Angga merasa frustasi yang tak berdaya, hampir seperti terjebak dalam sebuah permainan yang tidak ia mengerti. Dirinya kini merasa sepenuhnya terombang-ambing dalam situasi yang tak ia mengerti sepenuhnya. Matanya berusaha memahami dinamika di hadapannya.
Sekarang, Agatha dan neneknya tampak begitu kompak, seolah mereka berdua telah membentuk aliansi yang mengambil peran tersendiri di dalam skenario yang tak terduga ini. Tingkah lembut dan senyum penuh kasih yang mereka tukarkan menambah kompleksitas situasi yang sudah rumit. Seiring keringat dingin yang menetes, Angga hanya bisa pasrah pada kedua wanita yang sedang bekerjasama dalam sesuatu yang ia tidak tahu apa-apa.Neneknya, yang selalu menjadi sosok yang bijak dan lembut, kini juga menampilkan sisi kuat yang mungkin jarang Angga lihat. Sorot matanya memancarkan kebijakan yang dalam, dan senyumnya menandakan bahwa dia memiliki suatu rencana atau pemahaman yang lebih luas.Namun, Angga merasa tidak memiliki kontrol atas apa pun. Dia hanya seorang penonton dalam drama kehidupannya sendiri, harus memaklumi bahwa kisah ini mungkin saja bergerak tanpa kemauannya sendiri.Tapi bukan hanya Angga yang sedang merasa tertekan. Di sisi lain, pengunduran diri seorang dokter kecil yang tidak mencolok seharusnya tidak akan meninggalkan percikan apapun ke rumah sakit besar kenamaan. Tapi kali ini terjadi hal yang tidak biasa.Dealer alat kesehatan mencari Angga berharap bisa menjadi sponsornya. Pasien apendiks pria paruh baya ingin menjalin kontak dengan Angga, sedangkan pasien yang masih seorang gadis muda ingin berterimakasih setelah mengetahui bahwasanya dia hampir mati di meja operasi karena usus buntu kecil itu.Dalam situasi normal, rumah sakit pasti akan dengan senang hati mengakomodasi segala prestasi dan pujian ini kepada dokternya. Namun kali ini, dokter yang gemilang ini baru saja mengundurkan diri dengan memikul sakit hati akan ketidakadilan.Dan saat ini, Billy sedang mengahadapi ayah dan pamannya yang meminta penjelasan tentang berbagai tindakannya yang tak sesuai prosedur dan etika.Kantor mewah ini adalah milik ayah Billy, tempat di mana ayahnya berpraktek sebagai seorang dokter berpengalaman. Namun, kali ini, ruangan itu telah berubah dari tempat obrolan santai menjadi medan pertempuran keluarga yang tak terhindarkan. Dinding-dinding dihiasi mahoni yang gagah berdiri, lengkungan-langit berornamen, dan perabotan kayu yang elegan, semuanya menjadi saksi bisu pada pertempuran yang sedang berlangsung.Billy, duduk berlutut di lantai yang bersih, menerima sorot tajam mata dari ayah dan pamannya yang menuntut penjelasan. Ayahnya, seorang dokter berpengalaman dengan jubah putihnya yang terengah-engah mengecam tindakan putranya. Begitu pula pamannya, yang duduk di sebelahnya, mengisyaratkan ketidaksetujuan dalam ekspresi wajahnya yang keras.Dalam keadaan seperti ini, suaranya serasa hilang di tengah getaran emosi yang memenuhi ruangan. Ayahnya berbicara dengan keras, mengkritik keputusan Billy untuk menjadi dokter bedah. "Sudah kukatakan, sebaiknya kau menjadi dokter klinis mewarisi jubahku. Atau kau bisa pergi memulai karir di Biro Kesehatan. Karena kekeraskepalaanmu ini, kau hampir membunuh pasien di meja operasi hanya karena usus buntu," ucapnya dengan nada marah, suaranya memenuhi ruangan.Billy, meski terpaksa berlutut, tetap mempertahankan pandangannya. "Selalu seperti ini, tidak ada yang mempedulikan keinginanku menjadi dokter bedah," gerutu batin Billy saat ayahnya mencercanya.Pamannya, yang selama ini menjadi teman dan mentor Billy, akhirnya bersuara, "Kau tahu, Billy, bedah itu bukan hanya sekadar mengiris dan menjahit. Ini tentang hidup dan mati. Dan jika kau tidak bisa mengendalikan ego dan kekeraskepalaanmu, kau