Keras KepalaUcapan Mas Reno membuat Farida tertunduk. Bahunya terguncang. Kudekati dia, dan mengusap bahunya perlahan. Ibu dan Tika terlihat kaget melihat gesture tubuhku yang terlihat dekat dengan Farida. "Sabar. Tenangkan dirimu, Farida." "Jangan gila kamu, Reno! Langkahi dulu mayat Ibumu kalau kamu berani membawa gadis murahan ini masuk dalam keluarga kita!" Suara lantang ibu Mas Reno membuat kami semua yang berada di ruangan itu membelalak. "Jangan sebut anakku murahan. Kalian ini sebenarnya mau apa ke mari? Dan…Siapa perempuan ini?" tanya ibu mertuaku yang tetap membela Tika. Yang membuatku makin kesal, justru Tika makin menghilangkan jarak antara dirinya dan Mas Reno. Dia melilitkan tangannya ke lengan laki-laki itu. Entah bagaimana perasaan Farida saat ini. "Ini. Lihat ini! Apanya yang bukan murahan kalau dia masih berani memepet anak saya di depan istrinya? Apakah gadis ini tak pernah mendapatkan ajaran norma dari keluarganya hingga berbuat sehina ini?" Ibu mertuaku ter
"Kau dengar Reno, bahkan jika nantinya kau benar-benar menceraikan Farida, Ibu tak akan pernah bisa menerima gadis ini sebagai menantu Ibu. Haram rumahku diinjak oleh perempuan hina yang tega menyakiti hati perempuan lain demi kesenangannya sendiri!" Ibu Mas Reno menarik tangan Farida dan memapahnya keluar rumah. Sampai di depan rumah, Farida tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Mungkin ceritanya akan lain jika kau berselingkuh dengan wanita yang lebih berkelas, Mas. Tetapi jika melihat betapa rendahan seleramu saat ini, tentu membuatku makin tak habis pikir. Jika kelebihan dia hanya kelincahannya saat berada di ranjang, maka kupastikan kau akan segera minggat setelah ada wanita lain yang lebih memuaskanmu. Alasanku bertahan selama ini hanya karena ibu. Setelah Ibu mengizinkan kita berpisah, maka tak akan ada halangan lagi untukku menyelesaikan kasus perceraian kita. Menikahlah dengan wanita pilihanmu, meski itu artinya kau akan kehilangan segala hak istimewa di dalam keluargamu!" Fa
Benarkah yang Diucapkan Tika? Setelah keributan di rumah mertuaku beberapa minggu yang lalu, aku tak pernah mendengar kabar apapun dari keluarga suamiku itu. Setiap kali berangkat sekolah, aku berusaha menghindari keingintahuanku mengenai Tika dan Mas Reno selanjutnya. Percuma saja berdebat dengan kedua orang itu. Dengan ribuan saran sekalipun tak akan ada satu pun yang bersarang di pikiran mereka. Hanya pendapat mereka sendiri yang paling baik. Aku sebenarnya cukup heran dengan peran bapak mertuaku. Sebegitu tak punya peranankah hingga tak mampu meluruskan sikap istri dan anaknya yang salah? Sekarang aku tak ingin memikirkan sesuatu yang bukan urusanku lagi. Begitu pun Mas Riza, dia belum ke rumah orang tuanya setelah kejadian itu. Tetapi belum lama ini bapak mertuaku datang ke rumah. Entah apa yang dibicarakan dengan Mas Riza. Aku hanya melihat perbincangan mereka yang cukup serius. Sepertinya bapak membicarakan sesuatu yang cukup privasi, hingga suaranya pun tak bisa kudengar m
