“Ave!!” Seru Laura saat melihat Aveline ada di depan apartemennya larut malam begini. Dia merasa terkejut karena kabarnya Aveline tengah diculik. Lalu bagaimana bisa sahabatnya ini berdiri di depannya dengan wajah pucat? “Gue nginap disini, yah?” Ujar Aveline dengan lemah. Laura mengangguk dan membantu Aveline untuk masuk. “Lo sama siapa kesini?” Tanya Laura saat mereka sudah duduk di atas tempat tidur kamar tamu apartemen Laura. “Gue dianterin Nicho.” “What?” Laura tidak bisa menahan rasa terkejutnya. “Dia yang nyulik lo dan segampang itu balikin lo?” “Dia cuma mau ngobrol sama gue, Lau.” “Dasar psiko, pengen ngobrol sama lo pake acara penyerangan dan culik lo segala.” Geram Laura. Aveline tersenyum tipis. Dia enggan membahas tentang Nicholas saat ini. “Lau, gue pengen tanya sama sesuatu sama lo.” “Apa?” Aveline menarik napas untuk menenangkan dirinya. “Kecelakaan dua tahun lalu, apa benar gue yang bawa mobil waktu itu bukannya Rama?” Laura terkesiap mendengar pertanyaan itu
Aveline sangat lelah, tapi dia tidak bisa tidur. Pikirannya terlalu berisik.Banyak hal yang tengah dipikirkannya. Terutama tentang kemungkinan pembalasan dendam Cassian padanya.Entah kenapa ucapan Nicholas mempengaruhinya. Tapi Aveline tidak bisa mengambil kesimpulan begitu saja. Cassian sedikit demi sedikit menaruh perhatian padanya. Aveline harus mempertimbangkan itu juga. Oleh karenanya, dia butuh evaluasi. Misi terakhirnya.Bell apartemen Laura berbunyi, Aveline bisa mendengar dengan jelas. Suara langkah kaki Laura dan gerutuannya juga bisa di dengar oleh Aveline. Sang tamu dan Laura sempat berbincang sedikit, Aveline tidak tau apa yang mereka bicarakan.Tak lama kemudian, pintu kamar yang ditempatinya terbuka. Aveline tetap pada posisinya. Dia terlalu lelah hanya dengan membuka matanya untuk mengintip siapa yang masuk.Namun aroma musk yang sangat dikenalinya, membuatnya menebak siapa orang yang datang.Cassian,suaminya.
Cassian membuka pintu dengan kasar, sehingga mengagetkan dua orang yang ada di salah satu kamar rawat di klinik private milik Fortress. Setelahnya, dia menghempaskan tubuhnya ke sofa empuk yang ada disana.“Kusut amat muka lo? Bukannya istri lo udah balik, ya?” Celetuk Samuel yang sedari tadi sibuk bermain handphone disebelah Cassian. Dia bosan di kantor, jadinya menemani Max yang dirawat akibat luka yang tadi malam didapatkannya.Cassian tidak menjawab. Dia sibuk memijat pelipisnya yang berdenyut.Samuel menatap Max bertanya yang dijawab gedikan bahu tanda tak tau. “Baju lo juga gak ganti. Lo kenapa sih?”“Tiger..” Panggil Cassian mengacuhkan pertanyaan Samuel, membuatnya berdecak.“Yes, sir.” Ucap Max.“Kumpulkan bukti-bukti lebih untuk penjarakan Nicholas. Kalau perlu, buat bukti kecelakaan dua tahun lalu mengarah ke dia.” Ujar Cassian dengan sorot mata dingin.Ma
