Vaginismus adalah salah satu kondisi yang harus ditangani dengan terapi medis dan non medis secara bersamaan. Kondisi ini muncul dengan berbagai faktor pemicu (multifaktorial), di antaranya adalah stres fisik dan stres emosional, bahkan bisa keduanya. Bisa di-googling ya Readers. Banyak artikel kesehatan yang menjelaskan tentang hal ini. Semoga bermanfaat ^^ ____ Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Dia Menurunkan Penawarnya. (Hadits Riwayat Bukhari) ____ Bisa jadi penyakit yang diberikan oleh Allah kepada kita adalah bentuk azab dan teguran, bisa pula bertujuan untuk menggugurkan dosa-dosa (pembersihan dosa). Menurut kalian, kasusnya Fara ini bentuk azab atau pembersihan dosa dari Allah? ^^
Antara senang dan ragu, aku memilih untuk menjaga jarak dari Om Ashraf. Berhari-hari aku mengabaikannya. Dia bahkan berulang kali menungguku di teras kontrakan mewah yang belakangan ini menjadi tempat tinggalku. "Fara, sebentar saja temui saya. Mengapa kamu menghindari saya, Sayang." Om Ashraf berulang kali mengirim pesan serupa ke ponsel milikku. Sekian lama kuabaikan, akhirnya kuputuskan untuk menemuinya. Kubukakan pintu dan kubiarkan dia masuk. Secercah senyum tampan Om Ashraf menyambutku. Namun, entah perasaanku saja atau mungkin memang Om Ashraf tak terlihat setampan dulu. Jujur saja selama aku mengabaikannya, aku terus memikirkan Akram. Laki-laki belum matang berusia hampir dua puluh tahun yang memiliki kemiripan seperti Om Ashraf. "Kamu sakit? Kok gak mau ketemu saya?" tanya Om Ashraf. Dia menciumku tanpa menunggu persetujuan dariku. Tak ada lagi debar yang kurasa seperti dulu, saat bibir kami saling memagut dan mencecapi nikmatnya percintaan. Ya, aku sempat mengakui bahwa
Plak! Pipiku memanas saat mengunjungi kandang anak-anak peliharaan Mami. Malas rasanya kembali ke tempat palac*ran murahan ini. Aku hanya ingin mengambil beberapa barangku yang masih tertinggal dan kembali ke kontrakan yang kutinggali akhir-akhir ini. Sementara aku menolak untuk tinggal di penthouse milikku yang masih atas nama Tante Fenny. Huh! Menyebalkan sekali! Bagaimana mungkin Om Ashraf pernah berniat ingin menikahi pelac** tua itu, dan baru saja dia menamparku dengan bringas. "Dasar setan kecil! Lo rebut pacar gue! Mati lo!!! Dia menampar dan menjambak rambutku seperti kesetanan. Beruntung ada Mami yang melerai, karena anak-anak peliharaan Mami yang lain tak ada yang berani mendekat u tuk memisahkan kami. Tante Fenny adalah orang nomor dua disegani di tempat ini, itulah alasannya. "Lo yang setan! Binatang lo! Pelac** tua murahan! Aku tak kalah mengeluarkan sumpah serapah. Sepertinya Tante Fenny benar-benar marah padaku setelah mendengar aku dan Om Ashraf telah berganti st
"Fara?" ucap Akram saat melihat kehadiranku. Ingin rasanya aku ber-euforia saat melihat keantusiasan wajah tampan laki-laki incaranku ini saat menyambutku di rumahnya yang sangat mewah. Dulu--saat aku baru mengenal Akram, aku pernah mengatakan padanya bahwa aku sangat ingin tinggal di rumahnya yang mewah, dan sekarang seolah keberuntungan berpihak kepadaku, akhirnya aku masuk sebagai anggota keluarga di rumah ini. Selama ini aku tak menyangka bahwa rumah yang ditempati oleh Akram dan keluarganya lebih pantas disebut istana dunia modern. Wah! Termyata suamiku kaya sekali. Aku memang pernah mengutus seorang tukang kebun untuk memasang jimat di rumah ini, tapi aku tak sekali pun pernah bertanya padanya semewah apa kediaman target guna-gunaku. Aku menelisik ke sekitar rumah yang mampu kujangkau dengan pandangan, di manakah tukang kebun itu meletakkan jimat pemberianku? "Fara adalah adikmu dari kesalahan Papa di masa lalu, Akram. Maafkan Papa." Suamiku mulai berakting di samping tubuh
