"Setelah operasi, Dylan jadi mirip banget sama Lucas. Dia bawa cincin keluarga Lucas dan barang-barang lainnya, lalu pergi untuk ketemu Tavon, kepala keluarga Esposito. Setelah itu, dia diterima kembali oleh keluarga Esposito.""Buat jaga-jaga kalau kamu bertanya-tanya, kami mengarang cerita kalau aku tersesat dan diculik," sela Dylan sekali lagi."Dengan dukungan Tavon," lanjut Luigi tanpa menghiraukan Dylan, "dia berencana untuk mendekati kamu supaya bisa ambil alih GT Group, tapi keputusan akhir yang kamu ambil bikin semua yang telah kami rencanakan selama bertahun-tahun jadi gagal total."Aku terkesiap ketika Dylan mengokang pistol dan menekannya lebih keras ke pelipisku. "Dasar jalang! Kamu beruntung karena waktu itu kita berada di wilayah Mark. Kalau nggak, aku bakal bunuh kamu karena marah. Padahal kamu bisa kerja sama sama aku, pria yang kamu bilang kamu cintai. Tapi kamu malah pilih mantan suami yang memperlakukan kamu dengan buruk. Sementara aku? Aku yang memperlakukan kamu
Awalnya, aku menjauh, tapi kemudian aku mendekat dan menempelkan telapak tanganku pada gundukan kecil yang kukira hanya tumpukan pasir. Air mata mengalir deras di pipiku, dan aku tidak mampu menghentikannya.Kini, saat kulihat lebih dekat, aku menyadari ada rumput liar tumbuh di atas gundukan itu seolah-olah mereka sedang mengejekku. Pemandangan itu terasa seperti belati yang menusuk hatiku tanpa ampun.Dadaku terasa sesak seolah-olah jantungku dicabut paksa. Rasanya seperti kehampaan yang tidak bisa diisi. Itulah yang kurasakan saat ini, kehampaan yang pedih.Selama bertahun-tahun, aku menunggu Lucas, sepenuhnya percaya bahwa dia masih hidup. Namun, kenyataannya ... dia sudah lama pergi. Aku pernah mencintainya, membiarkan diriku tenggelam dalam perasaan itu, tapi kemudian membencinya karena tidak mengetahui kebenaran bahwa dia sebenarnya telah tiada sejak lama.Anak malang itu, Lucas, hanya ingin punya teman dan merasakan kebahagiaan sederhana yang sering dianggap remeh oleh orang l
Aku menggigit bibirku dengan rasa bersalah, tatapanku beralih dari wajahnya ke lantai, lalu kembali lagi ke wajahnya. "Seharusnya, kamu nggak bawa aku ke sini," kataku dengan suara pelan. Aku menggeleng, mencoba menahan tangis yang sudah di pelupuk mata."Padahal kamu bisa bunuh aku di tempat lain selain di sini. Gimana aku bisa mengakui di hadapan Lucas kalau aku jatuh cinta sama kamu?" ungkapku dengan suara bergetar. Aku menundukkan kepala dan memainkan jemariku dengan gugup.Dylan terdiam. Ada jeda yang cukup lama sebelum dia bertanya dengan bingung, "Kamu ngomong apa, sih?" Dia menyenggol dahiku dengan pistol, memaksaku mendongak. Wajah plastiknya menatapku dengan kerutan dalam di dahinya. Sekali lagi, aku memarahi diriku sendiri. Bagaimana mungkin aku tidak menyadarinya lebih awal? Selama ini, dia bahkan tidak pernah bercukur! Matanya menyipit dan pistolnya menekan dahiku lebih keras hingga terasa sakit. "Kamu nggak bilang ini cuma untuk bertahan hidup, 'kan?" tanyanya dengan sua
Sudut pandang Sydney:Dylan tersenyum puas, telapak tangannya membelai punggungku hingga berhenti di tengkuk. "Anak manis ...," katanya pelan. Namun, tiba-tiba cengkeramannya mengencang begitu kuat hingga aku hampir meringis kesakitan. Dia menggeram, "Tapi gimana kalau kamu bohong?"Aku menyeringai, lalu membungkuk untuk mengambil pistol yang jatuh. Saat aku meraihnya, Dylan harus melepaskan leherku. Matanya membelalak ketika melihat apa yang kuambil. "Kamu mau apa?" geramnya. Namun, dia hanya berhenti sampai di situ. Dia tidak berusaha merebut pistolnya dariku. Dia hanya melihat, menunggu apa yang akan kulakukan selanjutnya.Aku menatapnya tajam, lalu meraih tangannya dan meletakkan pistol itu di telapak tangannya. Aku mengangkat dagu, memperlihatkan leherku, lalu mengarahkan moncong pistol itu ke tenggorokanku. "Aku sepenuhnya milikmu," bisikku.Aku mendorong tangannya agar pistolnya makin merapat ke leherku hingga membuatku sedikit tercekik. "Kalau cintaku nggak bertahan lama, kamu
