Misha bersungut-sungut, melangkah dengan tempo cepat untuk melewati pos satpam yang berlokasi tepat di balik gerbang sekolah—memikirkan perkataan dari Dewa Asmara yang terngiang-ngiang di jemala. Entah kenapa, Misha menjadi cewek yang sensitif setelah hari itu di mana dia mendapatkan kemalangan karena tugas yang menurutnya terlampau gampang dan sepele.
Namun, hal yang patut Misha syukuri dan banggakan adalah dapat bagian di keringanan yang diperoleh cuma-cuma—selama menjalani tugas yakni mencari arti cinta sesungguhnya, maka Misha diliburkan selama tiga bulan dari tugas-tugas cupid yang biasanya diberikan beruntun akan diberhentikan untuk sementara waktu.
Tiada ada salahnya mencari makna cinta pada umumnya, kan? Semua orang yang pernah merasakan manis dan pahitnya cinta rata-rata pasti bisa menjawabnya. Misha hanya perlu mengamati kegiatan mereka dalam kehidupan sehari-hari atau turun tangan langsung ke lapangan kalau semisal keadaan betul-betul mendesak.
Pandangan Misha lanjut memindai para siswa dan siswi yang berkumpul membentuk himpunan di lapangan, itu pasti murid nakal yang malas mengerjakan tugas sekolah dalam kurun waktu yang lama, sesuatu yang tentu tidak akan bisa ditoleransi oleh guru-guru yang mengajar di sini, yang tak lain dan tak bukan bernama SMA Merpati Biru.
SMA Merpati Biru yang ditempati Misha ini terkenal di telinga khalayak ramai sebagai Sekolah Menengah Atas dengan segudang prestasi hebat yang telah berhasil mewisudakan alumni-alumni terbaik dan multitalenta yang kini tengah menempuh pendidikan di perguruan tinggi impian di dalam kota maupun di luar kota.
Untuk lolos masuk SMA Merpati Biru, membutuhkan pengorbanan yang tak main-main sulitnya, pihak sekolah ingin membuktikan keseriusan calon siswa dan siswi yang mendaftarkan diri dengan seleksi yang sangat ketat, intinya bukan hanya berbekal dari nilai raport dan dari mana mereka pernah mengenyam pendidikan sebelum lulus.
Soal fasilitas beasiswa, mereka juga sangat selektif dalam memilih calon penerima beasiswa tanpa membeda-bedakan kalangan bawah, menengah, atau atas sedikit pun.
Ya ampun, apakah siswa-siswi itu tak mencoba memikirkan masa depan, minimal jerih payah orang tuanya yang berusaha memasukkan mereka di sini saja? Perih, Misha yang tak ada hubungan merasakan hatinya tercabik-cabik, membayangkan betapa kecewanya para orang tua yang mendengar kabar anaknya yang berada dalam barisan itu—pikirannya melanglang buana ke wajah Marsha dan Reynand yang menaruh harapan tinggi padanya.
Misha adalah anak semata wayang yang tinggal bersama mama dan papa yang menyayanginya sepenuh hati. Gadis itu mengemban tanggung jawab yang besar hingga terkadang hampir tak sanggup menahan gejolak yang dirasakan, tetapi Misha ajek berusaha tak mengeluh apa pun kondisinya.
Misha pun juga ingin mengabulkan impian-impian orang tua yang telah sabar merawatnya dari kecil hingga sekarang ini, tetapi sadar diri masih duduk di bangku SMA yang kalau membeli apa-apa mengandalkan pemasukan uang dari Marsha dan Reynand.
Bukan Misha namanya kalau dirinya tidak tahan banting menjalani takdir hidup yang sudah dibuat sedemikian rupa oleh Yang Maha Kuasa. Selain jadi tukang gombal, gadis manis itu harus bisa menebarkan aura positif ke orang-orang sekitar dengan caranya sendiri, kan?
