Beberapa hari kemudian.Sudut pandang Sydney:Aku terbangun di rumah yang sunyi. Bukan berarti biasanya mansion ini ramai, tetapi selalu ada semacam energi yang terasa aktif di rumah ini.Entah itu suara Tavon yang sedang membicarakan bisnis di telepon dengan nada formal yang sangat berbeda dengan suaranya saat berada di kamar, suara pecutan cambuk yang samar-samar terdengar, dentingan piring di dapur, atau suara tawa para staf Tavon saat mereka sedang bersenda gurau.Aku sudah terbiasa dengan suasana mansion yang sepi, tetapi tidak sesunyi pagi ini. Mansion ini benar-benar hening. Jika ada jarum yang terjatuh, aku yakin suaranya akan bergema di seluruh rumah. Suasananya begitu sunyi, seolah-olah dindingnya pun ikut menahan napas.Aku beberapa kali mengintip keluar, berharap bisa mendengar bisik-bisik para staf atau mencari tahu apa yang terjadi, tetapi usahaku tidak membuahkan hasil. Aku menyerah dan memutuskan untuk mandi. Air hangat yang mengalir dari pancuran tidak banyak membantu
Di balik kata-kata Scarlet, tersirat nada mencemooh. Menurutnya, rasa terkejutku ini adalah kebodohan yang naif."Bukan gitu maksudku ...," kataku lirih. Namun, aku tidak mampu menyelesaikan kalimatku.Tentu saja, aku tahu Dylan mampu membunuh Axel, aku hanya tidak menyangka dia akan melakukannya secepat ini. Membunuh dengan kejam adalah hal yang biasa, tetapi menghabisi putra seorang Bos yang begitu berkuasa dengan terang-terangan ...? Itu tidak masuk akal.Maksudku, sebagai seorang putra kandung Bos, seharusnya Axel lebih kuat dan lebih cerdas, bukan?'Ya, tapi dia nggak perlu berpura-pura menjadi orang lain selama bertahun-tahun dan harus membunuh banyak orang demi menjaga rahasianya,' bisik suara kecil di benakku.Mungkin kehidupan Dylan yang penuh penipuan dan kekerasan telah melatihnya untuk menghadapi realitas brutal yang kami alami sekarang.Namun, tetap saja, Axel dibesarkan di dunia mafia, dunia yang penuh bahaya. Dia seharusnya tahu bahwa akan ada orang-orang yang mengincarn
Aku tahu di balik semua ketangguhan, sarkasme, dan sikap masa bodohnya, Scarlet adalah gadis yang cerdas, lucu, dan peduli pada orang lain. Mungkin itulah alasan mengapa dia bisa jatuh cinta begitu dalam pada Luigi yang penuh pesona itu sejak awal. Sayangnya, lelaki yang dia cintai mati-matian itu sudah tiada.Momen damai kami dibuyarkan oleh deru mesin mobil Tavon yang memasuki halaman. Ban-ban mobilnya berdecit di atas kerikil.Secara refleks, aku dan Scarlet langsung menegang.Scarlet cepat-cepat berdiri dan mematikan rokoknya. "Aku harus kembali ke tempat kerjaku," katanya singkat. Nada ringan di suaranya kini lenyap begitu saja. Tanpa menoleh ke belakang, dia langsung melangkah pergi, meninggalkanku sendirian di teras.Aku menghela napas dengan berat, lalu ikut berdiri dan masuk ke rumah untuk menyambut Tavon. Mungkin, aku juga akan menyampaikan belasungkawa atas kehilangan yang baru saja dia alami meskipun situasi ini terasa begitu canggung bagiku.Begitu pintu terbuka, Bella dan
