"Terima kasih," bisikku sambil menghela napas lega.Anak buah Tavon mulai merapikan kekacauan di ruangan itu. Namun, pertama-tama, mereka menyingkirkan jenazah Dylan. Aku melihat dengan tatapan kosong saat tubuh tak bernyawa itu diseret melintasi lantai, meninggalkan jejak darah di belakangnya.Sebagian kecil dari diriku merasa kasihan karena dia menjemput ajalnya dengan cara yang begitu brutal. Namun, aku segera menepis perasaan itu. Ini semua adalah akibat dari perbuatan Dylan sendiri.Lalu, mataku tertuju pada Scarlet dan air mata mulai menggenang. Aku sudah mewujudkan keinginanku, tetapi ada banyak nyawa tidak bersalah yang ikut terenggut. Orang-orang ini tidak seharusnya kehilangan nyawa mereka.Bayangan tubuh Axel yang pucat dan hancur melintas di pikiranku hingga membuat perutku terasa mual. Aku memejamkan mata dan mendoakan Scarlet dan Axel. Kuharap jiwa mereka bisa menemukan kedamaian.Aku membuka mata ketika merasa ada tatapan yang tertuju padaku. Tavon sedang mengawasi para
Sudut pandang Mark:Aku mengalihkan pandanganku dari pembicara dalam rapat saat pintunya terbuka, dan asistenku bergegas masuk, lalu menghampiriku dalam sekejap. Asistenku tampak merasa bersalah, tetapi wajahnya juga terlihat senang.'Apa yang bikin dia senang, sih?' pikirku dengan kesal. Apa ada kesepakatan bisnis baru? Apakah ada yang ingin beraliansi atau menawarkan merger lagi?Dia meminta maaf padaku, lalu pada anggota rapat. Kemudian, dia menunduk untuk menyamakan tinggi badanku yang sedang duduk. Dia pun mengetuk layar ponselnya yang sedang dia angkat.Sejak Sydney pergi ke Idelia untuk mencari kekasihnya, hidupku hanya berkutat di pekerjaan dan mengurus Aiden. Aku hanya fokus pada urusan kantor, bukan hanya karena Sydney tidak berada di sini, tetapi juga karena dia pergi meninggalkanku demi pria lain.Aiden adalah satu-satunya hal lucu dan menggemaskan yang mengingatkanku pada Sydney. Aku pun berusaha semaksimal mungkin untuk meluangkan waktu untuk Aiden, apalagi Grace sekaran
Aku terus menyediakan dana kampanye untuk James, ayah Sandra, hingga dia terpilih menjadi anggota dewan nasional. Berkat aliansi dan bantuan dari James, pengaruhku di dunia politik makin besar, dan aku menjadi tangan kanannya.Berkat pengaruhku itu, aku bisa bertemu dengan beberapa tokoh penting di dunia politik. Dari koneksi mereka, aku bisa meminta bantuan staf kedutaan Idelia untuk mencari Sydney.....Aku buru-buru pulang ke apartemen dengan gembira. Pengasuh yang aku pekerjakan untuk merawat Aiden saat aku tidak berada di rumah langsung berdiri dan menyapa, "Bapak sudah pulang?"Saat melihat senyum di wajahku, Aiden memandangku dengan hati-hati. Ekspresinya tampak bingung. Dia tidak buru-buru mendatangiku seperti biasanya atau bertepuk tangan, tetapi dia cuma memandangku dengan saksama.Mata polosnya seakan-akan bertanya, 'Ada apa? Kenapa tiba-tiba Ayah senang banget?'Aku tertawa dengan gembira dan membuka tanganku lebar-lebar. Aku bahkan tidak sempat meletakkan tasku lebih dahul
