Home / Pernikahan / Mimpi Buruk di Kamar Adik Ipar / Chapter 2 (Suara Dengkuran di Dekat Ponsel Adik Ipar)

Share

Chapter 2 (Suara Dengkuran di Dekat Ponsel Adik Ipar)

Author: Madam Assili
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

“Mas!” Kupanggil suamiku di muara pintu. Keduanya menoleh secara bersamaan. Masih nampak sisa-sisa air mata di pipi Fara. Dia menatapku sendu. Cih! Pandai sekali dia bersikap rapuh untuk mendapatkan simpati suamiku.

“Kamu akan tidur di kamar ini, Mas?” tanyaku tanpa basa-basi. 

Fara mengalihkan pandangan yang tadinya ke arahku menuju wajah suamiku yang berada di puncak kepalanya. Menjijikkan! Dia terlihat bersikap manja pada kakak kandungnya sendiri. 

‘Ingat umur, Fara … Kamu bukan gadis muda lagi yang masih pantas bersikap manja,' gerutuku di dalam hati. 

“Fara bermimpi buruk lagi, dan aku yang akan menemaninya malam ini,” ucap suamiku yang bagiku terdengar seperti lelucon. 

“Mas." Fara kembali merengek seolah dirinya adalah makhluk yang sangat lemah. Perempuan itu semakin mengeratkan pelukannya di tubuh suamiku.Tubuhnya yang minim pakaian, menempel di dada bidang suamiku. Sungguh aku ingin menguliti perempuan ini hidup-hidup. Mas  Akram pun seolah merasa bahwa sikap adiknya itu wajar. Kurasa mereka benar-benar memiliki gangguan jiwa! Bolehkah jika aku meminta cerai saat ini juga?

“Tapi, Mas. Biar aku yang--" Ucapanku tak kutuntaskan karena Mas Akram buru-buru membungkamku dengan tatapan nyalang. 

“Kamu 'gak dengar kalau adikku bermimpi buruk. Aku akan menemaninya malam ini. Kembali saja ke kamarmu sekarang, biar Fara aku yang urus.”

Kembali suamiku menjatuhkan pandangan ke wajah adiknya lalu mengecup puncak kepala perempuan itu. Persetan atas apa yang terjadi dengan mereka berdua, aku sudah muak dan benar-benar ingin meninggalkan rumah ini sekarang juga. Biarlah dua orang kakak beradik yang mengidap kelainan jiwa ini hidup dengan cara yang mereka inginkan.

Kecewa? Tentu saja! Segunung harapan terindahku membina rumah tangga bersama Mas Akram runtuh atas sikapnya padaku. Rasa cintaku yang  tulus tak berbalas seperti yang aku harapkan. Dengannya aku menggantungkan harapan besar  agar hidup kami  bahagia bersama hingga menua nanti. Membesarkan kemudian melepaskan anak-anak kami untuk belajar  menapaki kehidupan di  setiap sisi dunia. Kuhharap nantinya pada mereka lah terselip  doa-doa untuk aku dan Mas Akram saat hidup kami berakhir terkubur di inti bumi, menjadi penyelamat kami di alam baqa untuk kemudian berkumpul kembali di syurga-Nya kelak. 

Harapanku sepertinya berlebihan. Ingin se-syurga bersama lelakiku itu, tapi di dunia saja dia mengabaikanku dan putra kami yang seharusnya mendapatkan perhatian dari ayahnya.  Lihat saja, Mas! Aku bisa hidup tanpamu. Hanya berdua dengan Zubair, putra semata wayang kami. Kurasa ini adalah keputusan yang tepat. Zubair tak boleh tumbuh dengan menyaksikan kelakuan aneh ayah dan tantenya. Jika tidak, aku khawatir dia akan terpengaruh nantinya di masa mendatang. 

Kulangkahkan kaki menuju ke arah kamar putraku yang berada di samping kamar pribadiku bersama  Mas Akram. Kamar itu dulu milik adik iparku saat Mas Akram belum menikahiku. Perlahan aku memutar knop pintu agar Zubair tak terkejut dengan suara dan pergerakan yang muncul secara tiba-tiba. Sebuah tangan dengan kulit yang mengendur menghentikan putaran knop pintu. 

“Hafsa,” ucap ibu mertua berbisik dengan gelengan kepala yang dia jadikan sebagai sebuah isyarat agar aku urung melakukan apa yang aku niatkan sebelumnya. 

“Ma,” ucapku dengan suara yang bergetar. Runtuh sudah tangisku di hadapan wanita paruh baya di hadapanku ini. Dialah wanita yang kupanggil mama--mama mertua yang berada di pihakku, yang mencintaiku melebihi anak-anaknya sendiri. Beruntung aku memiliki mama mertua sepertinya. Jika tidak, mungkin sudah sejak lama aku meninggalkan kehidupan gila di rumah ini. 

