"Kau dari mana saja? Aku sejak tadi mencarimu." Ujar Iluka seraya menghampiri Aquila.
"Aku..." Ucapan Aquila terjeda, tidak mungkin, kan, ia bilang habis bertemu seorang penyihir? "Aku tidak dari mana-mana."
Iluka tak begitu mengindahkan jawaban tak jelas dari Aquila, cowok itu melangkahkan kakinya, tangannya menuntun Aquila menuju ruang pertemuan. "Ayo."
Sebenarnya Aquila sangat malas, kalau boleh, ia ingin pulang saja, tapi tentu ia tak dapat melakukannya.
Di dalam ruangan, Aquila sibuk mengedarkan pandangannya, banyak bangsawan yang tengah bercengkrama. Dari yang Aquila tangkap, sebentar lagi akan diadakan lomba berburu hewan.
Lomba ini diadakan berpasangan, Putra Mahkota berpasangan dengan kekasihnya, tentu saja.
Aquila menoleh pada Iluka yang tengah mengambil sebuah busur. "Kau ingin yang mana?" Tanya Iluka.
Aquila terdiam, Aquila tidak bisa memanah, kalau dirinya berpasangan dengan Iluka, Aqu
Raganya ada di sini, namun pikirannya entah berada di mana. Aquila, sedari tadi larut dalam pikirannya, perkataan Zeline benar-benar tak bisa dianggap angin lalu— dan entah mengapa kini Aquila teringat akan ramalan Madam Gienka. Benarkah ... Alur yang susah-susah Aquila ubah akan kembali seperti semula? Kali ini, jejak kaki seekor hewan kecil berhasil mengalihkan pemikiran Aquila dari kalimat-kalimat Zeline. Aquila mengikuti jejak kaki yang membawanya ke sebuah pemandangan tidak mengenakan. Ada seekor kelinci salju yang terjatuh dalam sebuah lubang— lebih mirip jebakan. Aquila segera memosisikan busurnya, ini kesempatan untuknya, tangkapan pertama untuk hari ini. Aquila memusatkan titik fokusnya, ia bisa melepaskan anak panah ini kapan saja. Tapi gerakannya terhenti. Aquila menurunkan senjatanya. Ia... Tidak tega jiga harus membunuh kelinci ini. "Aku tidak bi
"ALASTER!" "Aduh," Alaster menutup kedua telinganya, "kau berisik sekali." Semua yang berada di meja itu, menatap sosok yang baru saja datang, Alaster, lelaki itu masih berdiri di belakang kursi Zero. Tanpa sadar Aquila sudah berdiri— nyaris saja ia berlari memeluk kakaknya itu, untung Aquila masih bisa mengendalikan dirinya. Atmosfer mendadak berubah semenjak kedatangan Alaster, Aquila yang raut wajahnya berubah bahagia, Zeline yang entah mengapa nampak sedikit tak nyaman, Zero yang jadi semakin sigap, dan Iluka yang masih saja diam. "Sebenarnya aku lelah sekali, baru sampai dari perjalanan jauh, aku ingin istirahat. Namun percakapan kalian membawaku ke sini." Alaster berujar. "Aku jadi penasaran kalian sedang membicarakan apa? Nampaknya seru sekali." Alaster menduduki bangku yang kosong, tersenyum lebar sembari menatapi wajah penghuni meja ini satu-persatu. Aquila meneguk ludah. Alaster mengucapkannya dengan n