Aku melepas Mas Riza dengan perasaan haru. Mas Rizaku akhirnya benar-benar melaksanakan rencananya. Aku pun bersyukur, Andi yang masih single itu mau menemani suamiku pergi ke salah satu kota di Pulau Sumatra itu. Dengan menggendong tas ransel yang berisi beberapa helai pakaian, Mas Riza berpamitan padaku. Travel yang membawanya ke bandara sudah menunggunya di depan rumah. Aku sudah berpesan pada Andi untuk mengingatkan Mas Riza jika sudah tiba waktunya makan. Mas Riza terkadang mengabaikan jadwal yang satu itu.Anak-anak melambaikan tangan ke arah ayahnya. Aku tersenyum mencoba meyakinkan Mas Riza mengenai keputusannya kali ini. Aku harus meyakinkan padanya, apa yang dia putuskan kali ini memang benar-benar langkah yang tepat. Tidak lama aku menutup pintu, kudengar suara gaduh dari arah depan. Sebenarnya aku sudah menebak siapa orang di balik pintu itu. Hanya saja rasa malas membuatku enggan beranjak dari tempatku berdiri saat ini. Kugiring anak-anak masuk ke kamar mereka. Kukatak
Keputusan Farida "Hallo. Di mana kau sembunyikan Mas Reno, hah? Kenapa nomornya tak bisa kuhubungi? Jangan macam-macam denganku!" Tika berteriak pada Farida setelah mengambil paksa ponsel yang tadinya kugunakan. Amarahku tiba-tiba menggelegak melihat tingkahnya yang kurang ajar. "Hallo? Jangan pura-pura tak mendengarku! Dengarkan aku wanita bod*h! Sekarang aku tengah mengandung anak suamimu! Jadi jangan coba-coba menyembunyikannya sekarang! Dasar ibl*s betina!" Lututku lemas seketika mendengar makian dari mulut Tika. Tidak hanya itu, apa yang dia ungkapkan barusan membuatku ikut andil telah mendzolimi Farida, temanku. Entah bagaimana kondisi temanku itu sekarang. "Hallo… Hallo! Heh! Sial! Kenapa dimatikan?!" Tika mendelik ke arahku. Dia mengangsurkan ponselnya padaku dengan kasar. "Telepon lagi! Cpt!" perintahnya. "Nggak! Aku nggak mau jadi perantara kamu melakukan kedzoliman pada temanku! Urusi saja urusanmu sendiri. Aku tak mau ikut campur!" "Dasar menantu tak guna! Apa sus
Astaghfirullah. Lututku lemas hingga kujatuhkan beban tubuhku ke atas sofa. Dadaku bergemuruh, napasku kini terasa sesak. Aku tak bisa mempercayai ada seorang ibu yang mampu bertindak serendah itu. Bahkan dia dengan liciknya memberi saran pada anak perempuannya untuk berbuat sehina itu? Aku menatap kedua anak dan ibu itu bergantian. Tak kusangka, aku hidup dengan dua wanita tak bermoral ini. Bahkan kukira sikap mereka lebih buruk dari binatang. "Bu… bagaimana kalau kita mendatangi tempat kerja Mas Reno?" ungkap Tika pada ibunya. "Memangnya kamu tahu di mana kantornya bekerja?" Tak kusangka, gadis menggeleng lemah. Aku makin tak habis pikir dengannya. Bisa-bisanya dia bertindak sebodoh itu. Menyerahkan harga dirinya pada lelaki yang ternyata masih sah menjadi suami orang. "Bod*h! Kenapa kamu bisa bertindak sebod*h itu, Tika? Ibu mengajarimu main cantik, bukan bertindak sembrono seperti ini! Mana Masmu tidak di sini. Ke mana lagi kita akan meminta pertolongan?" Kali ini ibu terliha
Kemalangan Tika"Fa… kamu baik-baik saja?" Terdengar helaan napas dari ujung panggilan. Aku tahu, tak mudah menjadi Farida saat ini. Aku pernah merasakannya. Hanya bedanya, saat itu Mas Riza tak terbukti menghamili wanita lain. Sedangkan Mas Reno, aku yakin sekali benih yang tertanam di rahim Tika memang anaknya. "Sepertinya aku akan mantap bercerai. Aku sudah tak mampu lagi bertahan. Jangan sampai tujuanku mempertahankan pernikahan hanya karena menghargai perasaan Ibu saja. Aku pun ingin bahagia. Maka jalan satu-satunya aku harus melepaskan sesuatu yang membuatku merasakan sakit itu." Darahku mendesir mendengar penuturan Farida. Aku tak menyangka, rumah tangganya yang masih seumur jagung itu harus berakhir dengan cara semenyedihkan ini. Bahkan adik iparkulah yang menjadi dalang semua ini. "Baiklah, kamu yang sabar ya. Aku pasti dukung kamu. Kamu berhak bahagia, Fa." "Mas Reno tidak di rumah, Vit. Sejak kejadian pelabrakan itu dia tak pulang. Bahkan nomornya pun tak bisa dihubung