Sudut pandang Narator:Satu tahun kemudian.Persiapan pernikahan sedang berjalan dengan sangat lancar. Sydney bergegas masuk ke ruang ganti. Matanya langsung tertuju ke tengah ruangan, di mana Grace berdiri memesona dalam gaun pengantinnya."Grace!" seru Sydney, ekspresi cemberutnya langsung mencair menjadi senyuman cerah saat dia menyaksikan pemandangan menakjubkan di depannya.Grace berbalik dari cermin, dikelilingi oleh sekelompok penjahit yang sibuk menyematkan dan menyesuaikan lipatan gaunnya. Lapisan-lapisan satin dan renda mengalir di sekelilingnya seperti gaun dari negeri dongeng.Grace sendiri yang merancang gaun itu karena dia menginginkan sesuatu yang terbaik dari yang terbaik. Perpaduan sempurna antara elegan dan berkelas. Gaun itu memang adalah sebuah mahakarya. Enam penjahit dengan hati-hati memastikan setiap detail pas di tubuhnya.Beberapa penata rambut juga sibuk di sekitar kepalanya, jari-jari mereka lincah memilin, mengeriting, dan menata setiap helai rambut yang bis
"Ugh, baiklah." Mark menggerutu, pura-pura kesal. "Tapi, kamu berutang besar padaku. Seperti, pasokan pengasuhan gratis seumur hidup Aiden."Sydney mendengus. "Seolah-olah anak itu mau mendengarkan siapa pun selain aku.""Benar juga." Mark mengakui. "Apa kamu mau datang ke sini supaya kita bisa ….""Nggak. Aku punya sejuta hal lain yang harus dilakukan. Kita bicara lewat telepon aja," jawab Sydney."Apakah si penata rias ingin dijemput dari Jalur Canria atau harus menunggu helikopter di tempat lain?""Cukup tetap berkomunikasi dengannya lewat telepon." Sydney menginstruksikan. "Aku akan menghubungkan kalian berdua dan kalian bisa mengatur detailnya.""Siap, Bos," kata Mark.Sydney tersenyum, "Terima kasih, kamu memang penyelamat hidup!""Bukankah itu memang tugasku?" Mark bercanda, dan Sydney bisa membayangkan nada menggoda dalam suaranya.Sydney kembali memutar matanya lalu menutup telepon.Mark tersenyum sendiri saat menutup telepon, suara Sydney masih terngiang di telinganya. Dia me
Sydney mengangguk, mengusap hidungnya pelan saat berusaha menguasai diri."Ayolah, masa kamu ikut nangis juga," katanya, menarik diri, lalu memberi bahu Grace remasan lembut. "Riasanmu bisa rusak nanti. Kita nggak mau itu terjadi."Grace tertawa kecil dengan suara bergetar, mengedip cepat untuk menjernihkan penglihatannya.Sydney tersenyum dan menyerahkan buket bunga indah yang telah disusun dengan hati-hati untuk acara itu."Nih, ambil ini," katanya sambil memberikan rangkaian bunga harum itu pada Grace. "Semua orang sudah menunggu kita."Grace menerima buket itu dengan anggukan penuh syukur, jari-jarinya dengan lembut membelai kelopak bunga."Terima kasih, Sayang."Bergandengan tangan, kedua sahabat itu berjalan menyusuri lorong yang dihiasi dengan elegan. Sydney masih sibuk menyeka air matanya yang tak kunjung berhenti mengalir.Kemudian, Sydney melihat sapu tangan di depan wajahnya. Dia menoleh ke samping dan melihat Mark berjalan di sebelahnya dengan senyum miring."Kamu akan meru
Sudut pandang Anastasia:Keningku mengerut cemas saat aku kembali menekan nomornya untuk kesekian kalinya."Halo, kalau kamu mendengar ini berarti aku sedang nggak ...."Aku langsung menghentikan pesan suara sebelum selesai."Sayang," rengekku meskipun dia tidak bisa melihatku. "Kamu di mana? Kamu baik-baik saja? Aku sudah mencoba menghubungimu selama berabad-abad. Telepon aku begitu kamu mendengar pesan ini, ya?" Dengan senyum kecil di bibirku, aku menambahkan dengan nada bernyanyi, "Aku kangen kamu."Dengan helaan napas, aku meletakkan ponselku menghadap ke bawah di pangkuanku dan menatap keluar jendela taksi. Sopir baru saja sampai di satu-satunya titik di jalan tol di mana dia bisa berputar balik.Saat itu juga, aku memutuskan akan lebih baik mampir ke tempatnya dulu sebelum pulang ke rumahku sendiri. Kalau tidak, aku pasti akan menghabiskan sepanjang hari dan malam dengan gelisah sampai mendengar kabar darinya.Dua minggu terakhir ini begitu padat karena aku berada di luar negeri