Saat mobil berhenti di depan hotel, Dylan menarik lenganku dan menyeretku masuk.Dia berjalan ke meja resepsionis dengan percaya diri seolah-olah ini sudah menjadi rutinitasnya. "Kartu kamar!"Pada titik ini, aku yakin dia sudah mengetahui bahwa aku ada di Idelia sejak awal. Mungkin dia sengaja mengabaikan fakta itu atau justru menunggu waktu yang tepat. Namun, untuk apa dia melakukannya? Itulah yang tidak kuketahui."Hmm …." Staf resepsionis menatapku ragu, alisnya sedikit terangkat. Aku mengangguk, memberi isyarat agar dia menyerahkan kartu kamarnya.Tanpa bertanya lebih lanjut, dia menyerahkan kartu kamar itu pada Dylan. Dylan menyambarnya dengan tatapan tajam, membuat si resepsionis tersentak mundur. Aku menyampaikan maafku melalui tatapan mata saat kami hendak berbalik. Dylan sudah tidak peduli jika ada yang melihat dan menarikku lagi, kali ini menuju lift. Di dalamnya, aku hanya bisa menunduk dan menatap sepatu Dylan, seperti anak anjing yang baru saja dipukuli.Saat lift berhen
Dylan mencibir, "Aku nggak pernah cinta sama kamu. Itu semua cuma sandiwara. Aku cuma manfaatin kamu."Aku tersenyum getir. "Anehnya, aku suka ucapanmu itu. Pakai aku sesukamu, Dylan. Sudah kubilang, aku milikmu sepenuhnya."Aku menyandarkan kepalaku di dadanya. "Aku cuma ingin kamu mencintaiku."Dylan mendorong tubuhku mundur perlahan. Saat bokongku menyentuh meja wastafel, dia berhenti. Dengan hati-hati, dia meletakkan pistol yang digenggamnya di atas meja. Dylan menunduk dan membenamkan wajahnya di leherku. Dia mengendus aroma tubuhku saat tangannya meraba payudaraku dengan kasar. Aku menggigit bibir agar tidak berteriak kesakitan. Tanganku terkepal erat untuk menahan keinginan untuk mendorong tubuhnya menjauh dariku.Tangannya meluncur ke bagian bawah tubuhku dan dia mengaitkan jarinya ke pinggang celana pendekku. "Nggak! Jangan! Please, jangan," larangku nyaris berteriak saat dia menurunkan celana pendekku dengan paksa tanpa memedulikan kulitku yang bergesekan dengan kancing dan
Sudut pandang Sydney:Aku tidak ingat bagaimana aku bisa berakhir di tempat tidur bersama Dylan tadi malam … atau mungkin aku ingat, tapi aku hanya enggan mengingatnya. Aku tidak sudi mengingatnya. Seluruh tubuhku terasa pegal. Dan sekarang, yang kurasakan hanya kelelahan dan kelaparan yang luar biasa.Dylan berengsek itu, atau siapa pun dia sebenarnya, adalah pria rakus yang tidak pernah puas. Baru 20 menit berlalu setelah dia melepaskan diri dariku, tapi dia kembali menindihku. Dia terus mengimpitku seperti binatang buas sambil memaksaku untuk terus mengatakan kalau aku mencintainya. Orang gila macam apa dia itu?Aku berharap rasa lapar ini berkaitan dengan kelelahan yang kurasakan, tapi itu tidak benar. Makin keras teriakan dan erangan palsuku yang bercampur dengan desahannya, makin besar pula kebencianku padanya.Rasa laparku ini bukan sekadar kelaparan biasa. Ini adalah rasa lapar akan balas dendam. Aku harus mengendalikan diri sebelum aku melakukan sesuatu yang bodoh dan berakhir