"Mbak. Risa sudah kumandikan, Lala juga sudah siap berangkat sekolah. Aku berangkat dulu ya Mbak," pamitku pada Mbak Marni yang langsung dibalas anggukan oleh wanita itu. Kulajukan sepeda motor dengan kecepatan rata-rata. Pikiranku menerawang menebak apa yang sebenarnya terjadi dengan Mas Reno dan bapak mertuaku. Cerita dari Mbak Marni tentu harus kutelusuri.Tak butuh waktu lama, aku sudah sampai di depan rumah mertuaku. Mobil Mas Reno berada di depan rumah itu. "Kemana otakmu, hah? Dasar biadab! Bisa-bisanya kamu mengulangi perkataan itu berulang kali? Kau pikir anakku serendah itu?" Teriakan bapak mertua mengagetkanku yang baru melangkah di ruang tamu. Aku menutup mulutku yang refleks menganga setelah melihat kondisi rumah yang berantakan. Vas bunga, televisi layar datar, bahkan meja sofa dari kaca juga tak luput dari kehancuran. Ibu mertuaku duduk di lantai dengan tatapan hancur. Mas Reno seperti yang diceritakan Mbak Marni barusan, keadaannya babak belur dengan bibir yang berd
Anak-anak sudah tidur di kamar mereka. Ibu pun tak terlihat keluar lagi setelah jam sembilan tadi. Sedangkan Mas Riza sendiri entah apa yang dilakukannya di luar. Kurasa dia tengah menghubungi pegawai tokonya yang sedang melakukan proses bongkar kiriman gula pasir dari suplier. Aku bersyukur sekali, usaha Mas Riza berkembang begitu pesat seiring perjalanan waktu. Sungguh perjalanan yang tak mudah, aku dan Mas Riza sangat beruntung berada di posisi kami ini. Cobaan hidup yang tak mudah sudah kami lewati. Sungguh kuasa Tuhan, pemilik seluruh alam semesta dan isinya. Tak ada yang tak mungkin, seperti perubahan pada Tika contohnya. Gadis yang amat kubenci itu akhirnya berubah seiring pernikahannya yang juga tak semulus jalan tol. Aral melintang pun mereka jumpai di perjalanan rumah tangga Tika dan Tio. Tak kusangka, lelaki yang bukan berasal dari keluarga tak berpunya itu justru menjadi satu-satunya lelaki yang bisa menaklukkan hati Tika yang keras bagai karang. Sungguh kuasa Allah, p
Aku mengelus dada mendengar kabar wanita yang entah kemana nuraninya berada. Lila kini meringkuk di dalam penjara, berteman sepi. Tak ada lagi harta yang dia bangga-banggakan untuk menekan Tika. Tak ada lagi harta yang bisa dia sombongkan di depan orang-orang. Lila kembali menjadi kaum papa yang bahkan entah kapan bisa menghirup udara bebas. Dan kabar orangtua dan adik-adiknya yang baru sekejap menikmati harta peninggalan Pak Ranu kini kembali hidup seperti semula. "Makan, Bu," ucapku perlahan pada wanita yang dulu seringkali mencaci maki diriku. Terkadang masih ada ketakutan yang kusimpan saat beradu pandang dengan ibu tiri Mas Riza itu. Aku takut dia akan bertindak brutal padaku. Namun lagi-lagi itu hanya ketakutanku saja, nyatanya selepas dari rumah sakit jiwa kondisi Ibu seperti kehilangan tenaga. Waktunya hanya dihabiskan untuk melamun, dengan sesekali bibirnya meracau tak jelas. Hanya ungkapan maaf saja yang mampu kutangkap dengan jelas. Selebihnya tidak. "Bu," panggilku seray