benar-benar tidak pantas menjadi dokter bedah."Dalam hati Billy, terdapat bara semangat yang terus membara meskipun dihantam oleh ombak rasa frustasi yang mendalam. Ia telah bermimpi sejak lama menjadi seorang dokter bedah yang meraih prestasi gemilang di dunia medis. Tetapi keluarganya, terutama ayahnya, selalu terkesan tidak memahaminya. Rasa frustrasi tumbuh seperti lautan yang menggelombang.Saat ayahnya terus berbicara, Billy merasa perasaannya semakin terkoyak. Kata-kata ayahnya menusuk hatinya seperti pisau. "Kau bisa tetap hidup dengan baik sampai sekarang karena ada Angga yang membersihkan semua kekacauan untukmu. Kini dia telah mengundurkan diri, tidak ada lagi orang yang dengan bodoh membantumu melakukannya tanpa pamrih. Mengapa kau menindas orang yang membantumu, Billy?"menyebutkan Angga hanya membuat api kemarahannya semakin berkobar. "Tidak mungkin dia mengundurkan diri. Dia menolak tawaran kedokteran klinis dari seorang Profesor ternama sehingga membuatnya dikucilkan saat memilih bedah. Pujiannya sebagai 'tangan ajaib' juga telah menyinggung rekan sejawatnya dari angkatan yang sama.""Sedangkan regulasi negaranya tidak memungkinkannya langsung dapat bekerja jika dia ingin menjadi dokter di sana. Dengan tingkat kemiskinan seperti itu, tidak mungkin dia mengundurkan diri!"Billy berbicara dengan nada tinggi, dan dalam kata-katanya terdengar campuran perasaan penghinaan dan rasa iri yang mendalam. Wajahnya memerah, dan matanya menyala dalam kebingungan dan kemarahan yang tak terkendali."Bodoh, sungguh bodoh. Kau memiliki begitu banyak pilihan dalam situasi seperti itu, namun kau memilih untuk menjadi musuh Angga," ucap pamannya dengan nada kecewa yang dalam.Billy merasakan kecewa mendalam menghampiri dirinya seperti kabut yang mencekam. Setiap kata dari pamannya menusuk seperti pisau tajam, menciptakan rasa sakit yang begitu mendalam di dalam hatinya. Ruangan kantor yang seharusnya menjadi tempat di mana dia dihargai dan didukung, kini terasa seperti tempat penghakiman.Drrriinngg! Drrriinngg!Suara telpon yang tajam, memotong suasana di kantor itu. Percakapan yang intens seketika terhenti saat paman Billy yang masih berdiri dengan keras menatap keponakannya yang berlutut di lantai. Pena yang ia pegang hampir jatuh dari tangannya.Pamannya mengambil keputusan untuk menjawab panggilan itu, dan dalam beberapa patah kata, ia berbicara dengan serius. "Baik, kami akan membahasnya nanti." Setelah menutup telepon, ia menatap keponakannya dengan ekspresi yang penuh pertimbangan.Tidak ada kata yang diucapkan, tetapi atmosfer di ruangan itu penuh dengan tekanan. Billy masih berlutut, menerima hukuman yang belum selesai, sementara suara telepon tersebut membawa pesan yang mungkin mengubah arah perjalanan mereka."Yang baru saja menelpon adalah keluarga dari donatur terbesar untuk lembaga penelitian rumah sakit kita, pasien prankeatikuduodenektomi yang ditangani Angga kemarin. Apakah Kau bisa menebak untuk apa, Billy?""Mereka ingin mengulurkan cabang zaitun dan mendukung perkembangan masa depan Angga. Entah pada akhirnya apakah membutuhkan Angga atau tidak, mereka akan menyumbang setidaknya jutaan dollar per tahun hanya demi mendapatkan prioritas andaikan mereka membutuhkannya. Itu adalah nilai dari orang berbakat, Billy."Pamannya melanjutkan, mengevaluasi Angga dengan penuh kekaguman. Namun, semua pujian tersebut seolah menjadi cambuk untuk Billy. Rasanya seperti langit runtuh baginya, mendengar bagaimana Angga dianggap sebagai potensi besar. "Dengan kemampuannya yang dapat menangani operasi kelas berat seperti kemarin di usianya yang masih sangat muda, masa depannya tidak terbatas."Billy merasakan getaran energi negatif yang melingkupinya, menggelayuti hatinya