Sudut pandang Anastasia:Langkahku semakin panjang dan cepat saat aku menuju apartemennya.Ada bagian dalam diriku yang merasa cukup masuk akal untuk percaya bahwa foto-foto itu bukan hasil editan. Namun, ada juga bagian diriku yang lain, meskipun kecil, yang masih percaya ... atau lebih tepatnya, ingin percaya bahwa semua itu hanyalah kebohongan. Lelucon bodoh yang keterlaluan.Aiden tidak mungkin melakukan itu padaku. Dia bukan tipe pria yang langsung melompat ke pelukan wanita lain begitu aku pergi ke luar negeri. Itu tidak mungkin.Aku melewati gerbang yang terbuka. Saat berhenti di depan pintu, aku baru sadar bahwa napasku memburu dan telapak tanganku yang mencengkeram tas terasa berkeringat.Aku meletakkan tas di samping, menyeka telapak tanganku ke celana jeans-ku, lalu menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri.Aku mengetuk pintu, tetapi tidak ada jawaban. Perlahan, aku melingkarkan jari di gagang pintu dan mendorongnya. Pintu langsung terbuka dengan derit pelan.Begitu
Sudut pandang Anastasia:Akhirnya, kami tiba di penginapan untuk perjalanan bisnis ini.Dengan tas di tangan masing-masing, semua orang ternganga kagum melihat bangunan di depan kami. Antisipasi yang tumbuh selama perjalanan tampak memuncak saat kami melihat pemandangan tersebut.Di atas sebuah papan kayu yang dipaku di bagian atas bangunan, terdapat tulisan "Resor Kayupinus" yang terbuat dari potongan kayu kecil dan dihiasi dengan lampu-lampu kecil yang menyala. Kerajinan tangan itu sangat mengesankan, memberikan suasana yang unik tetapi profesional pada tempat tersebut."Rasanya seperti baru saja menginjakkan kaki di negeri dongeng," bisik Rachel saat berhenti di sampingku. Dia tampak sangat kagum, matanya bersinar saat lampu-lampu memantul di sana.Meskipun ada lubang besar di hatiku yang hanya bisa diisi dengan memeluk Amie, aku juga sedikit terpesona.Gubuk-gubuk kecil yang terhubung itu dikelilingi, hampir tertelan, oleh pohon-pohon pinus yang tinggi dan pepohonan hijau yang rimb
Aku tertawa mendengar suara tawa riang Anastasia lagi."Tanganku ada di sini, jadi aku nggak lupa membawanya," ucap Ana, masih dengan tawanya."Syukurlah.""Tapi sejujurnya, aku nggak bakal tahu kalau aku lupa sesuatu sampai aku buka koper.""Ya Tuhan." Aku mengusap dahiku. "Kuharap kamu nggak terdampar. Kalian sekarang di mana?"Ana mendengung sebentar. "Aku nggak tahu. Kami masih di bus.""Kuharap perjalananmu menyenangkan, Sayang.""Terima kasih.""Dan Amie, ya ampun! Aku kangen sekali. Bagaimana kabarnya? Bagaimana dia menghadapi kepergianmu?" tanyaku antusias."Dia baik-baik saja dan kurasa dia menerima kepergian ini dengan cukup baik. Kupikir akan ada lebih banyak drama, jadi aku sudah siap untuk meyakinkannya, tapi dia malah mengejutkanku. Tapi …." Suara Ana mulai meredup. "Amie benar-benar kesulitan dengan tinggal di rumah sakit. Dia terus bilang ingin pulang."Aku menghela napas. "Kasihan sekali. Aku paham. Rumah sakit nggak seperti taman atau toko es krim. Lama-lama di sana m