Sudut pandang Sydney:Scarlet tidak mau memberi tahu lebih banyak tentang jalannya rencana kami meskipun Tavon telah memutuskan untuk mengampuni nyawa Dylan. Aku tidak tahu apakah Bella sudah mengetahui perkembangan ini. Aku ingin bertanya padanya, tetapi dia tidak terlihat karena sibuk menenangkan kekasihnya.Tanpa buang-buang waktu, aku bersiap-siap dan segera pergi dari mansion. Jujur saja, aku tidak tahu bagaimana cara untuk sampai ke rumah Dylan. Aku tidak punya alat komunikasi atau kendaraan. Aku hanya bisa berdiri di depan pintu gerbang sambil mencoba memikirkan cara ....Untungnya, salah satu anak buah Tavon berjalan mendekatiku. Dia memberi isyarat ke arah sebuah mobil mewah dengan senyum yang kaku. "Bos meminta saya untuk mengantar Anda ke mansion Tuan Lucas."Oh, baguslah kalau begitu! "Oke," jawabku seraya membalas senyum hambarnya dengan senyum lebar. "Makasih," ujarku, lalu dia mengantarku ke mobil.Dia mengantarkanku ke rumah Dylan. Kami harus menunggu beberapa menit se
Saat masih di dalam mobil, sebelum kami meninggalkan mansion Dylan, dia berkata, "Aku pasti akan digeledah begitu masuk ke mansion. Sembunyikan pistol ini dan lemparkan padaku kalau diperlukan, oke?"Aku mengangguk, lalu Dylan menyerahkan pistol yang ada di genggamannya. Aku menerimanya dan mengamati saat dia keluar dari mobil dan memberi instruksi kepada anak buahnya.Setelah Dylan selesai digeledah dan diizinkan masuk ke mansion, aku tersenyum pada petugas keamanan yang berjaga di sana dan berjalan melewati mereka. Aku menghela napas lega setelah berhasil berdiri di samping Dylan tanpa harus digeledah.Suasana di dalam mansion masih terasa berat, menyisakan ketegangan yang sulit dijelaskan. Semua orang masih tampak muram, sama seperti saat aku meninggalkan mereka sebelumnya.Makan malam sudah mulai disajikan, jadi kami langsung menuju ruang makan. Diam-diam, aku mengambil pistol dari bingkisan wiski dan memasukkannya ke dalam saku celana, lalu meletakkannya di sebelah Dylan sebelum d
Sudut pandang Sydney:Dylan menarik pelatuk, tetapi tidak terjadi apa-apa. Wajahnya memerah, genggamannya pada pistol itu makin erat saat dia terus menarik pelatuknya seperti orang bodoh.Adegan itu terus berputar di benakku untuk kesekian kalinya malam ini. Saat Dylan keluar dari mobil untuk memberi instruksi kepada anak buahnya, hanya aku sendiri yang ada di dalam mobil.Aku melihat sekeliling dengan panik dan buru-buru mengeluarkan peluru dari pistol itu dengan tangan gemetar. Aku tidak punya rencana lain, tetapi aku tahu satu hal. Jika Dylan bisa menembak, dia juga pasti akan ditembak.Itulah yang sedang terjadi sekarang.Begitu menyadari apa yang terjadi, para pengawal Tavon langsung mengeluarkan senjata mereka dan menembaki Dylan tanpa ampun. Rentetan peluru menembus pakaian dan tubuhnya. 'Dylan juga membunuh Axel dengan cara seperti ini,' pikirku.Tubuh Dylan akhirnya tidak mampu lagi menahan serangan itu. Saat dia tersungkur ke lantai, tatapannya bertemu denganku yang sedang be
"Terima kasih," bisikku sambil menghela napas lega.Anak buah Tavon mulai merapikan kekacauan di ruangan itu. Namun, pertama-tama, mereka menyingkirkan jenazah Dylan. Aku melihat dengan tatapan kosong saat tubuh tak bernyawa itu diseret melintasi lantai, meninggalkan jejak darah di belakangnya.Sebagian kecil dari diriku merasa kasihan karena dia menjemput ajalnya dengan cara yang begitu brutal. Namun, aku segera menepis perasaan itu. Ini semua adalah akibat dari perbuatan Dylan sendiri.Lalu, mataku tertuju pada Scarlet dan air mata mulai menggenang. Aku sudah mewujudkan keinginanku, tetapi ada banyak nyawa tidak bersalah yang ikut terenggut. Orang-orang ini tidak seharusnya kehilangan nyawa mereka.Bayangan tubuh Axel yang pucat dan hancur melintas di pikiranku hingga membuat perutku terasa mual. Aku memejamkan mata dan mendoakan Scarlet dan Axel. Kuharap jiwa mereka bisa menemukan kedamaian.Aku membuka mata ketika merasa ada tatapan yang tertuju padaku. Tavon sedang mengawasi para
