Aku terdiam. Ucapan Ratna Sari itu langsung menohok ulu hatiku. Maknanya dalam banget. Pasrah, serba menerima, budaya orang lemah, budaya orang putus asa terus terngiang-ngiang di telingaku. Pikiranku melayang jauh, menembus potret di balik bilik-bilik barak di afdeeling warisan Jacobus Nienhuijs. Dalam bilik, dalam bedeng-bedeng, pada hamparan padang pohon uang, di sela-sela pohon karet, pohon sawit, pohon cokelat, pohon teh berisi barisan orang-orang terjongkok, orang-orang yang tak berdaya, orang-orang lemah, bahkan orang-orang putus asa. Orang-orang yang pasrah menerima nasibnya…papah, tulang miskin urat miskin. Mungkin bukan hanya ada di barak-barak atau bedeng-bedeng afdeeling atau onderneming saja, tapi juga ada di rumah kotak-kotak di sekitar pabrik-pabrik sepanjang Jalan Yos Sudarso menuju Belawan atau pabrik-pabrik kawasan industri Medan (KIM) di daerah Mabar atau pabrik-pabrik di kawasan lainnya, gubuk-gubuk kam
Aku jadi terharu mendapat simpati dan dukungan penuh para sahabatku ini.“Bagus! Kalian sudah berani membantah ya?!” ancam Pak Beresman.“Kami merasa tidak pernah membantah Bapak. Tapi kami hanya ingin tahu saja, apa kesalahan Enda Kiebo seperti yang Bapak tuduhkan padanya barusan, hingga Bapak memberi poin minus 50 padanya. Bapak ini tanpa alasan yang jelas, tiba-tiba langsung memvonis bersalah. Itu namanya diktator Pak,” sanggah Ratna Sari dengan berani.Pak Beresman langsung memelototi Ratna Sari yang telah berani menentangnya.“Kalian apa tidak lihat muka si Enda Kiebo ini yang berantakan kayak preman pasar yang habis berkelahi? Apa kalian tidak baca aturan tata-tertib sekolah yang jelas-jelas melarang keras siswa ber-ke-la-hi…”Aku hanya bisa menggigit bibirku, tak tahu apa yang harus kukatakan untuk membela diri. Posisiku memang lagi terjepit. Aku hanya bisa menundukkan kepala sebagai orang pesakitan
Aku jadi terharu lihat sikap solider teman-temanku ini. Sikap teman-temanku ini memberi pelajaran yang berharga padaku untuk meniti hidupku. Jangan ragu untuk mengatakan yang benar dan memperjuangkan kebenaran, walau risikonya sangat pahit sekalipun, tapi jika punya keyakinan dan keberanian diri yang kuat, kebenaran pasti dapat ditegakkan. Kebatilan akan goyah.“Terima kasih atas pembelaan kalian ya!” seruku pada teman-temanku, sambil berjalan perlahan-lahan menuju kantor Pak Beresman melintasi tengah lapangan sekolah.Teman-temanku menyambut ucapanku dengan senyum dan memberi semangat. Siswa-siswa lain pun banyak yang simpati padaku dan perjuangan teman-temanku. Mereka jadi kagum pada kegigihan Ratna Sari, Zainab Maria, Yan Utama, Indra Kesuma, Zulbrito, Suheng, Arif Budiman dan Elfi Zahara untuk berani mengatakan hal yang benar. Mereka pun turut menyemangatiku dengan bertepuk-tangan. Hal ini membuatku berbesar hati, aku pun mengucapkan terima kasihku atas
Setelah beberapa lama menanti, terdengar suara ketukan pada daun pintu. Kami pun berharap orang yang dinanti segera tiba. Semua mata jatuh memandang pintu masuk.“Masuk!” sambut Pak Beresman tajam.Sesaat kemudian, pintu terbuka dan nongollah kepala Jafar, yang ditugaskan Pak Beresman untuk menjemput Benhart Cs. Jafar tanpa basa-basi langsung menyuruh Benhart, Bogeld dan diikuti Liem Bok segera memasuki ruang kantor. Benhart masuk dan sempat melirikku dengan sinis dan kebetulan aku juga memandangnya dan kami pun sempat beradu mata sesaat. Kulihat sinar kebencian memancar dari sorot mata Benhart itu. Namun, aku tetap menatapnya tanpa berkedip dan tanpa ekspresi perasaan dendam sama sekali padanya tepat di sudut dalam mata kirinya. Wow! Setelah aku dewasa baru tahu kalau sudut dalam mata kiri merupakan titik kelemahan setiap orang. Jika sudut dalam mata kiri seseorang dipandang dengan tanpa berkedip, maka bagaimana pun keras hatinya, tentu akan melumer. Atau