yang penuh ambisi. Kepalanya terasa berat, dipenuhi kekecewaan dan frustrasi. Ia telah berusaha keras, mengorbankan banyak hal untuk meraih cita-citanya sebagai dokter bedah. Namun, rasanya tidak ada yang memahami, bahkan dalam keluarganya sendiri."Di saat dia hanya seekor ikan kecil yang terombang-ambing arus, kau berkesempatan menariknya ke kubumu dan membuatnya tetap berada dalam kendalimu, tapi kau memilih yang terburuk, Billy." Kata-kata pamannya menghantam seperti kilat, menerangi rasa kecewa dalam dirinya."Baik ayahmu maupun aku akan melindungi mu untuk yang terakhir kalinya. Tapi kau akan mendapat pengawasan langsung dari kakekmu setelahnya," ujar pamannya dengan suara yang menggema di ruangan.Billy merasakan getaran emosi yang melingkupinya, seakan-akan udara di sekitarnya menjadi lebih tebal. Ancaman keras dari kakeknya adalah bayangan gelap yang menggantung di pikirannya. Rasa penyesalan dan amarah mencampuri kekecewaannya, menghasilkan kekacauan emosional di dalamnya.Ruangan itu terasa begitu berat, hampir menghentikan waktu. Semua harapannya hampir sirna, tenggelam dalam lautan penuh tekanan ini. Pamannya menjelaskan ancaman hukuman dari kakeknya, dan Billy merasa takut akan kehilangan dukungan keluarganya.Billy yang masih berlutut, merenungi segala yang terjadi. Nasibnya seakan digantung di ujung tanduk, dan masa depannya diwarnai oleh bayangan ketidakpastian. Ada pertempuran internal yang belum selesai, dan Billy harus menemukan jalan keluar dari kekisruhan ini.----------------Sejak mengakhiri sarapan bersama Angga, segalanya di rumah sakit telah berjalan buruk. Dia merasa seperti semua yang bisa salah, telah salah.Ditegur karena hal-hal kecil yang biasanya tidak menjadi masalah, ia harus menanggung kemarahan kekasihnya, Siska. Bahkan, ia dibuat berkeliling mencari bingkisan untuk Angga dari simposium kemarin, namun hasilnya nihil.Joshua benar-benar tidak mengerti. Ia merasa rumah sakit ini tidak adil. Dokter-dokter di sini seperti lebih dihargai dibandingkan Angga, yang sebenarnya mengambil alih operasi penting tanpa hambatan. Bahkan dokter tak dikenal yang hanya muncul sebentar saja, memperoleh stetoskop dan laptop sebagai merchandise, sedangkan Angga tidak mendapatkan apapun. Ini tidak adil."Kenapa selalu begitu?" gumam Joshua dalam hati, sambil mencoba mencari pemahaman atas ketidakadilan ini. "Angga pantas mendapat penghargaan dan pengakuan yang lebih besar. Rumah sakit ini... benar-benar menyakitkan."Angga ada
[Dokter Ajaib katanya, bah bah bah. Siapa yang memberimu keberanian sehingga bisa begitu tak tahu malu seperti itu][Harus ku akui teknik jahitannya sangat bagus. Bahkan lebih baik dari dokter pusat perawatan darurat yang berpengalaman lebih dari 10 tahun di rumah sakit ku. Tapi berlebihan bagimu menyebut Dokter Ajaib hanya karena itu][Lantai atas, jangan hanya melihat video gratis. Ada operasi yang lebih rumit yang bisa kau lihat jika kau ikut berlangganan][Apakah masa pubertas mu datang terlambat? Mengapa nama akunmu tampak seperti otaku?]Dalam keramaian komentar miring dan candaan, Angga merenung sejenak. Mungkin ia perlu mempertimbangkan untuk mengganti nama pengguna tersebut jika ingin serius berbagi ilmu kedokteran di platform ini.Namun, satu hal yang pasti, ia telah memulai perjalanan baru, menunjukkan kepada dunia keahliannya, meskipun di bawah nama "Dokter Ajaib." Dengan sedikit senyuman pahit di bibirnya, Angga kembali melanjutkan eksplorasi platform siaran langsung ini,
