benar-benar disibukkan kare
Detik demi detik berlalu, berubah menjadi menit, jam, hari, minggu, waktu terus berjalan, setelah malam yang panjang itu entah kenapa waktu jadi terasa begitu cepat.Revel bekerja keras, dibantu dengan Duke Charles, Marquis Varen, dan beberapa bangsawan berpengaruh lainnya, mereka kembali membenahi tatanan kepemerintahan. Suasana di istana perlahan-lahan kembali seperti semula.Waktu berlalu, musim pun berganti, banyak hal yang terjadi, banyak hal yang dilewati.Revel telah resmi diangkat sebagai kaisar berikutnya, upacara pengesahan diadakan, meski ada beberapa pihak yang menentang, keputusan kuil tidak dapat diganggu gugat. Kebenaran terungkap, mengenai putra mahkota terdahulu yang dilupakan, semua tindakan keji kaisar sebelumnya pun terbongkar.Beberapa kebijakan diubah, termasuk penghapusan total mengenai subjek venatici, hal-hal yang berkaitan mengenai sihir pun dilegalkan asal dengan kuantitas yang wajar. Pembangunan sekolah sihir dilakukan pada banyak titik yang nantinya akan m
“Mustahil!” Kaisar Lius menarik rambutnya sendiri, rasanya ia telah menjadi gila, ia sulit membedakan mana yang mimpi mana yang bukan. “INI PASTI MIMPI! HAHAHA AKU PASTI SEDANG BERMIMPI!” ia menyeringai, tanda keterkejutan dan keputusasaannya. Ini mimpi yang begitu buruk, seseorang tolong bangunkan dirinya! “Ini bukan mimpi, Yang Mulia.” Muncul seseorang memasuki ruangannya. Secara dramatis, dari balik bayangan, perlahan Kaisar Lius mampu melihat wajahnya yang disinari cahaya bulan. “Salam saya, Yang Mulia.” Pria itu menyapa dengan senyum manis di wajahnya. R- Revel?! “DASAR ANAK TIDAK TAHU DIRI!” Kaisar Lius berteriak, meluapkan segala emosinya. Bagaimana bisa Revel masih bisa tersenyum manis di saat seperti ini?! Ah, tidak, itu merupakan senyum ejekan! Senyum yang mentertawakan posisinya saat ini. “Ah? Bagaimana menurut anda mengenai kejutan yang telah saya siapkan sepenuh hati seperti ini?” Tanya Revel, masih dengan senyum yang menghiasi wajahnya. “KAU PASTI SUDAH GILA!” “Sa
“Revel, Revel!” Seruan yang berasal dari Mike berhasil membuyarkan ingatan Revel atas masa kelamnya. “Kemarilah! Tuan Michael terluka parah!” Huh? Revel, diikuti yang lainnya bergegas menghampiri Mike dan Baron Michael yang terbaring lemah dengan luka yang memenuhi tubuhnya. Keadaannya jauh lebih buruk dari yang Revel pikirkan, sepertinya pria itu terkena tebasan senjata yang telah dilumuri racun, terlihat jelas dari bekas luka beserta warna kulit yang berubah kehijauan. “Michael, bertahanlah!” Seru Revel, yang bergerak cepat mengikatkan kain dengan erat agar racunnya tidak cepat menyebar. “Bertahanlah, aku akan segera mencarikan penawar.” “Berhenti.” Ketika Revel hendak bangkit, Baron Michael menggenggam tangannya. “Tidak perlu.” “A- apa?” Alis Revel bertaut, ia jelas tak mengerti mengapa Baron Michael menahannya. “Percuma saja, racunnya sudah menyebar sejak tadi.” “Apa yang kau bicarakan?! Kenapa kau menyerah seperti itu?!” Seru Revel, perasaannya kini tak menentu, kalimat y
