"Jadi Lee itu seorang agen polisi yang menyamar di perusahaan ini?! Daebak!" pekik Yuna. Kami makan siang di cafetaria yang berada di lantai bawah.
"Berarti dia sudah tidak bekerja di sini lagi?"
"Ya begitulah. Penyamarannya sudah usai, setelah kasus bandar narkoba itu," jelas ku.
"Pantas saja dia sangat dekat dengan manager, ternyata untuk kepentingan kasus saja."
Putra manager perusahaan kami, terbukti menjadi pemasok utama narkoba se-Asia. Itulah alasan Lee bekerja di sini. Dia terus memberikan kinerja yang baik, sehingga menjadi pusat perhatian kalangan atas. Lee sangat dekat dengan manager kami. Ternyata dia sengaja melakukan itu, karena mengincar putra tunggal keluarga kaya tersebut. Setelah kasus itu terungkap, manager kami mengundurkan diri.
Lee sudah tidak terlihat di kantor sejak beberapa hari lalu. Dia kembali ke pekerjaan sebenarnya, menjadi petugas polisi. Ta
"Ines ... Ada apa dengan rumah Daniel? Kau pasti melihat sesuatu, kan?" tanya Lee saat dalam perjalanan pulang.Aku yang sejak tadi hanya menikmati pemandangan samping, lantas menoleh. Menarik nafas, kemudian berdeham. "Iya. Tapi mungkin itu bukan apa-apa. Semua rumah pasti ada penghuninya, kan, Lee? Semoga mereka baik-baik saja.""Benar, kah? Lantas, rumahku juga ada penghuninya juga?""Ya ada. Tapi dia tidak pernah mengganggu mu, kan?""Sejauh ini, tidak. Tapi aku menjadi takut sekarang untuk pulang.""Dasar pengecut. Melawan penjahat kamu berani, masa dengan hal yang tidak kau lihat, takut!" ejekku....Lee mengantar ku hanya sampai halaman depan. Aku lantas masuk ke apartemen dengan tubuh lelah. Lift terbuka, di dalam ada sesosok wanita berdiri di sudut lift. Menghadap ke belakang. Itu sudah biasa kulihat selama berada di sini. Selagi dia tidak mengganggu, aku pun tidak apa-apa. Kemunculan mereka itu
Ketukan pintu membuat ku terjaga. Aku berpikir sesaat, sebelum akhirnya beranjak dari tempat tidur dan melihat siapa yang datang tengah malam begini."Siapa?" tanyaku saat berjalan mendekat ke pintu."Ines! Ini aku, Daniel!" jeritnya seperti sedang terburu-buru. Dia terus mengetuk pintu dengan cepat dan keras. Bukan kebiasaannya. Lagi pula ini bukan waktu yang pas untuk bertamu.Saat pintu dibuka, wajah Daniel muncul dengan wajah yang kebingungan. Dia terus menoleh ke belakang seperti tengah dikejar seseorang."Daniel? Ada apa? Masuk," ajakku, lalu menutup pintu. Tapi sebelum itu aku memeriksa keadaan di luar. sepi, tidak ada siapa pun. Daniel segera duduk di sofa seperti biasa. Dia terlihat gugup dan ketakutan. Berkali-kali tangannya terus dikepal-kepalkan, sorot matanya terus menatap ke arah pintu."Hei, ada apa?" tanyaku sambil memberikan segelas air putih, agar dia sedikit tenang. Dani
Lorong yang kulalui tampak gelap. Bahkan aku harus berpegangan untuk mencari arah yang benar. Langkah demi langkah aku lalui dengan perasaan tidak menentu. Tali di pinggangku masih terpasang kuat. Sampai pada akhirnya di ujung lorong gelap ini ada setitik cahaya. Aku pun mendekat, karena yakin akan ada jalan di sana.Cahaya yang awalnya hanya setitik, perlahan membesar, saat aku sudah makin dekat rupanya cahaya itu berasa dari sebuah pintu kecil. Berukuran setengah tubuhku. Sepertinya memang ini adalah jalan keluar dari tempat ini, akhirnya aku jongkok dan melewatinya.Silau cahaya tadi membuat mataku harus terpejam, butuh waktu beberapa detik untuk menyesuaikan dengan tempat baru yang lebih terang ini. Saat aku mulai membuka mata, aku sedikit terperenyak, melihat sekitar. Ternyata aku baru saja keluar dari cermin ini dan berada kembali di rumah Daniel. Hanya saja semua tampak abu-abu. Tidak berwarna, seperti mati. Berkali-kali aku menguce