Siapa yang tidak galau? Jika banyak orangtua omong, bahkan di media koran, majalah, bahkan TV mengungkap nada sumbang, “Produk bangku sekolah di Indonesia tidak siap pakai…” ungkapan itu tentu membuat hatiku gundah dan kecil hati, atau boleh dibilang hampir mematahkan spiritku untuk sekolah. Padahal, aku sangat berharap banyak setelah aku punya kesempatan untuk sekolah. Apalagi, sering kudengar di kedai-kedai, di warung-warung, di sawah, di pondopo, di pos ronda, di tempat keramaian ada saja yang memperbincangkan, membenarkan fakta yang terjadi di dunia pendidikan di tanah air. Fakta memang yang terjadi hampir begitu karena banyak siswa yang mengalami kefrustrasian begitu keluar sekolah, jadi pengangguran. Mereka mengalami kegamangan ketika memasuki dunia kerja, ternyata kecakapan-kecakapan yang dimilikinya belum memadai untuk memenuhi kebutuhan dunia kerja.Sudah tentu, fakta-fakta ini tidak jarang menimbulkan s
Pak M. Manurung tersenyum lihat gaya Suheng dan Indra Kesuma yang menghibur itu.“Inilah korban dari sistem klasikal yang tidak ideal. Di antara kalian tidak sedikit yang jadi korban. Idealnya dalam setiap kelas hanya antara 15 - 20 anak saja yang belajar, sehingga setiap anak mendapat pelayanan penuh dalam belajar. Tapi kelas kalian ini yang lebih dari 50 anak, bagaimana mungkin semua anak dapat dilayani oleh seorang guru. Guru itu dihadapkan pada keterbatasan kompetensi dan waktu dalam mengajar. Bahkan, yang membuat guru tidak maksimal dalam mengajar karena penghasilan yang minim hingga kurang fokus dalam mengajar. Pikiran guru terganggu oleh urusan-urusan di luar seperti masalah kesulitan memenuhi kebutuhan keluarga, kegiatan lain di luar dan sebagainya.”“Lantas, solusinya bagaimana Pak? Sudah tentu, kami tidak ingin jadi korban dari keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki guru,” timpal Yan Utama.Pak M. Manurung merasa gembira dengar
“Ah, kau ini ada-ada saja, Enda!” sanggah Yan Utama. “Enggak ada itu.”“Aku penasaran aja, Yan,” tukasku. “Habis tiada soal yang sulit bagimu setiap ulangan tuh. Semuanya kau lalap dengan mudah. Ya-enggak teman-teman?”“Akur sekaliii…!” sambut teman-temanku bersamaan.“Betul tuh Yan!” sambut Indra Kesuma kemudian tidak mau ketinggalan.“Atau Yan beguru nih? Kasih taulah siapa gurumu itu?! Aku kan ingin pintar juga kayak kau,” timbrung Suheng membanyol.Yan Utama langsung monyongkan mulutnya dengar banyolan Suheng, cemberut.“Ah Yan, takut kali disaingi nih gak mau kasih tau siapa guru danghyangnya pada kita,” ledek Suheng kembali. (Danghyang = sang pemilik kekuatan ghaib).“Ini gurunya Suheng!” jawab Yan Utama dengan mengacungkan bogemnya, balas banyolan Suheng.Elfi Zahara, Ratna Sari, Zain