Beginikah rasanya perasaan seorang istri yang dikhianati oleh suaminya? Meski aku yakin bahwa perasaanku kepada suamiku tak sedalam itu, tapi tetap saja perih ini tak terelakkan. Dia telah mengkhianatiku dan tidur bersama perempuan lain. Sepasang manusia laknat itu terkejut atas kehadiranku. Om Ashraf refleks menutupi tubuhnya dengan selimut, sementara Tante Fenny bangkit dan berlari ke kamar mandi. "Fara, ini tidak seperti yang kamu bayangkan," ucap Om Ashraf. Tentu saja! Karena ini memang bukan sekedar bayanganku semata, melainkan kenyataan. Sesak di dada menghantarkan aliran panas yang jatuh di pipiku. What? Apakah aku menangis karena seorang pria? Tidak! Ini adalah tangis kebencian. Aku bersumpah akan membalas semuanya. Pantang bagi seorang Fara mendapatkan penghinaan seperti ini. Kuusap kasar air mata yang jatuh di pipi. Di saat bersamaan Tante Fenny keluar dari kamar mandi dengan mengenakan lingerie yang bagiku bukan hal tabu untuk melihat pemendangan seperti itu. Aku tahu pe
Seperti yang seharusnya terjadi, tak ada seorang pun yang mampu mencegah kedekatanku bersama Akram, termasuk Om Ashraf sendiri. Bahkan, suamiku itu sekarang harus menelan pil pahit bahwa alat tempurnya tak lagi berfungsi untuk dia gunakan pada wanita lain selain diriku. Efek guna-guna ini sangat luar biasa. Siapa sangka seorang pria tampan dengan pesona yang luar biasa kini hanyalah pria loyo yang kehilangan keperkasaan, kecuali bersamaku. 'Kau tidak bisa mengkhianatiku lagi, Om!' ucapku dalam hati.Aku tersenyum sinis melihat kemesraan yang dia berikan pada Mama Widya, sementara aku menikmati kebersamaanku bersama Akram. Sesekali Om Ashraf melirikku dari kejauhan. Aku tahu dia cemburu. Biarlah, toh aku tidak pernah terang-terangan mengatakan bahwa aku menyukai putra semata wayangnya. Meski demikian, aku masih bisa menjaga sikap. Aku tak ingin jika tindakanku terlihat terlalu kentara ingin mendekati Akram. Dia adalah laki-laki yang kucintai, dia juga seorang calon pewaris tunggal dar
POV Hafsa "Mas--" Lirih kuucapkan memanggil suamiku yang terbaring lemah di atas ranjang kami. Dia tidak mendengarku sama sekali. Besar inginku untuk segera menghampirinya. Namun, bukan hanya dia yang berada di atas peraduan kami, melainkan juga wanita lain yang menjadi sumber kerusakan rumah tangga kami. Siapa lagi jika buka Fara--adik kesayangan dari suamiku. Entah aku harus bereaksi seperti apa, hati ini begitu perih melihat pemandangan yang tak mengenakkan mata. Apalagi aku baru saja mendengar berita miring tentang mereka dari mantan rekan kerjaku tadi. Sekarang mereka justru memamerkan kemesraan di hadapanku. Fara begitu telaten menyuapi Mas Akram. Suamiku itu pun menikmati perlakuannya sambil menggenggam tangan Fara. Mereka lebih terlihat seperti pasangan yang romantis. Ah, mengapa tangan mereka saling menggenggam seperti itu, seolah mereka berdua bersama-sama meremas jantungku yang kian lama kian perih. "Udah," ucap suamiku sambil tersenyum tipis dengan suara yang lemah, seme
