Cassian itu ibarat Charger yang akan mengisi kembali energi milik Aveline..~~~“Terimakasih..” Aveline mengucapkan itu dengan pelan dan sopan pada seorang pria di sampingnya yang mengantarnya dengan selamat sampai ke rumah. Bukan.. bukannya Aveline menjilat ludahnya sendiri karena tadi menolak tawaran Rafael dan memilih pulang bersama orang asing. Tapi pria ini sudah menolongnya dari Nicholas yang dengan gilanya membawa Aveline ke kantor pengacara.“Ngapain lo bawa gue kesini?” “Ngapain nanya lagi? yah gue pengen buatin lo surat cerai dan ngirim langsung ke suami lo.”“Dasar gila… gak, gue gak mau.. lepasin..”“Aveline sayang.. Cuma gue yang cinta ke lo. Lo gak harus hidup sama orang yang bahkan nganggep lo aja nggak. Lo itu istimewa sayang. Cuma gue yang bisa bahagiain lo.”“Lo psiko. Gue gak mau..”“Stt.. lo gak mau, kan, kalau suami lo bernasib sama dengan mantan lo itu?”Aveline merinding mengingat kejadian tadi. Nicholas benar-benar menggila. Obsesinya pada Aveline sudah berada
“Sayang.. Kayaknya aku bakal pulang telat nanti.”Kedua tangan Aveline yang sedang membantu Cassian memasangkan dasi, membeku saat mendengar ucapan yang keluar dari bibir Cassian. Namun sepertinya dia hanya salah mendengar. Untuk itu dia tetap melanjutkan kegiatannya dan tak menjawab.“Sayang?”Kali ini tangan Aveline sedikit bergetar. Dia mendongak untuk menatap Cassian dengan mulut yang terbuka dan tatapan tak percaya.“Sayang?” Panggil Cassian sekali lagi sambil menaikkan satu alisnya. Sudut bibirnya berkedut melihat respon Aveline.Awalnya dia hanya iseng memanggil Aveline dengan sebutan ‘sayang’. Tapi siapa sangka reaksi jantungnya yang berdebar menyenangkan dan juga respon yang diberikan Aveline terlihat lucu di matanya.Cassian tersenyum mengamati wajah Aveline yang tak juga mengeluarkan suara. “Ada yang salah, SAYANG?”Aveline masih mempertahankan ekspresi tercengangn
Aveline tidak ingin membiarkan berbagai pikiran negative tentang Cassian terlalu lama di kepalanya. Baginya, Cassian melakukan itu pasti dengan alasan yang kuat. Aveline tidak ingin terjadi sesuatu pada Cassian, dan membantu Daniel serta Laura untuk berbicara pada Cassian adalah pilihan yang diambil oleh Aveline. Tapi sebelum itu, dia membutuhkan penjelasan dari Papa Vincent terkait tindakan Cassian.Untuk itulah setelah bertemu Daniel dan Laura, Aveline tidak kembali ke kantor melainkan pergi ke rumah orang tuanya.“Papa ada, Bi?” Tanya Aveline pada salah satu pekerja di rumah orang tuanya.“Bapak ada di ruang kerjanya, Non.”Aveline mengangguk dan melangkahkan kakinya menuju ruang kerja Papa Vincent yang ada bersebelahan dengan perpustakaan di lantai dua.Tok tok“Masuk!”Cklek“Papa sibuk, gak?” Tanya Aveline saat membuka pintu dan melihat Papa Vincent yang du
