“Jangan berisik, Hafsa. Mas 'gak mau kalau Fara mendengarkan kita!” ucap suamiku dengan berbisik tapi begitu ketus di indra pendengaranku yang seketika saja membuatku terhenyak. Memangnya apa yang salah dengan suara decitan samar dari tempat tidur yang menjadi saksi bisu percintaan halal kami. Lagi pula kamar Fara jauh berada berseberangan dengan kamar ini, tepatnya terpisah oleh tangga penghubung dari lantai bawah menuju lantai dua, di mana kami berada sekarang. Meski letak kamar kami berada di lantai yang sama, kurasa sangat mustahil jika Fara mendengarnya. Bukankah kamar ini dirancang kedap suara?
Fara adalah adik iparku satu-satunya. Meski dia seorang adik ipar, usianya terpaut empat tahun lebih tua dariku, sementara usiaku dengan Mas Akram-- pria yang menikahiku empat tahun yang lalu itu terpaut enam tahun lebih tua dariku. Entah mengapa aku lebih mengkhawatirkan Fara masuk ke dalam kehidupan rumah tangga kami dibanding wanita-wanita cantik di luaran sana.Sejenak aku mengernyit menatap suamiku. Kurasa tak ada binar bahagia di raut wajahnya saat ini, padahal aktivitas suami istri adalah hal yang begitu menyenangkan bagi setiap pasangan. Mas Akram yang tadinya berada di atas tubuh ini tiba-tiba saja melepaskan diri dan meninggalkanku begitu saja menuju kamar mandi yang terhubung dengan kamar pribadi kami. Sudah pasti dia akan segera membersihkan tubuhnya dan menganggap permainan ini sudah selesai meski menurutku baru saja dimulai.Di usiaku yang sekarang beranjak dua puluh delapan tahun ini, bukankah tak aneh jika aku menginginkan untuk memiliki banyak anak dari pasangan halalku sendiri. Usiaku memang masih sangat memungkinkan untuk mengandung dan melahirkan lagi. Tapi, jika sikap suamiku selalu begini, bagaimana bisa kami memperbanyak keturunan. Dia selalu banyak alasan agar bisa menghindar dari menyentuhku--istri sah yang punya hak atas jiwa dan raganya.Ada luka basah tak kasat mata yang tiba-tiba berdenyut perih di dalam dadaku. Mengapa suamiku bersikap seperti ini dan selalu mengatasnamakan adiknya. Aku merasa seolah terhina sebagai seorang istri yang ditinggalkan, seolah suamiku tak berminat padaku lagi. Jika memang dia tidak menginginkanku, mengapa dulu dia bersikeras untuk menikahiku meski sudah berulang kali kutolak lamarannya.Ini bukan kali pertama terjadi. Tak mampu lagi kuhitung sudah berapa kali aku menghamburkan air mata dengan sia-sia. Bahkan, Mas Akram tak peduli dengan luka yang aku rasakan. Kali ini aku tak ingin lagi terlihat lemah. Seperti biasa, Mas Akram dengan gestur tenangnya keluar dari kamar mandi dan berjalan santai ke arah walk in closet untuk mengenakan piyama tidur. Dia melewatiku begitu saja tanpa menoleh sama sekali. Sesaat aku mengerling saat bayangannya melintas. Aku pun bergegas membersihkan diri meski jika boleh jujur ingin rasanya aku meneriakkan amarah yang menghantam dadaku.Sebelumnya, kupungut pakaian suamiku yang tercecer di lantai yang sudah pasti tidak akan dia kenakan kembali. Dia adalah seorang pria pengidap mysophobia yang mudah jijik dengan hal-hal yang berpotensi kotor, seperti pakaian bekas pakai atau hal-hal yang dia anggap kotor lainnya.Beberapa saat setelahnya, aku keluar dari kamar mandi dengan berpakaian