Aku memejamkan mata dan memaksa diri untuk rileks. Tenang, Sydney. Semuanya masih aman terkendali.Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha mengubur rasa panik yang mulai memuncak. Hanya satu kesalahan saja bisa membuat seluruh rencana ini berantakan. Aku tidak boleh membiarkan rasa takut atau jijikku terlihat. Aku adalah aktornya, dan Dylan adalah penontonnya. Aku harus memainkan peranku dengan sempurna.Aku bangkit dari tempat tidur sambil menguap dan meregangkan tubuh sebelum berjalan ke kamar mandi. Begitu sampai di sana, aku membuka keran dan membasuh wajahku. Dinginnya air keran itu sedikit membantu menjernihkan pikiranku.Aku menatap pantulan diriku di cermin. Mataku terlihat kosong, kehilangan binar kehidupan yang dulu ada di sana. Sampai kapan aku harus terus mengorbankan diriku sendiri?Aku masuk ke bilik pancuran, mengatur suhu air ke yang paling dingin, lalu berdiri di bawahnya. Bulu kudukku langsung meremang, dan aku hampir mematikan keran untuk berendam dengan air hangat,
Aku mencengkeram rokku dengan erat sambil mencoba menenangkan ketakutanku serta menstabilkan detak jantungku yang kacau. Hal seperti ini benar-benar asing bagiku dan juga sangat menakutkan."Berlutut." Aku tersentak mendengar suaranya dari belakangku. Dengan patuh, aku berlutut, meringis saat lantai keras menggores lututku.Tavon mengangguk puas, matanya bersinar dengan tatapan aneh. "Kamu penurut, bagus."Dia berjalan ke salah satu sisi ruangan dan mengambil sebuah cambuk. Bulu kudukku meremang ketika dia mendekatiku. Tangan tuanya mencengkeram cambuk itu dengan erat. Sebelum aku bisa memproses apa yang akan terjadi atau mencoba memprotes, dia tiba-tiba mengangkat tangannya dan langsung mencambukku kulitkuPunggungku melengkung saat aku mencoba menghindari rasa sakit yang menyengat itu. Jeritanku menggema di seluruh ruangan, rasa sakit itu menyebar ke seluruh tubuhku, air mata menggenang di mataku."Kamu suka ini?" Suaranya kasar, matanya dipenuhi gairah yang mengerikan.Sial, bagaima
Aku memaksa diriku untuk tetap tenang. Aku melepaskan genggaman tanganku yang erat, berhenti menggertakkan gigi, dan memberikan senyuman terbaikku padanya, meskipun aku merasa mual karena jijik. Menjaga kepura-puraan ini sangat melelahkan, tetapi aku tahu aku harus tetap bersandiwara jika ingin rencana ini berhasil.Peringatan Dylan terngiang di pikiranku. Satu kesalahan saja bisa berarti kematianku. Jadi, aku memasang ekspresi manis dan lembut, tidak peduli seberapa besar rasa mual yang kurasakan.Bibir Tavon membentuk senyuman jahat. Tangannya yang berkeliaran berhenti di lekuk pantatku dan menekannya secara halus sambil menoleh ke arah Dylan. "Nak, kamu selalu tahu apa yang aku suka."Dylan mengangguk dengan senyum puas, matanya berbinar-binar. "Paman, kepuasanmu selalu menjadi kebahagiaan terbesarku."Bulu kudukku meremang mendengar kata-kata Dylan. Pengabdiannya dengan menjilat kepada pria bejat ini benar-benar menjijikkan. Bagaimana mungkin dia begitu antusias, begitu bangga, mel