Mobil yang dikendarai Cassian melaju sangat kencang. Tadi setelah mendengar permintaan tolong Aveline, tanpa pikir panjang dia meraih kunci mobil yang entah milik siapa di atas coffee table. Dia khawatir setengah mati pada Aveline. Takut kejadian tadi malam kembali terulang, atau justru lebih parah.Samuel yang tadi spontan mengikuti Cassian dan masuk ke dalam mobil itu, segera mengangkat telfon yang berasal dari Max.“Ya, Max?”… “Oke..”Samuel menoleh pada Cassian yang wajahnya terlihat tegang. “Langsung ke rumah sakit, Cass. Istri lo dibawa Alberd kesana.” Alberd, salah satu warrior yang ditugaskan sementara untuk menggantikan Max.Kening Cassian mengerut dalam, dia merasa semakin khawatir saja dengan Aveline. “Dia kenapa?” Ucapnya dengan tangan memutar kemudi mobil ke arah rumah sakit.“Pendarahan..” Cicit Samuel sambil menunggu reaksi Cassian.Cassian bungkam, ta
“Gue nyerah aja kali ya, Lau?”Daniel dan Laura menatap Aveline dengan ekspresi berbeda. Daniel yang tercengang, sedang Laura dengan pandangan menelisik, menduga-duga apa Aveline tengah menjalankan rencananya atau sedang serius.Aveline menunduk dengan ekspresi muram. “Gue hampir kehilangan calon baby gue karena nurutin perasaan bodoh gue, Lau. Perasaan menggebu-gebu gue buat ngeliat kak Ian malam itu, yang bahkan gue langsung ketampar kenyataan menyakitkan kalau gue gak bakal jadi prioritas dia.. gue.. hiks.. gue.. gak mau lagi dikecewain sama harapan gue sendiri. Lebih baik gue ngakhirin ini dan hidup berdua aja sama baby gue. Gue pengen cerai…”Laura gelagapan saat Aveline mulai menangis tersedu. Dia tau jelas kalau Aveline tidak seserius itu ingin bercerai dengan Cassian. “Ave, Lo..”Brakk“Ngomong apa kamu?”Belum sempat Laura menyelesaikan ucapannya, Cass
“bukan kita, tapi aku yang bakal numpang di apart Laura.”Aveline tidak tau bagaimana ekspresi dari Cassian karena dia menolak untuk menatap suaminya itu. Tapi melihat Laura yang meringis, melirik Cassian beberapa kali dan menatapnya seolah mengatakan “Lo serius?”, Aveline bisa menebak kalau Cassian tengah menahan amarahnya.“Kamu menguji kesabaranku, Sera..” Geram Cassian, lalu keluar dari ruangan dan membanting pintu.BlammLaura mengusap dadanya karena terkejut. “Lo bener-bener cari masalah, Ave..” Celetuknya.Aveline menghela nafas lelah. “Mau gimana lagi. Seperti yang gue bilang tadi, gue capek sama perasaan sepihak gue.” Ujarnya dengan lesu.Sejenak, Laura terdiam. Entah apa yang tengah dipikirkannya. Setelahnya dia mengangguk paham. “Oke.” Ujarnya. “Lo jadi pulang bareng gue ke apart?”Aveline yang masih tetap pada posisi duduknya di at
“Aveline..” Seru Daniel.Tubuh Cassian membeku setelah berbalik dan menemukan Aveline berdiri di dekat pintu. Sekian detik, mata mereka sempat terpaku. Cassian seperti bisa merasakan luka yang tergambar dari netra coklat istrinya itu.Aveline yang lebih dulu memutuskan kontak matanya dengan Cassian. Dia mencoba tersenyum seolah-olah tidak ada yang terjadi, meskipun senyum itu terlihat menyedihkan dengan air mata yang mengalir membasahi pipinya.“Maaf, gue tiba-tiba pusing. Gue pinjam kamar tamu lo, Lau” Ucapnya dengan suara yang mencoba agar terdengar wajar. Tanpa menunggu jawaban dari Laura, Aveline berlalu masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya dengan perlahan.Terdengar helaan nafas panjang dari Laura yang mengakhiri keheningan diantara mereka setelah Aveline masuk ke kamar. “Bang.. jujur gue gak tega liat sahabat gue digituin.” Ucapnya dengan sedih, tapi tatapan tajamnya menghunus Cassian yang tetap pada posisiny