lengkap. Kudapati Mas Akram berdiri di sisi ranjang mengenakan bawahan piyama tanpa atasan yang mengeksplor dada bidang serta bentuk perut ideal dan sangat menarik dari seorang pria dewasa. Pria tampanku ini sungguh memesona dengan segala kelebihan fisik yang dia miliki. Tapi sayang, kesempurnaannya cacat dengan sikap dinginnya padaku, dan semua itu selalu bersumber dari Fara--adik yang terlalu dia manjakan.Mas Akram menghunusku dengan tatapan menghujam seolah memberikan isyarat. Tentu aku tahu apa maksud dari tatapan itu. Mas Akram pastinya tak akan menghabiskan malam untuk tidur di atas ranjang yang tidak diganti seprainya. Terlebih lagi kami baru saja melakukan aktifitas suami istri yang bagiku berakhir menyedihkan. Dia ingin melayangkan protes karena aku belum mengganti seprai yang dia anggap menyisakan bakteri dan bisa dengan mudah menginfeksi tubuhnya.Selama ini kurasa aku sudah mengurusnya dengan baik, menjalankan tugas dan kewajibanku sebagai seorang istri. Bahkan, tak sekalipun aku mengeluh dengan kondisi phobia Mas Akram yang terkadang menyulitkan. Biarlah kali ini aku bersikap seolah tak peduli. Kurebahkan tubuh ini di atas tempat tidur tanpa banyak bicara. Aku pun tak ingin membahas kejadian yang baru saja terjadi, karena nantinya hanya akan diakhiri dengan adegan pertengkaran. Aku terlalu lelah dengan sikapnya selama ini.“Hafsa!” ucapnya dengan intonasi meninggi.“Hussst … Jangan berisik, Mas. Tidur adikmu akan terganggu dengan suaramu itu.” Kuucapkan kalimat itu sebagai balasan dari ucapannya yang menyakitkan beberapa saat yang lalu tanpa menoleh ke arahnya. Cukup masuk akal, bukan?Kudengar Mas Akram mengembuskan napas kasar. Sementara, kugeser posisi tidur dengan memunggungi sisi tubuh suamiku itu. Beberapa saat kudengar langkah kakinya sedikit menjauh. Bukan tak peduli sama sekali, aku pun sebenarnya diam-diam menajamkan pendengaran untuk mengetahui apa yang akan dia lakukan, dan benar saja! Tak lama setelahnya, di sisi ranjangku terasa ada pergerakan. Dapat kurasakan pria itu melesakkan tubuhnya ke atas tempat tidur.Kuubah posisi tidur menghadap langit-langit kamar. Sekilas aku menoleh ke sisi kanan, di mana suamiku merebahkan tubuhnya. Kusadari ada yang berbeda di tempat tidur kami. Mas Akram meletakkan selimut sebagai alas untuk melindungi tubuhnya dari seprai yang tidak kuganti.Entahlah, aku tak pernah tahu apa penyebab dirinya mengidap mysophobia separah ini. Aku tak pernah punya nyali bertanya lebih jauh, karena Mas Akram pastinya menanggapi pertanyaanku dengan wajah masam. Padahal, jika dipikir-pikir apa salahnya memberikan penjelasan tentang masalah yang dia alami. Bukankah posisi seorang istri bisa menjadi sahabat terbaik bagi suaminya? Tapi tidak dengan Mas Akram, dia tidak memosisikan diriku sepenting itu. Aku layaknya dijadikan sekedar pelengkap kehidupannya yang ingin terlihat normal. Seolah kehidupannya tak berbeda dengan pria pada umumnya. Memiliki seorang istri dan anak, cukup membuktikan bahwa kehidupannya tak terlihat timpang.Kuanggap rumah tangga ini tak normal seperti yang terlihat. Bagaimana bisa seorang suami enggan menyentuh istrinya sendiri dalam waktu yang lama, bahkan kasih sayang dan perhatiannya jauh lebih besar terhadap adiknya