Mobil yang dikendarai Cassian melaju sangat kencang. Tadi setelah mendengar permintaan tolong Aveline, tanpa pikir panjang dia meraih kunci mobil yang entah milik siapa di atas coffee table. Dia khawatir setengah mati pada Aveline. Takut kejadian tadi malam kembali terulang, atau justru lebih parah.
Samuel yang tadi spontan mengikuti Cassian dan masuk ke dalam mobil itu, segera mengangkat telfon yang berasal dari Max.
“Ya, Max?”… “Oke..”
Samuel menoleh pada Cassian yang wajahnya terlihat tegang. “Langsung ke rumah sakit, Cass. Istri lo dibawa Alberd kesana.” Alberd, salah satu warrior yang ditugaskan sementara untuk menggantikan Max.
Kening Cassian mengerut dalam, dia merasa semakin khawatir saja dengan Aveline. “Dia kenapa?” Ucapnya dengan tangan memutar kemudi mobil ke arah rumah sakit.
“Pendarahan..” Cicit Samuel sambil menunggu reaksi Cassian.
Cassian bungkam, ta
“Gue nyerah aja kali ya, Lau?”Daniel dan Laura menatap Aveline dengan ekspresi berbeda. Daniel yang tercengang, sedang Laura dengan pandangan menelisik, menduga-duga apa Aveline tengah menjalankan rencananya atau sedang serius.Aveline menunduk dengan ekspresi muram. “Gue hampir kehilangan calon baby gue karena nurutin perasaan bodoh gue, Lau. Perasaan menggebu-gebu gue buat ngeliat kak Ian malam itu, yang bahkan gue langsung ketampar kenyataan menyakitkan kalau gue gak bakal jadi prioritas dia.. gue.. hiks.. gue.. gak mau lagi dikecewain sama harapan gue sendiri. Lebih baik gue ngakhirin ini dan hidup berdua aja sama baby gue. Gue pengen cerai…”Laura gelagapan saat Aveline mulai menangis tersedu. Dia tau jelas kalau Aveline tidak seserius itu ingin bercerai dengan Cassian. “Ave, Lo..”Brakk“Ngomong apa kamu?”Belum sempat Laura menyelesaikan ucapannya, Cass
“bukan kita, tapi aku yang bakal numpang di apart Laura.”Aveline tidak tau bagaimana ekspresi dari Cassian karena dia menolak untuk menatap suaminya itu. Tapi melihat Laura yang meringis, melirik Cassian beberapa kali dan menatapnya seolah mengatakan “Lo serius?”, Aveline bisa menebak kalau Cassian tengah menahan amarahnya.“Kamu menguji kesabaranku, Sera..” Geram Cassian, lalu keluar dari ruangan dan membanting pintu.BlammLaura mengusap dadanya karena terkejut. “Lo bener-bener cari masalah, Ave..” Celetuknya.Aveline menghela nafas lelah. “Mau gimana lagi. Seperti yang gue bilang tadi, gue capek sama perasaan sepihak gue.” Ujarnya dengan lesu.Sejenak, Laura terdiam. Entah apa yang tengah dipikirkannya. Setelahnya dia mengangguk paham. “Oke.” Ujarnya. “Lo jadi pulang bareng gue ke apart?”Aveline yang masih tetap pada posisi duduknya di at
“Aveline..” Seru Daniel.Tubuh Cassian membeku setelah berbalik dan menemukan Aveline berdiri di dekat pintu. Sekian detik, mata mereka sempat terpaku. Cassian seperti bisa merasakan luka yang tergambar dari netra coklat istrinya itu.Aveline yang lebih dulu memutuskan kontak matanya dengan Cassian. Dia mencoba tersenyum seolah-olah tidak ada yang terjadi, meskipun senyum itu terlihat menyedihkan dengan air mata yang mengalir membasahi pipinya.“Maaf, gue tiba-tiba pusing. Gue pinjam kamar tamu lo, Lau” Ucapnya dengan suara yang mencoba agar terdengar wajar. Tanpa menunggu jawaban dari Laura, Aveline berlalu masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya dengan perlahan.Terdengar helaan nafas panjang dari Laura yang mengakhiri keheningan diantara mereka setelah Aveline masuk ke kamar. “Bang.. jujur gue gak tega liat sahabat gue digituin.” Ucapnya dengan sedih, tapi tatapan tajamnya menghunus Cassian yang tetap pada posisiny
Tok tok“Sera, kita perlu bicara. Buka pintunya. Jangan kayak anak kecil begini.” Ucap Cassian menahan geram sambil mengetuk pintu kamar yang ditempati oleh Aveline. Sejak tadi dia berusaha membujuk Aveline untuk membuka pintu kamar yang ditempatinya di apartemen Laura, namun istrinya itu sangat keras kepala dan tidak sedikitpun mengindahkan Cassian.“Gak mau. Aku gak mau ngomong sama kamu.” Suara Aveline terdengar dari dalam kamar, membuat Cassian lagi-lagi berdecak kesal.“Kita lagi di rumah orang, Sera. Ayo nurut dan pulang sama aku.”Cassian terus mengetuk pintu, berharap Aveline akan membuka dan mau berbicara dengannya. Namun, pintu tetap terkunci rapat, dan Aveline justru menjawab dengan ketus.“Pulang aja sendiri.”Cassian spontan menendang pintu di depannya untuk melampiaskan kekesalannya. Beruntungnya dia karena saat ini semua orang yang mendengarkan ceritanya, termasuk Laura