Sudut pandang Mark:Aku mengalihkan pandanganku dari pembicara dalam rapat saat pintunya terbuka, dan asistenku bergegas masuk, lalu menghampiriku dalam sekejap. Asistenku tampak merasa bersalah, tetapi wajahnya juga terlihat senang.'Apa yang bikin dia senang, sih?' pikirku dengan kesal. Apa ada kesepakatan bisnis baru? Apakah ada yang ingin beraliansi atau menawarkan merger lagi?Dia meminta maaf padaku, lalu pada anggota rapat. Kemudian, dia menunduk untuk menyamakan tinggi badanku yang sedang duduk. Dia pun mengetuk layar ponselnya yang sedang dia angkat.Sejak Sydney pergi ke Idelia untuk mencari kekasihnya, hidupku hanya berkutat di pekerjaan dan mengurus Aiden. Aku hanya fokus pada urusan kantor, bukan hanya karena Sydney tidak berada di sini, tetapi juga karena dia pergi meninggalkanku demi pria lain.Aiden adalah satu-satunya hal lucu dan menggemaskan yang mengingatkanku pada Sydney. Aku pun berusaha semaksimal mungkin untuk meluangkan waktu untuk Aiden, apalagi Grace sekaran
Sudut pandang Anastasia:Akhirnya, kami tiba di penginapan untuk perjalanan bisnis ini.Dengan tas di tangan masing-masing, semua orang ternganga kagum melihat bangunan di depan kami. Antisipasi yang tumbuh selama perjalanan tampak memuncak saat kami melihat pemandangan tersebut.Di atas sebuah papan kayu yang dipaku di bagian atas bangunan, terdapat tulisan "Resor Kayupinus" yang terbuat dari potongan kayu kecil dan dihiasi dengan lampu-lampu kecil yang menyala. Kerajinan tangan itu sangat mengesankan, memberikan suasana yang unik tetapi profesional pada tempat tersebut."Rasanya seperti baru saja menginjakkan kaki di negeri dongeng," bisik Rachel saat berhenti di sampingku. Dia tampak sangat kagum, matanya bersinar saat lampu-lampu memantul di sana.Meskipun ada lubang besar di hatiku yang hanya bisa diisi dengan memeluk Amie, aku juga sedikit terpesona.Gubuk-gubuk kecil yang terhubung itu dikelilingi, hampir tertelan, oleh pohon-pohon pinus yang tinggi dan pepohonan hijau yang rimb
Aku tertawa mendengar suara tawa riang Anastasia lagi."Tanganku ada di sini, jadi aku nggak lupa membawanya," ucap Ana, masih dengan tawanya."Syukurlah.""Tapi sejujurnya, aku nggak bakal tahu kalau aku lupa sesuatu sampai aku buka koper.""Ya Tuhan." Aku mengusap dahiku. "Kuharap kamu nggak terdampar. Kalian sekarang di mana?"Ana mendengung sebentar. "Aku nggak tahu. Kami masih di bus.""Kuharap perjalananmu menyenangkan, Sayang.""Terima kasih.""Dan Amie, ya ampun! Aku kangen sekali. Bagaimana kabarnya? Bagaimana dia menghadapi kepergianmu?" tanyaku antusias."Dia baik-baik saja dan kurasa dia menerima kepergian ini dengan cukup baik. Kupikir akan ada lebih banyak drama, jadi aku sudah siap untuk meyakinkannya, tapi dia malah mengejutkanku. Tapi …." Suara Ana mulai meredup. "Amie benar-benar kesulitan dengan tinggal di rumah sakit. Dia terus bilang ingin pulang."Aku menghela napas. "Kasihan sekali. Aku paham. Rumah sakit nggak seperti taman atau toko es krim. Lama-lama di sana m