Orang-orang yang terhubung dengan platform siaran langsung terus membahas Dokter Ajaib. Topik pemilihan nama mulai mengalami trend menurun. Kini, para penonton mulai membahas level akun Dokter Ajaib.[Pendidikan formal kedokteran umum berarti dalam level perunggu, saat ini aku sebagai mahasiswa kedokteran masih dalam level tembaga /shy/. Apakah Dokter Ajaib hanya lulusan Master sehingga levelnya ada di level perak?][Pertanyaan menarik, aku juga mulai memikirkannya. Tapi sepertinya level sesungguhnya dari Dokter Ajaib adalah lebih dari itu. Mungkin ia mendaftar dengan kualifikasi lamanya dan tidak pernah berniat membarui?][Mungkin saja benar. Tapi memang ada alternatif lain untuk mendaftar akun selain menggunakan identitas formal dan izin kedokteran][Ehh? Sungguh? Bagaimana caranya, aku belum pernah mendengarnya][+1 Aku juga baru tahu ada cara lain][Berikan aku waktu untuk mengetik][...][Cara lain untuk me
Seorang Profesor sedang menunggu mahasiswa doktoralnya kembali karena ada sedikit gangguan. Sebelum ia pergi tadi, mahasiswa itu begitu terfokus dan kadang-kadang mengetik di ponselnya. Cahaya biru dari layar ponsel menerangi wajahnya yang tengah serius memerhatikan konten.Sesekali, ia melirik ke arah layar ponsel, tertarik dengan apa yang mahasiswanya tengah saksikan. Belum sempat Profesor bertanya apa yang sedang ditonton, muridnya diseret oleh perawat senior hingga tak sempat menyapanya. Untungnya ponsel murid barunya ini tertinggal, sehingga sang Profesor bisa mengintip apa topik yang menarik anak muda masa kini.Layar ponsel masih menyala, menampilkan video di sebuah platform siaran langsung. Profesor itu mengamati beberapa saat, kini benar-benar tertarik dengan kontennya, sehingga ia mulai mencari nama akun Dokter Ajaib di ponselnya sendiri.Sang Profesor tidak bereaksi seperti kebanyakan orang yang mungkin tercengang dengan nama "Dokter Ajaib". Bag
Angga sama sekali tidak tahu apa-apa mengenai diskusi seputar operasi yang tengah dilakukannya ini.Ia mengambil pisau bedah dan meminta sepotong kain iodofor kepada manusia dummy dari Sistem. Setelah menyeka jari tengah kirinya dengan hati-hati, Angga memasukkan jari itu ke dalam sayatan yang sempit. Sementara itu, tangannya yang lain menggenggam erat sebuah scalpel besar.Meskipun penglihatan di bidang bedah kini menjadi nol, Angga tetap fokus pada tugasnya. Melihat gerakan jari-jari Angga yang cekatan hampir tak terlihat, serta tang scalpel yang besar yang melengkung. Para penonton di ruang siaran langsung terdiam pada saat yang bersamaan.Tidak ada yang menyangka bahwa situasi ini akan berubah sebegitu cepat.[Apakah yang aku pikirkan ini benar?][ Apakah Aku bermimpi?][Guru Quack, apakah ini operasi buta yang legendaris?][Adakah yang bisa memberitahuku apa yang sedang terjadi?][Operasinya benar-benar ar
Tanpa menyadari betapa hebohnya penemuan yang telah ia ungkapkan di dunia medis maya, Angga tetap dalam keadaan tidak tahu apa-apa. Baginya, satu-satunya kabar baik adalah bahwa Sistem menyatakan eksperimen penggunaan protein biogel telah berhasil tanpa menimbulkan efek samping berbahaya.Angga, dalam momen tersebut, merasa seperti pahlawan yang berhasil menaklukan musuh. Keberhasilannya mengungkapkan potensi baru dalam penggunaan protein biogel tidak hanya membuatnya bahagia, tetapi juga memberinya rasa bangga. Dia menyadari bahwa jika eksperimennya dilakukan di dunia nyata, itu akan menjadi tindakan yang ilegal dan berbahaya.Namun, System memberinya kesempatan untuk menjelajahi berbagai kemungkinan dengan pasien simulasi. Dalam realitas virtual ini, ia bisa mengasah keterampilan dan eksplorasi yang akan sangat sulit di dunia nyata tanpa membahayakan pasien.Dalam saat-saat seperti ini, Angga merasa bersyukur dan bahagia bahwa ia terpilih oleh Sistem, me