Tok tok“Sera, kita perlu bicara. Buka pintunya. Jangan kayak anak kecil begini.” Ucap Cassian menahan geram sambil mengetuk pintu kamar yang ditempati oleh Aveline. Sejak tadi dia berusaha membujuk Aveline untuk membuka pintu kamar yang ditempatinya di apartemen Laura, namun istrinya itu sangat keras kepala dan tidak sedikitpun mengindahkan Cassian.“Gak mau. Aku gak mau ngomong sama kamu.” Suara Aveline terdengar dari dalam kamar, membuat Cassian lagi-lagi berdecak kesal.“Kita lagi di rumah orang, Sera. Ayo nurut dan pulang sama aku.”Cassian terus mengetuk pintu, berharap Aveline akan membuka dan mau berbicara dengannya. Namun, pintu tetap terkunci rapat, dan Aveline justru menjawab dengan ketus.“Pulang aja sendiri.”Cassian spontan menendang pintu di depannya untuk melampiaskan kekesalannya. Beruntungnya dia karena saat ini semua orang yang mendengarkan ceritanya, termasuk Laura
Musik mengalun lembut di aula besar Rinaldi Corp, tempat pesta perkenalan Aveline sebagai pewaris resmi keluarga berlangsung. Lampu kristal menggantung megah di langit-langit, memancarkan kilauan yang memukau setiap tamu yang hadir.Para tamu berpakaian anggun dan bercakap-cakap dengan elegan, menikmati suasana malam yang mewah dan eksklusif. Sedang sang pemilik acara dan keluarga dekatnya berkumpul di satu meja yang sama, kecuali Aveline dan Cassian yang sudah berada di atas panggung. Ah dan juga Aurora. Entah berada dimana istri Nicholas itu.Aveline terlihat anggun dan menggemaskan secara bersamaan dengan perut buncitnya, berdiri di samping Cassian dengan senyum tipis di wajahnya. Tangannya yang halus berusaha tetap tenang, tetapi jari-jarinya sesekali meremas gaun biru elegannya. Matanya sesekali melirik ke arah kerumunan, mencari titik fokus untuk mengurangi rasa tak nyaman berada di lautan manusia di ruangan tertutup ini. Setiap senyum yang ia berikan terasa dipa
“Adelia.. dari tadi saya coba calling kenapa gak diangkat, hem?” suara Ryan terdengar dari belakang.Adelia dan ketiga teman perempuannya—minus Letta, sedang duduk bersantai di gazebo belakang fakultas sembari menunggu Staff TU menyelesaikan SK penetapan pembimbingnya. Tiba-tiba saja dia dikejutkan dengan kedatangan Ryan Davis menghampiri mereka.“Eh, handphone saya lagi silent mode, pak.” Adelia meringis pelan. Matanya melirik teman-temannya yang mulai saling berbisik. Jujur, dia tidak nyaman dengan keadaan saat ini.Ryan mengeluarkan ponselnya dari saku. "Saya udah nge-chat kamu dari tadi. Kalau kamu udah selesai, kabari saya.”Adelia mengangguk cepat, merasa wajahnya memanas. "Baik, Pak. Saya akan cek dan langsung kabari."Teman-temannya mulai berbisik-bisik lebih heboh, membuat Adelia semakin tidak nyaman. Ryan tampak menyadari kegelisahan Adelia dan berkata, “Oke, ka