Sudut pandang Clara:Aku melemparkan senyuman pada nenek tua yang tersenyum padaku saat tatapan kami bertemu. Sambil berjalan keluar dari bandara, aku merogoh tas untuk mengambil ponselku yang berdering. Wajahku langsung cerah saat melihat nama peneleponnya."Halo, bestie," sapaku ceria sambil menempelkan ponsel ke telinga."Halo." Suara Ana terdengar di ujung sana. "Aku lihat pesanmu soal toko itu.""Oh, itu." Bibirku melengkung kesal. Rasa marah yang tadi sempat kutahan perlahan muncul lagi."Iya, aku nggak terlalu ngerti sih. Kayaknya kamu ngetiknya buru-buru deh, banyak salahnya.""Bukan ngetik buru-buru, aku ngetiknya sambil kebakar emosi," jawabku blak-blakan."Oh?""Aku harus meluapkannya biar nggak teriak di tengah jalan atau narik rambut cewek itu sambil kasih ceramah ke manajernya!"Ana terkekeh kecil. "Santai, dong. Aku masih belum ngerti ceritanya."Aku memindahkan ponsel dari telinga kanan ke kiri sambil menggeser tas ke bahu satunya."Jadi gini ceritanya. Aku ke toko lang
Aku melingkarkan tanganku erat-erat di sekeliling tubuhnya, lalu berbisik penuh rahasia, "Iya, Mama janji. Para suster ini nggak tahu rencana rahasiaku buat bawa kamu kabur."Tawanya kembali memenuhi telingaku dan dia menarik diri sambil mengedipkan mata nakal. Aku mengecup keningnya sekali lagi, seolah-olah untuk menyegel janji kami. "Sekarang lanjut gambar kita yang banyak, ya."Dia mengangguk cepat, lalu mengambil kembali buku sketsanya dan melanjutkan gambarnya. Aku berdiri dan berjalan menghampiri para suster. "Tolong awasi Amie dengan baik. Aku nggak mau dia keluyuran atau terima barang dari orang asing, ya. Aku sudah cukup banyak pikiran dan nggak mau nambah beban lagi.""Kami benar-benar minta maaf soal itu, Bu. Amie anak yang penuh energi dan punya cara manisnya sendiri. Kami juga nggak tahu gimana dia bisa mengelabui suster, tapi kami akan perhatikan semua yang Ibu sampaikan. Dia akan aman di sini," jawab salah satu suster dengan tulus."Bagus, terima kasih." Pandanganku bera
Sudut pandang Anastasia:Aku duduk di samping ranjang rumah sakit Amie, mengamati saat pensilnya bergerak lincah di atas buku sketsa. Alisnya berkerut penuh konsentrasi dan matanya bersinar-sinar penuh kreativitas."Mama tebak, itu kita ya?" tanyaku sambil menunjuk gambar dua karikatur yang mirip denganku dan Amie, minus kaki yang semuanya mengarah ke satu sisi."Iya, Mama. Itu kita yang lagi bikin kue enak di dapur. Aku sebentar lagi mau gambar Tante Clara soalnya dia suka kue buatan Mama juga," jawabnya tanpa mengalihkan perhatian dari sketsanya."Terus Dennis?" tanyaku lagi.Dia berhenti sejenak, pensilnya berhenti di atas buku sketsa sebelum akhirnya dia mengangkat bahu dan kembali menggambar. "Aku tambahin dia juga. Setelah Tante Clara. Mama, aku pengen cepat pulang. Di sini sepi dan bau obat banget."Rasanya sedikit sedih karena aku tahu sebentar lagi aku harus meninggalkannya. Aku belum pernah berpisah dengannya selama satu hari penuh. Sekarang aku akan berpisah dengannya selama
Aku mulai terbuka padanya. "Hanya saja ... teman-temanku belakangan ini sangat membantu, terutama Clara. Tapi, sekarang dia sedang di luar negeri dan aku tahu Dennis juga sudah banyak membantu, tapi aku nggak mau terus-terusan merepotkannya.""Rasanya seperti aku selalu berutang budi pada orang lain. Jadi ... rasanya sulit mengatur semuanya sekarang. Setiap hari aku selalu berusaha menyeimbangkan antara pekerjaan dan kebutuhan Amie."Remi mengangguk, suaranya penuh dengan empati. Dia meraih tanganku dengan penuh pengertian."Aku paham kalau keluarga adalah alasan yang sah untuk nggak ikut dan aku nggak akan memaksamu."Dia sedikit condong ke depan dan menatapku lekat-lekat. "Tapi, aku mau jujur. Aku secara pribadi merekomendasikan namamu untuk masuk daftar peserta. Sekarang aku tahu sepertinya kamu memang nggak bisa ikut.""Aku nggak nyangka," ucapku pelan di balik rasa terkejut karena perhatian yang dia tunjukkan, mataku membelalak. "Terima kasih, Remi. Itu berarti banyak bagiku. Aku