Joshua memandang Angga dengan tatapan tak percaya saat ia bertanya, "Kau tidak bercanda?"Ketika Angga menyadari reaksi Joshua yang bingung, dia dengan serius menggeleng. "Tidak bercanda, Josh. Aku sudah menikah," jawabnya mantap.Joshua memandang Angga dengan raut wajah yang campur aduk, mencoba mencerna informasi tersebut. Matanya memandang layar ponsel Angga yang terangkat, tergantung di udara dengan ketegangan. "Kau... serius?" desis Joshua, mencoba mengenali apakah ini benar.Angga membuka kunci layarnya dan mulai mencari-cari foto akta nikah yang baru saja dikirim Agatha. Kegugupannya memancar dari setiap gerakannya. Setelah beberapa saat, ia menemukan foto tersebut dan menghadapkannya pada Joshua."Begini, Josh," ucap Angga, suaranya menggambarkan kombinasi antara kegembiraan dan kekaguman. "Ini adalah foto akta nikahku. Aku menikahi Agatha, kau juga tahu dia, kan? Siapa sangka, ya?"Joshua memerhatikan foto tersebut dengan ekspres
Angga dan Joshua, dua sahabat dekat, tengah berada dalam momen intim mereka, berdiskusi panjang tentang harapan dan mimpi masing-masing. Ruangan yang mereka tempati terasa hangat, cahaya lembut dari lampu mengisi sudut-sudut, menciptakan atmosfer yang damai. Suara jam dinding di sudut ruangan terdengar monoton, menyadarkan mereka betapa cepatnya waktu berlalu.Tidak terasa, suasana yang penuh semangat ini telah mengantarkan mereka ke larut malam, namun semangat dan semangat bincang-bincang tak pernah surut. Terus mereka ceritakan mimpi dan ambisi mereka, sambil terus memupuk harapan untuk masa depan yang gemilang."Josh, sepertinya sudah larut. Kita harus mengakhiri makan malam ini," tegur Angga sambil memberikan pengingat mengenai waktu."Hmmph, pria yang sudah menikah benar-benar berbeda. Sebelumnya, selalu aku yang menggunakan dialog itu," sindir Joshua sembari mendengus sebagai reaksi atas kata-kata Angga.Lalu, suasana mulai mengendur ketika keduanya tahu waktunya harus berpisah.
Tuan Alan duduk di kursi dekat Billy dengan wajah yang mencerminkan kekhawatiran dan ketidaksetujuan. Rambut putihnya yang berantakan memberikan kesan kelelahan, seolah mencerminkan beban yang diemban oleh lelaki tua tersebut. Dengan tatapan tajam, ia mengamati cucunya yang masih terguncang oleh ledakan emosi.Menghela napas lelah, lelaki tua berambut putih bertanya, "Ada yang salah dengan fokusmu, Nak. Apa urusan operasi ilegal bocah itu dengan pertumbuhan kemampuan bedahmu?"Suara Tuan Alan terdengar lembut, namun terdapat kelelahan yang mendalam di dalamnya. Pertanyaannya mencerminkan kebingungan dan keprihatinan terhadap perasaan Billy yang begitu terpolarisasi terhadap Angga.Walaupun merasa tidak menyenangkan, Tuan Alan tetap mengatakan penilaiannya, "Selalu menyalahkan orang lain membuktikan bahwa kau tidak sehat secara mental, Billy.” Tuan Alan menghisap udara malam dan berkata dengan tenang.Meski Billy tengah terombang-ambing dalam gejolak emosional, kehadiran dan kata-kata
"Apakah kau merasa lebih baik dari Ayahmu atau penanganan bedah yang tidak kompeten, aku tidak akan mengatakan banyak hal. Tapi setidaknya kau tau, kau memang tidak lebih baik dari bocah miskin yang kau ganggu itu."Ketika kata-kata keras dari kakeknya mencapai telinga Billy, suasana hatinya terasa hancur. Dengungan tumpul yang mengiringi pernyataan itu membuatnya merasa seperti terdampar di samudra keputusasaan. Semua ambisi dan tekadnya seakan-akan menguap begitu saja. Perasaan hampa dan keputusasaan merayapi pikirannya, membuatnya meragukan dirinya sendiri.Seperti telah terkena vonis mati, semua ambisi dan tekadnya untuk belajar hampir habis.Dengan bayangan Angga yang semakin menghantuinya, Billy merasa kehilangan semangat dan ambisinya. Apakah selama ini usahanya hanya sia-sia? Apakah benar bahwa dia tak lebih baik dari "bocah miskin" yang kini memenangkan persaingan?Berarti level diriku tidak sebaik Angga, apakah aku akan tetap berkompetisi di masa depan? Bersaing tanpa hasil!