Aveline menatap hotel bintang 5 di hadapannya dengan ragu. Ibu Diana bilang kalau Cassian mendapat undangan pesta pernikahan sepupunya di pihak ayah. Pesta pernikahan itu diselenggarakan di salah satu Ballroom yang ada di hotel ini. Cassian kemungkinan menyewa salah satu kamar disini, mengingat jarak rumah mereka dengan hotel ini lumayan jauh. Tapi yang aneh adalah Cassian pulang lebih awal dari kantor. Entah apa yang dilakukannya selama Aveline mencarinya. Apa sebenarnya Cassian tau kalau Aveline mencarinya di kantor dan bersekutu dengan Randy untuk tidak menanyakan keberadaannya karena takut Aveline meminta ikut ke pesta keluarga besarnya ini? Ibu Diana meminta sebaiknya Aveline menyusul Cassian agar bisa mengenal keluarga mereka. Yang dimana Aveline sedikit paham maksud dari ibu mertuanya itu. Dia ingin menunjukkan bahwa Cassian berhasil mempersunting sang pewaris Rinaldi Corp. dan membuatnya tergila-gila pada Cassian. Aveline menghela napasnya pelan. Kalau bukan karena keingina
Orang-orang bilang, jangan percaya pada laki-laki yang tiba-tiba bersikap manis. Mereka melakukan itu karena tengah menyembunyikan sesuatu. Jadi itu sebabnya tadi pagi Cassian membuat Aveline melayang dengan panggilan sayang yang pertama kali diucapkan olehnya? Ingin menyenangka Aveline sebelum kembali pada Valen? Aveline mengepalkan kedua tangan di sisi tubuhnya. Dia menatap geram pada dua orang yang sejak tadi menjadi objeknya. Meskipun ingin segera menghampiri keduanya, dia tetap menahan diri. Biar saja Cassian merasakan tatapan marahnya dan menyadari dirinya disini. Seperti yang diharapkan Aveline, Cassian merasakan tatapan menusuk dari seseorang untuknya. Dia sudah mengedarkan pandangannya namun tidak bisa menemukan si pelaku. Akhirnya dia hanya bisa mengusap tengkuknya tak nyaman. Kemungkinan yang menatapnya itu adalah salah satu anggota keluarga yang membencinya. “Bang Ian..” Cassian menatap datar pada orang yang memanggilnya dan kini t
Aveline berjalan sendirian menyusuri jalan kecil di sebelah hotel. Ah sebenarnya bukan sendiri, melainkan berdua dengan pria yang dipanggil Cassian tadi, Max. Tentu saja Max berjalan jauh di belakangnya. Dia berjalan tak tentu arah sambil menangis. Hatinya sakit, Cassian tidak memilihnya. Padahal Aveline seharian mencarinya. Cassian sudah menegaskan siapa pemilik hatinya pada Aveline. Meskipun hubungan mereka baik-baik saja akhir-akhir ini, bukan berarti dia melupakan Valen. Bisa saja Cassian memperlakukannya dengan baik karena menghormatinya sebagai istri, dan secara tidak langsung berterimakasih telah dibantu dalam rencanannya. Aveline menghapus air matanya dengan kasar. Dia lelah jalan kaki sedari tadi. “Max?” Aveline berbalik dan memanggil bodyguardnya. Max dengan segera menghampiri Aveline. “Saya nyonya..” “Kamu bawa mobil kesini?” Tanya Aveline. Max mengangguk. “Nyonya mau pulang sekarang?” Aveline mengan
“Sir.. mobil Tiger tepat di persimpangan jalan sana.” Seru Wolf sembari memperlihatkan layar tabletnya pada Cassian. Cassian menatap layar dengan serius. “Bagaimana keadaan mereka?” Wolf menggeleng. “Tiger terluka parah dan nyonya menghilang.” Cassian mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. Sialan si Nicholas itu. Cassian salah telah membiarkannya selama ini. "Beritahu Warrior untuk mengejar Nicholas. Jangan biarkan dia lolos. Cari mati dia berani menculik istriku.” Geram Cassian. “Baik, Sir.” Wolf mengangguk tegas. "Tangani Tiger dengan benar. Jangan biarkan dia mati. Lacak ponsel istriku dan cari tau dimana lokasinya." Wolf mengangguk lagi. Sementara Wolf bekerja pada tabletnya untuk memberikan instruksi kepada tim, Cassian menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri di tengah tekanan yang begitu besar. Cassian tidak bisa menahan rasa bersalah yang melilit dirinya. Coba saja dirinya tadi lebih perhatian pada istrinya dengan mengantarkannya pulang. Atau