dibanding aku dan putra kami. Tak kuragukan bahwa Mas Akram sangat mencintai putra kami Zubair. Tapi jika dibandingkan dengan Fara, perhatian Mas Akram terhadap adik iparku itu jauh lebih besar.Getar ponsel suamiku membuyarkan hening yang tercipta di kamar kami. Mas Akram segera mengambil benda pipih itu dengan wajah gusar. Dia bergegas meninggalkan kamar kami sehingga aku pun memutuskan untuk bangkit dan mengejarnya. Kulihat langkah panjang priaku menuju ke kamar adik kesayangannya. Ya Allah, ada apa lagi? Apakah Fara yang menghubungi ponsel suamiku selarut ini. Akan ada drama apa lagi malam ini?Benar saja! Mas Akram memutar gagang pintu dengan kasar dan langsung masuk ke dalam kamar Fara, sementara aku mengikutinya dari belakang dengan pergerakan tak kalah cepat. Sejenak aku terhenyak saat langkahku berhenti di kamar tidur perempuan yang menggenggam hati suamiku itu. Kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri bagaimana Mas Akram dan Fara berada di atas ranjang yang sama, ranjang yang terlihat sangat berantakan. Bukan hanya itu, jelas sekali bagaimana sikap posesif priaku memeluk tubuh yang hanya mengenakan pakaian ‘dinas malam’ yang sepantasnya hanya nampak di hadapan suaminya sendiri. Meski sebagian besar ditutupi selimut, tapi dengan penampilan seperti itu sudah tentu membuat sisi liar lawan jenis akan dengan mudah tersulut.Allah … Tiba-tiba saja aku merasakan kadar oksigen di sekitarku terasa berkurang drastis. Napasku sesak dengan air mata yang begitu cepat menggenang hingga nyaris tumpah. Tubuh menggiurkan perempuan itu memeluk erat suamiku dan membenamkan kepalanya di dada priaku itu. Tempat yang seharusnya hanya akulah yang memiliki. Sementara suamiku sendiri mengecupi puncak kepala adiknya dengan lembut seolah perempuan itu layaknya porselen yang harus diperlakukan dengan penuh kelembutan.“Aku takut, Mas,” ucap Fara dengan isakkan yang kurasa memuakkan di indera pendengaranku. Cepat-cepat aku menoleh sambil mengusap pipi yang basah. Aku tak ingin dua insan yang punya hubungan gila ini menyaksikan kesedihanku kemudian menganggapku sebagai seorang wanita yang lemah dan mudah ditindas.“Stttt … Jangan takut. Mas akan menemanimu malam ini,” jawab suamiku.“Mas akan tidur di sampingku, 'kan?” rengek Fara. Mas Akram mengangguk dengan tersenyum. Sungguh memuakkan!Malam ini dia akan bersama perempuan binal ini. Kurasa kata ‘binal’ pantas disematkan kepadanya. Bagaimana bisa dia mengambil semua perhatian suamiku, bahkan dengan penampilan seperti itu mereka akan tidur bersama sepanjang malam. Oh tidak! Kalian benar-benar membuatku hampir gila.“Mas!” Kupanggil suamiku di muara pintu. Keduanya menoleh secara bersamaan. Masih nampak sisa-sisa air mata di pipi Fara. Dia menatapku sendu. Cih! Pandai sekali dia bersikap rapuh untuk mendapatkan simpati suamiku.“Kamu akan tidur di kamar ini, Mas?” tanyaku tanpa basa-basi. Fara mengalihkan pandangan yang tadinya ke arahku menuju wajah suamiku yang berada di puncak kepalanya. Menjijikkan! Dia terlihat bersikap manja pada kakak kandungnya sendiri. ‘Ingat umur, Fara … Kamu bukan gadis muda lagi yang masih pantas bersikap manja,' gerutuku di dalam hati. “Fara bermimpi buruk lagi, dan aku yang akan menemaninya malam ini,” ucap suamiku yang bagiku terdengar seperti lelucon. “Mas." Fara kembali merengek seolah dirinya adalah makhluk yang sangat lemah. Perempuan itu semakin mengeratkan pelukannya di tubuh suamiku.Tubuhnya yang minim pakaian, menempel di dada bidang suamiku. Sungguh aku ingin menguliti perempuan ini hidup-hidup. Mas Akram pun seolah merasa bahwa sikap adiknya itu waja