Sudut pandang Clara:Aku melemparkan senyuman pada nenek tua yang tersenyum padaku saat tatapan kami bertemu. Sambil berjalan keluar dari bandara, aku merogoh tas untuk mengambil ponselku yang berdering. Wajahku langsung cerah saat melihat nama peneleponnya."Halo, bestie," sapaku ceria sambil menempelkan ponsel ke telinga."Halo." Suara Ana terdengar di ujung sana. "Aku lihat pesanmu soal toko itu.""Oh, itu." Bibirku melengkung kesal. Rasa marah yang tadi sempat kutahan perlahan muncul lagi."Iya, aku nggak terlalu ngerti sih. Kayaknya kamu ngetiknya buru-buru deh, banyak salahnya.""Bukan ngetik buru-buru, aku ngetiknya sambil kebakar emosi," jawabku blak-blakan."Oh?""Aku harus meluapkannya biar nggak teriak di tengah jalan atau narik rambut cewek itu sambil kasih ceramah ke manajernya!"Ana terkekeh kecil. "Santai, dong. Aku masih belum ngerti ceritanya."Aku memindahkan ponsel dari telinga kanan ke kiri sambil menggeser tas ke bahu satunya."Jadi gini ceritanya. Aku ke toko lang
Aku melingkarkan tanganku erat-erat di sekeliling tubuhnya, lalu berbisik penuh rahasia, "Iya, Mama janji. Para suster ini nggak tahu rencana rahasiaku buat bawa kamu kabur."Tawanya kembali memenuhi telingaku dan dia menarik diri sambil mengedipkan mata nakal. Aku mengecup keningnya sekali lagi, seolah-olah untuk menyegel janji kami. "Sekarang lanjut gambar kita yang banyak, ya."Dia mengangguk cepat, lalu mengambil kembali buku sketsanya dan melanjutkan gambarnya. Aku berdiri dan berjalan menghampiri para suster. "Tolong awasi Amie dengan baik. Aku nggak mau dia keluyuran atau terima barang dari orang asing, ya. Aku sudah cukup banyak pikiran dan nggak mau nambah beban lagi.""Kami benar-benar minta maaf soal itu, Bu. Amie anak yang penuh energi dan punya cara manisnya sendiri. Kami juga nggak tahu gimana dia bisa mengelabui suster, tapi kami akan perhatikan semua yang Ibu sampaikan. Dia akan aman di sini," jawab salah satu suster dengan tulus."Bagus, terima kasih." Pandanganku bera
Sudut pandang Anastasia:Aku duduk di samping ranjang rumah sakit Amie, mengamati saat pensilnya bergerak lincah di atas buku sketsa. Alisnya berkerut penuh konsentrasi dan matanya bersinar-sinar penuh kreativitas."Mama tebak, itu kita ya?" tanyaku sambil menunjuk gambar dua karikatur yang mirip denganku dan Amie, minus kaki yang semuanya mengarah ke satu sisi."Iya, Mama. Itu kita yang lagi bikin kue enak di dapur. Aku sebentar lagi mau gambar Tante Clara soalnya dia suka kue buatan Mama juga," jawabnya tanpa mengalihkan perhatian dari sketsanya."Terus Dennis?" tanyaku lagi.Dia berhenti sejenak, pensilnya berhenti di atas buku sketsa sebelum akhirnya dia mengangkat bahu dan kembali menggambar. "Aku tambahin dia juga. Setelah Tante Clara. Mama, aku pengen cepat pulang. Di sini sepi dan bau obat banget."Rasanya sedikit sedih karena aku tahu sebentar lagi aku harus meninggalkannya. Aku belum pernah berpisah dengannya selama satu hari penuh. Sekarang aku akan berpisah dengannya selama
Aku mulai terbuka padanya. "Hanya saja ... teman-temanku belakangan ini sangat membantu, terutama Clara. Tapi, sekarang dia sedang di luar negeri dan aku tahu Dennis juga sudah banyak membantu, tapi aku nggak mau terus-terusan merepotkannya.""Rasanya seperti aku selalu berutang budi pada orang lain. Jadi ... rasanya sulit mengatur semuanya sekarang. Setiap hari aku selalu berusaha menyeimbangkan antara pekerjaan dan kebutuhan Amie."Remi mengangguk, suaranya penuh dengan empati. Dia meraih tanganku dengan penuh pengertian."Aku paham kalau keluarga adalah alasan yang sah untuk nggak ikut dan aku nggak akan memaksamu."Dia sedikit condong ke depan dan menatapku lekat-lekat. "Tapi, aku mau jujur. Aku secara pribadi merekomendasikan namamu untuk masuk daftar peserta. Sekarang aku tahu sepertinya kamu memang nggak bisa ikut.""Aku nggak nyangka," ucapku pelan di balik rasa terkejut karena perhatian yang dia tunjukkan, mataku membelalak. "Terima kasih, Remi. Itu berarti banyak bagiku. Aku