"Ines! Ines! Kamu baik-baik saja?" tanya sebuah suara yang sangat aku kenal. Aku mulai mengerjap dan menyesuaikan dengan cahaya lampu di atas. Kepalaku terasa sangat berat. Namun perlahan aku mampu bergerak dan kembali tersadar."Ah, syukurlah. Aku pikir kamu tidak akan sadar kembali," ujar Lee dengan wajah lega."Kim?" tanyaku sambil mencari keberadaan anak itu dan tentu ibunya."Mereka baik-baik saja. Ada di kamar, sedang beristirahat," sahut Daniel."Syukurlah." Aku mulai beranjak dibantu Lee lalu kami duduk di sofa. Daniel pergi ke dapur dan kembali lagi dengan secangkir teh hangat."Minum dulu, Ines," katanya sambil terus memperhatikanku."Terima kasih.""Ines, apa yang terjadi di sana?" tanya Lee."Benar, kami sempat kesulitan menarik mu kembali," tandas Daniel."Oh, itu. Yah, cukup sulit menemukan keluargamu, Daniel
Aku sedang berada di sebuah pesawat yang akan membawaku pulang ke rumah. Yah, pulang ke rumah. Kini aku punya tempat untuk dituju. Tempat yang bisa disebut rumah. Di mana ada orang-orang yang menganggap ku keluarga, dan kuanggap keluarga. Mama Irene duduk di sampingku. Papa duduk di kursi lain bersama salah satu saudara tiriku, yakni Bang Haikal. Anak pertama Papa dengan Mama Irene. Sementara anak bungsu mereka bernama Iqbal yang duduk seorang sendiri di sudut pesawat. Di telinga nya bertengger headset, kepalanya bergerak-gerak diikuti tubuhnya. Dia anak band sementara Bang Haikal lebih pendiam karena lulusan Universitas Kairo. Agamanya lebih unggul daripada kami tentunya. Maka dari itu dia lebih bisa menjaga sikap, dan juga lebih dewasa.Untungnya mereka mampu menerima kehadiranku. Bahkan tidak tampak kebencian dari kedua pria itu. Justru mereka sangat menerima ku sebagai salah satu anggota keluarga baru."Gimana rasanya akhirnya pulang l
"Jadi kamu kenal sama Rangga, nduk?" tanya Papa. Kami sudah berada di meja makan, menikmati hidangan makan malam yang sudah Bu Siti dan Mama sediakan."Iya, Pah." Aku hanya berusaha bersikap senormal mungkin di depan mereka. Duduk di samping Iqbal membuat aku makin kikuk, karena sesekali dia membuatku selalu ingin memukulnya. Karena sikapnya yang mulai iseng."Tapi kenapa bagai nggak kenal, Nes?" tanya Iqbal dengan senyum tipis menggoda.Aku segera melirik ke arahnya, menunjukkan bola mata yang membulat sempurna. "Berisik! Jangan bawel!""Jadi selama satu tahun ini, Ines pergi ke Korea? Pantas nggak pernah main lagi ke rumah." Om Heri mulai membuka lagi obrolan yang justru membuat situasi di antara aku, Mama Rangga dan Rangga sendiri, sulit. Bahkan sejak tadi aku tidak mendengar satu patah kata pun keluar dari mulutnya. Dia hanya tersenyum, lalu mengangguk dan menatapku saat ada pertanyaan terlont