Malam itu juga aku melahirkan putra kami. Beruntung kami memiliki sopir yang sangat cekatan membantuku dan mama mertua dengan mengantarkan kami ke rumah sakit. Mas Akram datang menampakkan wajah tak bersalahnya di hadapanku tepat setelah tiga hari kelahiran Zubair. Aku pun seolah tak punya tenaga untuk mengajaknya berdebat. Aku masih terlalu lelah setelah melahirkan dengan jalan operasi caesar, karena ternyata air ketubanku sudah benar-benar kering sementara pembukaan pada jalan lahir tak mengalami peningkatan sama sekali. “Maaf,” ucap suamiku saat mata kami saling berserobok. Aku bergeming, tak berminat untuk membahas kejadian malam itu. Suasana hatiku pun sedang tidak baik-baik saja. Aku berusaha agar tidak terserang baby blues seperti yang dikhawatirkan sebagian besar perempuan di dunia ini. Dengan tetap berpikiran positif, kucoba untuk mengendalikan diri ini. “Malam itu mas berenang di villa. Mas baru pulang menemani Fara ke acara pesta pernikahan sahabatnya tepat setelah kam
Apa aku tidak salah dengar? Mereka tidur bersama? Tidur dalam artian sebenarnya atau sesuatu yang tak seharusnya, yang membuatku gusar seperti ini. Mas Akram, apa sebenarnya yang terjadi di antara kalian berdua. Entah apa yang aku alami saat ini, semuanya dirasa tak masuk akal. Bagaimana mungkin Mas Akram memiliki hubungan khusus bersama adiknya kandungnya sendiri. Tapi, mengapa bisa sikap Mas Akram terhadap perempuan itu seolah menyiratkan kedekatan lebih dari sekedar hubungan sedarah. Suara-suara perdebatan mereka tak lagi mampu kudengar, Entah karena aku sudah tak fokus lagi, atau mungkin saat ini mereka sudah pergi. Baiklah, yang utama saat ini adalah pulih dari pasca melahirkanku. Setelah ini aku akan melakukan sesuatu yang semestinya harus kulakukan. Aku tak bisa memutuskan apapun dengan terburu-buru, karena aku tahu bahwa kondisiku tidak memungkinkan untuk melakukan hal itu. Aku masih syok dengan apa yang aku dengar, dan mungkin saja aku hanya salah paham. Mas Akram, mungkin
Hening sesaat karena aku enggan merespon ucapan Mas Akram. Aku terperanjat atas apa yang aku lihat dan yang kudengar. Menilai atas apa yang baru saja terjadi, aku semakin yakin suamiku dan Fara memiliki hubungan yang tak selayaknya.“Hafsa,” ucap Mas Akram dengan wajah menegang. Tatapannya menelisik ke bagian belakang tubuhku seolah mencari sesuatu. Di luar dugaanku, bukannya mas Akram mencoba untuk menjelaskan kepadaku, dia justru bergegas melangkah melewati tubuhku yang berdiri kaku di hadapannya. “Fara … Fara di mana?” tanyanya dengan gusar. Demi Allah, apa yang terjadi pada suamiku? Bukannya merasa bersalah, dia justru mengabaikanku seperti ini dan mengkhawatirkan wanita lain. “Mas!” panggilku dengan suara keras. Mas Akram yang masih berada di ambang pintu tiba-tiba menghentikan langkah, dia urung menuju kamar Fara. “Kok kamu teriak sama suamimu begitu?” ketus Mas Akram tak setuju dengan reaksiku. Memang, selama ini aku selalu bersikap lembut padanya. Hal itu semata-mata kulak