“Mama tahu kamu sedang terluka, tapi bisakah kamu bertahan sebentar saja demi mama, nak?” pinta ibu mertuaku dengan cairan yang  menganak sungai di mata tuanya.

Kupeluk wanita yang begitu aku hormati itu dengan erat. Mungkin saja aku bisa mendapatkan sedikit kekuatan setelah badai besar yang baru saja menghantamku dengan berbagi rasa  bersamanya. Wanita mana yang rela melihat suaminya sendiri bersikap posesif terhadap orang lain meski itu adalah saudari kandungnya sendiri. Apalagi sikap Mas Akram sangat tak wajar sebagai seorang saudara dari perempuan yang dia sebut sebagai adik. 

“Bersabarlah sebentar lagi, Hafsa. Setidaknya jangan pergi meninggalkan mama. Mama mungkin akan gila jika kau dan Zubair meninggalkan mama dan terjebak bersama dua orang aneh itu di rumah ini.” 

Memang ini bukanlah yang pertama kali aku berniat meninggalkan Mas Akram, dan mama lah yang selalu memintaku bertahan untuk tidak meninggalkan rumah ini. Mama memohon agar aku tetap berada di sini demi dia, bukan demi suamiku itu, karena mama pun sadar bahwa tak ada yang bisa kuharapkan dari pria itu. Cinta, kasih sayang, bahkan materi tak dia berikan sesuai hakku sebagai seorang istri. 

Kugenggam kedua tangan mama yang semakin hari terasa semakin kurus, “Ma, bisakah kau pergi saja ikut bersamaku dan Zubair? Kita  mulai kehidupan baru jauh dari mereka.”

Memang permintaanku terdengar mustahil. Bagaimana mungkin aku meminta seorang ibu meninggalkan anak-anak kandungnya, sementara diriku hanyalah seorang menantu--orang baru yang kebetulan singgah sebagai bagian dari keluarga yang sewaktu-waktu bisa saja kembali berubah status sebagai orang asing. 

Dulu, mama mertua tak sebaik seperti sekarang. Di awal pernikahan, beliau kurang menyukaiku. Entah apa alasannya, kurasa beliau hanya sedikit khawatir atas kehadiranku  yang mencuri perhatian anak lelakinya. Padahal tak seperti itu kenyataannya. Keberadaanku tak layak disebut sebagai istri yang dicintai. Bahkan, kerap kali aku mendapatkan sikap dingin dari suamiku sendiri. Bagaimana mungkin aku berhasil merebut seluruh perhatiannya seperti yang dikhawatirkan mama pada saat itu. Seiring waktu beliau sendiri lah yang mencoba mendekatkan diri kepadaku. 

____

“Hafsa sedang mengandung, Fara. Apa ‘gak sebaiknya kamu tunda saja kepergianmu itu. Kalau sewaktu-waktu dia melahirkan sementara Akram ’gak di sini, apa yang akan terjadi?”  Kudengar perdebatan antara mama dan Fara saat Zubair masih berada di dalam kandunganku. Saat itu Mas Akram sedang berada di perjalanan pulang dari perusahaan--tempat di mana dia memimpin usaha, menggantikan posisi ayah mertua sebelum beliau meninggal beberapa tahun yang lalu. Atas permintaan adik iparku, Mas Akram tak menolak untuk menemani perempuan itu menghabiskan akhir pekan di villa milik mendiang ayah mertua di puncak Bogor. Menurut Fara, di tempat yang tak jauh dari villa itu ada pesta pernikahan sahabatnya yang akan berlangsung. Sehingga dia pun memutuskan untuk bertahan sehari setelah pesta pernikahan itu berlangsung, yang artinya Mas Akram dan Fara akan meninggalkanku bersama mama di rumah ini selama kurang lebih dua atau tiga hari. 

Saat itu aku tak menaruh kecurigaan sama sekali. Hanya saja aku sedikit kecewa karena Mas Akram tak mengindahkan permintaanku untuk mempersingkat waktu kepergiannya. Bukan tanpa alasan, selama seminggu belakangan ini aku merasakan kontraksi ringan. Dokter menjelaskan  bahwa yang aku alami ini kemungkinan  hanyalah kontraksi palsu karena menurut pemeriksaan terakhir, posisi kepala janin masih sangat jauh dari jalan lahir. 

“Mas Akram  yang ‘gak bolehin Fara pergi sendirian, makanya Fara minta Mas Akram yang menemani. Lagi ’pula kalau ada apa-apa kan ada sopir. Manja banget 'sih! Semua serba suami. Jadi perempuan itu harus mandiri, lah!” Fara menjawab ucapan ibunya dengan sengit. 

Bukan manja namanya jika seorang istri membutuhkan suaminya sendiri di saat-saat kelahiran putra pertama kami sudah dekat. Justru yang manja itu adalah sikapnya yang begitu bergantung pada kakaknya sementara permintaannya itu tidak begitu mendesak. Bukankah dia adalah perempuan dewasa yang bisa meminta bantuan teman atau sepupu wanitanya yang lain untuk menemani menghadiri acara yang dia maksud. 