Tanpa memperhatikan sekeliling, Misha terjungkal ke belakang saat seseorang berjalan menuju ke arah berlawanan. Namun, sialnya lagi, ketika Misha mencoba beranjak kembali—tali sepatunya yang terlepas membuat bokongnya harus mencium lantai dua kali.
"Maafin gue, Sha. Gue nggak liat lo karena gue buru-buru ke ruangan sebelah. Lo nggak apa-apa?" Uluran tangan tertuju kepada Misha yang merintih kesakitan.
"Maaf, apa saya kenal kamu? Soalnya kamu mirip pacar saya selanjutnya."
Boom. Wajah cowok itu seketika merona. Mulut Misha sepertinya terlalu baik untuk menghina spesies cogan yang kesasar, terlebih ada salah satu dari anugerah terindah yang kini sedang berdiri menghadapnya. Muncul tanpa diminta.
Mustahil Misha menolak pertolongan dari cowok cakep, bukan? Yang ada malah merugi, kapan lagi bisa dapat servis gratis begini? Dengan senang hati, dirinya langsung menerima uluran tangan kekar yang halus bagai sutra dari cowok yang menabraknya barusan. "Makasih."
"Sama-sama, betewe nama lo siapa? Gue Gabriel." Cowok blasteran itu tersenyum ramah, mengajak jabat tangan.
"Dari jodoh yang mau memantaskan diri untukmu, Dear." Blush. Wajah Gabriel merah padam dengan tangan yang terangkat ke udara, sedangkan Misha hanya cekikikan.
"Hahaha, ternyata lo Misha? Si Ratu Gombal yang dielu-elukan satu sekolah?" Katakan saja Misha kejam sebab selalu tega mempermainkan hati anak orang dengan mudah, tidak memandang bulu mau itu orang yang mau dikenalnya atau sudah kenal, asal secara visual—mereka harus ganteng di matanya.
Misha adalah cewek yang pada dasarnya sudah bar-bar, tetapi dirinya pintar menjaga lingkaran pergaulannya. Masalah teman, gadis itu bisa menyortir dengan baik.
"Wah, gue seterkenal itu, ya?" Gabriel menganggukkan kepala semangat empat lima membuat Misha tersipu malu.
"Oh, gue sampe lupa kalo lagi buru-buru. Bye, gue duluan." Misha ikut melambaikan mempersilakan. Ukh, gadis itu sudah tidak terkejut jika menemukan namanya terpampang sangat jelas pada surat cinta yang tertempel di mading sekolah—ya, sudah dapat diterka siapa pelakunya.
Sejujurnya Misha tidak tahu mengapa dirinya memiliki banyak penggemar yang tergila-gila padanya. Sampai-sampai membuntutinya ke mana pun gadis itu pergi jika sedang berada di salah satu area sudut SMA Merpati Biru. Menduga cowok-cowok yang menjadi penggemarnya sudah tahap terobsesi. Entah kenapa bikin Misha merinding total, padahal bersekolah baru genap dua minggu menjelma jadi murid di sini. Mengerikan.
"Eh, cewek cantik itu siapa?" Netranya menangkap sosok cewek yang tengah membaca surat-surat cinta penggemarnya yang setiap harinya menumpuk di mading. Hm, kalau tak salah ingat namanya Shilla, gadis cantik yang bangga dengan garis wajah, tak malu menunjukkan lebih sering. Potongan bob asimetris mampu memperlihatkan garis wajah kotak yang identik dengan rahang kuat. Pipi wajah kotaknya yang tinggi pun lebih menonjol. Gaya rambutnya yang bikin Shilla terlihat badass.
Misha seketika merasa terkesima. Pokoknya harus menjalin pertemanan dengan Shilla. Pertama-tama, dirinya harus mendekat agar perlahan dapat mengobrol usai pura-pura membaca tulisan puitis yang bikin jijik setengah mati. "Hai, gue Misha. Lo lagi baca ini juga?"