“Ave!!” Seru Laura saat melihat Aveline ada di depan apartemennya larut malam begini. Dia merasa terkejut karena kabarnya Aveline tengah diculik. Lalu bagaimana bisa sahabatnya ini berdiri di depannya dengan wajah pucat? “Gue nginap disini, yah?” Ujar Aveline dengan lemah. Laura mengangguk dan membantu Aveline untuk masuk. “Lo sama siapa kesini?” Tanya Laura saat mereka sudah duduk di atas tempat tidur kamar tamu apartemen Laura. “Gue dianterin Nicho.” “What?” Laura tidak bisa menahan rasa terkejutnya. “Dia yang nyulik lo dan segampang itu balikin lo?” “Dia cuma mau ngobrol sama gue, Lau.” “Dasar psiko, pengen ngobrol sama lo pake acara penyerangan dan culik lo segala.” Geram Laura. Aveline tersenyum tipis. Dia enggan membahas tentang Nicholas saat ini. “Lau, gue pengen tanya sama sesuatu sama lo.” “Apa?” Aveline menarik napas untuk menenangkan dirinya. “Kecelakaan dua tahun lalu, apa benar gue yang bawa mobil waktu itu bukannya Rama?” Laura terkesiap mendengar pertanyaan itu
Musik mengalun lembut di aula besar Rinaldi Corp, tempat pesta perkenalan Aveline sebagai pewaris resmi keluarga berlangsung. Lampu kristal menggantung megah di langit-langit, memancarkan kilauan yang memukau setiap tamu yang hadir.Para tamu berpakaian anggun dan bercakap-cakap dengan elegan, menikmati suasana malam yang mewah dan eksklusif. Sedang sang pemilik acara dan keluarga dekatnya berkumpul di satu meja yang sama, kecuali Aveline dan Cassian yang sudah berada di atas panggung. Ah dan juga Aurora. Entah berada dimana istri Nicholas itu.Aveline terlihat anggun dan menggemaskan secara bersamaan dengan perut buncitnya, berdiri di samping Cassian dengan senyum tipis di wajahnya. Tangannya yang halus berusaha tetap tenang, tetapi jari-jarinya sesekali meremas gaun biru elegannya. Matanya sesekali melirik ke arah kerumunan, mencari titik fokus untuk mengurangi rasa tak nyaman berada di lautan manusia di ruangan tertutup ini. Setiap senyum yang ia berikan terasa dipa
“Adelia.. dari tadi saya coba calling kenapa gak diangkat, hem?” suara Ryan terdengar dari belakang.Adelia dan ketiga teman perempuannya—minus Letta, sedang duduk bersantai di gazebo belakang fakultas sembari menunggu Staff TU menyelesaikan SK penetapan pembimbingnya. Tiba-tiba saja dia dikejutkan dengan kedatangan Ryan Davis menghampiri mereka.“Eh, handphone saya lagi silent mode, pak.” Adelia meringis pelan. Matanya melirik teman-temannya yang mulai saling berbisik. Jujur, dia tidak nyaman dengan keadaan saat ini.Ryan mengeluarkan ponselnya dari saku. "Saya udah nge-chat kamu dari tadi. Kalau kamu udah selesai, kabari saya.”Adelia mengangguk cepat, merasa wajahnya memanas. "Baik, Pak. Saya akan cek dan langsung kabari."Teman-temannya mulai berbisik-bisik lebih heboh, membuat Adelia semakin tidak nyaman. Ryan tampak menyadari kegelisahan Adelia dan berkata, “Oke, ka