Sebelum berpisah setelah melakukan operasi usus buntu secara simultan, Akademi Ling memberi pesan pada Angga untuk tidak hanya berfokus pada kemampuan bedah. Berulang-ulang Sang Guru mengingatkan akar mempelajari biokimia darah dan ion.Karena beberapa faktor, Angga mengira mungkin karena permasalahan adik Agatha sehingga gurunya lebih perhatian.Tapi ternyata tuntutan Sistem bahkan lebih ekstrem!kini bukan hanya masalah biokimia darah dan ion saja, perubahan hormon dan berbagai reaksi ikut dijejalkan Sistem kepada Angga.Angga merasa aneh, tapi ia yakin Sistem pasti tidak berniat buruk.pada akhirnya lagi-lagi ia terlalu dalam ritme pembelajaran yang akan menembus dimensi baru yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya...........Angga, yang tenggelam dalam fokusnya pada bidang baru, tidak menyadari dampak besar siaran langsungnya. Di seluruh negeri, banyak dokter muda terinspirasi oleh siaran tersebut. Materi pembelajaran yang disajikan begitu komprehensif dan detail, tanpa disadar
Dengan langkah mantap, Angga mengambil pesan antar dengan cermat, memilih koridor jalanan dengan terampil tanpa kendala berarti. Segera setelah dia tiba di apartemen mereka yang nyaman, dia merasakan ketenangan yang akrab dari rutinitas sehari-hari.Namun, saat pintu apartemen terbuka, keheningan yang menenangkan itu terasa agak mencurigakan. Angga meniti langkahnya dengan hati-hati di sepanjang lorong, matanya mencari tanda-tanda keberadaan Agatha. Namun, tidak ditemukan bayangan Agatha. Sekilas, pandangannya tertuju pada sepatu dengan hak 3 inci yang tergeletak dengan anggun di lantai. Sentuhan feminitas yang khas dari sepatu itu tak dapat disangkal. Sebuah bukti yang tak terbantahkan: Agatha telah kembali."Mungkin Agatha sedang mandi atau berganti pakaian?" gumam Angga dengan suara yang hampir terdengar samar di tengah keheningan apartemen yang sepi, membenamkan dirinya dalam spekulasi sederhana. Dengan gerakan ringan dan teratur, Angga menempatkan kantong-kantong dari kotak maka
Suara yang terdengar di telinga Joshua semakin buruk."Hey Angga, kau bukan anjing, berhenti menggigit! Berhenti, ah~"Yang menanggapi teriakan Agatha hanya suara geraman.Di saluran lain, Joshua sudah kembali dari rasa keterkejutannya, kini ia sedang memikirkan Angga yang sedang membuat Agatha kewalahan.Tingkah laku temannya itu sangat kekanakan-kanakan, namun berpikir lebih jauh, sepertinya wajar karena ini pengalaman baru untuknya.Joshua terus membatin, Tapi, apakah awalnya Angga ingin pamer ketika mengirim pesan?Sampai pada kesimpulan ini, Joshua berkeringat dingin. Dengan wajah seperti apa dia akan menghadapi Angga dimasa depan?Setelah jebakan hormon ini berlalu, semuanya akan menjadi canggung.Joshua benar-benar menyesali provokasinya kepada Angga di masa lalu yang menggodanya karena telah melajang sejak lahir. Hal ini mungkin menyebabkan temannya itu sekarang menjelma menjadi seperti remaja impulsif ketika memiliki pasangan. Tidak sabar untuk pamer.Mengusap wajahnya kasar,