Hingga waktu itu tiba. Mereka berdua pergi meninggalkan kami. Meski sikapnya kerap dingin, Mas Akram masih menunjukkan sisi baiknya sebagai seorang suami. Sebelum dia pergi, pria itu berpamitan padaku. Dia berikan kecupan di antara kedua alisku. Kemudian kecupan itu berpindah ke permukaan perutku yang membuncit. 

“Mas! Ayo!” teriak Fara dengan wajah kesal menghentikan perlakuan manis Mas Akram padaku. 

“Maaf … Fara sudah lama menunggu. Mas pergi dulu ya, jangan lupa kabari mas jika terjadi apa-apa.” Barisan kalimat dari mulut  Mas Akram terdengar seperti secercah harapan bagiku bahwa sebenarnya ada cinta darinya untukku dan buah hati kami. Tapi, karena dia adalah satu-satunya pria di keluarga ini, maka aku harus dengan rela membiarkan priaku membagi perhatian pada ibu dan adiknya. Itulah yang selalu aku gaungkan pada diriku sendiri sejak di awal pernikahan, bahwa aku tak boleh egois meski rasa cemburu pun pasti pernah kurasakan. 

Manusia hanya mampu memprediksi, tapi Allah-lah pemegang kuasa sepenuhnya. Tak lama setelah kepergian suami dan adik iparku, kembali kurasakan kontraksi menyerang rahimku. Namun, kali ini tak seperti biasanya. Durasinya cukup lama dan terasa lebih berat. 

Kucoba untuk berpikir positif bahwa hal ini mungkin terjadi hanya karena aku kelelahan. Rasa sakit ini cukup kurasakan sendiri meski sejujurnya aku pun khawatir jika waktu  kelahiran buah hatiku tak sesuai dengan apa yang diprediksikan oleh dokter. Kusibukkan diri ini dengan beristighfar saat rasa sakit itu kembali menyerang. Kukirim pesan pribadi ke akun hijau milik suamiku, tapi sepertinya ponsel milik lelakiku itu sedang tidak aktif. Hingga tengah malam, pesan dariku tak juga dibacanya. Aku hanya mengirimkan pesan singkat menanyakan apakah dia sudah tiba di tujuan. 

Ah, sepertinya nyeri yang kurasakan bukan lagi kontraksi palsu. Feeling-ku mengatakan bahwa saatnya sudah dekat untuk bertemu dengan buah hati kami. 

“Mas,” ucapku getir dengan bulir peluh di wajah. Kuusap perutku dengan lembut, tapi rasa sakit itu justru semakin intens. Aku tak ingin mengganggu tidur mama mertua, karena saat itu malam sudah sangat larut. Aku berharap jika diri ini masih bisa bertahan hingga pagi.  Ragu-ragu kuraih ponselku. Kuputuskan untuk mencoba mengirimkan pesan pada akun suamiku itu sekali lagi. 

Hatiku cukup senang saat melihat pesanku tadi siang ternyata sudah dibaca oleh lelakiku meski dia belum membalasnya. Tak mengapa … Mas Akram mungkin belum sempat. Mungkin dia masih sibuk atau lelah setelah perjalanan dari Jakarta menuju villa milik mendiang ayah mertua di Bogor. Urung kukirimkan pesan, jadi kuputuskan untuk langsung menghubunginya saja melalui sebuah panggilan telepon. Ponselnya berdering, tapi panggilan dariku tak kunjung dia jawab. Hingga panggilan ketiga, terdengar suara di seberang sana. Suamiku menerima panggilanku, dan hal sesederhana itu mampu menerbitkan senyum di wajahku ini. Namun, di detik berikutnya senyum yang tadinya terkembang langsung  memudar digantikan kernyitan di antara kedua alisku. Bukan suara Mas Akram yang menyambut panggilanku, melainkan desahan samar yang saling bersahutan diikuti gemericik air. 

Apa yang terjadi? Apa suamiku tenggelam? Apa dia sedang mandi? Mengapa dia terdengar seperti berada di ruang penuh air tengah malam begini. Bukankah suhu di sana sangat dingin. Apa yang membuatnya memutuskan mandi selarut ini? Berbagai pertanyaan hadir begitu saja di dalam kepalaku bersamaan dengan rasa pening yang hadir tanpa henti. 

“Mas, apa yang kamu lakukan.” Aku meringis memegangi perutku yang bergejolak di dalam sana. Sementara aku belum berhasil berbicara dengan ayah dari janin yang kukandung saat ini. Aku harus memberitahunya bahwa kemungkinan dalam waktu dekat putra kami akan lahir. 

Panggilan telepon diakhiri oleh suamiku. Namun, aku tak ingin menyerah begitu saja. Kuulangi panggilanku untuk kesekian kalinya tapi tak kunjung mendapatkan jawaban. 