Shilla mengangkat kepala, menatap Misha cukup lama. Lantas gadis itu menegakkan badan yang sebelumnya membungkuk. "Yah, seperti yang lo lihat sekarang. Gue Shilla Caroline. Senang bisa bertemu sama objek utama di surat-surat cinta ini."
"I-iya, La. Salam kenal, ya." Shilla menipiskan jarak dan tanpa aba-aba merangkul Misha yang dibuat sport jantung akibat tindakannya.
"Sha, tips dong buat jadi pemes!" Gadis itu mengerling bingung akan sikap yang Shilla pamerkan padanya. Misha merotasikan mata ke atas kiri, seolah menimang-nimang untuk memberitahunya atau tidak usah.
"Sha, gue punya rekomendasi tempat yang harus lo datangin. Lo bertugas mulai hari ini. Remember, Babe."
Tiba-tiba suara merambah masuk ke dalam pikiran gadis bergaya rambut wanita Korea itu dengan potongan segi dengan layer pendek dan tipis membuat rambut terlihat lebih bervolume, jauh dari tampilan rambut lepek. Meskipun modelnya cantik, sayangnya hanya cocok untuk mereka yang berwajah kecil dan oval seperti Misha contohnya.
Misha mengatupkan bibirnya yang semula terbuka. Dewa Asmara melakukan telepati agar lebih melancarkan komunikasi jarak jauh dengan Misha, tujuannya tentu saja kewajiban cupid melaporkan hal-hal yang berkenaan dengan misi.
"Iya, gue tau. Gue, tuh, nggak selupa yang lo pikirin, dah. Apa-apa terus nethink, cobalah kurangin, Dew!" Misha jarang sekali menghubungi Dewa Asmara lewat telepati. Kenapa? Yah, entah kenapa bawaannya malas karena mendengar suara berat yang mengalun menyebalkan di telinga.
"Gue nggak bisa buat ngelakuin apa yang lo suruh, nethink tentang lo yang nggak ada habisnya kayaknya udah mendarah daging sejak lo diresmikan jadi cupid, Babe."
Misha memutar kedua bola matanya malas, jangan harap bisa berdalih di depan atasan, Sha. Beruntung hanya diomeli, bukan ditendang secara tak terhormat seperti kasus cupid senior lain yang terjadi tahun lalu. Astaga, amit-amit jangan sampai berbalik menyerang dirinya!
"Untuk yang ini gue membenarkan. Jarang-jarang, kan, gue setuju sama pendapat dewa abal-abal kayak elo."
"Asem lo, Misha! Lihat aja nanti gue bakalan ngasih lo hukuman yang setimpal sama lidah lo yang ringan itu." Misha hanya terkekeh lirih dan memilih tak acuh, kemudian melirik punggung Shilla dengan ekor matanya yang berseri-seri, keasyikan mengabsen pasien yang sakit datang silih berganti di UKS.
"Udah ngerasa baikan?"
"Iya, Kak. Ini semua berkat resep pemberian Kakak. Makasih banyak, Kak!" Shilla menarik napas, mimik wajahnya terlihat lega mendapati anggukan bahagia adik kelasnya.
"Oh, benarkah? Syukurlah." Misha baru menyadari kalau temannya sudah ganti seragam menjadi pakaian serbaputih, dia ini merupakan anak anggota PMR yang dikenal paham dalam bidang obat-obatan, terutama tanaman herbal. Ibunya pun seorang herbalis.
Duh, paket lengkap pakai banget itu, mah. Misha langsung menepuk bahu Shilla dengan raut yang terpancar riang. "Lo keren banget, La!"
"Keren apanya? Ini cuman sesuatu yang sederhana. Semua orang juga pasti bisa melakukannya," balas Shilla kalem. Misha spontan menggeleng cepat, menyanggah ucapan teman barunya.