"Ines! Ines! Kamu nggak apa-apa, sayang?" Suara Papa terdengar jelas di telinga. Namun aku kesulitan membuka mata. Rasanya seluruh tubuhku terasa sakit, terutama bagian perut. Pipiku mulai ditepuk-tepuk pelan. Kini suara Mama mendominasi. Tapi aku masih enggan membuka mata."Ros ... Bangun. Rosi, bangun!" "Rangga?!" "Iya, aku Rangga. Bangun, ya. Ayo, Ros!"Perlahan mataku berusaha bergerak, sinar cahaya lampu sedikit menyilaukan, walau aku belum membuka sepenuhnya kedua bola mataku ini. Masih dalam pandangan yang buram, sosok-sosok di hadapanku mulai terlihat. Makin lama makin jelas."Papa?""....""Mama?""Iya, sayang. Syukurlah kamu sudah sadar." Mama membelai pipiku dengan mata yang sembab."Aku kenapa? Perut! Perutku!" aku segera melihat ke bagian perut. Ingatan yang aku p
Nusa PenidaAdalah salah satu pulau yang ada di Indonesia. Letaknya ada di sebelah tenggara pulau Bali, dipisahkan oleh selat Badung. Di dekat Nusa Penida juga ada beberapa pulau kecil lainnya. Perairan pulau Nusa Penida terkenal dengan kawasan selamnya di antaranya terdapat diCrystal Bay,Manta Point, Batu Meling, Batu Lumbung, Batu Abah, Toyapakeh danMalibu Point.Bukan pertama kalinya aku menginjakkan kaki di pulau Bali, namun berada di Nusa Penida adalah pertama kalinya buatku. Mama telah menyewa home stay di dekat salah satu pantai. Dalam liburan ini, Mama sangat bersemangat. Bahkan semua akomodasi serta kebutuhan kami selama di tempat ini ditanggung oleh Mama. Papa masih sibuk dengan pekerjaan walau dari jarak jauh. Semua bisa ditangani hanya lewat sambungan telepon dan email.Home stay ini memiliki beberapa kamar. Ada dapur sekaligus ruang makan,
Pintu apartemen Rangga ku buka, namun dahiku langsung mengerut ketika melihat Nida berada di kursi meja makan, dengan Rangga yang berdiri di dekat kompor, sedang memegang puntung rokok di tangan kanan. Di belakangnya ada panci yang berisi air panas disertai dua cangkir yang sudah diberi bubuk kopi dan kantung teh bundar."Yang?" Rangga membetulkan posisi berdirinya, segera mematikan rokok yang masih menyala di meja dekat kompor. Dia lantas mendekat. "Aku tadi WA kamu loh, nelpon juga nggak di angkat. Niatnya mau tanya, aku jemput jam berapa ke rumah?" katanya dengan segala bentuk pernyataan dan pertanyaan sebelum aku melayangkan upaya ngambek melihat Nida di sini. "Terus juga kasih tau, kalau Nida di sini."Aku lantas membuka ponselku dan membuktikan kebenaran perkataan kekasihku. "Lupa aku silent. Tadi di jalan berisik, soalnya aku naik Gojek." Aku lantas meletakkan tas di ranjang. "Aku pengen mandi." Segera saja aku masuk ke kamar mandi
Rumah besar itu porak poranda seolah terkena gempa dahsyat. Kondisi Rizal sudah stabil, bahkan dia sudah berganti pakaian dan kini terbaring di kamarnya ditemani Nida yang selalu berada di sisinya."Terus nasib Gladis gimana, Bang?" tanya Indi. Sosok hitam yang menyerang kami sudah musnah karena Bang Cen, Datu, dan macan putih itu."Kita lihat saja besok."Malam semakin larut. Kami pun pulang ke rumah masing-masing. Sementara itu Nida tetap tinggal merawat Rizal.Mey pulang di antar Asep. Itu bukan hal aneh lagi bagi kami. Indi pun sudah di jemput Raja. Bang Cen memutuskan tinggal sebentar, untuk menyelesaikan sisa pekerjaannya. Entah apa lagi yang akan dia lakukan, tapi aku dan Rangga sudah lelah sekali. Kami pun pamit padanya."Mau pulang ke mana?" tanya Rangga."Eum, ke rumah aja ya. Nggak apa-apa, kan? Aku capek banget. Pengen langsung tidur.""Ya nggak apa-apa. Lagian dari sini memang lebih dekat ke rumah