Wow! Pulang sekolah. Jika dilihat dari udara anak-anak yang berhamburan keluar ruang kelas sekolah tampaklah panorama konfigurasi putih-putih nan indah bergegas beriring-iring menuju satu muara, yaitu gerbang sekolah. Wajah-wajah ceria dan lega laksana habis melepas himpitan beban derita sepanjang hari dominan menghiasi konfigurasi dan berbaur dengan wajah-wajah letih bagi kaum calon cendikia. Ada yang langsung bergegas menuju gerbang sekolah dengan setengah berlari, melangkahkan kaki, sambil mengobrol dan ada yang menyerbu tempat parkir kereta angin dahulu, termasuk diriku.“Enda ini bungkusan apa?” tanya Yan Utama begitu dilihatnya ada bungkusan plastik menggantung di stang kereta anginku, saat kami berjalan sejajar menuju gerbang sekolah.“Oh, itu baju Sundari yang baru selesai dijahit Emakku,” sahutku ringan.Mata Yan Utama terbelalak, berbinar-binar begitu nama Sundari kusebutkan. Sebuah nama yang telah menggetarkan senar jiwanya, me
Aku jadi teringat seorang keturunan Tionghoa, namanya Aseng, alias Tony Hartono penduduk Pulo Brayan Kota, yang memulai usaha mebel dekat rumahku. Pada awalnya dia tidak punya keterampilan apapun dan modal pun tak punya, tapi dia bisa lihat peluang usaha mebel sangat menjanjikan pada masa itu. Lalu Aseng ini cari modal dengan cara pinjam sana, pinjam sini. Setelah dengan susah payah, akhirnya dia dapat juga pinjaman dari sanak saudaranya untuk sewa emperan rumah tetanggaku dan modal untuk buat satu lemari pakaian, plus upah tukang buat satu lemari. Selesai satu lemari, lalu dipasarkan ke toko mebel yang ada di Pulo Brayan Kota. Setelah laku, lalu buat lagi satu lemari, kemudian bisa buat dua lemari dan terus berkembang. Kemudian pekerjanya pun bertambah jadi tiga orang, lima orang. Setelah usaha berkembang pesat, Aseng ini buat izin usaha. Setelah izin usaha didapat, dia buat proposal untuk mengajukan kredit pada sebuah Bank di Medan, walau tanpa memiliki agunan. Namun, dia buat pro
Hari ini merupakan hari akhir bagi kami untuk tuntaskan hasil investigasi pemahaman dan cara pengembangan networking. Hari akhir pengumpulan hasil investigasi ini kami laksanakan di bawah pohon Delonix regia (Plamboyan) yang ada di halaman sekolah. Kami pun membentuk lingkaran, agar satu sama lain dapat saling pandang. Semua temanku sekelas turut hadir, baik yang jadi penyampai hasil investigasi maupun yang jadi pengamat.Sebelas. Pada poin kesebelas ini disajikan tentang percaya diri. Daryanto didaulat untuk menyampaikan pandangannya. Dia pun dengan penuh percaya diri menyampaikan pendapatnya, “Aspek kepercayaan diri juga sangat diperlukan dalam membina relasi. Ketika kamu mulai memasuki suatu perkumpulan di mana banyak orang yang berbeda sifat, berbeda status ekonomi sosialnya, kamu harus siapkan diri. Jauhkan sifat minder dalam diri kamu dan yakinkan diri kamu bahwa kamu sebenarnya sama saja dengan orang lain. Kamu harus memiliki kepercayaan diri untuk mula
Kali ini aku tidak sendiri dalam merangkum investigasi pemahaman tentang networking. Aku ditemani oleh Yan Utama, Zulbrito, Syamsul Bahri dan Indra Kesuma. Rumah pohonku pun sedikit berayun diisi lima orang sekaligus. Namun, batang pohon jambu monyet sebagai penyangga dan pelindung, aku rasa masih kuat dan amanlah untuk kami berlima. Kami pun sudah siapkan hasil investigasi masing-masing.Kedelapan. Syamsul Bahri membuka pembicaraan. Dia ulas tentang kemampuan untuk mendengarkan. Katanya, “Kemampuan untuk mendengarkan sangat diperlukan dalam membina suatu hubungan. Dalam hal ini kamu dituntut untuk menjadi seorang pendengar yang baik terhadap lawan bicara kamu. Pada awal hubungan biarkan lawan bicara kamu bicara dan bebas utarakan isi pikirannya. Kamu hanya bertugas untuk memasang telinga baik-baik dan perhatikan isi pembicaraannya. Kamu bisa berikan tanggapan terhadap isi pembicaraan lawan bicara kamu, namun kamu harus perhatikan jedanya. Pemb