“Laporkan!!” Perintah Cassian pada Max setibanya di markas Fortress.Max mengangguk dan berjalan tergesa memutari kursi yang diduduki Cassian. Dia kemudian mulai menyalakan monitor besar dihadapan mereka.“Nyonya tadinya bilang mau ke supermarket di depan apart nona Laura. Tapi dia gak mau ditemani masuk ke dalam. Alasannya karena dia merasa terganggu diikuti banyak orang saat berbelanja. Jadinya kita disuruh menunggu di luar.” Ucap Max menjelaskan.“Kenapa kamu gak kamu aja yang temani dia belanja?”Max mendelik mendengar pertanyaan Cassian. “Maaf, sir. Tapi nyonya bilang, tugas saya hanya untuk menjaga. Yang harusnya menemani dia belanja adalah suaminya.” Sindirnya.Cassian merasa tersindir, namun dia mengabaikan itu. Fokusnya saat ini adalah mencari tau kemana Aveline pergi. “Apa ada tanda-tanda kalau Nicho menculik dia?”Max memberi kode pada seorang operator yang mengendalikan
Cassian merasa beban berat menekan dadanya, seperti sebuah batu besar diletakkan di atasnya. Pencarian yang tak kunjung menemui titik terang dan ketidakpastian mengenai keberadaan Aveline membuat stresnya semakin meningkat.Sudah hampir dua puluh jam sejak Cassian menunggu di markas Fortress, dan belum ada kabar tentang Aveline. Setiap detik terasa seperti jam, dan ketidakpastian itu semakin membuatnya gelisah.Cassian mulai memikirkan alasan sebenarnya kenapa Aveline pergi. Sebenarnya apa alasan Aveline pergi darinya? Apakah sebesar itu keinginannya untuk bercerai? Tapi mengingat petuah dari para orang tua, Aveline bersikap seperti itu karena dipengaruhi oleh hormon kehamilannya.Ah sudahlah.. Cassian juga tidak mengerti kenapa Aveline bersikap demikian. Intinya adalah dia tidak akan semudah itu menyetujui permintaan cerai dari Aveline. Meskipun di awal pernikahan mereka, dia yang justru menginginkannya.Sekarang, Cassian tidak rela berpisah dengan istri
Rafael memandang Nicholas dengan tajam, ekspresi wajahnya penuh dengan kewaspadaan. Aveline yang berada di belakang Rafael terlihat gemetar, mencoba menyembunyikan ketakutannya di balik punggung sahabatnya."Ngapain lo ke sini, Nicho?"Nicholas hanya tersenyum sinis, tanpa memberikan jawaban apapun. Dia menikmati kegelisahan dari dua orang dihadapannya kini."Mau apa lo?" desak Rafael lagi, mencoba menahan amarahnya.Nicholas menyeringai sebelum akhirnya berbicara, "gue cuma nagih janji Ave, kok.”“Janji apaan?” Rafael menolehkan wajahnya untuk melirik Aveline di belakangnya.Nicholas tersenyum licik. "Janji buat cerai sama suaminya.”Aveline menelan ludah, mencoba meredam ketakutannya. Dia menyesal kabur-kaburan dari Cassian dan Bodyguard-nya. Tau begini, dia hanya akan mendiamkan Cassian dan mengurung diri di kamar atau di apartemen Laura. Nicholas sudah sakit jiwa. Obsesinya pada Aveline harus seger
“Kak Ian..” Seru Aveline dengan semangat saat menangkap sosok suaminya yang muncul bersama dengan beberapa orang. Tanpa mengingat penyebab dirinya pergi sejauh ini, dia berlari ke dalam pelukan Cassian.Untung saja Cassian sigap menangkap tubuh istrinya. Kalau tidak, mereka akan terjungkal ke belakang saking kerasnya tubuh Aveline menubruk tubuh Cassian.Aveline mendusel wajahnya pada dada bidang Cassian sambil menghirup rakus aromanya. Berusaha untuk mengisi kembali energinya yang sempat habis karena menangis semalaman, ditambah kedatangan Nicholas yang tiba-tiba.Cassian membalas pelukan Aveline sama eratnya, melampiaskan kerinduannya sejak kemarin. Dia menghela nafas lega, tak menyangka kalau Aveline langsung memeluknya sedetik istrinya itu melihatnya. Dia membiarkan Aveline meresapi kehangatan pelukan itu sambil mencium lembut rambutnya.“Kangen..” Suara lirih Aveline terdengar oleh Cassian. Pria itu melongarkan pelukannya seje