“Mas, dia mau bunuh aku.” Kulihat tubuh gemetar Fara yang basah dengan keringat dingin. Air mata lalos membasahi kedua pipinya, sementara Mas Akram terlihat panik sambil mendekap perempuan itu. Baiklah, kurasa segala penjelasan Mas Akram beberapa saat yang lalu memang memiliki korelasi dengan apa yang aku saksikan sekarang. Rasa kasihan tumbuh di hati kecil untuk saudari iparku. Namun, bukan berarti aku harus percaya sepenuhnya begitu saja. “Hafsa, bolehkah--” ucap Mas Akram dengan tatapan memohon setelah adik kesayangannya nampak sedikit tenang. Aku tahu apa yang dia maksud. Pasti dia akan menemani Fara tidur lagi hingga esok pagi. Meski aku tak rela, sisi kemanusiaanku masih bersedia untuk memaklumi. “Silakan aja, Mas. Tapi besok kita harus lanjutkan pembicaraan kita,” pintaku sambil membereskan sisa pecahan kaca. Beruntung jendela kamar Fara memiliki sistem security tambahan berupa krey aluminium, sehingga meski kacanya pecah tapi ada alternatif lain untuk menutup jendela. Seb
Aku tak ingin melakukan sesuatu dengan gegabah, meski dadaku sudah dipenuhi oleh rasa amarah yang membuncah. Aku akan bersikap elegan kali ini untuk menghadapi masalah di depan mataku. Jika memang ada sesuatu di antara Mas Akram dan Fara, maka aku tak akan segan-segan membuat mereka membayar segala apa pun yang sudah mereka perbuat di belakangku. Tunggu saja, Mas. Suatu saat kau akan menyesal karena sudah melakukan hal ini kepadaku. “Thanks ya, Via. Mas Akram memang bilang ke gue kalau dia ada meeting bareng adik ipar gue. Kasian juga kalau adiknya itu 'gak ada kegiatan samasekali. Bantu dia ya selama kerja bareng lo,” pintaku pada Via seolah-olah aku tak terganggu samasekali atas kenyataan yang baru saja dikatakan oleh mantan partner kerjaku itu, justru meminta Via untuk bisa membantu Fara dalam pekerjaan. Agar tak kentara, aku mencoba membahas hal-hal lain bersama Via. Daripada gelagatku diketahui olehnya. Aku tak ingin masalah rumah tanggaku terendus banyak orang. Kuakhiri pangg
Tak lama ponselku berdering. Kulihat nama Mas Akram yang tertera di layar. Tanpa berpikir panjang, kuterima panggilannya dengan mengucap salam, seolah semuanya berjalan normal. “Zubair di mana? Mas kangen,” ucapnya. Aku berdecih pelan. Sepertinya ada yang salah dengan Mas Akram, mengapa baru sekarang dia tunjukkan perhatian terhadap putranya. Kemana saja dia dua hari terakhir ini hingga tak punya waktu hanya sekedar berkirim pesan padaku. “Lagi tidur, Mas. Mau lihat?” Ku-tap icon video agar Mas Akram bisa menyaksikan Zubair yang sedang terlelap di sampingku. Namun, dia abaikan saja. Beberapa detik berlalu, sepertinya Mas Akram tidak memiliki topik untuk dibahas. Mengapa hubungan rumah tangga kami terasa kaku seperti ini? Pikiranku terlempar ke masa lalu, saat Mas Akram berusaha mengejarkau saat aku masih menjadi sekretarisnya. Mas Akram selalu membebaniku pekerjaan-pekerjaan yang tak masuk akal sehingga aku harus memutuskan untuk lembur nyaris setiap hari agar aku bisa terus bersa