"Enggak! Nggak semua orang bisa melakukan sesempurna elo, Shill." Wajah yang memancarkan ketulusan serta rasa empati yang cocok di diri Shilla yang bercita-cita menjadi tenaga medis.
"Gue otw sebutin rekomendasinya di tempat janjian. Buruan, nggak pake lama!"
Terpaksa, Misha langsung pamit pada wali kelasnya saat itu dengan alasan lagi tidak enak badan. Misha misuh-misuh sembari mengemasi peralatan sekolah untuk dimasukkan ke ransel. Dasar Dewa Asmara yang tak sabaran! Dirinya jadi harus membohongi orang tua yang sudah tulus memberikan ilmu yang bermanfaat selama ini.Maafkan Misha, Bu Guru. Perasaan bersalah menyeruak masuk ke relung hati membuatnya mengembuskan napas panjang. Baiklah mari tahan sebentar saja, setelah mendengarkan usulan dari Dewa Asmara, gadis itu akan langsung menghajarnya habis-habisan.Tempat janjian yang dimaksud Dewa Asmara adalah cafe khusus tempat biasanya para dewa yang mengelola sistem di Bumi Pertiwi berkumpul untuk mendiskusikan berbagai hal, lebih tepatnya kedua orang itu bukan berkumpul di ruang utama yang jadi tempat paling sakral, melainkan di ruangan bawah tanah yang terbilang tertutup—pilihan yang kurang tepat."Pengap, Dew!" serunya menyengau, berakhir nasalisasi. Lain kali,
"Pokoknya lo harus tanggung jawab!" Misha berteriak dengan wajah merah padam, membendung rasa malu yang luar biasa, sembari memegang erat-erat ujung jaket yang dikenakan Nata untuk menutupi seragam sekolahnya.Hari sudah menjelang malam. Oleh sebab itu, Nata sudah mempersiapkan diri agar terhindar dari udara dingin yang berhembus menusuk pori-pori pada permukaan kulit manusia yang sensitif. Dirinya termasuk cowok yang mempunyai alergi terhadap udara dingin bahkan debu sekali pun.Makanya tak heran kalau kapan dan di mana pun Nata selalu membawa jaket tebal kesayangan supaya tidak sembarangan bersin-bersin di tempat umum hingga pangkal hidung merah dan bola mata bening itu berkaca-kaca."Tanggung jawab gimana maksud lo?" tanyanya menautkan kedua alis Nata yang tebal membuat Misha semakin gemas ingin menimpuk kepala cowok itu dengan sepatu kebesarannya. Enak saja pura-pura tidak tahu supaya bisa kabur meninggalkannya!"Tanggung jawab jelasin semua yang lo t
"Lo nggak lagi bercanda, kan, Nata?" Misha reflek bertanya memastikan. Yang benar saja, Nata menjadikannya sebagai jembatan cinta antara cowok itu dengan Karin. Menurutnya kurang pantas bila dirinya ikut diminta turun tangan demi memudahkan hubungan sepasang insan yang dimabuk cinta tanpa adanya perintah Dewa Asmara."Emang muka gue sekarang kelihatan bercanda ya?" Nata menunjuk dirinya sendiri membuatnya senewen bukan kepalang. Andai saja cewek itu tidak pernah ceroboh dalam hal bertindak, mungkin Misha tak akan berurusan maupun terlibat masuk ke kehidupan cowok bermata teduh, tetapi minim akhlak tersebut."Ya nggak, sih, tapi kenapa harus gue dan bukan cupid lain?" Nata menarik napas berulang kali. Ternyata butuh ekstra kesabaran untuk memahami jalan pikiran Misha yang merupakan satu-satunya cahaya harapan supaya dirinya bisa lebih dekat dengan Karin."Karena cuman ada lo yang gue tau, Dodol! Kalo gue ketemu sama cupid lain yang lebih w