"Hoaaahmm," Aquila menguap lebar, membalikkan badannya, mencari posisi ternyaman untuk berbaring. "Hei, bangun!" Ahn, memasang tangan di pinggang, menggeleng melihat kelakuan majikannya yang nampak tak sudi berpisah dengan ranjangnya. "Sekarang sudah hampir tengah hari, Nona. Ini adalah hari kedua festival, kau tidak berniat melewatkannya, kan?" "Sebentar lagi, Ahn." Ucap Aquila malas. "Aku sangat mengantuk." "Sebentar lagi apanya?!" Seru Ahn, "kau sudah mengatakan itu berkali-kali." Aquila tak merespon. "BANGUUUUN!" kali ini, teriakan nyaring Ahn sukses membuat Aquila terperanjat dan segera bangkit dari ranjangnya. *** "Aduh! Pelan-pelan, Ahn!" Aquila mengaduh kesakitan saat Ahn menarik tali korset di pingganggnya— mengencangkannya. "Diam sebentar, Nona." balas Ahn yang masih sibuk dengan kegiatannya. "Haruskah kita melakukan ini?" Aquila mengeluh, korset itu... Benar-benar menyesa
Madam Gienka!! Deg. Entah mengapa jantung Aquila semakin tak karuan. Tubuhnya mengeluarkan keringat. "Nona, ada apa?" Lily bertanya, bingung dengan perubahan ekspresi wajah Aquila yang mendadak. Aquila menggeleng, berusaha bersikap normal— meskipun wajah pucatnya berkata sebaliknya. Tidak mungkin. Pasti ada yang salah. Entah apa yang terjadi pada penglihatannya, tapi tiba-tiba saja ia seakan dapat melihat sosok Madam Gienka dalam tubuh Lily. "Nona?" "Ah, aku... Aku tidak apa-apa." Jawab Aquila. "Nona, kalau anda merasa sakit, sebaiknya anda istirahat saja." Lily memberi saran. Aquila menggelengkan kepala. "Aku baik-baik saja." "Ah, syukurlah." sahut Lily. "Kalau begitu, Nona, aku sedang ada urusan penting. Maaf aku harus pamit sekarang." Lily menunduk sopan. Setelahnya, ia kembali melangkah, punggungnya semakin menjauh. Aquila masih mematunh di tempat. Ia m
"Zeline..." Aquila merebahkan badannya pada ranjangnya yang empuk, menatap lurus ke langit-langit ruangan. "Madam Gienka..." Gumamnya lagi. Aquila mengubah posisi berbaringnya, kali ini menghadap tembok. "Apa yang harus aku lakukan?" Gumamnya lagi. Ia tidak paham lagi. Bagaimana bisa Zeline senekat itu? Bekerja sama dengan penyihir hitam? Itu tidak masuk akal. Posisi Zeline di mata Zero jauh lebih unggul dan selalu lebih unggul, untuk apa wanita itu sampai memerlukan bantuan dari penyihir hitam? Aquila benar-benar tidak mengerti. Kepalanya terasa sakit, memikirkan langkah apa yang harus ia ambil untuk ke depannya? Ini bukan lagi soal menjadi Permaisuri, Aquila sudah mengesampingkan posisi itu. Ini tentang Zeline. Zeline memang rivalnya, perempuan itu terkadang sangat menjengkelkan, tapi itu bukan berarti Aquila tega membiarkan Zeline terpengaruh hasutan penyihir hitam seperti Ma
"Aku keren sekali." "Apa?" Charelle yang baru datang dengan segelas wine sampai menyelipkan anak rambut ke belakang telinganya, berusaha memperjelas pendengaran. "Aku tidak salah dengar, kan?" "Kau tiba-tiba langsung memuji dirimu sendiri." Aquila mengangkat bahunya tak acuh, menatap Charelle yang baru saja menempati kursi kosong di depannya. "Kau tidak salah dengar, Charelle. Aku memang sangat keren." Ujarnya percaya diri. Charelle tergelak, "tingkat percaya dirimu nampaknya hampir setara dengan Kak Alaster." Ujarnya sambil tertawa pelan. "Memangnya apa yang baru kau lakukan, sehingga kau berkata demikian?" Aquila menenggak segelas wine di tangannya. "Aku habis melakukan hal yang keren." katanya. "Aku berhasil menyuarakan semua isi hatiku kepada Zero serta membantunya semakin dekat dengan Zeline." Charelle mengangkat alisnya, ia tak begitu paham, tapi di satu sisi ia juga antusias menunggu kelanjutan kalimat Aquila.