Tangan Aurora yang memang sudah terangkat itu mengepal, merasa gemas sekali dengan kalimat pedas sang suami. Ingin rasanya meremukkan mulut yang sedari tadi membalasnya dengan sinis.“Isshhh.. gemes aku sama kamu.”Nicholas menipiskan bibirnya, mencoba menahan tawa yang hampir saja lolos. Aurora terlihat seperti kucing galak yang sedang mengais dengan kaki depannya.“Yaudah, sini. Gue ada handuk kecil buat bersihin tangan lo.”Aurora menatap Nicholas dengan senyum kecil. "Kamu bawa handuk? Kok perhatian banget sih?" godanya.Nicholas mendengus, menyerahkan handuk kecil yang diambilnya dari tas. “Udah jangan GR. Gue bawa ini buat bersihin muka sendiri, bukan buat lo.”Aurora menerima handuk itu dengan mata berbinar. "Makasih, Hubby." Dia membersihkan tangannya dengan hati-hati, merasakan kehangatan dari handuk yang diberikan oleh suaminya.Yang orang lain tau, Nicholas adalah pria gila dengan obsesi
"Lo lagi ngelindur, ya?" decih Nicholas sambil menatap Aurora dengan mata menyipit.Aurora duduk di tepi tempat tidur dengan posisi menghadap ke arah Nicholas yang duduk bersandar di headboard. Mata wanita yang mengenakan gaun tidur berwarna biru muda itu menatap Nicholas dengan penuh harap. Matanya berkilauan dengan semangat, dan senyum manis terukir di wajahnya.Aurora mendekatkan wajahnya sedikit ke Nicholas, membuat jarak di antara mereka semakin kecil. “Ayo dong, Hubby. Kita cuma duduk-duduk di pantai. Aku yang bakal nyiapin perlengkapannya, kamu nggak perlu khawatir hal lain,” bujuknya dengan suara lembut.“Fix lo emang masih ngantuk.” Nicholas melengos, memutus pandangan matanya pada Aurora. “Mikir gak sih, gue kesananya gimana? Tau sendiri pasir pantai gak cocok buat pengguna crutches kek gue, kursi roda apalagi,” jawabnya sambil menatap ke arah tirai tipis berwarna krem yang sedikit bergoyang tertiup angin dari jendela yang terbuka.Tak habis pikir dengan Aurora. Hari masih p
“Laporan macam apa ini, Ran?”Seorang wanita yang tengah duduk di belakang meja besar di ruang kantor mewah mengangkat kepalanya dari tumpukan berkas yang hampir menutupi seluruh permukaan meja. Wajahnya menunjukkan kelelahan bercampur frustrasi. Di hadapannya, duduk seorang pria yang tengah sibuk mengetik di MacBook-nya.Randy—sekretaris Cassian yang sekarang tengah sibuknya membantu Aveline mempelajari segala hal tentang Rinaldi Corp, menghentikan sejenak aktivitasnya dan menatap Aveline dengan ringisan. “Itu laporan terbaru tentang Rinaldi Corp, Bu. Semua detail keuangan, proyek, dan investasi terbaru ada di dalamnya.”Aveline menghela napas panjang dan menyandarkan punggungnya ke kursi, mencoba meredakan ketegangan yang menjalar di tubuhnya. "Kenapa saya juga harus tau ini? Kan udah ada jajaran Manajer yang bakal handle ini.”“Memang benar, ada tim manajer yang kompeten. Tapi sebagai pewaris utama, anda perlu memahami semua aspek bisnis, termasuk detail laporan ini. Ini penting un
“Dari mana lo?”Aurora melirik orang yang tengah bersantai di ruang TV itu dengan sinis ketika dirinya hendak ke kamarnya untuk beristirahat. Tanpa menghentikan langkahnya, wanita yang memiliki nama lengkap Aurora Sophia Rinaldi mengacuhkan suaminya itu."Lo denger gak gue nanya tadi?" suara Nicholas terdengar lebih tegas dan sedikit marah.Aurora berhenti sejenak, menghela napas panjang sebelum berbalik menghadap Nicholas. "Aku capek. Aku mau istirahat."Tatapan Nicholas tajam, mencoba menahan amarahnya. "Gue cuma nanya, Aurora. Lo abis dari mana?"Aurora mengangkat alisnya, merasa tidak ada kewajiban untuk menjelaskan. "Kenapa? Apa kamu se-khawatir itu aku baru pulang?" tanyanya dengan ketus.“Cih.. gue cuma nanya.” Gantian Nicholas yang menatap dengan sinis ke arah Aurora.“Kepo banget.” Cibir Aurora, lalu melanjutkan langkahnya.Nicholas mendelik mendengar cibiran dari Aurora. Matanya men