Mas Akram menunjukkan sikap seperti bukanlah dirinya. Dia meraung, menjerit dan menggelepar seperti makhluk air yang terdampar di daratan, sementara Fara di sisinya terlihat sangat panik. "Mas, kamu kenapa, Mas? Ini aku Fara. Mas Akram ..." ucapnya mencoba untuk menyadarkan suamiku yang masih menggelepar. Aku pun meraih kedua kaki Mas Akram yang terasa dingin, tapi basah oleh keringat. Sentuhanku membuat Mas Akram menendang-nendangkan kakinya ke udara seolah mencoba untuk melepaskan diri dariku. Padahal aku hanya menyentuh--tidak lebih dari itu. "Pergi! Kamu 'gak sadar kalau dia 'gak suka kamu sentuh," bentak Fara padaku. Kesal! Tentu saja. Aku adalah istri sah Mas Akram. Aku lah wanita yang pernah menyentuh suamiku luar dalam. Tapi sikap Fara menunjukkan bahwa seolah-olah dirinya lah yang berhak menyentuh suamiku. Pelukan itu, sungguh membuatku semakin terbakar. Namun, aku bisa berbuat apa? Suamiku sendiri bahkan seolah menolakku, tapi justru membebaskan Fara menyentuhnya dem
Cukup lama Fara memelas di luar kamar, sementara Mas Akram terus terusan memanggilnya. Aku pun tetap membaca surah-surah syifa' sambil mengaktifkan ponselku dan berbalas pesan dengan Via. Kukirimkan pesan berulang kali ke ponsel mama mertua. Jujur saja aku kepikiran dengan putraku yang sejak tadi kuabaikan. Aku tak punya pilihan lain selain tetap berada di ruanganan ini. "Apa gue perlu nyamperin rumah lo?" tanya Via padaku. Dia pun mengkhawatirkan keselamatanku. Dia takut jika Mas Akram mengamuk karena aku mengunci diri bersamanya, atau kenekatan Fara yang bisa saja terjadi. Di saat yang bersamaan mama mertuaku mengirim pesan ke ponselku, "Mama bawa Zubair berobat ke ustadz, anak kamu rewel banget, Hafsa. Nanti mama jelaskan di rumah, mama gak lama, kok. Pantau terus suamimu. Kalau ada apa-apa kabarin mama ya," ucap mama mertuaku memberi wejangan. Aku sedikit lega meski rasa panik itu belum sepenuhnya hilang. Tangisan Fara yang pilu masih terdengar di depan pintu, tangisan yang m
Lelah, tapi seolah beban besar di dadaku seperti lenyap setelahnya. Aku hanya ingin menetralkan degup jantung dengan memejamkan mata. Namun, sepertinya aku kebablasan. Aku terlelap. Terlalu dalam, hingga saat aku tersadar tak kudapati lagi Hafsaku di sisi tubuh ini. Ah, pasti dia sudah pergi. Bukankah dia sudah meminta izinku tadi. Kupikir dia akan membatalkan janji temu itu. Kuregangkan tubuh dan menyentuh permukaan seprei bekas tubuh istriku. Jika dulu biasanya aku ingin segera mengganti seprei sisa percintaan kami, kali ini aku justru membiarkannya begitu saja. Entah mengapa bahkan bekas keringat istriku saja aku enggan kehilangan. Bagaimana jika aku benar-benar kehilangan sosoknya secara utuh?Hari ini aku bertekad untuk mempertahankan hubungan sakral pernikahan kami. Aku ingin memantaskan diri untuk mendampinginya. Aku tak boleh kehilangan Hafsaku hanya karena kebodohanku sendiri.Tanpa banyak membuang waktu, aku bersegera membersihkan diri. Tujuanku setelah ini adalah menjemput
AkramSepekan setelah kematian mama, aku mencoba untuk kembali bangkit. Hari ini adalah hari pertamaku kembali bekerja. Sejak kejadian nahas itu, aku seolah kehilangan semangat hidup. Namun, Hafsa tak henti-hentinya menyemangatiku. Kutanamkan tekad untuk memberi jarak pada Hafsa agar dia sadar bahwa melanjutkan rumah tangga ini bukanlah keputusan bijak baginya. Kupikir inilah yang terbaik. Saat ini kami tinggal di unit apartemen milikku yang lokasinya sedikit lebih jauh dari perusahaan yang kupimpin. Lokasi ini searah dengan kediaman Ustadz Faisal--laki-laki yang entah mengapa membuatku tak suka meski kuakui jika sikapnya begitu santun. Hafsa yang tidak peka atas apa yang aku rasakan justru seolah menabur garam di atas luka. Kedekatannya bersama Ustadz Faisal seakan memperburuk rasa cemburuku. Padahal tadinya aku ingin melepaskan Hafsa demi kebaikannya. Aku bahkan berencana menceraikannya setelah empat puluh hari kematian mama. "Mas, mau ke kantor pagi ini?" Pertanyaan yang sebenar
