Motor yang kami tumpangi terasa melambat. Rasa penasaran membuatku membuka mata karena ingin tahu berada di mana. Samar-samar terlihat berbagai jenis gerobak dan stand makanan berjajar.
Ah, coba aku nggak lagi kaya gini, pasti senang banget bisa makan di situ. Perut sama mataku nggak singkron amat, sih!
"Jadi mau beli makan, nggak?" tanya Andra ketika motor sudah berhenti.
"Aku ngantuk dan pusing banget, Ndra. Aku mau mau pulang aja deh. Nggak jadi beli makannya," sahutku setengah sadar.
Motor pun kembali melaju. Kembali kututup mata yang terasa lengket untuk dibuka karena percaya Andra akan membawaku pulang ke kontrakan.
Tak lama kurasa motor kembali berhenti. Kupaksakan untuk membuka mata dan menyadari jika tempat yang ada di depan mata bukanlah kontrakanku.
"Kita di mana ini, Ndra?" tanyaku.
"Ini di rumah sakit, Nara. Katanya kan kamu pusing, jadi kuantar periksa dulu ke dokter," sahutnya
Aku melengos. Malas melihat wajah tampan tetapi menyebalkan itu. Wajah yang dulu amat kukagumi, tetapi sekarang ingin kulupakan.Sebenarnya apa yang diinginkannya sehingga selalu muncul untuk mengusikku. Mungkin dia merasa belum cukup menggangguku selama ini."Kinara Ailani!" panggilnya lagi.Dia tak ada bosannya memanggil namaku. Ah, bahkan mungkin supirnya juga sudah bosan disuruh membuntutiku setiap hari. Kalau protes diizinkan, mungkin dia juga akan melakukannya."Kenapa masih ada disitu? Cepat pulang!"Enak saja menyuruhku pulang. Sudah seperti bapakku saja. Aku bergeming dan pura-pura tak mendengar perkataannya. Masa bodoh dia mau bilang apa anggap saja angin lalu. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Eh, lewat belakang juga kayanya."Cepat pulang! Jangan keluyuran di jalan!" serunya lagi.Sambil menahan geram kupalingkan wajah dan memasang wajah sinis padanya. "Siapa sih, Bapak ini? In
Kulangkahkan kaki meninggalkan kontrakan Andra. Semuanya terasa hampa kini. Seumur hidup aku baru merasakan dekat dengan seorang laki-laki. Sayangnya kedekatan kami harus berakhir sampai di sini.Kuhentikan angkot lalu menaikinya. Sepi. Penumpangnya hanya aku sendiri. Mungkin karena hari sudah gelap dan karyawan pabrik sudah bubar makanya jarang ada orang di jalanan.Kembali ku teringat akan Andra. Kepulangannya ke kampung menyisakan tanda tanya dalam hatiku. Apa mungkin Andra babak belur ini ada hubungannya dengan Pak Mahendra.Aku masih ragu untuk memvonis Pak Mahendra sebagai pelaku pemukulan itu. Tak ada saksi dan juga bukti. Di kafe si Bos Sinting itu memang hampir saja memukul Andra jika aku tak datang. Terlambat sedikit saja mungkin mereka sudah terlibat perkelahian yang serius.Otakku buntu. Mencoba mengingat-ingat tetapi tak ada ingatan tentang kejadian setelah itu. Aku masih ingat jika Andra sempat berhenti di tem