"Yah Gladis itu bukan manusia. Saya sudah perhatikan lama. Ada yang aneh sama dia.""Jadi maksudnya dia itu apa, Bang?""Tubuhnya memang tubuh seorang manusia. Tapi jiwanya bukan dari pemilik tubuh itu. Bahkan kalau jiwanya keluar dari sana, saya yakin kalau jasadnya tidak sebagus apa yang kita lihat sekarang.""Jadi jiwa siapa yang masuk ke sana? Kok bisa gitu, ya?""Bisa, Neng. Bahkan saya rasa apa yang merasuki tubuh Gladis juga bukan dari kalangan manusia.""Mungkin nggak sih, kalau pemilik tubuh itu sebelumnya melakukan perjanjian dengan iblis, terus dia nggak bisa memberikan tumbal atau semacamnya, makanya jiwanya diambil, tubuhnya kosong terus diisi makhluk lain. Bisa nggak?" tanyaku."Sangat masuk akal, Neng.""Apa dia sedang mengincar Rizal untuk dijadikan tumbal?" tanya Rahma."Bukan. Bukan tumbal, justru sebagai makanan." Perkat
Pagi ini kami berangkat kantor lebih awal, karena semalam aku menginap di apartemen Rangga. Jaraknya yang dekat kantor membuat kami memiliki setidaknya 20 menit waktu luang sebelum jam kerja dimulai. Bahkan lift pun terasa lenggang saat kami memasukinya, karena hanya ada kami berdua. Untungnya tidak ada lagi sosok wanita yang biasa memasuki lift ini, atau mungkin belum waktunya dia muncul, ya. Tapi sepertinya Bang Cen telah membuat dia tersingkir dari gedung ini, karena aku tidak pernah melihatnya lagi dalam waktu yang cukup lama.Kemarin kami berdua tidak jadi mencari Rizal, karena dia memang tidak bisa ditemukan di berbagai tempat. Di rumahnya, tempat nongkrongnya, sampai ke rumah teman-temannya, Rizal tidak nampak juga. Akhirnya semalam kami akhir pencarian pukul 22.00, Nida pulang sendiri, dan aku bersama Rangga kembali ke apartemen.Pintu lift menutup, aku melingkarkan tangan ke lengan kekasihku. Dia menoleh dan tersenyum. "Kenapa?" t
"Eh, kalian udah denger belum? Gosip kalau Rizal deket sama Gladis?" tanya Mey berbisik saat kami makan siang. Sudah sekitar satu bulan Gladis bekerja di kantor kami, dan dia masih menjadi topik pembicaraan yang menarik. "Serius? Kok bisa? Nida gimana?" tanya Indi penasaran. "Nah itu! Mereka break! Dan sekarang Rizal deket sama Gladis. Yah, siapa sih yang nggak mau sama Rizal, kan? Dilihat-lihat ganteng juga itu anak," cetus Mey. "Ganteng mana sama gue?" tanya Asep menanggapi. "Elu ... Tapi dilihat dari ujung monas, pakai sedotan!" "Awas lu ya. Nggak gue anterin pulang lagi!" ancam Asep. "Cie. Udah saling antar jemput. Eh, lu nunggu di mana, Mey? Nggak takut?" tanya ku sengaja mencandai mereka. "Di rumah lah. Kan yang punya body guard, dia, bukan gue. Gue mah nggak takut." "Oh iya ya. Hati-hati, takut nanti ada drama mirip di sinet