"Wah, emang namanya siapa?""Ehm, Karin ... Karin Theona."Jantung Misha seakan mencelos. Duh, sejak awal dirinya punya firasat yang tidak mengenakkan mengenai nama yang disebutkan Dewa Asmara. Rupa-rupanya tebakannya tidaklah salah."Lo nggak salah baca informasi atau dengar, Dew?" Dewa Asmara menatap Misha dengan tatapan yang sulit buat diartikan. Cowok itu beranjak, lantas mengambil salah satu buku yang ada di rak-rak besarnya yang dikhususkan di dalam ruang kerjanya."Ini adalah isi terjemahan dari wahyu Dewa Semesta kalo lo masih rada nggak percaya," sahut Dewa Asmara tenang seraya menyerahkan buku yang tebal kertasnya mencapai dua jengkal jari Misha. Cewek itu menipiskan bibir tak menyangka, tak mungkin dirinya menghabiskan waktu membaca buku yang kurang tebal apabila dibandingkan dengan ocehan Marsha saat Misha kecil dulu."Ugh, iya-iya, Dew. Gue percaya, tapi ...." Misha tidak melanjutkan ucapannya, cewek manis itu termangu sejenak. K
FYI, kehebatan seorang cupid lainnya terletak pada bagian kemampuannya yang dalam satu waktu dapat secara penuh mengendalikan hati berserta pikiran manusia di saat keadaan yang membutuhkan hal-hal lebih dari sebuah kontak fisik, yaitu memegang kontrol inti alat yang akan menjadi batu pijakan alias manipulatif. Misha sebelumnya belum pernah memakai kekuatan yang dikaruniai oleh Dewa Asmara karena misi-misinya selama ini selalu berjalan lancar."Gimana kerjaan elo hari ini, Babe?" Misha menatap Dewa Asmara dengan raut wajah yang kentara sekali sedang tidak baik-baik saja sekarang. Jarang sih, cowok yang demen dengan jenis-jenis jamu pahit itu menanyakan bagaimana kabar tugas mengerikan yang selalu diberikan batas waktu, padahal biasanya tidak mencoba untuk peduli."Gue rasa bakal gagal sih, Dew," ketus Misha singkat membikin reaksi Dewa Asmara seketika terlonjak kaget dari singgasana yang dimodifikasi agar mirip seperti kursi putar sembari membenahi kacamata yan
Mengapa semuanya pada lari? Misha bertanya-tanya dalam batin saat ikut memutuskan berlari bersama yang lain menyamakan langkah manusia-manusia macam orang kesurupan saja. "Grace, sebenarnya ada apa?""Gue nggak tau juga. Jangan tanyain ke gue!" Grace balas berteriak seraya membelah kerumunan orang-orang dengan menarik tangan Misha yang sepertinya kelelahan karena terus-menerus berlari tanpa henti. Cewek manis itu menengok ke arah belakang yang rupanya menampakkan sebilah pisau yang siap memotong lehernya menjadi dua bagian. Astaga, harusnya Dewa Kematian tetap di zona nyaman yaitu kuburan atau pemakaman!"G-gue kenal orang ini! Lepasin elah!" Cewek yang berdandan seperti tante-tante girang itu melotot seolah tidak percaya ketika Misha menepis tangan yang saling bertautan dari tadi. Huft, beruntung dirinya bisa segera lepas.Misha mengalihkan atensi yang kini sepenuhnya menatap Dewa Kematian yang tengah menyeringai kepadanya. Kenapa, sih, dewa yang satu ini hobi
"Papa, Mama. Acha udah dapet kabar burung dari mantan teman sekolah lamaku, kalo 'dia' udah kembali. Apa ini adalah kabar bagus?" tanyanya. Marsha dan Rey tersentak, mematung kaget saat mendengarnya membuat kepala Misha dipenuhi tanda tanya besar. Sebenarnya siapa 'dia' yang sang kakak maksud?"Kamu serius? Dari kapan?" Mengapa Marsha menunjukkan air muka yang penuh kelegaan seperti itu? Argh, lagi-lagi ada saja yang membuat cewek itu merasa penasaran, tetapi karena ini sepertinya pembicaraan sensitif jadi dirinya akan berusaha bungkam."Berdasarkan informasi temenku, dia sedang tinggal di daerah ibu kota. Dan memilih mengontrak di sebuah kost-kostan murah sejak tiga tahun lalu." Misha semakin tidak mengerti pada alur pembahasan yang entah akan dibawa ke arah mana, intinya yang pasti sekarang dirinya merasa lapar. Tangannya sudah gatal mengambil beberapa kudapan yang terletak di atas meja, semua itu terlihat amat menggugah selera."Kenapa baru tau sekarang?" Ach