Melihatku hanya terdiam Pak Mahendra menyunggingkan senyum. Aih, manisnya. Membuat hatiku luluh seketika. Hati yang tadi panas karena emosi seperti disiram air es.Nyes ... mendadak jadi dingin.Sepertinya orang satu ini harus selalu tersenyum agar hatiku selalu adem. Tak butuh kulkas dan juga pendingin udara. Irit listrik jadinya.Sekarang hatiku malah jadi dag dig dug tidak keruan. Demi apa dia malah tak segera menutup mulutnya. Hingga pipinya yang melesung terlihat indah, menambah ketampanannya.Aih, jadi gemes. Jadi pengen gigit meja, ngunyah bangku, dan juga ngemil rak buku. Menyalurkan kegemesanku yang tak ada ujung. Mau gigit dia takut ditolak soalnya."Saya mau minta maaf soal Andra," ucapnya, membuyarkan imajinasiku."Jadi benar, Bapak yang udah bikin Andra babak-belur?""Kamu sudah tahu?" tanyanya sambil kembali tersenyum.Ini orang kesambet apa, ya, kok tumben dari ta
Sudah dua hari dari kejadian itu, Pak Mahendra tak pernah menggangguku lagi. Dia terlihat sibuk dan sering keluar pabrik. Makanya tak sempat menggangguku lagi.Pak Mahendra dan Pak Danuarta--Bos Besar--kabarnya sedang melobi buyer dan juga team audit dari brand ternama internasional, agar mau memberikan proyek pada pabrikku.Satu minggu lagi, team audit dari buyer akan datang. Pak Seno menyuruh team purchasing untuk membereskan semua file dan juga arsip orderan, baik fabric, benang, zipper, kancing, rivet, label, maupun aksesoris lainnya.Semua harus jelas invoicenya dan juga perusahaan yang biasa menjadi supplier-nya. Tak lupa bukti-bukti transfer dengan supplier tersebut harus dicantumkan.Aku, Aura, Ririn, dan juga Andy benar-benar harus bekerja ekstra keras dari biasanya. Harus mengumpulkan dokumen-dokumen selama satu tahun terakhir lalu menyusunnya dalam sebuah report.Tentu saja aku kewalahan karena masa kerjak
Wajahku semakin menghangat, mungkin terlihat memerah. Malu rasanya selalu ketahuan telah berpikir yang tidak-tidak. Pak Mahendra terkikik geli melihat tingkahku. Ingin rasanya menghilang atau bersembunyi di dasar bumi saking malunya."Ini buatmu," kata laki-laki tampan itu sambil menyerahkan paper bag di tangannya."Apa ini, Pak? Bapak nggak ngasih bom, kan?" tuduhku.Aku merasa heran karena dia memberi sesuatu padaku. Biasanya kan dia hanya menjahiliku saja. Wajarlah jika aku jadi curigation."Buka saja," titahnya sambil kembali menghidupkan mobil.Dengan gemetar aku membuka paper bag itu. Takut sesuatu keluar dari sana karena laki-laki tampan itu mengerjaiku. Apa yang ada di sana mulut ini menganga. Cepat-cepat kukeluarkan karena penasaran.Sebuah dress cantik berwarna cream dan berbahan lembut membuatku speechless. Bagus sekali. Pasti harganya mahal. Aku membayangkan, jika memakai baju itu
Pak Mahendra mengacak-acak rambutku dengan ekspresi gemas lalu berjalan menuju mobilnya. Dari belakang kemudi dia melemparkan kiss bye padaku. Tak lama mobil itu pun berlalu.Aku masih berdiri mematung di dekat pagar. Merasa aneh dan juga bingung dengan kejadian yang baru saja kualami.Apa ini bukan hanya sekedar mimpi?Kucubit pipi berkali-kali, ternyata rasanya sakit. Berarti aku tidak mimpi. Ini semua nyata. Jadi memang benar jika Pak Mahendra menyukaiku. Entah sejak kapan. Mungkin saja sejak kejadian terkutuk di Bandung waktu itu.Aku bergegas masuk ke dalam kontrakan lalu membersihkan diri. Melaksanakan kewajiban empat rakaatku lalu bersiap untuk tidur. Namun paper bag yang tadi kuletakkan di dekat jendela terlihat begitu menarik perhatian.Kukeluarkan lagi dress di sana lalu mencoba memakainya sambil mematut diri di depan cermin. Dress dengan model bahu terbuka itu ukurannya begitu pas di tubuhku. P