“Sebelumnya kau mengatakan kalau otak mereka telah dicuci dan mereka menjadikan kaisar sebagai dewa mereka, kan?” Xander bertanya, memastikan. Muncul sebuah ide gila di kepalanya. “Bagaimana jika cara tercepat untuk menghabisi mereka dalam satu entakan adalah dengan membunuh kaisar terlebih dahulu?” Bagi Xander, ini merupakan ide gila yang patut dicoba. Subjek Venatici menganggap kaisar sebagai dewa mereka, bagaimana jika Xander membunuh ‘dewa’ yang selalu ingin mereka lindungi itu? Pasti mereka akan merasakan perasaan putus asa yang begitu mendalam akibat gagal melindungi dewa. Setelah mendapat pukulan keras itu, seharusnya mereka melemah, kan? Tidak, tidak, lebih baik lagi jika mereka melakukan bunuh diri massal akibat perasaan bersalah yang mendalam. Seringaian menyeramkan mendadak timbul pada wajah Xander. Ia akan merealisasikan ide gila itu. Kesimpulannya, ia akan membunuh Kaisar terlebih dahulu. Revel yang mendengarnya seketika menoleh. “Itu… benar-benar ide nekat yang laya
Berkat monster yang dilepaskan Yelena, beserta bala bantuan dari keluarga Charles dan Varen, prajurit istana berhasil dipukul mundur. Pertumpahan darah terjadi, waktu berjalan begitu cepat, tak disangka kekuatan istana dapat disudutkan.Di detik-detik kelumpuhannya, Kaisar mengeluarkan kartu as terakhirnya, yakni dengan melepaskan ‘Subjek Venatici’ yaitu kumpulan manusia yang telah dicuci otaknya sehingga rela melakukan apa saja demi melindungi sang kaisar, termasuk menyerahkan nyawanya sendiri. Singkatnya, mereka adalah anjing kaisar.‘Subjek Venatici’ berkaitan erat dengan negara-negara jajahan. Kaisar memerintahkan untuk menginvasi desa-desa miskin, membunuh para orang tua maupun semua penduduk, menculik anak-anak mereka dan mengumpulkannya menjadi satu. Setelahnya, Kaisar mengurung mereka, melakukan pencucian otak agar selalu tunduk pada kehendaknya dan agar mereka dapat mempersembahkan nyawa untuknya.Mereka menjalani kehidupan yang keras, saling membunuh satu sama lain untuk mem
“Satu-satunya yang bisa menemukan akses masuk itu hanyalah Nona Yelena.” Ucapnya. “Sebagai seorang penyihir, Nona Yelena dapat merasakan aliran mana di sini. Gunakan kemampuan anda, rasakan mana yang ada, jika terasa semakin kuat, bisa saja itu tandanya kita semakin dekat dengan akses masuk itu.” Ini penjelasan yang paling memungkinkan, hanya Yelena yang dapat melakukannya. "T- tapi, bagaimana kalau ternyata aku gagal dan kita hanya semakin membuang waktu?” sorot keraguan terpampang jelas dari matanya. “Kami percaya padamu, aku tahu kau bisa melakukannya.” Aquila menggenggam tangan Yelena. “Apa kau ingat saat di mana para prajurit tadi berhasil mengepungku? Aku kira nasibku akan berakhir saat itu, tapi tiba-tiba kau menggunakan kekuatanmu untuk membuat mereka melayang. Itu kau yang melakukannya, kan? Aku yakin kau menyimpan potensi yang sangat besar hanya saja kau belum menyadarinya.” Alken mengangguk kecil. “Kau bisa melakukannya.” Ia menambahkan, meyakinkan. *** Yelena memejam
“Apa?”Kabar yang baru saja disampaikan oleh salah satu pelayannya ini membuat Duke Charles membulatkan matanya.“Terjadi penyerangan pada istana?” ia bertanya, memastikan.Kalau kabar ini sampai ke telinga bangsawan lain, mereka pasti berpikir kalau kelompok penyembah kekuatan itu lah yang menjadi dalang dalam kasus ini. Tapi tidak dengan Duke Charles, pria itu tau dengan jelas siapa saja yang akan bertanggung jawab dalam hal ini.Termasuk putra dan putrinya.Sebenarnya Duke Charles tidak terkejut atas keterlibatan anak-anaknya, mudah baginya untuk mengendus rencana mereka semenjak kedatangan Grand Duke Alucio untuk makan malam bersama, ditambah lagi, kedekatan antara putrinya dengan pria itu. Tapi, yang membuatnya terkejut adalah ia tak menyangka kalau ini akan terjadi secepat ini.Timing-nya benar-benar pas dengan kabar pemberontak dari kelompok penyembah kekuatan. Hal ini sudah direncanakan dengan sangat matang.“Kumpulkan pasukan, kita akan mengirim bala bantuan untuk menyerang i