Kuabaikan keinginan untuk berbicara dengan suamiku sejenak.  Aku berharap semoga tak ada hal buruk apa pun terjadi padanya, termasuk pikiran burukku bahwa dia kemungkinan tenggelam. Jika itu memang terjadi, tentu Fara akan menghubungi orang rumah. Dengan langkah pendek sambil menahan rasa sakit kuayunkan kakiku menuju toilet, karena desakan di dalam sana membuatkan seolah ingin buang air besar. Namun, nihil … Rasa mulas itu bukan karena aku ingin buang air besar. Aku yakin rasa ini murni berasal dari kontraksi di dalam rahimku. 

Sekembalinya aku ke dalam kamar, kuputuskan untuk menghubungi Mas Akram, berharap kali ini dia akan menjawab panggilan dariku. Benar saja, akhirnya apa yang aku harapkan akhirnya terjadi. Dia menjawab panggilanku. 

“Assalamualaykum, Mas. Sepertinya aku mau melahirkan,” ucapku dengan napas tersengal. Lama tak ada jawaban, hingga beberapa detik terdengar suara serak khas seseorang yang baru saja terbangun dari tidurnya. Suara seorang perempuan yang pastinya  aku kenal.Ya, itu adalah suara Fara--adik iparku. 

“Hubungi besok aja ya, Mbak. Mas Akram baru aja tidur. Tadi tenaganya banyak terkuras.” Ucapan Fara terdengar berbisik, sementara ada suara dengkuran menyertai suara adik iparku. Apa itu suara dengkuran suamiku? Bagaimana bisa? Apakah mereka tidur bersama? Ya Allah! Apa aku sedang berhalusinasi?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mega Saripah
sdh tahu masih lgi bertahan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Mimpi Buruk di Kamar Adik Ipar   Chapter 3 (Rahasia di Villa)

    Malam itu juga aku melahirkan putra kami. Beruntung kami memiliki sopir yang sangat cekatan membantuku dan mama mertua dengan mengantarkan kami ke rumah sakit. Mas Akram datang menampakkan wajah tak bersalahnya di hadapanku tepat setelah tiga hari kelahiran Zubair. Aku pun seolah tak punya tenaga untuk mengajaknya berdebat. Aku masih terlalu lelah setelah melahirkan dengan jalan operasi caesar, karena ternyata air ketubanku sudah benar-benar kering sementara pembukaan pada jalan lahir tak mengalami peningkatan sama sekali. “Maaf,” ucap suamiku saat mata kami saling berserobok. Aku bergeming, tak berminat untuk membahas kejadian malam itu. Suasana hatiku pun sedang tidak baik-baik saja. Aku berusaha agar tidak terserang baby blues seperti yang dikhawatirkan sebagian besar perempuan di dunia ini. Dengan tetap berpikiran positif, kucoba untuk mengendalikan diri ini. “Malam itu mas berenang di villa. Mas baru pulang menemani Fara ke acara pesta pernikahan sahabatnya tepat setelah kam

  • Mimpi Buruk di Kamar Adik Ipar   Chapter 4 (Fara dan Handuk Milikku)

    Apa aku tidak salah dengar? Mereka tidur bersama? Tidur dalam artian sebenarnya atau sesuatu yang tak seharusnya, yang membuatku gusar seperti ini. Mas Akram, apa sebenarnya yang terjadi di antara kalian berdua. Entah apa yang aku alami saat ini, semuanya dirasa tak masuk akal. Bagaimana mungkin Mas Akram memiliki hubungan khusus bersama adiknya kandungnya sendiri. Tapi, mengapa bisa sikap Mas Akram terhadap perempuan itu seolah menyiratkan kedekatan lebih dari sekedar hubungan sedarah. Suara-suara perdebatan mereka tak lagi mampu kudengar, Entah karena aku sudah tak fokus lagi, atau mungkin saat ini mereka sudah pergi. Baiklah, yang utama saat ini adalah pulih dari pasca melahirkanku. Setelah ini aku akan melakukan sesuatu yang semestinya harus kulakukan. Aku tak bisa memutuskan apapun dengan terburu-buru, karena aku tahu bahwa kondisiku tidak memungkinkan untuk melakukan hal itu. Aku masih syok dengan apa yang aku dengar, dan mungkin saja aku hanya salah paham. Mas Akram, mungkin

  • Mimpi Buruk di Kamar Adik Ipar   Chapter 5 (Trauma)