Meski ucapan mama mertua sempat mengganggu pikiranku, tapi aku jauh lebih penasaran dengan apa yang sedang dilakukan oleh Mas Akram bersama Fara. Dari mana mereka mendapatkan voucher menginap dalam rangka bulan madu. Apakah mereka mempublikasikan sebagai pasangan suami istri yang baru saja menikah. Tak mungkin, 'kan jika voucher itu didapat begitu saja. Apa Mas Akram sudah kehilangan akal sehat jika hal itu benar dia lakukan. Tak lama, Zubair menggeliat gelisah, rupanya popok putraku itu basah. Fokusku teralihkan sesaat. Kubersihkan tubuh mungil putra kesayanganku dan kuabaikan sejenak masalah yang sedang menerpa rumah tanggaku. Mungkin pikiran ini tak sepenuhnya mampu mengenyahkan kegelisahan yang ada, meski aku sibuk membersihkan Zubair, tapi Mas Akram dan Fara terus berlarian di dalam kepalaku. Ah! Kalian berdua membuatku benar-benar tak bisa tenang barang sejenak. Kususui Zubair yang terlihat lapar setelah sadar dari tidurnya, bersamaan dengan pikiranku yang terus berada di tem
Lelah, tapi seolah beban besar di dadaku seperti lenyap setelahnya. Aku hanya ingin menetralkan degup jantung dengan memejamkan mata. Namun, sepertinya aku kebablasan. Aku terlelap. Terlalu dalam, hingga saat aku tersadar tak kudapati lagi Hafsaku di sisi tubuh ini. Ah, pasti dia sudah pergi. Bukankah dia sudah meminta izinku tadi. Kupikir dia akan membatalkan janji temu itu. Kuregangkan tubuh dan menyentuh permukaan seprei bekas tubuh istriku. Jika dulu biasanya aku ingin segera mengganti seprei sisa percintaan kami, kali ini aku justru membiarkannya begitu saja. Entah mengapa bahkan bekas keringat istriku saja aku enggan kehilangan. Bagaimana jika aku benar-benar kehilangan sosoknya secara utuh?Hari ini aku bertekad untuk mempertahankan hubungan sakral pernikahan kami. Aku ingin memantaskan diri untuk mendampinginya. Aku tak boleh kehilangan Hafsaku hanya karena kebodohanku sendiri.Tanpa banyak membuang waktu, aku bersegera membersihkan diri. Tujuanku setelah ini adalah menjemput
AkramSepekan setelah kematian mama, aku mencoba untuk kembali bangkit. Hari ini adalah hari pertamaku kembali bekerja. Sejak kejadian nahas itu, aku seolah kehilangan semangat hidup. Namun, Hafsa tak henti-hentinya menyemangatiku. Kutanamkan tekad untuk memberi jarak pada Hafsa agar dia sadar bahwa melanjutkan rumah tangga ini bukanlah keputusan bijak baginya. Kupikir inilah yang terbaik. Saat ini kami tinggal di unit apartemen milikku yang lokasinya sedikit lebih jauh dari perusahaan yang kupimpin. Lokasi ini searah dengan kediaman Ustadz Faisal--laki-laki yang entah mengapa membuatku tak suka meski kuakui jika sikapnya begitu santun. Hafsa yang tidak peka atas apa yang aku rasakan justru seolah menabur garam di atas luka. Kedekatannya bersama Ustadz Faisal seakan memperburuk rasa cemburuku. Padahal tadinya aku ingin melepaskan Hafsa demi kebaikannya. Aku bahkan berencana menceraikannya setelah empat puluh hari kematian mama. "Mas, mau ke kantor pagi ini?" Pertanyaan yang sebenar