Sudut pandang Anastasia:Aku memindai memo di layar komputerku, kata-kata "Retret Perusahaan" dan "Pembangunan Tim" langsung mencuri perhatian. Suasana kantor dipenuhi kegembiraan, rekan-rekanku mengobrol dengan antusias tentang acara liburan yang akan datang."Kamu percaya nggak sih? Seminggu penuh di Hawhi!" seru seorang wanita berambut pirang, berdiri di dekatku."Iya, 'kan? Aku bahkan sudah mulai membayangkan semua pakaian liburan yang bakal kuperlukan," sahut seorang pria dari seberang ruangan.Kegembiraan mereka yang begitu mencolok tidak berhasil menembus suasana hatiku yang suram. Hawhi? Aku memaksakan senyuman, berusaha menyembunyikan kekecewaanku. Aku tahu aku tidak akan bisa ikut karena kondisi kesehatan Amie.Ini bukan masalah yang bisa diperdebatkan, apalagi kalau menyangkut nyawa putriku. Aku akan selalu mengutamakan kepentingannya.Jari-jariku menari di atas papan ketik, mengetik pesan untuk menolak tawaran retret itu.[ Maaf, aku tidak bisa menghadiri retret perusahaan
Selama waktu itu juga, aku memutuskan untuk kembali ke kota. Sharon sempat memprotes, bahkan memohon agar aku tetap tinggal karena dia tidak bisa meninggalkan bisnis. Namun, aku tidak bisa. Aku butuh ruang dan waktu untuk benar-benar berpikir.Namun, sebanyak apa pun waktu yang kuhabiskan untuk mempersiapkan diri atau keputusan apa pun yang kuambil, pernikahan itu tetap harus dilangsungkan. Karena sifat pernikahan yang sudah diatur ini dan dokumen yang kutandatangani dengan sadar, pernikahan itu tidak bisa dihindari.Dulu kupikir semua itu baik-baik saja. Namun, saat aku bertemu Anastasia lagi, pikiranku semakin kacau. Saat itulah aku sadar bahwa aku tidak akan pernah siap untuk pernikahan ini, apalagi untuk kembali ke hubungan yang sedang kubangun dengan Sharon.Jadi, aku melakukan satu-satunya hal yang bisa kulakukan, yaitu menghindari Sharon dan pernikahan yang semakin dekat ini dengan segala cara yang kubisa.Sekarang, Sharon yang duduk di seberang meja, menatapku tajam dari balik
Sudut pandang Aiden:Ibuku, entah tidak menyadari senyumanku yang membeku atau memang tidak peduli, melangkah ke samping, memberi ruang bagi Sharon untuk menerima pelukan yang seharusnya untuknya.Dengan senyum lebar, Sharon melingkarkan lengannya di tubuhku. "Astaga! Aku sangat merindukanmu," ucapnya sambil menyandarkan wajahnya ke dadaku."Hmm," gumamku saat dia melepaskan pelukannya, lalu menaruh tangannya di dadaku sebelum berjinjit untuk mengecup pipiku.Entah kenapa, aku ingin menghapus bekas kecupannya dari pipiku dengan jaketku. Namun, aku menahan diri dan memberikan kecupan singkat di pipinya. Sejujurnya, aku bahkan ragu apakah bibirku benar-benar menyentuh kulitnya.Aku tetap berdiri di tempat sementara Sharon duduk dan ibuku mengambil tempat di sampingnya.Alih-alih ikut duduk, aku hanya berdiri dan memasukkan tangan ke saku. "Bu, gimana kabarmu?" tanyaku.Setidaknya, dia akan menjawab ini, mengingat dia baru saja memberikan pelukannya ke orang lain."Aku baik-baik saja, Say