"Astaga, aku mudah sekali menangis." Aquila berujar sembari menyeka air matanya. Tuan Alucio— Aquila baru ingat Tuan Alucio pernah meminta untuk dipanggil dengan nama depannya, Revel— lelaki yang baru menolongnya itu menyampirkan sebuah mantel ke pundak Aquila. "Jangan dipikirkan." Itu kalimat pertama Revel setelah terjadi kesunyian selama beberapa saat. Aquila mendongak, ia juga tidak mau memikirkannya, tapi apa yang dilihatnya barusan terus saja terngiang-ngiang di otaknya. Dua orang itu. Kenapa mereka melampiaskan nafsunya di balkon yang notabenenya adalah tempat umum? Tidak bisakah mereka melakukannya di tempat yang lebih menjamin privasi, seperti kamar? Memangnya Zero tidak punya uang untuk membawa Zeline ke kamar? "Astaga," Aquila bergumam, memijat pelipisnya. Aquila memang sebelumnya meminta Zero untuk bersenang-senang dengan Zeline— namun bukan hal seperti itu yang ia maksud.
Seumur hidup, Aquila tak pernah menyangka akan berada di posisi ini. Atmosfer terasa begitu berat, sedari tadi Aquila menahan napasnya. Suasana ini ... Terasa begitu tak mengenakkan. Saat ini, kedua orang itu— Revel dan Alaster tengah berdiri berhadap-hadapan. Alaster memberi tatapan menusuk, ia menggeram, aura kekesalan jelas terlihat dari tatapan Alaster. Seolah, cowok itu dapat kapan saja menghantam pria di depannya ini. Sedangkan Revel, ia terlihat lebih tenang, ekspresi wajahnya datar, seakan tak ada Alaster di depannya— justru ekspresi itu yang sukses membuat kekesalan Alaster bertambah. Tangan Alaster bergerak, mencengkeram bahu Revel kuat-kuat. Ia memicing tajam. "Apa yang hendak kau lakukan pada adikku?!" Revel menghela napasnya, ia memutar bola mata. "Aku tidak melakukan apa-apa." Jawabnya malas. "BOHONG!" Alaster menyentak, "KAU HENDAK MENCIUMNYA, KAN?!" ia menuding.
Ekhm, halo semua! Aku Alet selaku author dari cerita yang berjudul ‘Miss Villain and The Protagonist’ sekarang lagi ngerasa seneng karena akhirnya aku bisa tamatin cerita ini! Nggak kerasa udah hampir dua tahun lamanya semenjak pertama kali aku publish cerita MVATP di pertengahan 2021. Sejak saat itu, aku bener-bener ngerasa seperti di rollercoaster, ada kalanya aku semangat & excited banget buat publish, tapi beberapa hari setelahnya aku langsung kena writer block. Ada masanya aku ngerasa seneng sama hasil tulisanku sendiri, tapi nggak lama setelahnya aku jadi ngerasa nggak pede lagi. Setelah semua perasaan campur aduk itu, akhirnya aku bisa ngebawa cerita MVATP hingga ke bagian akhir. Semoga kalian suka, ya, sama endingnya! * Jujur, aku deg-degan banget sebelum publish bagian akhir, aku mikir apakah endingnya memuaskan? Atau apakah kalian bakal suka? Tapi aku udah ngelakuin yang terbaik, aku berharap banget para pembaca bakal suka. Rasanya waktu tuh berjalan cepet banget, seinge
“Selamat atas penobatanmu, Yang Mulia.” Aquila tersenyum, menatap Revel yang terlihat kikuk.“Hanya ada kita berdua di sini, tolong panggil aku dengan nama saja, seperti biasa.”“Anda tahu sendiri kan, hal itu sudah tidak bisa lagi saya lakukan.”Benar. Dengan tingginya posisi Revel saat ini, bisa dianggap seperti penghinaan jika orang lain mendengar Aquila memanggilnya langsung dengan nama.“Padahal anda pasti sedang sibuk-sibuknya, tapi anda masih bisa meluangkan waktu untuk saya. Saya merasa terhormat.” Tutur Aquila.“Saya yang justru merasa tidak enak karena tiba-tiba memanggil anda ke sini.”Aquila menyadari kalau Revel tiba-tiba mengubah gaya bicaranya menjadi lebih formal. “Saya tidak enak jika membuang waktu anda lebih banyak lagi, apa ada hal yang anda ingin saya sampaikan sehingga memanggil saya ke istana?”Revel menatap Aquila, terdengar helaan napas darinya. “Aku tidak akan basa-basi lagi. Aku butuh bantuanmu.”“Apa?”“Seperti yang kau tahu, aku benar-benar disibukkan kare