"Shilla, kok, punya teman cakep kayak gini? Kenapa nggak bilang?" Sorotan mata sejuta makna itu menjurus tepat membuat tubuh Misha dilanda syok berkesinambungan.Sekarang apa yang harus dilakukan? Mata Misha berpendar gelisah, binar yang semula muncul ketika bercakap dengan Shilla seketika meredup. Dia menatap gadis itu dengan senyuman ramah, tetapi semua tindakannya itu adalah sesuatu yang semu. Bukankah sudah waktunya kabur?Namun, kedua kaki Misha seolah-olah membeku—tak bisa digerakkan sama sekali. Pikiran pun seketika menjadi kosong. Dirinya tak tahu bagaimana cara menjaga ekspresi terkejut sebab melupa sejenak, teralihkan dengan kehadiran Karin yang berkeliaran di sekitar Misha dan Shilla kini."Iya, gue belum sempat ngenalin dia sama lo karena akhir-akhir ini jadwal lo pasti padat banget." Shilla berucap sambil menggaruk pipi dengan bibir mengeluarkan kekehan pelan. Karin manggut-manggut dengan mata yang tak lepas menatap wajah Misha yang sudah para
Tibalah dirinya di kamar menghadap cermin dengan bantuan sihir Dewa Asmara sembari merapikan rambut yang cukup berantakan akibat tiupan angin."Nah, udah. Lanjutkan bualan lo yang barusan."Misha cekikikan saat Dewa Asmara mengembuskan napas kasar seakan menahan gemas.Yeah,siapa suruh membuat cewek itubad moodparah?"Nggak mau tau, lo harus menyamar biar nggak ketahuan sama dia! Ikutin Nata yang bakal ngedate sama Karin, oke?"Misha langsung mendengkus, menguatkan diri agar tidak bunuh diri karena telanjur depresot. Lagian kan, yang harusnya mati adalah Dewa Asmara, bukan dirinya!"Nyamar gimana, hah? Masa sih, gue harus nutupin kecantikan gue yang udah ada sejak lahir?!"Tanpa sadar Dewa Asmara melengo
Misha balik mengerjap, masih agak ragu.Namun jauh dari lubuk hati, Misha sudah tidak sabar untuk melempar wajah sok Dewa Asmara memakai bubuk berisi Kapulaga yang sudah dihaluskan, namanya ajang balas dendam sampai mata cowok burik tersebut perih dan memerah! Baru Misha sedikit puas. Ya, baru sedikit saja, hahaha!"Thank you,La. Lo yang terbaik deh, hehe." Misha cengengesan membuat Shilla mengembuskan napas sekilas. Baguslah, cewek berwajah tegas itu berhasil mengembalikan senyum di iras ayunya."Sha, lo pasti udah tau kapan harus berhenti, 'kan?" Sepertinya ada satu hal yang aneh? Kenapa Shilla berkata dengan nada yang menyimpan makna tersirat seakan tahu sesuatu? Ataukah ini hanya perasaan Misha saja?"Maksud lo apa,
"Hah?"Sialan. Mengapa Dewa Asmara tidak langsung bergerak cepat? Misha menghela napas panjang, mengumpul sisa-sisa kesabaran yang lesap ditelan oleh inti bumi."Lo nggak apa-apa, Sha?" Karin yang merasa khawatir mengguncang tubuh Misha berulang kali membuat cewek itu terkesiap, lamunannya membuyar."Oh, iya-iya." Misha asal mengangguk-anggukkan kepala demi tak menatap mata Karin yang mengerling cemas melihat kondisi teman barunya. Akh, andai cewek itu langsung enyah dari pandangan ketiganya pasti langsung menggemparkan satu sekolah.Ctak.Suara jentikan jari yang paling Misha sesali karena setelah itu, gadis itu tiba-tiba terlempar, menghantam lantai yang dingin. Seharusnya Dewa Asmara kalau menggunakan kekuatan sihirnya kira-kira, dong, tempatnya!