Sepanjang perjalanan Pak Maman menceritakan tentang kegiatan bosnya. Menurutnya Pak Mahendra sedang menghadiri malam penganugerahan penghargaan sebagai pengusaha muda yang sukses dan menginspirasi. Dalam hati aku ikut merasa bangga atas pencapaian Bos Tampan itu.Menurut supir tersebut, majikannya sudah berada di Bandung semenjak siang karena permintaan meeting dari para pemegang saham pabrik. Kebetulan sekali bertepatan dengan malam penganugerahan tersebut.Tadinya Pak Mahendra hendak menjemputku lebih dulu tetapi ternyata meeting itu berlangsung hingga sore. Akhirnya dia pun meminta Pak Maman yang menjemputku sementara dia menunggu di hotel sambil beristirahat.Setelah satu jam lebih menempuh perjalanan akhirnya mobil yang membawaku berbelok ke sebuah hotel berbintang. Jantungku berdetak semakin cepat saat mobil pun akhirnya berhenti."Kita sudah sampai, Neng," kata Pak Maman sambil membuka seat belt yang mele
Pak Mahendra menggenggam tanganku dan kami berjalan menuju tempat perhelatan yang berada di sisi lain hotel itu. Aku akhirnya mendengar langsung dari bibirnya jika dia akan menerima penghargaan tersebut.Kami melangkah di atas karpet berwarna merah yang terbentang dari pintu masuk ruangan hingga ke panggung. Kilatan blitz kamera menyerbu kami sejak langkah pertama. Pastilah mereka para pemburu berita. Mendadak aku jadi grogi tetapi genggaman tangan Pak Mahendra yang semakin mengerat membantuku untuk tetap tersenyum menghadapi mereka.Akhirnya kami pun duduk di barisan nomor tiga dari depan. Jantungku berdetak riuh mirip bedug yang ditabuh, melihat kemegahan dekorasi dan juga para tamu undangan yang penampilannya terlihat cetar. Untung saja aku sudah dimake-over hingga tak terlihat memalukan.Pukul sembilan malam acara dibuka dengan hiburan dari grub band dan penyanyi ibukota yang diundang. Lalu acara penghargaan pun di mulai. Satu per s
Aku keluar dari kamar mandi dengan membawa testpack yang diberikan oleh dokter. Dokter dan Mas Mahendra menunggu di sofa, kelihatannya sudah akur lagi. Rasanya ingin tertawa waktu melihat mereka berdebat tadi. Sudah seperti Tom dan Jerry saja tingkahnya. Eh, tunggu, kalau mereka Tom dan Jerry, lalu aku siapa? Aih, mendadak amnesia lagi. Apa iya, aku jadi guk-guknya? Oke, skip!"Gimana, Dok? Apa benar istriku hamil?" Pasien barbar itu rupanya penasaran sekali."Selamat, ya. Kamu akan jadi seorang ayah," ucap dokter itu.Reaksi Mas Mahendra benar-benar tak terduga. Dia melonjak-lonjak kegirangan mirip anak kecil yang mendapatkan mainan kesukaannya. Girang bukan main.Aku hanya bisa melongo melihatnya. Baru kali ini aku melihat sisi gila seorang Mahendra Danuarta, yang jika di kantor biasa terlihat dingin, tegas, dan sedikit sinis, tetapi ternyata berbanding terbalik dengan yang saat ini kulihat.