Sudut pandang Anastasia:Aku memindai memo di layar komputerku, kata-kata "Retret Perusahaan" dan "Pembangunan Tim" langsung mencuri perhatian. Suasana kantor dipenuhi kegembiraan, rekan-rekanku mengobrol dengan antusias tentang acara liburan yang akan datang."Kamu percaya nggak sih? Seminggu penuh di Hawhi!" seru seorang wanita berambut pirang, berdiri di dekatku."Iya, 'kan? Aku bahkan sudah mulai membayangkan semua pakaian liburan yang bakal kuperlukan," sahut seorang pria dari seberang ruangan.Kegembiraan mereka yang begitu mencolok tidak berhasil menembus suasana hatiku yang suram. Hawhi? Aku memaksakan senyuman, berusaha menyembunyikan kekecewaanku. Aku tahu aku tidak akan bisa ikut karena kondisi kesehatan Amie.Ini bukan masalah yang bisa diperdebatkan, apalagi kalau menyangkut nyawa putriku. Aku akan selalu mengutamakan kepentingannya.Jari-jariku menari di atas papan ketik, mengetik pesan untuk menolak tawaran retret itu.[ Maaf, aku tidak bisa menghadiri retret perusahaan
Selama waktu itu juga, aku memutuskan untuk kembali ke kota. Sharon sempat memprotes, bahkan memohon agar aku tetap tinggal karena dia tidak bisa meninggalkan bisnis. Namun, aku tidak bisa. Aku butuh ruang dan waktu untuk benar-benar berpikir.Namun, sebanyak apa pun waktu yang kuhabiskan untuk mempersiapkan diri atau keputusan apa pun yang kuambil, pernikahan itu tetap harus dilangsungkan. Karena sifat pernikahan yang sudah diatur ini dan dokumen yang kutandatangani dengan sadar, pernikahan itu tidak bisa dihindari.Dulu kupikir semua itu baik-baik saja. Namun, saat aku bertemu Anastasia lagi, pikiranku semakin kacau. Saat itulah aku sadar bahwa aku tidak akan pernah siap untuk pernikahan ini, apalagi untuk kembali ke hubungan yang sedang kubangun dengan Sharon.Jadi, aku melakukan satu-satunya hal yang bisa kulakukan, yaitu menghindari Sharon dan pernikahan yang semakin dekat ini dengan segala cara yang kubisa.Sekarang, Sharon yang duduk di seberang meja, menatapku tajam dari balik
Sudut pandang Aiden:Ibuku, entah tidak menyadari senyumanku yang membeku atau memang tidak peduli, melangkah ke samping, memberi ruang bagi Sharon untuk menerima pelukan yang seharusnya untuknya.Dengan senyum lebar, Sharon melingkarkan lengannya di tubuhku. "Astaga! Aku sangat merindukanmu," ucapnya sambil menyandarkan wajahnya ke dadaku."Hmm," gumamku saat dia melepaskan pelukannya, lalu menaruh tangannya di dadaku sebelum berjinjit untuk mengecup pipiku.Entah kenapa, aku ingin menghapus bekas kecupannya dari pipiku dengan jaketku. Namun, aku menahan diri dan memberikan kecupan singkat di pipinya. Sejujurnya, aku bahkan ragu apakah bibirku benar-benar menyentuh kulitnya.Aku tetap berdiri di tempat sementara Sharon duduk dan ibuku mengambil tempat di sampingnya.Alih-alih ikut duduk, aku hanya berdiri dan memasukkan tangan ke saku. "Bu, gimana kabarmu?" tanyaku.Setidaknya, dia akan menjawab ini, mengingat dia baru saja memberikan pelukannya ke orang lain."Aku baik-baik saja, Say