Akhir Sebuah Kisah (Ending) Kutatap suami istri yang seluruh rambutnya memutih. Sang suami, duduk di atas kursi roda yang beberapa tahun terakhir setia menemani setiap pergerakannya. Beruntung setelah melewati puluhan kali terapi dan juga pengobatan, laki-laki itu mulai menampakkan hasil yang menggembirakan. Meski separuh tubuhnya sulit untuk digerakkan, cara bicaranya sudah kembali lagi seperti semula.HSementara sang istri duduk termenung di atas kursi kayu yang juga sengaja disiapkan di salah satu sudut rumah yang menghadap ke jalan. Pandangannya kosong, dan itu lebih baik dari pada keadaanya yang sebelumnya. Kami sekeluarga sepakat untuk merawatnya di rumah setelah dokter yang menanganinya memberi rekomendasi. Ibu sudah menampakkan kemajuan yang berarti menurutku. Dia tak pernah bertindak brutal seperti sebelumnya. Hanya sesekali dia berkata pada dirinya sendiri yang ucapan yang sama yang selalu diulang-ulang. "Maaf, maaf, maaf…."Siapapun yang dilihatnya, terlebih padaku yang
"Mas, bagaimana aku bisa melupakan hal yang membuatku menanggung malu seumur hidup?" Tika mengusap air matanya yang jatuh tak terbendung. "Bahkan aku selalu didera rasa malu pada suamiku. Aku merasa tak percaya diri dengan diriku sendiri. Aku begitu kotor, menjijikkan. Lebih-lebih saat ada wanita itu, yang mengorek luka lamaku. Dia membuatku muak, dia membandingkan dirinya denganku yang memang tak pantas bersanding dengan Mas Tio. Oleh karenanya aku ingin sekali mencari laki-laki yang memang bertanggung jawab pada semua yang menimpaku ini. Aku tak bisa membiarkannya lepas begitu saja. Itu terlalu menyakitkan untukku!" "Tik, tapi kau bisa membicarakannya denganku! Bukan dengan lelaki itu! Kau membuatku berpikir macam-macam!" Suami Tika pun sama dengan Mas Riza. Intonasi suaranya menunjukkan betapa laki-laki itu marah dengan perbuatan istrinya. "Maaf, itu memang salahku." "Ya, hanya kata itu saja yang mampu kau katakan! Kau tak mampu mengucap hal lain karena memang kau tak percaya p
Mengulangi Kesalahan"Kenapa Tik?" Sepasang suami istri di depanku dan Mas Tio ini menunduk, sementata Fatih—anak mereka duduk di lantai bermain dengan kedua anakku. Tika nampak memainkan kedua tangannya. Terlihat sekali tangan wanita itu bergetar. "Tio, ada yang bisa kalian katakan? Apakah hal yang membuat kalian seperti ini?" tanya Mas Riza dengan suara pelan. Bapak yang tidur di kamarnya menjadi satu-satunya orang yang menjadi alasan diab bersikap demikian. "Adakah yang bisa Mas Riza atau Mbak Vita bantu?" Lagi-lagi pertanyaan Mas Riza hanya ditanggapi sepi. Tak ada yang membuka mulutnya. "Tolong, jaga Bapak baik-baik. Kalian tahu sendiri di rumah kami ada Ibu, tak mungkin membiarkan Bapak tinggal disana. Kuharap kalian mengerti kondisi kami. Terima kasih sekali kalian bersedia tinggal di rumah ini bersama Bapak. Mudah-mudahan keadannya segera membaik." "Mas, ada yang ingin kukatakan sebenarnya. Mohon maaf jika momennya kurang pas. Tetapi ini harus segera diselesaikan dengan