Kami tiba di rumah menjelang petang. Begitu tiba, kami langsung membersihkan diri dan setelah Magrib datang langsung makan malam. Mbok Nah sudah menyiapkan beberapa jenis masakan sebelum pulang. Sebagian masih dalam keadaan hangat, jadi tak perlu dipanaskan lagi.Usai makan malam, kuselonjorkan kaki di sofa depan televisi. Rasanya pegal sekali karena dalam keadaan terikat terus selama disandera oleh si Sapu Lidi.Aih, sepertinya aku harus diberi penghargaan karena kreativitas tanpa batasku dalam menciptakan julukan untuk seseorang.Kurasa julukan itu pas sekali dengan badannya yang tinggi dan langsing seperti lidi. Fix! Sepertinya julukan itu harus dipatenkan!"Mana yang sakit, Sayang?" tanya Mas Mahendra yang baru saja datang dari dapur.Laki-laki berlesung pipi itu baru saja mencuci piring bekas makan kami. Sulit dipercaya, seorang Mahendra Danuarta, Presdir perusahaan garment besar di Purwakarta, mau m
Untuk sejenak aku terpaku saat mengetahui keberadaan kamar dimana aku disekap. Memikirkan bagaimana bisa kabur dari tempat ini tanpa ketahuan. Lubang ventilasi ini terlalu kecil untuk bisa kulalui.Apa iya, aku mesti kabur lewat jendela?Aku bukan Spiderman yang bisa merayap seperti cicak di dinding. Kalau nekat terjun ke bawah, mungkin nanti nyawaku melayang. Yang ada diriku nanti tinggal nama saja dengan embel-embel di depan 'almarhumah'. Hiiy ... ngeri!Walaupun tak mau terus-menerus terperangkap di sini, tetapi aku juga tak bisa berbuat apa-apa lagi. Di dalam tasku ada ponsel tetapi entah di mana perempuan sialan itu menyembunyikannya.Ya sudahlah. Mungkin memang nasibku harus jadi tawanan seperti ini. Aku hanya bisa berdoa semoga saja Mas Mahendra segera memenuhi keinginan perempuan ulat bulu itu agar aku dibebaskan.Dengan segala kepasrahan, aku keluar dari dalam kamar mandi. Rini, si pelayan tadi masih s
"Kukira kamu nggak akan bangun lagi."Sebuah suara yang terdengar tak asing di telinga memaksaku untuk menoleh. Perempuan sialan itu duduk di sofa dengan kedua tangan dilipat di dadanya.Dia berjalan mendekat dengan tatapan sinisnya. Terlihat sekali jika dia tak menyukaiku."Kamu senang, ya, sudah memiliki Mas Mahendra?" sindirnya."Tentu saja aku senang. Dia suami yang baik," sahutku, mencoba memancing emosinya."Aku punya penawaran menarik buatmu," katanya sambil mengempaskan tubuh di ranjang, tak jauh dari tempatku."Apa maumu? Aku tak pernah mengganggumu. Kenapa kamu lakukan ini padaku?""Tak pernah mengganggu, katamu?" Tiba-tiba saja nada bicaranya meninggi. "Kamu sudah merebut Mahendraku. Apa itu namanya bukan menggangguku?"Lidya, perempuan itu pun duduk di tepi ranjang dan menatapku seakan ingin menelanku mentah-mentah."Aku nggak merebutny
Beberapa menit berlalu, dia pun membuka pintu kamar. Dari luar, kamar terlihat remang-remang. Aku membayangkan apa yang akan kami lakukan dalam suasana seperti itu. Pasti dia akan ...."Mau masuk sekarang apa nanti?"Aku mencebik dan membalikkan badan. Kembali menuruni tangga. Kekecewaan jelas terbayang di wajahnya. Namun, aku tak peduli.Bergegas aku masuk ke dalam musala kecil setelah sebelumnya bersuci. Sudah pukul tujuh lewat. Pasti sudah Isya. Kalau tak cepat-cepat ke sini, aku takut kewajiban ini akan terlewat karena melayani laki-laki itu.Tadi subuh saja aku terlewat gara-gara terlalu lelah akibat serangan berkali-kali darinya. Sepertinya malam ini akan jadi malam penuh gairah lagi seperti kemarin malam.Saat ku keluar dari musala, Mas Mahendra terlihat tengah duduk manis di sofa ruang keluarga. Lampu utama sudah dimatikan, tinggal lampu temaram yang menyala. Sudah mirip bioskop saja. Pendar-pendar caha