"Shilla, kok, punya teman cakep kayak gini? Kenapa nggak bilang?" Sorotan mata sejuta makna itu menjurus tepat membuat tubuh Misha dilanda syok berkesinambungan.Sekarang apa yang harus dilakukan? Mata Misha berpendar gelisah, binar yang semula muncul ketika bercakap dengan Shilla seketika meredup. Dia menatap gadis itu dengan senyuman ramah, tetapi semua tindakannya itu adalah sesuatu yang semu. Bukankah sudah waktunya kabur?Namun, kedua kaki Misha seolah-olah membeku—tak bisa digerakkan sama sekali. Pikiran pun seketika menjadi kosong. Dirinya tak tahu bagaimana cara menjaga ekspresi terkejut sebab melupa sejenak, teralihkan dengan kehadiran Karin yang berkeliaran di sekitar Misha dan Shilla kini."Iya, gue belum sempat ngenalin dia sama lo karena akhir-akhir ini jadwal lo pasti padat banget." Shilla berucap sambil menggaruk pipi dengan bibir mengeluarkan kekehan pelan. Karin manggut-manggut dengan mata yang tak lepas menatap wajah Misha yang sudah para
"Papa, Mama. Acha udah dapet kabar burung dari mantan teman sekolah lamaku, kalo 'dia' udah kembali. Apa ini adalah kabar bagus?" tanyanya. Marsha dan Rey tersentak, mematung kaget saat mendengarnya membuat kepala Misha dipenuhi tanda tanya besar. Sebenarnya siapa 'dia' yang sang kakak maksud?"Kamu serius? Dari kapan?" Mengapa Marsha menunjukkan air muka yang penuh kelegaan seperti itu? Argh, lagi-lagi ada saja yang membuat cewek itu merasa penasaran, tetapi karena ini sepertinya pembicaraan sensitif jadi dirinya akan berusaha bungkam."Berdasarkan informasi temenku, dia sedang tinggal di daerah ibu kota. Dan memilih mengontrak di sebuah kost-kostan murah sejak tiga tahun lalu." Misha semakin tidak mengerti pada alur pembahasan yang entah akan dibawa ke arah mana, intinya yang pasti sekarang dirinya merasa lapar. Tangannya sudah gatal mengambil beberapa kudapan yang terletak di atas meja, semua itu terlihat amat menggugah selera."Kenapa baru tau sekarang?" Ach
Mengapa semuanya pada lari? Misha bertanya-tanya dalam batin saat ikut memutuskan berlari bersama yang lain menyamakan langkah manusia-manusia macam orang kesurupan saja. "Grace, sebenarnya ada apa?""Gue nggak tau juga. Jangan tanyain ke gue!" Grace balas berteriak seraya membelah kerumunan orang-orang dengan menarik tangan Misha yang sepertinya kelelahan karena terus-menerus berlari tanpa henti. Cewek manis itu menengok ke arah belakang yang rupanya menampakkan sebilah pisau yang siap memotong lehernya menjadi dua bagian. Astaga, harusnya Dewa Kematian tetap di zona nyaman yaitu kuburan atau pemakaman!"G-gue kenal orang ini! Lepasin elah!" Cewek yang berdandan seperti tante-tante girang itu melotot seolah tidak percaya ketika Misha menepis tangan yang saling bertautan dari tadi. Huft, beruntung dirinya bisa segera lepas.Misha mengalihkan atensi yang kini sepenuhnya menatap Dewa Kematian yang tengah menyeringai kepadanya. Kenapa, sih, dewa yang satu ini hobi