"Siapa tuh?"Seorang wanita datang bersama pria berumur sekitar 40 tahunan. Memakai setelan mahal dan masuk ke ruangan Bos. Dari apa yang terlihat, sepertinya dia akan menjadi karyawan baru di kantor kami. Penampilannya terlihat seksi, dengan rok span hitam yang cukup pendek di atas lutut, kemeja putih ketat, menampilkan payudaranya yang terkesan tidak muat di dalam pakaian itu. Sepatu hak tinggi berwarna hitam, memang menjadi ciri khas seorang pekerja magang. Karena kemarin aku pun melakukan hal itu."Baru kayaknya deh. Njir, bohay banget!" kata Asep melotot sampai wanita itu menghilang di balik pintu."Wuu! Dasar mata playboy! Suka bener lihat yang montok-montok!" cetus Mey.Memang terlihat seksi dan mengundang banyak mata melihat, tapi aku merasa tidak menyukai aura yang dimiliki wanita tersebut. Entah mengapa. Terasa ada selubung gelap yang mengitarinya. Bahkan beberapa sosok mengerikan terus
Ini adalah hari pertama setelah cuti yang bisa terbilang panjang bagiku. Aku dan Rangga kembali ke kantor, memulai aktifitas kami seperti biasanya. Sejak kemarin aku memang tinggal di apartemen Rangga hingga hari ini. Namun nanti aku akan kembali pulang ke rumah, karena Iqbal sudah kembali dari luar kota. Bagaimana pun juga, dia bagai satpam Papa di rumah untuk mengawasi ku. Tapi kami berdua sama-sama saling mengawasi dan melindungi sebagai kakak adik. Sementara Bang Haikal justru terbang lebih jauh lagi ke London. Bisnisnya berkembang pesat. Kabarnya dia hendak membuka sekolah Indonesia di sana.Kami baru saja datang bersama-sama. Masuk lift yang penuh sesak, karena ini adalah jam masuk kantor, tentu banyak karyawan berdatangan. Aku dan Rangga menempati posisi tengah. Di belakang kami ada deretan karyawan dari lantai paling atas, di depan kami, campuran dari teman satu ruangan ku dan juga Rangga.Dari kejauhan, aku melihat seorang wanita
Papa akan kembali ke Korea pagi ini juga. Pekerjaannya di sana masih membutuhkan waktu, dan Mama juga masih ada di Korea. Bahkan Mama tidak tau kalau Papa kembali ke Indonesia kemarin. Hotel yang Papa pesan, hampir sama seperti hotel sebelumnya. Connecting room tersebut membuat kami berempat saling terhubung. Lee juga akan kembali ke Korea, karena urusannya sudah selesai. Kami akan naik pesawat untuk kembali ke Ibukota."Jadi Papa sama Mama lama lagi pulangnya?" tanyaku di tengah sarapan pagi kami."Iya, mungkin beberapa bulan lagi, baru kami bisa menetap lagi di sini. Kamu baik-baik saja, kan? Papa dengar dari Iqbal tentang pencuri di rumah kita. Papa yakin, tidak ada lagi kejadian seperti itu. Mereka hanya anak buah Woong saja.""Tapi Iqbal juga sekarang di luar pulau, Pa. Bang Haikal juga jauh. Jadi aku sendirian dong di rumah," kataku setengah protes."Hm? Bukannya ada Rangga sekarang? Papa lihat kalian makin lengket aja. Iya,
"Apa yang sedang kamu lakukan di sini?" tanyaku begitu Lee mendekat. Rangga membantuku berdiri dan terus memegangi tangan karena kaki kananku sedikit nyeri."Apa itu sapaan di Indonesia untuk teman lama?" tanya Lee balik, sambil terkekeh. Rupanya dia sudah lancar menggunakan bahasa Indonesia, walau logat Korea nya masih terasa kental.Aku lantas tersenyum, mengulurkan tangan padanya. "Apa kabar, Lee?"Lee menyambut nya dengan tatapan mata dalam. "Lama tidak bertemu, kemampuan mu sedikit berkurang, Ines.""Oh, jadi mereka itu musuh mu? Buktinya jauh-jauh kau datang ke Indonesia hanya untuk menangkap mereka? Kasus apa kali ini?"Lee melirik ke Rangga yang sejak tadi hanya diam. "Dia ...?" tanyanya."Oh iya, perkenalkan, dia Rangga. Rangga ini Lee, temen aku di Korea. Dia polisi," kataku pada mereka berdua, bergantian."Rangga?" tanya Lee saat mereka be