    Hening sesaat karena aku enggan merespon ucapan Mas Akram. Aku terperanjat atas apa yang aku lihat dan yang kudengar. Menilai atas apa yang baru saja terjadi, aku semakin yakin suamiku dan Fara memiliki hubungan yang tak selayaknya.“Hafsa,” ucap Mas Akram dengan wajah menegang. Tatapannya menelisik ke bagian belakang tubuhku seolah mencari sesuatu. Di luar dugaanku, bukannya mas Akram mencoba untuk menjelaskan kepadaku, dia justru bergegas melangkah melewati tubuhku yang berdiri kaku di hadapannya. “Fara … Fara di mana?” tanyanya dengan gusar. Demi Allah, apa yang terjadi pada suamiku? Bukannya merasa bersalah, dia justru mengabaikanku seperti ini dan mengkhawatirkan wanita lain. “Mas!” panggilku dengan suara keras. Mas Akram yang masih berada di ambang pintu tiba-tiba menghentikan langkah, dia urung menuju kamar Fara. “Kok kamu teriak sama suamimu begitu?” ketus Mas Akram tak setuju dengan reaksiku. Memang, selama ini aku selalu bersikap lembut padanya. Hal itu semata-mata kulak

  • Mimpi Buruk di Kamar Adik Ipar   CHAPTER 6 (Kepergian Mas Akram dan Fara ke Bali)

    “Mas, dia mau bunuh aku.” Kulihat tubuh gemetar Fara yang basah dengan keringat dingin. Air mata lalos membasahi kedua pipinya, sementara Mas Akram terlihat panik sambil mendekap perempuan itu. Baiklah, kurasa segala penjelasan Mas Akram beberapa saat yang lalu memang memiliki korelasi dengan apa yang aku saksikan sekarang. Rasa kasihan tumbuh di hati kecil untuk saudari iparku. Namun, bukan berarti aku harus percaya sepenuhnya begitu saja. “Hafsa, bolehkah--” ucap Mas Akram dengan tatapan memohon setelah adik kesayangannya nampak sedikit tenang. Aku tahu apa yang dia maksud. Pasti dia akan menemani Fara tidur lagi hingga esok pagi. Meski aku tak rela, sisi kemanusiaanku masih bersedia untuk memaklumi. “Silakan aja, Mas. Tapi besok kita harus lanjutkan pembicaraan kita,” pintaku sambil membereskan sisa pecahan kaca. Beruntung jendela kamar Fara memiliki sistem security tambahan berupa krey aluminium, sehingga meski kacanya pecah tapi ada alternatif lain untuk menutup jendela. Seb

  • Mimpi Buruk di Kamar Adik Ipar   CHAPTER 7 (Cinta Memang Rumit)

    Aku tak ingin melakukan sesuatu dengan gegabah, meski dadaku sudah dipenuhi oleh rasa amarah yang membuncah. Aku akan bersikap elegan kali ini untuk menghadapi masalah di depan mataku. Jika memang ada sesuatu di antara Mas Akram dan Fara, maka aku tak akan segan-segan membuat mereka membayar segala apa pun yang sudah mereka perbuat di belakangku. Tunggu saja, Mas. Suatu saat kau akan menyesal karena sudah melakukan hal ini kepadaku. “Thanks ya, Via. Mas Akram memang bilang ke gue kalau dia ada meeting bareng adik ipar gue. Kasian juga kalau adiknya itu 'gak ada kegiatan samasekali. Bantu dia ya selama kerja bareng lo,” pintaku pada Via seolah-olah aku tak terganggu samasekali atas kenyataan yang baru saja dikatakan oleh mantan partner kerjaku itu, justru meminta Via untuk bisa membantu Fara dalam pekerjaan. Agar tak kentara, aku mencoba membahas hal-hal lain bersama Via. Daripada gelagatku diketahui olehnya. Aku tak ingin masalah rumah tanggaku terendus banyak orang. Kuakhiri pangg

  • Mimpi Buruk di Kamar Adik Ipar   CHAPTER 8 (Voucher Bulan Madu)

    Tak lama ponselku berdering. Kulihat nama Mas Akram yang tertera di layar. Tanpa berpikir panjang, kuterima panggilannya dengan mengucap salam, seolah semuanya berjalan normal. “Zubair di mana? Mas kangen,” ucapnya. Aku berdecih pelan. Sepertinya ada yang salah dengan Mas Akram, mengapa baru sekarang dia tunjukkan perhatian terhadap putranya. Kemana saja dia dua hari terakhir ini hingga tak punya waktu hanya sekedar berkirim pesan padaku. “Lagi tidur, Mas. Mau lihat?” Ku-tap icon video agar Mas Akram bisa menyaksikan Zubair yang sedang terlelap di sampingku. Namun, dia abaikan saja. Beberapa detik berlalu, sepertinya Mas Akram tidak memiliki topik untuk dibahas. Mengapa hubungan rumah tangga kami terasa kaku seperti ini? Pikiranku terlempar ke masa lalu, saat Mas Akram berusaha mengejarkau saat aku masih menjadi sekretarisnya. Mas Akram selalu membebaniku pekerjaan-pekerjaan yang tak masuk akal sehingga aku harus memutuskan untuk lembur nyaris setiap hari agar aku bisa terus bersa