FYI, kehebatan seorang cupid lainnya terletak pada bagian kemampuannya yang dalam satu waktu dapat secara penuh mengendalikan hati berserta pikiran manusia di saat keadaan yang membutuhkan hal-hal lebih dari sebuah kontak fisik, yaitu memegang kontrol inti alat yang akan menjadi batu pijakan alias manipulatif. Misha sebelumnya belum pernah memakai kekuatan yang dikaruniai oleh Dewa Asmara karena misi-misinya selama ini selalu berjalan lancar."Gimana kerjaan elo hari ini, Babe?" Misha menatap Dewa Asmara dengan raut wajah yang kentara sekali sedang tidak baik-baik saja sekarang. Jarang sih, cowok yang demen dengan jenis-jenis jamu pahit itu menanyakan bagaimana kabar tugas mengerikan yang selalu diberikan batas waktu, padahal biasanya tidak mencoba untuk peduli."Gue rasa bakal gagal sih, Dew," ketus Misha singkat membikin reaksi Dewa Asmara seketika terlonjak kaget dari singgasana yang dimodifikasi agar mirip seperti kursi putar sembari membenahi kacamata yan
"Wah, emang namanya siapa?""Ehm, Karin ... Karin Theona."Jantung Misha seakan mencelos. Duh, sejak awal dirinya punya firasat yang tidak mengenakkan mengenai nama yang disebutkan Dewa Asmara. Rupa-rupanya tebakannya tidaklah salah."Lo nggak salah baca informasi atau dengar, Dew?" Dewa Asmara menatap Misha dengan tatapan yang sulit buat diartikan. Cowok itu beranjak, lantas mengambil salah satu buku yang ada di rak-rak besarnya yang dikhususkan di dalam ruang kerjanya."Ini adalah isi terjemahan dari wahyu Dewa Semesta kalo lo masih rada nggak percaya," sahut Dewa Asmara tenang seraya menyerahkan buku yang tebal kertasnya mencapai dua jengkal jari Misha. Cewek itu menipiskan bibir tak menyangka, tak mungkin dirinya menghabiskan waktu membaca buku yang kurang tebal apabila dibandingkan dengan ocehan Marsha saat Misha kecil dulu."Ugh, iya-iya, Dew. Gue percaya, tapi ...." Misha tidak melanjutkan ucapannya, cewek manis itu termangu sejenak. K
"Lo nggak lagi bercanda, kan, Nata?" Misha reflek bertanya memastikan. Yang benar saja, Nata menjadikannya sebagai jembatan cinta antara cowok itu dengan Karin. Menurutnya kurang pantas bila dirinya ikut diminta turun tangan demi memudahkan hubungan sepasang insan yang dimabuk cinta tanpa adanya perintah Dewa Asmara."Emang muka gue sekarang kelihatan bercanda ya?" Nata menunjuk dirinya sendiri membuatnya senewen bukan kepalang. Andai saja cewek itu tidak pernah ceroboh dalam hal bertindak, mungkin Misha tak akan berurusan maupun terlibat masuk ke kehidupan cowok bermata teduh, tetapi minim akhlak tersebut."Ya nggak, sih, tapi kenapa harus gue dan bukan cupid lain?" Nata menarik napas berulang kali. Ternyata butuh ekstra kesabaran untuk memahami jalan pikiran Misha yang merupakan satu-satunya cahaya harapan supaya dirinya bisa lebih dekat dengan Karin."Karena cuman ada lo yang gue tau, Dodol! Kalo gue ketemu sama cupid lain yang lebih w