"Jika kau menganggap aku melakukan semuanya untuk pertunjukan, akan ku buktikan padamu, disini, tanpa orang lain menonton, sejauh apa aku bisa melakukannya!"Tak terduga, suasana di mobil menjadi tegang ketika Agatha, dengan tangan gemetar, mencoba melepas gesper sabuk pengaman Angga. Sesuatu yang seharusnya menjadi tindakan sederhana berubah menjadi momen yang menyulitkan. Entah bagaimana kejadiannya, tombol buckle yang seharusnya mudah dilepaskan menjadi macet, menghancurkan momen Agatha yang baru saja mendominasi di dalam kendaraan.Gesekan kecil dari gesper sabuk seolah memperbesar ketegangan di dalam mobil. Angga memandang Agatha dengan linglung. Sementara itu, Agatha berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menyelesaikan situasi yang tiba-tiba memalukan ini, tetapi setiap usaha tampaknya hanya membuat gesper semakin terjebak.Dihadapkan dengan mata Angga yang tak fokus dan posisi mereka yang cukup ambigu, Agatha yang ingin menghilangkan rasa malunya, mendapat kilasan inspirasi, "Ang
Tangan Joshua merespons secara refleks, menggeser layar ponselnya untuk membuka kotak pesan. Namun, ekspresi kekecewaan hampir terlontar dari bibirnya ketika ia menemukan bahwa isi pesan hanya berupa elipsis, meninggalkan ketidakpastian yang mengganggu pikirannya.Ada apa dengan Angga?Tanpa ragu, Joshua segera mengetuk ikon telepon dan memulai panggilan. Antisipasi dan keingintahuannya menciptakan kegelisahan di dalam dirinya.Diluar perkiraan, sambungan mati.Sial Angga! Perasaan ketidaknyamanan mulai melandanya, membuatnya tak bisa menyembunyikan kekesalan. Ia merasa Angga dengan sengaja menciptakan rasa penasaran, dan itu membuatnya berpikir berlebihan.Suasana ruang di sekitarnya bertekanan rendah, dan Joshua merenung sejenak sebelum mencoba lagi menghubungi Angga, kali ini dengan sedikit ketidakpastian yang mengiringi kegelisahannya.Dalam tiga kali dering, kali ini panggilannya dijawab. Hatinya berdebar cepat, tetapi ketika suara di seberang saluran terdengar, bukanlah suara Ang
"Menangislah jika kau ingin menangis, sakit hati jangka pendek seperti ini lebih baik daripada berlarut-larut." Joshua memeluk sepupunya yang terduduk di lantai yang dingin. Sentuhan hangatnya mencoba memberikan sedikit kenyamanan di tengah kehampaan emosional yang tengah dirasakan Jessica. Tangisan Jessica semakin terasa sedih, dan kali ini, Joshua memilih untuk tidak membujuk lagi. Ia membiarkan Jessica meluapkan perasaan sedihnya tanpa intervensi lebih lanjut.Wajar jika Jessica sedih. Baru saja memahami perasaannya sendiri, namun ternyata orang yang membuatnya naksir kini telah memiliki istri. Emosi bercampur-baur, dan Jessica merasakan patah hati yang mendalam.Setelah beberapa saat, Jessica menegakkan punggungnya, berusaha berdiri. Dengan langkah yang ragu, ia berjalan pelan ke arah sofa di dekatnya. Duduk di sana, Jessica mulai mengatur napasnya yang tersengal karena naik turunnya emosi yang memenuhi dirinya."Joshua, kau harus memberitahuku. Gadis seperti apa yang bisa menculi
Justin akhirnya diseret Professor Li untuk memahami lebih dalam mengenai pemosisian karir di industri ini. Setiap langkah yang diambil dalam kegelapan ruang kantor Professor Li terasa seperti langkah yang membuka jendela menuju dunia yang lebih luas. Cahaya lembut dari lampu meja menyinari wajah mereka, menciptakan aura serius dan penuh tujuan."Justin, kau harus memperhatikan apa yang dibutuhkan Dokter Ajaib, meskipun dia mungkin bukan yang terbaik karena usia mudanya, akan sangat sulit menemukan orang yang berada di atas levelnya untuk bersedia melakukan operasi siaran langsung. Kau tahu alasannya?" tanya Professor Li dengan penuh minat menantikan jawaban dari CEO muda itu.Ekspresi Justin menjadi lebih bermartabat ketika hal yang menjadi beban pikirannya ini ditanyakan secara lugas, namun ia tidak menghindari pertanyaan tersebut dan menjawabnya, "Karena tidak ada jaminan para ahli tidak melakukan kesalahan. Jika itu disiarkan secara langsung..."Justin menghela napas karena tidak be