Detik demi detik berlalu, berubah menjadi menit, jam, hari, minggu, waktu terus berjalan, setelah malam yang panjang itu entah kenapa waktu jadi terasa begitu cepat.Revel bekerja keras, dibantu dengan Duke Charles, Marquis Varen, dan beberapa bangsawan berpengaruh lainnya, mereka kembali membenahi tatanan kepemerintahan. Suasana di istana perlahan-lahan kembali seperti semula.Waktu berlalu, musim pun berganti, banyak hal yang terjadi, banyak hal yang dilewati.Revel telah resmi diangkat sebagai kaisar berikutnya, upacara pengesahan diadakan, meski ada beberapa pihak yang menentang, keputusan kuil tidak dapat diganggu gugat. Kebenaran terungkap, mengenai putra mahkota terdahulu yang dilupakan, semua tindakan keji kaisar sebelumnya pun terbongkar.Beberapa kebijakan diubah, termasuk penghapusan total mengenai subjek venatici, hal-hal yang berkaitan mengenai sihir pun dilegalkan asal dengan kuantitas yang wajar. Pembangunan sekolah sihir dilakukan pada banyak titik yang nantinya akan m
“Mustahil!” Kaisar Lius menarik rambutnya sendiri, rasanya ia telah menjadi gila, ia sulit membedakan mana yang mimpi mana yang bukan. “INI PASTI MIMPI! HAHAHA AKU PASTI SEDANG BERMIMPI!” ia menyeringai, tanda keterkejutan dan keputusasaannya. Ini mimpi yang begitu buruk, seseorang tolong bangunkan dirinya! “Ini bukan mimpi, Yang Mulia.” Muncul seseorang memasuki ruangannya. Secara dramatis, dari balik bayangan, perlahan Kaisar Lius mampu melihat wajahnya yang disinari cahaya bulan. “Salam saya, Yang Mulia.” Pria itu menyapa dengan senyum manis di wajahnya. R- Revel?! “DASAR ANAK TIDAK TAHU DIRI!” Kaisar Lius berteriak, meluapkan segala emosinya. Bagaimana bisa Revel masih bisa tersenyum manis di saat seperti ini?! Ah, tidak, itu merupakan senyum ejekan! Senyum yang mentertawakan posisinya saat ini. “Ah? Bagaimana menurut anda mengenai kejutan yang telah saya siapkan sepenuh hati seperti ini?” Tanya Revel, masih dengan senyum yang menghiasi wajahnya. “KAU PASTI SUDAH GILA!” “Sa
“Revel, Revel!” Seruan yang berasal dari Mike berhasil membuyarkan ingatan Revel atas masa kelamnya. “Kemarilah! Tuan Michael terluka parah!” Huh? Revel, diikuti yang lainnya bergegas menghampiri Mike dan Baron Michael yang terbaring lemah dengan luka yang memenuhi tubuhnya. Keadaannya jauh lebih buruk dari yang Revel pikirkan, sepertinya pria itu terkena tebasan senjata yang telah dilumuri racun, terlihat jelas dari bekas luka beserta warna kulit yang berubah kehijauan. “Michael, bertahanlah!” Seru Revel, yang bergerak cepat mengikatkan kain dengan erat agar racunnya tidak cepat menyebar. “Bertahanlah, aku akan segera mencarikan penawar.” “Berhenti.” Ketika Revel hendak bangkit, Baron Michael menggenggam tangannya. “Tidak perlu.” “A- apa?” Alis Revel bertaut, ia jelas tak mengerti mengapa Baron Michael menahannya. “Percuma saja, racunnya sudah menyebar sejak tadi.” “Apa yang kau bicarakan?! Kenapa kau menyerah seperti itu?!” Seru Revel, perasaannya kini tak menentu, kalimat y