Kini aku berada di rumah pohonku kembali. Aku ingin merangkum pengetahuan yang dijabarkan oleh Pak Bambang, Ibu Nursyiah dan teman-temanku tentang networking ini berdasarkan investigasiku.Pertama, Pak Bambang pernah menyatakan pada kami, “Seseorang dikatakan baru sukses belajar, tentunya apabila dirinya mampu membuktikan atau mengimplementasikan hasil belajarnya di tengah-tengah masyarakat atau dunia kerja. Sementara, kesuksesan di tengah-tengah masyarakat atau dunia kerja sangat ditentukan oleh kemampuan membangun relasi (networking). Begitu juga, keberhasilan dalam mengimplementasikan hasil belajar tentu harus didukung oleh bagaimana kemampuan dirinya membangun relasi yang berkualitas dengan orang atau sekelompok orang.“Kedua, kata Pak Bambang berikutnya, “Makanya, kamu harus ingat dan tak boleh meremehkan atau mengabaikan keterampilan membangun relasi, terutama sangat dibutuhkan di saat kamu tel
Bagi anak yang ingin mengubah nasib keluarga, ucapan Pak Bambang tentu mengusik hatiku. Terpikirkan terus olehku. Aku ingin mengungkap makna dari penjelasan Pak Bambang itu. Makanya wahai sahabat, biasanya kalau aku ingin cari pencerahan, aku suka nyepi. Tempat ideal bagiku adalah rumah pohon. Kebetulan di belakang rumahku itu ada pohon jambu monyet. Pohon jambu monyet ini tinggginya ada kali 15 meter. Usia pohon jambu monyet itu sekitar 50 tahun. Lihat saja lingkar pohon sudah mencapai hampir 1 meter. Di atas pohon jambu monyet itulah aku buat rumah pohon dengan ketinggian 10 meter dari tanah. Dari atas rumah pohon, aku dapat memandang seluruh penjuru kampungku. Pemandangan kampungku itu ternyata cukup menawan dilihat dari atas. Aku bisa lihat semua aktivitas warga yang berada di luar ruang. Aku merasa nyaman berada di atas rumah pohon ini dan membuat pikiranku jadi plong. Hatiku pun jadi damai. Nah, ini yang tidak dapat kucegah, pikiranku jadi liar menjelajah entah apa saja yang m
Sementara itu, Pak Bambang beranjak ke depan. Dari tengah kelas dia melanjutkan petuahnya.“Hukum alam yang terjadi di tengah-tengah masyarakat itu sangatlah kejam bagi mereka yang tidak menyadarinya. Setiap individu akan terseleksi berdasarkan kemampuannya beradaptasi. Bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan yang memadai, maka akan tersisih.”Aku sempat menoleh memandang Yan Utama sang barometer kelas kami. Aku lihat Yan Utama begitu serius dengar petuah dari Pak Bambang ini. Seolah-olah dia ingin menyibak kunci rahasia kehidupan.“Ingat, hanya orang-orang yang piawai yang mampu untuk mensiasati diri agar dapat eksis di dalam masyarakat,” ujar Pak Bambang dengan lugas. “Kalian harus sadar belajar keras saja belumlah cukup bagi kalian untuk dapat bertahan hidup. Apalagi mendapatkan tempat utama di tengah-tengah masyarakat.”Kami terhenyak dengar perkataan Pak Bambang itu.‘Apa belajar keras saja belum cuk