“Bisa jelaskan apa maksudnya ini, Hans?”Aurora memperlihatkan sebuah pesan yang masuk ke ponsel Nicholas kemarin yang sempat dipotretnya kepada Hans. Wanita yang mirip dengan istri Cassian itu berdiri di samping sebuah layar besar di ruangan kakak iparnya. Sedang sang empunya tengah duduk di kursi kebesarannya.Hans menelan ludah, jelas merasa tertekan oleh situasi ini. Semua pandangan mata tajam dan menuntut tertuju padanya, termasuk Samuel dan Max yang duduk dihadapannya.“S..saya udah bilang semuanya, Nya. Termasuk orang yang kerja sama Boss Nicho, kan?” suara Hans bergetar, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia telah jujur.“Iya kita tau..” Ujar Aurora. “Tapi ‘dia’ yang disebut dalam pesan ini ditujukan ke siapa sebenarnya?” tanyanya dengan nada menuntut.Hans menelan ludah sekali lagi, matanya berkedip cepat saat dia berusaha menemukan kata-kata yang tepat. Terlihat jelas kala
“Maksudnya, dek?” Kening Aveline berkerut saat mendengar ucapan Aurora yang penuh dengan penekanan.“Iya.. Gue mau buat perhitungan ama bang Ian karena udah bikin suami gue menderita.” Mata Aurora mulai berkaca-kaca. Itu adalah cerminan dari hatinya yang ikut tersiksa melihat Nicholas yang sedang berjuang sembuh. Dan semua itu karena Cassian. “Suami gue berjuang banget buat sembuh. Dia kadang kesakitan pas beraktivitas.” Aurora mulai terisak.Aveline memilih duduk di sebelah Aurora. Tangannya terangkat untuk menenangkan sang adik.Dia paham perasaan Aurora karena dia sendiri pun sudah merasakannya. Melihat orang yang dicintai menderita, juga membuat kita merasa sakit.Aurora menundukkan kepalanya, air mata mulai mengalir di pipinya. Aveline merangkulnya erat, mencoba memberikan dukungan sebisanya.“Abang turut prihatin dengan kamu, Ra. Tapi abang gak bakal minta maaf buat apa yang udah abang lakuin.”
“Arghhh…”Nicholas berusaha menggerakkan kakinya ke depan dan ke belakang, meskipun setiap gerakan memicu rasa sakit yang tajam. Bahkan teriakan tadi itu tak sengaja lepas dari tenggorokannya.“Heh.. lo santai aja kali.. Suami gue kesakitan bego!!”Seorang pria yang merupakan seorang therapist, mendelik kesal pada seorang Wanita yang mengatainya ‘bego’ hanya karena sedang membantu Nicholas untuk melatih kembali kakinya agar bisa berjalan kembali.“Maaf, yah, mbak. Saya tau kalau mbaknya cemas. Tapi saya harap mbak bisa paham kalau saya melakukan yang terbaik untuk membantu suami mbak pulih," ucapnya dengan suara tenang meskipun di dalam hatinya merasa tersinggung oleh kata-kata wanita tersebut. Dia berdiri di samping Nicholas yang sedang berjuang untuk berdiri, peluh mengucur di dahinya.Nicholas yang masih meringis kesakitan, memberi kode dengan tatapan mata kepada Hans, yang langsung dipah