Tangan Aurora yang memang sudah terangkat itu mengepal, merasa gemas sekali dengan kalimat pedas sang suami. Ingin rasanya meremukkan mulut yang sedari tadi membalasnya dengan sinis.“Isshhh.. gemes aku sama kamu.”Nicholas menipiskan bibirnya, mencoba menahan tawa yang hampir saja lolos. Aurora terlihat seperti kucing galak yang sedang mengais dengan kaki depannya.“Yaudah, sini. Gue ada handuk kecil buat bersihin tangan lo.”Aurora menatap Nicholas dengan senyum kecil. "Kamu bawa handuk? Kok perhatian banget sih?" godanya.Nicholas mendengus, menyerahkan handuk kecil yang diambilnya dari tas. “Udah jangan GR. Gue bawa ini buat bersihin muka sendiri, bukan buat lo.”Aurora menerima handuk itu dengan mata berbinar. "Makasih, Hubby." Dia membersihkan tangannya dengan hati-hati, merasakan kehangatan dari handuk yang diberikan oleh suaminya.Yang orang lain tau, Nicholas adalah pria gila dengan obsesi
"Lo lagi ngelindur, ya?" decih Nicholas sambil menatap Aurora dengan mata menyipit.Aurora duduk di tepi tempat tidur dengan posisi menghadap ke arah Nicholas yang duduk bersandar di headboard. Mata wanita yang mengenakan gaun tidur berwarna biru muda itu menatap Nicholas dengan penuh harap. Matanya berkilauan dengan semangat, dan senyum manis terukir di wajahnya.Aurora mendekatkan wajahnya sedikit ke Nicholas, membuat jarak di antara mereka semakin kecil. “Ayo dong, Hubby. Kita cuma duduk-duduk di pantai. Aku yang bakal nyiapin perlengkapannya, kamu nggak perlu khawatir hal lain,” bujuknya dengan suara lembut.“Fix lo emang masih ngantuk.” Nicholas melengos, memutus pandangan matanya pada Aurora. “Mikir gak sih, gue kesananya gimana? Tau sendiri pasir pantai gak cocok buat pengguna crutches kek gue, kursi roda apalagi,” jawabnya sambil menatap ke arah tirai tipis berwarna krem yang sedikit bergoyang tertiup angin dari jendela yang terbuka.Tak habis pikir dengan Aurora. Hari masih p
“Laporan macam apa ini, Ran?”Seorang wanita yang tengah duduk di belakang meja besar di ruang kantor mewah mengangkat kepalanya dari tumpukan berkas yang hampir menutupi seluruh permukaan meja. Wajahnya menunjukkan kelelahan bercampur frustrasi. Di hadapannya, duduk seorang pria yang tengah sibuk mengetik di MacBook-nya.Randy—sekretaris Cassian yang sekarang tengah sibuknya membantu Aveline mempelajari segala hal tentang Rinaldi Corp, menghentikan sejenak aktivitasnya dan menatap Aveline dengan ringisan. “Itu laporan terbaru tentang Rinaldi Corp, Bu. Semua detail keuangan, proyek, dan investasi terbaru ada di dalamnya.”Aveline menghela napas panjang dan menyandarkan punggungnya ke kursi, mencoba meredakan ketegangan yang menjalar di tubuhnya. "Kenapa saya juga harus tau ini? Kan udah ada jajaran Manajer yang bakal handle ini.”“Memang benar, ada tim manajer yang kompeten. Tapi sebagai pewaris utama, anda perlu memahami semua aspek bisnis, termasuk detail laporan ini. Ini penting un