Sudut pandang Sydney:Sekitar satu jam setelah Dylan mendandaniku, dia diberi tahu bahwa mobil sudah siap. Dia berganti ke setelan jas yang, menyebalkannya, membuatnya terlihat semakin mirip Lucas.Aku tidak melewatkan rasa iri yang sekilas muncul di mata para wanita lain saat Dylan dengan kasar menyuruh mereka bersikap baik dan tetap di kamar mereka, lalu pergi bersamaku. Aku rasa mereka pasti ingin menjadi paket yang akan dikirimkan. Aku tidak bisa menahan diri untuk bertanya-tanya apakah dia pernah menawarkan salah satu dari mereka kepada pamannya juga.Kami masuk ke dalam mobil, dan sopir membawa kami ke tempat di mana aku akan bertemu dengan Paman Tavon.....Setelah beberapa menit perjalanan yang menyesakkan bersama Dylan, akhirnya kami sampai di tujuan, dan aku bisa bernapas lega lagi.Mobil berhenti di depan mansion besar, tetapi yang satu ini jelas lebih mewah dan megah dibandingkan dengan tempat tinggal para wanita Dylan. Aku perlahan mengangguk pada diri sendiri. Aku bisa me
"Aku nggak butuh bantuanmu!" Aku ingin meludah ke wajahnya dan menunjukkan semua kebencian yang kurasakan padanya, tetapi itu pasti akan merusak segalanya, bukan? Itu bahkan bisa membuatku kehilangan nyawa.Jadi, sebagai gantinya, aku memasang senyuman tipis di bibirku dan berbalik menghadapnya. Aku mengejapkan bulu mataku padanya, "Aww." Aku mendesah manja. "Terima kasih."Sambil tersenyum sinis, dia bangkit dari kursinya dan berjalan mendekatiku. Tiba-tiba, lingerie yang kupakai dirobek olehnya dari tubuhku dan dilemparkannya begitu saja, lalu dia merebut gaun itu dari tanganku.Aku terperanjat dan menatapnya dengan mata terbelalak, tetapi dia tidak mengatakan sepatah kata pun. Dia bahkan tidak melihatku dan senyum itu telah lenyap dari wajahnya. Alisnya berkerut dalam konsentrasi saat dia memakaikan gaun itu kepadaku dan mulai mendandaniku.Tangannya bergerak begitu terampil seolah-olah dia sudah terbiasa melakukan hal ini.Saat dia selesai, dia melangkah mundur dan menatap tubuhku
Dengan hati-hati, aku mengambil gaun itu darinya dan dia tidak menunjukkan tanda-tanda akan benar-benar menyerahkannya padaku. Dengan kedua tanganku menggenggam sisi gaun, aku mengangkatnya di depan tubuhku dan membentangkannya sepenuhnya agar bisa melihat desainnya dengan jelas.Itu adalah gaun merah panjang yang langsung membuatku tercengang. Saat aku melihatnya lebih dekat, aku menyadari bahwa bahan gaun ini adalah sutra halus dan mewah dengan tekstur yang begitu lembut sehingga aku bisa langsung tahu bahwa aku akan menyukai sensasinya saat kain itu mengenai kulitku.Panjangnya saja sudah memberikan kesan elegan dan berkelas, tetapi desainnya yang berani, menjadikannya jauh dari kesan sederhana. Kamu hanya perlu melihatnya untuk mengetahuinya.Sebagai pemilik bersama lini pakaian dengan sahabatku, Grace. Aku telah terbiasa dengan banyak desain mode yang menakjubkan dan indah selama bertahun-tahun. Namun, aku tidak bisa menyangkal bahwa gaun yang dipilih Dylan ini memiliki keunikan d
Sudut pandang Sydney:Aku langsung menarik diri dari pelukan Dylan begitu mendengar suara tepukan tangan.Sambil menatap Dylan yang hanya berjarak beberapa sentimeter dariku, aku tetap membiarkan lenganku melingkar di lehernya. "Kenapa kamu tepuk tangan?" tanyaku dengan senyum kecil, mataku mencari-cari petunjuk di wajahnya. Ada kilatan nakal di matanya yang membuatku bertanya-tanya apa yang sedang dia rencanakan.Dylan hanya balas tersenyum, tidak repot-repot menjawab. Dan dia memang tidak perlu menjelaskan apa pun karena, tepat saat itu, salah satu anak buahnya membuka pintu kamar dan melangkah masuk.Pria itu membawa sebuah kantong belanja di tangannya. "Selamat malam, Pak," sapanya sopan sambil menunduk sedikit, lalu mengangguk padaku. "Nona." Wajahnya tetap datar, tidak memberi petunjuk apa pun tentang isi kantong yang dibawanya.Aku melirik pria itu lalu kembali menatap Dylan, masih dengan tangan yang melingkari lehernya."Apa itu?" tanyaku sambil mengangkat alis, penuh selidik.