“Sebelumnya kau mengatakan kalau otak mereka telah dicuci dan mereka menjadikan kaisar sebagai dewa mereka, kan?” Xander bertanya, memastikan. Muncul sebuah ide gila di kepalanya. “Bagaimana jika cara tercepat untuk menghabisi mereka dalam satu entakan adalah dengan membunuh kaisar terlebih dahulu?” Bagi Xander, ini merupakan ide gila yang patut dicoba. Subjek Venatici menganggap kaisar sebagai dewa mereka, bagaimana jika Xander membunuh ‘dewa’ yang selalu ingin mereka lindungi itu? Pasti mereka akan merasakan perasaan putus asa yang begitu mendalam akibat gagal melindungi dewa. Setelah mendapat pukulan keras itu, seharusnya mereka melemah, kan? Tidak, tidak, lebih baik lagi jika mereka melakukan bunuh diri massal akibat perasaan bersalah yang mendalam. Seringaian menyeramkan mendadak timbul pada wajah Xander. Ia akan merealisasikan ide gila itu. Kesimpulannya, ia akan membunuh Kaisar terlebih dahulu. Revel yang mendengarnya seketika menoleh. “Itu… benar-benar ide nekat yang laya
Berkat monster yang dilepaskan Yelena, beserta bala bantuan dari keluarga Charles dan Varen, prajurit istana berhasil dipukul mundur. Pertumpahan darah terjadi, waktu berjalan begitu cepat, tak disangka kekuatan istana dapat disudutkan.Di detik-detik kelumpuhannya, Kaisar mengeluarkan kartu as terakhirnya, yakni dengan melepaskan ‘Subjek Venatici’ yaitu kumpulan manusia yang telah dicuci otaknya sehingga rela melakukan apa saja demi melindungi sang kaisar, termasuk menyerahkan nyawanya sendiri. Singkatnya, mereka adalah anjing kaisar.‘Subjek Venatici’ berkaitan erat dengan negara-negara jajahan. Kaisar memerintahkan untuk menginvasi desa-desa miskin, membunuh para orang tua maupun semua penduduk, menculik anak-anak mereka dan mengumpulkannya menjadi satu. Setelahnya, Kaisar mengurung mereka, melakukan pencucian otak agar selalu tunduk pada kehendaknya dan agar mereka dapat mempersembahkan nyawa untuknya.Mereka menjalani kehidupan yang keras, saling membunuh satu sama lain untuk mem
“Satu-satunya yang bisa menemukan akses masuk itu hanyalah Nona Yelena.” Ucapnya. “Sebagai seorang penyihir, Nona Yelena dapat merasakan aliran mana di sini. Gunakan kemampuan anda, rasakan mana yang ada, jika terasa semakin kuat, bisa saja itu tandanya kita semakin dekat dengan akses masuk itu.” Ini penjelasan yang paling memungkinkan, hanya Yelena yang dapat melakukannya. "T- tapi, bagaimana kalau ternyata aku gagal dan kita hanya semakin membuang waktu?” sorot keraguan terpampang jelas dari matanya. “Kami percaya padamu, aku tahu kau bisa melakukannya.” Aquila menggenggam tangan Yelena. “Apa kau ingat saat di mana para prajurit tadi berhasil mengepungku? Aku kira nasibku akan berakhir saat itu, tapi tiba-tiba kau menggunakan kekuatanmu untuk membuat mereka melayang. Itu kau yang melakukannya, kan? Aku yakin kau menyimpan potensi yang sangat besar hanya saja kau belum menyadarinya.” Alken mengangguk kecil. “Kau bisa melakukannya.” Ia menambahkan, meyakinkan. *** Yelena memejam
“Apa?”Kabar yang baru saja disampaikan oleh salah satu pelayannya ini membuat Duke Charles membulatkan matanya.“Terjadi penyerangan pada istana?” ia bertanya, memastikan.Kalau kabar ini sampai ke telinga bangsawan lain, mereka pasti berpikir kalau kelompok penyembah kekuatan itu lah yang menjadi dalang dalam kasus ini. Tapi tidak dengan Duke Charles, pria itu tau dengan jelas siapa saja yang akan bertanggung jawab dalam hal ini.Termasuk putra dan putrinya.Sebenarnya Duke Charles tidak terkejut atas keterlibatan anak-anaknya, mudah baginya untuk mengendus rencana mereka semenjak kedatangan Grand Duke Alucio untuk makan malam bersama, ditambah lagi, kedekatan antara putrinya dengan pria itu. Tapi, yang membuatnya terkejut adalah ia tak menyangka kalau ini akan terjadi secepat ini.Timing-nya benar-benar pas dengan kabar pemberontak dari kelompok penyembah kekuatan. Hal ini sudah direncanakan dengan sangat matang.“Kumpulkan pasukan, kita akan mengirim bala bantuan untuk menyerang i