"Lo lama banget, abis ngapain aja sih sama Si Bos?" ucap Via memberengut setelah menyerubut sedotan terakhir lemon tea-nya. Aku tak mungkin menceritakan kejadian yang baru saja kualami di rumah. Bagaimana pun juga ini adalah kisah rumah tanggaku yang harus kujaga dari orang luar. Sedikit banyak aku mulai menulusuri link-link sosial media untuk memperdalam agama. Sebagian orang meremehkan caraku yang belajar tanpa duduk langsung di majlis ilmu. Gelar santri online dadakan kerap dijadikan gunjingan dari mereka yang merasa lebih berilmu. Padahal, aku punya alasan untuk itu, yang tentunya tidak menyalahi usahaku akhir-akhir ini. "Lo pernah denger gak hadis riwayat Muslim dan Abu Dawud?" ucapku tersenyum. "Feeling gue, lo bakal ngasih tausiyah buat calon pengantin deh." Via terkekeh sebelum melipat bibirnya ke dalam."Exactly!" seruku sambil terkekeh. "Ya walau pun rumah tangga gue bukan contoh yang baik, setidaknya ucapan gue bisa jadi nasihat buat gue sendiri dan lo yang sebentar la
Aku kembali ke kamar setelah tadi menempatkan Zubair di dalam playfence-nya. Aku beruntung karena putraku bukanlah balita yang rewel dan mudah sekali menyesuaikan keadaan. Rupanya dia tertidur karena kelelahan bermain sendiri. Rasa iba mendera hatiku saat melihat wajah lugunya yang terlelap. Nak, semoga dosa ayahmu tidak diwariskan padamu. Semoga Allah menjagamu, memeliharamu dari kemaksiatan seperti yang sedang dilakukan ayahmu. Kuketikkan pesan pada Via melalui ponselku, "Vi ... Gue ga bisa on time. Zubair ketiduran, gue gak tega langsung bangunin. Tunggu bentar lagi ya. Lo ga papa nunggu 'kan?" Saat itu juga Via yang terlihat online membalas pesanku dengan persetujuannya. Walau hatiku masih bergemuruh, aku masih bisa mengembangkan senyum saat menerima pesan Via dan saat mataku menyorotkan pandangan ke arah Zubair. "Kamu belum berangkat, kan? Zubair tidur, 'kan? Ayo!" Mas Akram tiba-tiba saja muncul, menarik tanganku ke luar kamar dan mambawaku mengikutiya ke dalam kamar milikn
"Assalamu'alaykum Via?" ucapku saat tiba-tiba mantan rekan kerjaku menghubungi. Akhir-akhir ini dia kerap menanyakan kabarku dan Zubair. Kurasa tak ada salahnya jika aku memiliki teman dekat, bukan? Apalagi Via selalu memberikan masukan positif padaku. Dia pun mengerti batasan di antara kami. Komunikasi kami tak melulu tentang masalah hidupku karena Via mengerti kapasitasnya sebagai seorang teman yang tak harus tahu segalanya. Aku pun berusaha untuk menghindari menceritakan hal-hal yang terlalu pribadi padanya. "Lo kenapa Sa?" tanyanya di dalam panggilan telepon. "Apaan?" Aku terkekeh, tak ingin Via curiga. Ya, mungkin saja nada suaraku membuatnya sedikit heran. Aku berdehem, " Gue blm sempat minum habis sarapan dan udah buru-buru nerima panggilan dari lo," kilahku lagi. "Napas lo, Sa. Napas lo! Lo habis ngapain sama Pak Bos?" goda Via. Kuembuskan napas dengan menjauhkan wajah dari ponsel, agar Via tak semakin curiga. Jantungku berdenyut perih untuk kesekian kalinya. Andai saja
HafsaDi sinilah kami sekarang, salah satu apartemen mewah milik almarhum papa mertua. Tempat yang sementara ini dapat menaungi kami setelah kejadian nahas yang menimpa rumah utama Mas Akram. Mas Akram pernah mengatakan padaku bahwa dia akan segera membangun kembali hunian di atas tanah yang yang terbakar agar memorinya tentang kedua orang tuanya tetap terjaga.Aku pun menyetujui semua keputusan Mas Akram, meski aku khawatir jika ingatan tentang Fara bisa saja terus menghantui pikitran kami. Namun, akhir-akhir ini Mas akram tak sekali pun membahas tentang wanita itu. Apa dia sudah melupakannya?Kupikir setelah kejadian ini suamiku bisa sedikit berubah sikapnya. Jujur saja aku bisa sangat mudah memaafkan kejadian yang telah berlalu, asalkan Mas Akramku mau berubah dan memulai hubungan kami dari awal dengan kesungguhan untuk berubah. Nyatanya tidak!Dia bahkan meminta kamar terpisah denganku dan Zubair dalam rentang waktu yang tak bisa ditentukan!"Mas ingin menenangkan diri," ucapnya
'Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.' (QS. An-Nisa:78)'Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami lah kamu dikembalikan.' (QS. Al-Anbiya:35)Tubuhku luruh ke tanah dengan lutut yang menopang berat badan. Mobil ambulan berlalu dengan sirine yang memekakkan telinga. Jiwa sekarat yang berada di dalam sana sedang menanti keputusan Allah. Apakah masih diberi kesempatan untuk hidup dan bertaubat, atau kah pergi menuju azab Allah dalam kematian yang buruk. "Ma!" teriak Mas Akram di sisi kantong jenzah yang akan dibawa oleh mobil bersirine untuk dilakukan pemeriksaan forensik. Ya, mertuaku lah korban yang tak selamat dalam kejadian ini. Layak kah beliau menjadi korban? Allah Maha Tahu. Aku pu tak mampu menghakimi Fara yang juga memiliki nasib nahas. Apa lagi aku belum mengetahui sedikit pun kronol
WIDYABang**t!Rupanya Fara tidak kapok dengan ancamanku. Apa dia tidak takut mendekam di penjara jika aku lanjutkan penyelidikan yang tertunda atas kematian Ashraf bersama selingkuhannya itu. "Kamu pikir aku selamanya bod*h? Aku tahu kamu sengaja memanipulasi semuanya! Kamu yang membuat Om Ashraf dan Tante Fenny meregang nyawa--bukan aku!" ucap Fara saat Akram dan Hafsa tak sedang berada di rumah. Baru saja aku menyaksikan adegan menjijikkan antara mantan maduku itu bersama putra semata wayangku. Aku yakin Fara-lah yang membuat Akram tunduk seperti itu. Mana mungkin Akram suka rela menyentuh perempuan kotor itu jika bukan dalam keadaan sadar. Bukankah Akram hanya menganggapnya sebagai adik se-ayah.Mataku membola saat melihat Fara menunjukkan bukti CCTV yang selama ini kusimpan di tempat yang paling aman. Bagaimana dia bisa menemukan benda penting itu. Dia pasti sudah mencurinya. Argh! Seharusnya sejak lama aku memusnahkan benda itu! Pantas saja dia semakin berani menunjukkan perla
HAFSAPlak!Kudengar suara tamparan keras mendarat di pipi Mas Akram. Dia pikir aku tidak tahu atas apa yang baru saja terjadi. Namun, aku berusaha bersikap seolah-olah tak melihat atau mendengar apa pun. Sebenarnya sejak tadi aku sudah mencurigai sikap suamiku, sehingga kubuntuti dia sampai kejadian itu berlangsung. Memang awalnya bukan salahnya, bahkan aku melihat sendiri saat Mas Akram menghempas paksa tubuh Fara saat perempuan tak tahu diri itu melabuhkan ciu*an di bibir suamiku. Namun, yang membuat hatiku sakit ketika melihat adegan yang terjadi setelahnya. Mas Akram seolah tak mampu menolak pesona perempuan itu. Dia seolah ikut terbawa suasana. Mereka tak menyadari jika mama mertua berada di bakon utama lantai dua setelah menyiram koleksi bunga milik beliau. Kehadiran beliau membuat kejadian itu terhenti. Sakit! Tentu rasa perihtak terbayarkan dengan sendu tangis yang ingin kutumpahkan. Tekad ini sudah bulat untuk pergi dari kehidupan yang penuh dengan kebusukan dan kemunafikan