  • Mimpi Buruk di Kamar Adik Ipar   CHAPTER 9 (Postingan Provokatif)

    Meski ucapan mama mertua sempat mengganggu pikiranku, tapi aku jauh lebih penasaran dengan apa yang sedang dilakukan oleh Mas Akram bersama Fara. Dari mana mereka mendapatkan voucher menginap dalam rangka bulan madu. Apakah mereka mempublikasikan sebagai pasangan suami istri yang baru saja menikah. Tak mungkin, 'kan jika voucher itu didapat begitu saja. Apa Mas Akram sudah kehilangan akal sehat jika hal itu benar dia lakukan. Tak lama, Zubair menggeliat gelisah, rupanya popok putraku itu basah. Fokusku teralihkan sesaat. Kubersihkan tubuh mungil putra kesayanganku dan kuabaikan sejenak masalah yang sedang menerpa rumah tanggaku. Mungkin pikiran ini tak sepenuhnya mampu mengenyahkan kegelisahan yang ada, meski aku sibuk membersihkan Zubair, tapi Mas Akram dan Fara terus berlarian di dalam kepalaku. Ah! Kalian berdua membuatku benar-benar tak bisa tenang barang sejenak. Kususui Zubair yang terlihat lapar setelah sadar dari tidurnya, bersamaan dengan pikiranku yang terus berada di tem

  • Mimpi Buruk di Kamar Adik Ipar   CHAPTER 10 (Bersama Pria Asing)

    “Hafsa, kok diem aja?” Larut dalam pemikiranku sendiri, tanpa sadar kuabaikan ucapan suamiku untuk beberapa saat. Aku mengerjap, “Bukan ‘gak mau, Mas. Tapi kayaknya terlalu mendadak. Aku ’gak punya persiapan apa-apa. Bukannya Mas juga gak lama di sana. Nanti juga kita ketemu di Jakarta, Mas.”Jujur, sebenarnya bukan itu alasannya. Aku masih belum bisa percaya bahwa ajakan Mas Akram murni karena dia memang merindukanku. Bisa saja ini adalah rencananya bersama Farha untuk menyingkirkanku. Tiba-tiba aku bergidik ngeri membayangkan kekejaman yang akan mereka lakukan terhadapku demi memuluskan hubungan mereka. “Mas takut ‘gak bisa ketemu kamu lagi, Sayang. Kamu mau ’kan nyusul mas ke sini?” Ucapan Mas Akram membuatku merasa ada sesuatu yang aneh. Apa seperti ini cara Mas Akram meluluhkanku dengan permohonannya, atau mungkinkah ini sebuah jebakan. “Berangkat aja, Hafsa. Stok asi kamu di lemari pendingin ‘kan masih melimpah. Kalau cuma beberapa hari, ’gak apa-apa Zubair mama yang urus. L

Latest chapter

  • Mimpi Buruk di Kamar Adik Ipar   CHAPTER 49 (Memergoki)

    Lelah, tapi seolah beban besar di dadaku seperti lenyap setelahnya. Aku hanya ingin menetralkan degup jantung dengan memejamkan mata. Namun, sepertinya aku kebablasan. Aku terlelap. Terlalu dalam, hingga saat aku tersadar tak kudapati lagi Hafsaku di sisi tubuh ini. Ah, pasti dia sudah pergi. Bukankah dia sudah meminta izinku tadi. Kupikir dia akan membatalkan janji temu itu. Kuregangkan tubuh dan menyentuh permukaan seprei bekas tubuh istriku. Jika dulu biasanya aku ingin segera mengganti seprei sisa percintaan kami, kali ini aku justru membiarkannya begitu saja. Entah mengapa bahkan bekas keringat istriku saja aku enggan kehilangan. Bagaimana jika aku benar-benar kehilangan sosoknya secara utuh?Hari ini aku bertekad untuk mempertahankan hubungan sakral pernikahan kami. Aku ingin memantaskan diri untuk mendampinginya. Aku tak boleh kehilangan Hafsaku hanya karena kebodohanku sendiri.Tanpa banyak membuang waktu, aku bersegera membersihkan diri. Tujuanku setelah ini adalah menjemput

  • Mimpi Buruk di Kamar Adik Ipar   CHAPTER 48 (Kau Masih Istriku)