Tanpa memberinya kesempatan untuk mengajukan keberatan lebih jauh, aku langsung membungkamnya dengan ciuman yang intens.Sekejap saja, bibirnya sudah bergerak membalas ciumanku, tangannya mencengkeram erat pinggangku dan menarikku lebih dekat ke dadanya. Lalu, satu tangannya meluncur turun, meremas bokongku seolah-olah tubuhku adalah miliknya.Aku menggeliat di atas pangkuannya, merasakan tonjolan keras di balik celananya. "Sial, Sydney," desahnya kasar sebelum menggigit bibir bawahku dengan keras, lalu mengisapnya seakan-akan hendak menghapus bekas yang baru saja dia tinggalkan.Dalam permainan balas dendam yang berkedok cinta ini, kami terus menguji dan menebak satu sama lain. Aku bertanya-tanya, apakah dia bisa melihat senyum palsuku, atau kasih sayang yang hanya merupakan ilusi belaka? Hatiku bergidik saat memikirkan kemungkinan itu.Dylan meremas bokongku lebih kuat, membuatku kembali menggeliat di atasnya. Aku mengerang pelan yang terdengar begitu meyakinkan walaupun semuanya han
"Tentu saja aku keberatan karena kamu ngebunuh sahabatku," kataku pelan, berusaha menjaga agar suaraku tetap terdengar lembut tanpa memperlihatkan kemarahan atau kebencian yang tersembunyi di baliknya. Aku menampilkan gambaran sempurna seorang wanita yang jatuh cinta terlalu dalam, yang sedang mengungkapkan kenyataan pahit pada pria yang dicintainya."Tapi Lucas memang sudah sakit parah sejak lama. Bahkan kalau kamu nggak melakukan apa-apa, dia nggak akan bertahan lebih lama lagi. Mungkin, dengan cara ini, kamu justru membebaskan dia dari penderitaan lebih cepat. Selama ini, dia terus dihantui rasa sakit dan siksaan dari segala penyakit yang bikin tubuhnya melemah …."Aku mengangkat bahu seolah-olah kematian Lucas tidak lagi membebani pikiranku."Lagi pula, aku nggak bisa membenci laki-laki yang sekarang jadi alasan jantungku berdetak. Aku cuma ingin bisa bersama orang yang aku cintai, hanya itu yang aku mau. Aku yakin Lucas nggak akan nyalahin aku … atau bahkan nyalahin kamu, karena k
Sudut pandang Sydney:Tawaku meledak karena ucapan Dylan yang menggelikan. Bagaimana mungkin dia bisa cemburu pada orang yang sudah mati?Dylan berdiri di sana, berusaha terlihat mengintimidasi dengan tatapan marahnya, tapi malah terlihat seperti anak kecil yang sedang merajuk. Di saat itu, rasanya hampir seperti saat aku sedang bercanda dengan Lucas, dan bukan dengan Dylan.Konfrontasi ini sebenarnya pertanda baik walaupun tingkah Dylan ini agak terlalu dramatis. Ini artinya sandiwara yang selama ini kurancang dengan hati-hati masih berjalan sesuai rencana.Mungkin aku belum sepenuhnya memasuki hatinya yang gila itu, tapi setidaknya aku sudah berhasil masuk cukup jauh ke dalam pikirannya yang rapuh."Maaf," kataku terkikik sambil menutup mulut dengan tanganku untuk menahan tawa. Aku pun turun dari tempat tidur dan berdiri di hadapannya. Aku tidak bisa menahan rasa geli melihat kecemburuan Dylan terpicu oleh sesuatu yang begitu sepele. Dia benar-benar konyol.Selagi aku masih tertawa p