"Lo lama banget, abis ngapain aja sih sama Si Bos?" ucap Via memberengut setelah menyerubut sedotan terakhir lemon tea-nya. Aku tak mungkin menceritakan kejadian yang baru saja kualami di rumah. Bagaimana pun juga ini adalah kisah rumah tanggaku yang harus kujaga dari orang luar. Sedikit banyak aku mulai menulusuri link-link sosial media untuk memperdalam agama. Sebagian orang meremehkan caraku yang belajar tanpa duduk langsung di majlis ilmu. Gelar santri online dadakan kerap dijadikan gunjingan dari mereka yang merasa lebih berilmu. Padahal, aku punya alasan untuk itu, yang tentunya tidak menyalahi usahaku akhir-akhir ini. "Lo pernah denger gak hadis riwayat Muslim dan Abu Dawud?" ucapku tersenyum. "Feeling gue, lo bakal ngasih tausiyah buat calon pengantin deh." Via terkekeh sebelum melipat bibirnya ke dalam."Exactly!" seruku sambil terkekeh. "Ya walau pun rumah tangga gue bukan contoh yang baik, setidaknya ucapan gue bisa jadi nasihat buat gue sendiri dan lo yang sebentar la
Aku kembali ke kamar setelah tadi menempatkan Zubair di dalam playfence-nya. Aku beruntung karena putraku bukanlah balita yang rewel dan mudah sekali menyesuaikan keadaan. Rupanya dia tertidur karena kelelahan bermain sendiri. Rasa iba mendera hatiku saat melihat wajah lugunya yang terlelap. Nak, semoga dosa ayahmu tidak diwariskan padamu. Semoga Allah menjagamu, memeliharamu dari kemaksiatan seperti yang sedang dilakukan ayahmu. Kuketikkan pesan pada Via melalui ponselku, "Vi ... Gue ga bisa on time. Zubair ketiduran, gue gak tega langsung bangunin. Tunggu bentar lagi ya. Lo ga papa nunggu 'kan?" Saat itu juga Via yang terlihat online membalas pesanku dengan persetujuannya. Walau hatiku masih bergemuruh, aku masih bisa mengembangkan senyum saat menerima pesan Via dan saat mataku menyorotkan pandangan ke arah Zubair. "Kamu belum berangkat, kan? Zubair tidur, 'kan? Ayo!" Mas Akram tiba-tiba saja muncul, menarik tanganku ke luar kamar dan mambawaku mengikutiya ke dalam kamar milikn
"Assalamu'alaykum Via?" ucapku saat tiba-tiba mantan rekan kerjaku menghubungi. Akhir-akhir ini dia kerap menanyakan kabarku dan Zubair. Kurasa tak ada salahnya jika aku memiliki teman dekat, bukan? Apalagi Via selalu memberikan masukan positif padaku. Dia pun mengerti batasan di antara kami. Komunikasi kami tak melulu tentang masalah hidupku karena Via mengerti kapasitasnya sebagai seorang teman yang tak harus tahu segalanya. Aku pun berusaha untuk menghindari menceritakan hal-hal yang terlalu pribadi padanya. "Lo kenapa Sa?" tanyanya di dalam panggilan telepon. "Apaan?" Aku terkekeh, tak ingin Via curiga. Ya, mungkin saja nada suaraku membuatnya sedikit heran. Aku berdehem, " Gue blm sempat minum habis sarapan dan udah buru-buru nerima panggilan dari lo," kilahku lagi. "Napas lo, Sa. Napas lo! Lo habis ngapain sama Pak Bos?" goda Via. Kuembuskan napas dengan menjauhkan wajah dari ponsel, agar Via tak semakin curiga. Jantungku berdenyut perih untuk kesekian kalinya. Andai saja