Tak terasa, kini kami telah duduk dibangku kelas tiga. Ternyata, perjuangan kami belumlah usai, masih jauh menggapai mimpi. Apalagi, kami harus waspada hukum alam senantiasa mengintai setiap langkah dan banyak orang tidak menyadarinya. Kemenangan kami dalam ajang kontes Karya Ilmiah Remaja itu hanya merupakan bagian kecil, tapi sangat bermakna dalam proses pendewasaan cara berpikir, maupun cara menyusun sebuah proyek kerja yang berdaya guna. Kami menyadari, tidak banyak orang yang beruntung memperoleh kesempatan emas ikut dalam sebuah ajang kompetisi yang bergengsi tersebut. Kesempatan emas untuk mengasah kompetensi diri dan mengangkat kepermukaan kualitas diri yang tanpa kami sadari sangat berguna untuk kemudian hari. Walau demikian, masih banyak tantangan berikutnya dalam pendewasaan kami untuk mengarungi dinamika kehidupan. Tantangan apa lagi yang mungkin akan kami hadapi kemudian?Pagi itu, kata guru kami dari balik meja kerjanya, “kalian harus
Kami sempat terkejut dengar pertanyaan yang tidak kami duga itu. Dewan juri ingin menelanjangi kami, meruntuhkan moral kami. Bagaimana mungkin kami mau mengungkapkan kelemahan hasil karya ilmiah kami ini di depan dewan juri maupun tim lawan? Bahkan, di hadapan suporter lawan yang sedang menanti-nanti kelemahan tim kami. Aku dan Yan Utama saling pandang. Begitu juga dengan Zulbrito dan Daryanto. Kami langsung mendiskusikan secara kilat pertanyaan itu. Bukan karena kami tak mampu menjawab pertanyaan itu, tapi kami kuatir arah pertanyaan juri keempat itu merupakan pertanyaan jebakan yang dapat meruntuhkan penyajian tim kami.Dewan juri tersenyum-senyum lihat kami jadi kelabakan dengan pertanyaan sederhana itu. Mereka menguji kerja sama tim kami dalam memecahkan pertanyaan sederhana yang mereka ajukan itu dengan memberi ruang waktu sejenak pada kami.“Pertanyaan ini bukan jebakan?” bisik Zulbrito kuatir.Mereka memandangku karena aku yang punya ide awal
Yan Utama pun memperlihatkan gambar sketsa bentuk alat modifikasi energi gelombang laut menjadi penggerak bandul ganda yang membentuk huruf “A” dihubungkan dengan as roda gigi besar. Lalu dari roda gigi besar dihubungkan dengan transmisi putar menggunakan rantai ke double freewheel yang kemudian rantai kedua dihubungkan kembali pada fly wheel (roda gila) untuk memperbanyak putaran (rpm) dan dihubungkan ke dynamo listrik. Yan Utama pun menjelaskan gambar sketsa itu secara detail pada dewan juri maupun hadirin menggunakan slide proyektor (OHP).“…energi gelombang laut itu secara sederhana dapat dimodifikasi menjadi penggerak atau pengayun bandul ganda di atas perahu. Lalu, poros as bandul ganda dapat dihubungkan dengan as yang dapat memutar roda gigi besar. Dari roda gigi besar itu dibangun transmisi putaran yang dihubungkan dengan double preewheel menggunakan rantai. Kemudian rantai kedua dari preewheel dihu
Dalam sebuah gedung Gelanggang Remaja Medan yang terletak di Jalan Sutomo Medan, suasananya sungguh mencekam. Wakil regu kami, aku, Yan Utama, Zulbrito dan Daryanto dicecar habis dewan juri.Kali ini buah pikiran kreatif kami diuji untuk mempertaruhkan reputasi. Lomba Karya Tulis Ilmiah. Kami yang baru melek ilmu berhadapan dengan raksasa yang punya nama besar dalam ajang perlombaan bergengsi seperti ini, sebut saja: sekolah Sutomo, Methodist, St. Thomas, Budi Murni maupun SMP 1 Medan. Baru lihat kostum penampilan peserta yang punya nama besar di kota Medan itu saja sudah buat kami berkecil hati. Jantung kami jatuh bangun dibuatnya. Kalau boleh dibilang, kami ini tak ubahnya seperti anak kemarin sore atau anak bawang.Walau dianggap anak bawang, namun sekolah, guru-guru, maupun siswa lainnya menaruh harapan besar di pundak kami. SEBUAH MIMPI. Kami diharapkan dapat membuka sejarah SMP 9 Medan, jadi pemenang lomba Karya Tulis Ilmiah. Kami diharapkan dapat mengangka