    AkramSepekan setelah kematian mama, aku mencoba untuk kembali bangkit. Hari ini adalah hari pertamaku kembali bekerja. Sejak kejadian nahas itu, aku seolah kehilangan semangat hidup. Namun, Hafsa tak henti-hentinya menyemangatiku. Kutanamkan tekad untuk memberi jarak pada Hafsa agar dia sadar bahwa melanjutkan rumah tangga ini bukanlah keputusan bijak baginya. Kupikir inilah yang terbaik. Saat ini kami tinggal di unit apartemen milikku yang lokasinya sedikit lebih jauh dari perusahaan yang kupimpin. Lokasi ini searah dengan kediaman Ustadz Faisal--laki-laki yang entah mengapa membuatku tak suka meski kuakui jika sikapnya begitu santun. Hafsa yang tidak peka atas apa yang aku rasakan justru seolah menabur garam di atas luka. Kedekatannya bersama Ustadz Faisal seakan memperburuk rasa cemburuku. Padahal tadinya aku ingin melepaskan Hafsa demi kebaikannya. Aku bahkan berencana menceraikannya setelah empat puluh hari kematian mama. "Mas, mau ke kantor pagi ini?" Pertanyaan yang sebenar

  • Mimpi Buruk di Kamar Adik Ipar   CHAPTER 47 (Salah Paham)

    "Lo lama banget, abis ngapain aja sih sama Si Bos?" ucap Via memberengut setelah menyerubut sedotan terakhir lemon tea-nya. Aku tak mungkin menceritakan kejadian yang baru saja kualami di rumah. Bagaimana pun juga ini adalah kisah rumah tanggaku yang harus kujaga dari orang luar. Sedikit banyak aku mulai menulusuri link-link sosial media untuk memperdalam agama. Sebagian orang meremehkan caraku yang belajar tanpa duduk langsung di majlis ilmu. Gelar santri online dadakan kerap dijadikan gunjingan dari mereka yang merasa lebih berilmu. Padahal, aku punya alasan untuk itu, yang tentunya tidak menyalahi usahaku akhir-akhir ini. "Lo pernah denger gak hadis riwayat Muslim dan Abu Dawud?" ucapku tersenyum. "Feeling gue, lo bakal ngasih tausiyah buat calon pengantin deh." Via terkekeh sebelum melipat bibirnya ke dalam."Exactly!" seruku sambil terkekeh. "Ya walau pun rumah tangga gue bukan contoh yang baik, setidaknya ucapan gue bisa jadi nasihat buat gue sendiri dan lo yang sebentar la

  • Mimpi Buruk di Kamar Adik Ipar   CHAPTER 46 (Terkuak)

    Aku kembali ke kamar setelah tadi menempatkan Zubair di dalam playfence-nya. Aku beruntung karena putraku bukanlah balita yang rewel dan mudah sekali menyesuaikan keadaan. Rupanya dia tertidur karena kelelahan bermain sendiri. Rasa iba mendera hatiku saat melihat wajah lugunya yang terlelap. Nak, semoga dosa ayahmu tidak diwariskan padamu. Semoga Allah menjagamu, memeliharamu dari kemaksiatan seperti yang sedang dilakukan ayahmu. Kuketikkan pesan pada Via melalui ponselku, "Vi ... Gue ga bisa on time. Zubair ketiduran, gue gak tega langsung bangunin. Tunggu bentar lagi ya. Lo ga papa nunggu 'kan?" Saat itu juga Via yang terlihat online membalas pesanku dengan persetujuannya. Walau hatiku masih bergemuruh, aku masih bisa mengembangkan senyum saat menerima pesan Via dan saat mataku menyorotkan pandangan ke arah Zubair. "Kamu belum berangkat, kan? Zubair tidur, 'kan? Ayo!" Mas Akram tiba-tiba saja muncul, menarik tanganku ke luar kamar dan mambawaku mengikutiya ke dalam kamar milikn

  • Mimpi Buruk di Kamar Adik Ipar   CHAPTER 45 (Rencana Pernikahan)

    "Assalamu'alaykum Via?" ucapku saat tiba-tiba mantan rekan kerjaku menghubungi. Akhir-akhir ini dia kerap menanyakan kabarku dan Zubair. Kurasa tak ada salahnya jika aku memiliki teman dekat, bukan? Apalagi Via selalu memberikan masukan positif padaku. Dia pun mengerti batasan di antara kami. Komunikasi kami tak melulu tentang masalah hidupku karena Via mengerti kapasitasnya sebagai seorang teman yang tak harus tahu segalanya. Aku pun berusaha untuk menghindari menceritakan hal-hal yang terlalu pribadi padanya. "Lo kenapa Sa?" tanyanya di dalam panggilan telepon. "Apaan?" Aku terkekeh, tak ingin Via curiga. Ya, mungkin saja nada suaraku membuatnya sedikit heran. Aku berdehem, " Gue blm sempat minum habis sarapan dan udah buru-buru nerima panggilan dari lo," kilahku lagi. "Napas lo, Sa. Napas lo! Lo habis ngapain sama Pak Bos?" goda Via. Kuembuskan napas dengan menjauhkan wajah dari ponsel, agar Via tak semakin curiga. Jantungku berdenyut perih untuk kesekian kalinya. Andai saja

  • Mimpi Buruk di Kamar Adik Ipar   CHAPTER 44 (Perempuan di Unit Apartemen)