Dengan alasan mencoba kado dari Andy, akhirnya aku hanya bisa pasrah saat tubuhku dikuasainya. Padahal kami baru saja menempuh perjalanan yang lumayan jauh. Namun, Mas Mahendra seperti tak punya rasa lelah. Dia terus saja bergerak di atas tubuhku. Aku kehilangan kendali, bergerak ke sana ke mari saat laki-laki perkasa itu membawaku meraih puncak kenikmatan. Gerakanku semakin liar seperti ular yang meliuk-liuk dan mendesis. Lalu di satu titik kami berpelukan erat dan mengerang bersamaan. Tubuh berpeluh itu pun terkulai di sampingku. Senyum puas tergambar jelas di wajahnya. Dia menyeka keringat di dahiku dengan jemarinya dan mendaratkan kecupan di sana. "Terima kasih, Sayang," bisiknya di telingaku. Aku hanya bisa menanggapi dengan senyuman. Tubuhku terasa lemas sekali. Sejak semalam dia telah membuatku kelelahan. Ditambah kegiatan pagi yang panas tadi. Lalu sore ini dia kembali beraksi, membuat badanku terasa remuk.&nbs
Dengan alasan mencoba kado dari Andy, akhirnya aku hanya bisa pasrah saat tubuhku dikuasainya. Padahal kami baru saja menempuh perjalanan yang lumayan jauh. Namun, Mas Mahendra seperti tak punya rasa lelah. Dia terus saja bergerak di atas tubuhku. Aku kehilangan kendali, bergerak ke sana ke mari saat laki-laki perkasa itu membawaku meraih puncak kenikmatan. Gerakanku semakin liar seperti ular yang meliuk-liuk dan mendesis. Lalu di satu titik kami berpelukan erat dan mengerang bersamaan. Tubuh berpeluh itu pun terkulai di sampingku. Senyum puas tergambar jelas di wajahnya. Dia menyeka keringat di dahiku dengan jemarinya dan mendaratkan kecupan di sana. "Terima kasih, Sayang," bisiknya di telingaku. Aku hanya bisa menanggapi dengan senyuman. Tubuhku terasa lemas sekali. Sejak semalam dia telah membuatku kelelahan. Ditambah kegiatan pagi yang panas tadi. Lalu sore ini dia kembali beraksi, membuat badanku terasa remuk.
."Mas, punggungmu ini kenapa? Kok ada guratannya?" tanyaku keheranan."Semalam ada macan cantik yang cakarin Mas gara-gara keenakan," sahutnya dengan ekspresi datar."Ah, masa, sih? Memang beneran semalam ada macan? Kok bisa masuk lewat mana? Kita kan di lantai dua?""Macannya ini, nih, yang lagi mandi bareng Mas."Dia mengatakan itu sambil menaik-turunkan alis.Astaga! Suami siapa, sih ini? Bikin geregetan aja!Seketika langsung kulayangkan cubitan di pinggang rampingnya. Cantik-cantik gini kok dibilang macan. Ter-la-lu!"Aduh! Sakit, Sayang!" pekiknya.Tak kupedulikan pekikannya, dengan semangat tetap kulancarkan serangan pada pinggangnya. Misi balas dendam harus dituntaskan.Tiba-tiba saja dia meraih kedua tanganku. Dengan kekuatannya, dia menarik tubuhku. Wajahku pun tinggal berada beberapa centi lagi darinya."Jangan membangunkan macan yang sud
Malam itu, terjadilah apa yang memang seharusnya terjadi. Aku dan Mas Mahendra melayari lautan luas, menyusuri lekuk-lekuk dan semenanjung. Kami terus berlabuh hingga berulang kali, hingga usai dalam satu tarikan napas yang panjang disertai senyuman puas.Semula aku takut jika akan terasa sakit seperti waktu itu. Namun, laki-laki yang tadi pagi menghalalkanku itu begitu pintar mengalihkan rasa takut dan membuatku merasa nyaman.Dia memperlakukanku dengan lembut, lalu perlahan-lahan membawa diri ini terbang ke atas awan. Semua mengalir begitu saja, aku terbuai hingga tak menyadari tiba-tiba saja dia sudah memegang kendali atas tubuhku.Butir-butir peluh membasahi kening, wajah, dan juga rambutnya usai pergumulan kami. Aku masih terengah saat dia memeluk dan mencium keningku. "Terima kasih," lirihnya sambil menutupi tubuh kami dengan selimut. Aku tersenyum dan membenamkan wajah di dada bidangnya yang berbulu tipis. Aku