“Dari mana lo?”Aurora melirik orang yang tengah bersantai di ruang TV itu dengan sinis ketika dirinya hendak ke kamarnya untuk beristirahat. Tanpa menghentikan langkahnya, wanita yang memiliki nama lengkap Aurora Sophia Rinaldi mengacuhkan suaminya itu."Lo denger gak gue nanya tadi?" suara Nicholas terdengar lebih tegas dan sedikit marah.Aurora berhenti sejenak, menghela napas panjang sebelum berbalik menghadap Nicholas. "Aku capek. Aku mau istirahat."Tatapan Nicholas tajam, mencoba menahan amarahnya. "Gue cuma nanya, Aurora. Lo abis dari mana?"Aurora mengangkat alisnya, merasa tidak ada kewajiban untuk menjelaskan. "Kenapa? Apa kamu se-khawatir itu aku baru pulang?" tanyanya dengan ketus.“Cih.. gue cuma nanya.” Gantian Nicholas yang menatap dengan sinis ke arah Aurora.“Kepo banget.” Cibir Aurora, lalu melanjutkan langkahnya.Nicholas mendelik mendengar cibiran dari Aurora. Matanya men
“Bisa jelaskan apa maksudnya ini, Hans?”Aurora memperlihatkan sebuah pesan yang masuk ke ponsel Nicholas kemarin yang sempat dipotretnya kepada Hans. Wanita yang mirip dengan istri Cassian itu berdiri di samping sebuah layar besar di ruangan kakak iparnya. Sedang sang empunya tengah duduk di kursi kebesarannya.Hans menelan ludah, jelas merasa tertekan oleh situasi ini. Semua pandangan mata tajam dan menuntut tertuju padanya, termasuk Samuel dan Max yang duduk dihadapannya.“S..saya udah bilang semuanya, Nya. Termasuk orang yang kerja sama Boss Nicho, kan?” suara Hans bergetar, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia telah jujur.“Iya kita tau..” Ujar Aurora. “Tapi ‘dia’ yang disebut dalam pesan ini ditujukan ke siapa sebenarnya?” tanyanya dengan nada menuntut.Hans menelan ludah sekali lagi, matanya berkedip cepat saat dia berusaha menemukan kata-kata yang tepat. Terlihat jelas kala
“Maksudnya, dek?” Kening Aveline berkerut saat mendengar ucapan Aurora yang penuh dengan penekanan.“Iya.. Gue mau buat perhitungan ama bang Ian karena udah bikin suami gue menderita.” Mata Aurora mulai berkaca-kaca. Itu adalah cerminan dari hatinya yang ikut tersiksa melihat Nicholas yang sedang berjuang sembuh. Dan semua itu karena Cassian. “Suami gue berjuang banget buat sembuh. Dia kadang kesakitan pas beraktivitas.” Aurora mulai terisak.Aveline memilih duduk di sebelah Aurora. Tangannya terangkat untuk menenangkan sang adik.Dia paham perasaan Aurora karena dia sendiri pun sudah merasakannya. Melihat orang yang dicintai menderita, juga membuat kita merasa sakit.Aurora menundukkan kepalanya, air mata mulai mengalir di pipinya. Aveline merangkulnya erat, mencoba memberikan dukungan sebisanya.“Abang turut prihatin dengan kamu, Ra. Tapi abang gak bakal minta maaf buat apa yang udah abang lakuin.”
“Arghhh…”Nicholas berusaha menggerakkan kakinya ke depan dan ke belakang, meskipun setiap gerakan memicu rasa sakit yang tajam. Bahkan teriakan tadi itu tak sengaja lepas dari tenggorokannya.“Heh.. lo santai aja kali.. Suami gue kesakitan bego!!”Seorang pria yang merupakan seorang therapist, mendelik kesal pada seorang Wanita yang mengatainya ‘bego’ hanya karena sedang membantu Nicholas untuk melatih kembali kakinya agar bisa berjalan kembali.“Maaf, yah, mbak. Saya tau kalau mbaknya cemas. Tapi saya harap mbak bisa paham kalau saya melakukan yang terbaik untuk membantu suami mbak pulih," ucapnya dengan suara tenang meskipun di dalam hatinya merasa tersinggung oleh kata-kata wanita tersebut. Dia berdiri di samping Nicholas yang sedang berjuang untuk berdiri, peluh mengucur di dahinya.Nicholas yang masih meringis kesakitan, memberi kode dengan tatapan mata kepada Hans, yang langsung dipah