    HafsaDi sinilah kami sekarang, salah satu apartemen mewah milik almarhum papa mertua. Tempat yang sementara ini dapat menaungi kami setelah kejadian nahas yang menimpa rumah utama Mas Akram. Mas Akram pernah mengatakan padaku bahwa dia akan segera membangun kembali hunian di atas tanah yang yang terbakar agar memorinya tentang kedua orang tuanya tetap terjaga.Aku pun menyetujui semua keputusan Mas Akram, meski aku khawatir jika ingatan tentang Fara bisa saja terus menghantui pikitran kami. Namun, akhir-akhir ini Mas akram tak sekali pun membahas tentang wanita itu. Apa dia sudah melupakannya?Kupikir setelah kejadian ini suamiku bisa sedikit berubah sikapnya. Jujur saja aku bisa sangat mudah memaafkan kejadian yang telah berlalu, asalkan Mas Akramku mau berubah dan memulai hubungan kami dari awal dengan kesungguhan untuk berubah. Nyatanya tidak!Dia bahkan meminta kamar terpisah denganku dan Zubair dalam rentang waktu yang tak bisa ditentukan!"Mas ingin menenangkan diri," ucapnya

  • Mimpi Buruk di Kamar Adik Ipar   CHAPTER 43 (Aku Bersumpah!)

    'Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.' (QS. An-Nisa:78)'Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami lah kamu dikembalikan.' (QS. Al-Anbiya:35)Tubuhku luruh ke tanah dengan lutut yang menopang berat badan. Mobil ambulan berlalu dengan sirine yang memekakkan telinga. Jiwa sekarat yang berada di dalam sana sedang menanti keputusan Allah. Apakah masih diberi kesempatan untuk hidup dan bertaubat, atau kah pergi menuju azab Allah dalam kematian yang buruk. "Ma!" teriak Mas Akram di sisi kantong jenzah yang akan dibawa oleh mobil bersirine untuk dilakukan pemeriksaan forensik. Ya, mertuaku lah korban yang tak selamat dalam kejadian ini. Layak kah beliau menjadi korban? Allah Maha Tahu. Aku pu tak mampu menghakimi Fara yang juga memiliki nasib nahas. Apa lagi aku belum mengetahui sedikit pun kronol

  • Mimpi Buruk di Kamar Adik Ipar   CHAPTER 42 (Api Part 3)

    WIDYABang**t!Rupanya Fara tidak kapok dengan ancamanku. Apa dia tidak takut mendekam di penjara jika aku lanjutkan penyelidikan yang tertunda atas kematian Ashraf bersama selingkuhannya itu. "Kamu pikir aku selamanya bod*h? Aku tahu kamu sengaja memanipulasi semuanya! Kamu yang membuat Om Ashraf dan Tante Fenny meregang nyawa--bukan aku!" ucap Fara saat Akram dan Hafsa tak sedang berada di rumah. Baru saja aku menyaksikan adegan menjijikkan antara mantan maduku itu bersama putra semata wayangku. Aku yakin Fara-lah yang membuat Akram tunduk seperti itu. Mana mungkin Akram suka rela menyentuh perempuan kotor itu jika bukan dalam keadaan sadar. Bukankah Akram hanya menganggapnya sebagai adik se-ayah.Mataku membola saat melihat Fara menunjukkan bukti CCTV yang selama ini kusimpan di tempat yang paling aman. Bagaimana dia bisa menemukan benda penting itu. Dia pasti sudah mencurinya. Argh! Seharusnya sejak lama aku memusnahkan benda itu! Pantas saja dia semakin berani menunjukkan perla

  • Mimpi Buruk di Kamar Adik Ipar   CHAPTER 41 (Api Part 2)

    HAFSAPlak!Kudengar suara tamparan keras mendarat di pipi Mas Akram. Dia pikir aku tidak tahu atas apa yang baru saja terjadi. Namun, aku berusaha bersikap seolah-olah tak melihat atau mendengar apa pun. Sebenarnya sejak tadi aku sudah mencurigai sikap suamiku, sehingga kubuntuti dia sampai kejadian itu berlangsung. Memang awalnya bukan salahnya, bahkan aku melihat sendiri saat Mas Akram menghempas paksa tubuh Fara saat perempuan tak tahu diri itu melabuhkan ciu*an di bibir suamiku. Namun, yang membuat hatiku sakit ketika melihat adegan yang terjadi setelahnya. Mas Akram seolah tak mampu menolak pesona perempuan itu. Dia seolah ikut terbawa suasana. Mereka tak menyadari jika mama mertua berada di bakon utama lantai dua setelah menyiram koleksi bunga milik beliau. Kehadiran beliau membuat kejadian itu terhenti. Sakit! Tentu rasa perihtak terbayarkan dengan sendu tangis yang ingin kutumpahkan. Tekad ini sudah bulat untuk pergi dari kehidupan yang penuh dengan kebusukan dan kemunafikan

DMCA.com Protection Status