HafsaDi sinilah kami sekarang, salah satu apartemen mewah milik almarhum papa mertua. Tempat yang sementara ini dapat menaungi kami setelah kejadian nahas yang menimpa rumah utama Mas Akram. Mas Akram pernah mengatakan padaku bahwa dia akan segera membangun kembali hunian di atas tanah yang yang terbakar agar memorinya tentang kedua orang tuanya tetap terjaga.Aku pun menyetujui semua keputusan Mas Akram, meski aku khawatir jika ingatan tentang Fara bisa saja terus menghantui pikitran kami. Namun, akhir-akhir ini Mas akram tak sekali pun membahas tentang wanita itu. Apa dia sudah melupakannya?Kupikir setelah kejadian ini suamiku bisa sedikit berubah sikapnya. Jujur saja aku bisa sangat mudah memaafkan kejadian yang telah berlalu, asalkan Mas Akramku mau berubah dan memulai hubungan kami dari awal dengan kesungguhan untuk berubah. Nyatanya tidak!Dia bahkan meminta kamar terpisah denganku dan Zubair dalam rentang waktu yang tak bisa ditentukan!"Mas ingin menenangkan diri," ucapnya
'Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.' (QS. An-Nisa:78)'Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami lah kamu dikembalikan.' (QS. Al-Anbiya:35)Tubuhku luruh ke tanah dengan lutut yang menopang berat badan. Mobil ambulan berlalu dengan sirine yang memekakkan telinga. Jiwa sekarat yang berada di dalam sana sedang menanti keputusan Allah. Apakah masih diberi kesempatan untuk hidup dan bertaubat, atau kah pergi menuju azab Allah dalam kematian yang buruk. "Ma!" teriak Mas Akram di sisi kantong jenzah yang akan dibawa oleh mobil bersirine untuk dilakukan pemeriksaan forensik. Ya, mertuaku lah korban yang tak selamat dalam kejadian ini. Layak kah beliau menjadi korban? Allah Maha Tahu. Aku pu tak mampu menghakimi Fara yang juga memiliki nasib nahas. Apa lagi aku belum mengetahui sedikit pun kronol
WIDYABang**t!Rupanya Fara tidak kapok dengan ancamanku. Apa dia tidak takut mendekam di penjara jika aku lanjutkan penyelidikan yang tertunda atas kematian Ashraf bersama selingkuhannya itu. "Kamu pikir aku selamanya bod*h? Aku tahu kamu sengaja memanipulasi semuanya! Kamu yang membuat Om Ashraf dan Tante Fenny meregang nyawa--bukan aku!" ucap Fara saat Akram dan Hafsa tak sedang berada di rumah. Baru saja aku menyaksikan adegan menjijikkan antara mantan maduku itu bersama putra semata wayangku. Aku yakin Fara-lah yang membuat Akram tunduk seperti itu. Mana mungkin Akram suka rela menyentuh perempuan kotor itu jika bukan dalam keadaan sadar. Bukankah Akram hanya menganggapnya sebagai adik se-ayah.Mataku membola saat melihat Fara menunjukkan bukti CCTV yang selama ini kusimpan di tempat yang paling aman. Bagaimana dia bisa menemukan benda penting itu. Dia pasti sudah mencurinya. Argh! Seharusnya sejak lama aku memusnahkan benda itu! Pantas saja dia semakin berani menunjukkan perla
HAFSAPlak!Kudengar suara tamparan keras mendarat di pipi Mas Akram. Dia pikir aku tidak tahu atas apa yang baru saja terjadi. Namun, aku berusaha bersikap seolah-olah tak melihat atau mendengar apa pun. Sebenarnya sejak tadi aku sudah mencurigai sikap suamiku, sehingga kubuntuti dia sampai kejadian itu berlangsung. Memang awalnya bukan salahnya, bahkan aku melihat sendiri saat Mas Akram menghempas paksa tubuh Fara saat perempuan tak tahu diri itu melabuhkan ciu*an di bibir suamiku. Namun, yang membuat hatiku sakit ketika melihat adegan yang terjadi setelahnya. Mas Akram seolah tak mampu menolak pesona perempuan itu. Dia seolah ikut terbawa suasana. Mereka tak menyadari jika mama mertua berada di bakon utama lantai dua setelah menyiram koleksi bunga milik beliau. Kehadiran beliau membuat kejadian itu terhenti. Sakit! Tentu rasa perihtak terbayarkan dengan sendu tangis yang ingin kutumpahkan. Tekad ini sudah bulat untuk pergi dari kehidupan yang penuh dengan kebusukan dan kemunafikan