Aku menoleh cepat ke arah lelaki itu. Kalimatnya memberi tamparan untukku. Ada sudut hatiku yang nyeri mendengar kenyataan bahwa dia membutuhkanku sebagai teman untuk berdiskusi. Apakah hanya sebatas itu arti diriku baginya? "Bun, aku benar-benar pusing saat ini. Tolong, bantu aku untuk menghadapi semua ini bersama-sama." "Memangnya ada lagi fungsiku bagimu selain untuk menghadapi seluruh masalah-masalahmu itu?" ucapku sinis. Kupandang dengan raut masam lelaki di depanku. Rasanya memang apapun yang dilakukan atau dikatakan Mas Riza tak akan benar di mataku. "Bun, tolong jangan memperkeruh suasana." Aku berdiri, tak terima dengan tuduhannya. Dadaku naik turun menahan emosi yang kembali tersulut akibat perkataan suamiku. "Ini, lihat ini! Aku atau adikmu yang memperkeruh suasana. Aku tak habis pikir dengan kelakuannya!" Kuberikan ponselku ke tangannya berharap dia tak banyak bicara dan langsung melihat foto yang kutunjukkan. Seketika mata lelaki itu membulat, menatap tak percaya l
Perdebatan di Rumah Sakit Rencana untuk menjenguk Ibu Sari di rumah sakit kami tangguhkan. Kondisi Bapak lumayan mengkhawatirkan. Badannya kaku, tak bisa digerakkan. Aku yang melihatnya dari samping kiri ranjang tak kuasa menahan air mata. Rasanya tak percaya kemarin kami baru saja menemuinya di rumah saat mengantar makanan. Lelaki itu nampak sehat, tak disangka kini dia terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Kudengar erangannya lirih, menandakan apa yang dia rasakan benar-benar menyiksanya. Mas Riza menangkupkan kedua tangan di wajah, sesekali dia terdengar helaan napasnya yang cukup berat. Aku yang sebenarnya masih malas berbicara dengan Mas Riza dengan agak terpaksa menemani lelaki itu ke rumah sakit. Sore tadi Tika mengabarkan kalau dia tak bisa bergantian jaga dengan Mas Riza. Entah apa alasannya, aku pun malas bertanya lebih lanjut. Moodku sudah hancur berkeping-keping karena ulah Rahma. Meski ini pun bukan sepenuhnya salah wanita itu. Mas Riza yang tak mampu berpikir
"Mantan pacarmu mengembalikan ponselmu yang tadi terbawa olehnya. Dia juga titip pesan padamu untuk mengantar motor yang sudah digunakan kalian untuk berboncengan ke rumah sakit besok pagi. Oh ya, satu lagi. Ada salam pula dari wanita itu. Untukmu." Aku segera menekan kata terakhir padanya. Amarahku benar-benar menggelegak kali ini. Seharian tanpa kabar, tiba-tiba Farida mengabari hal yang tidak mengenakkan sama sekali, kemudian kedatangan Rahma ke rumah ini untuk menceritakan apa yang telah terjadi, sungguh membuat kepalaku sakit tak terkira. "Bun, bisa dengar penjelasanku?" ucap Mas Riza dengan penuh permohonan. "Tadi aku buru-buru sekali hingga tak sempat berpikir panjang. Kabar yang menimpa Bapak membuatku tak bisa berpikir hati-hati. Aku langsung mengiyakan ajakan Rahma untuk menaiki mobilnya ke rumah sakit. Maaf, Bun. Mobil toko sedang dibawa Rian untuk mengantar pesanan minyak dalam jumlah banyak. Dan motor, kau tahu sendiri motornya sedang di bengkel." Penjelasan Mas Riza sa
Kuberikan sepiring nasi beserta lauknya kepada Risa dan segera ke depan untuk menemui tamuku. Dari dalam rumah aku bisa melihat seorang wanita berdiri membelakangi pintu. Saat pintu kubuka, rasanya jantungku hampir terlepas melihat sosok itu berbalik. Wanita yang sempat membuat rumah tanggaku berada di ujung tanduk tersenyum tanpa rasa bersalah sedikit pun. Wajah itu kini berubah, jauh lebih cantik. Jika dulu dia hanya berani mengenakan make up tipis, tidak dengan sekarang. "Hai, Mbak. Apa kabar?" tanyanya dengan senyum yang tak bisa kuartikan. Aku mencoba menormalkan degup jantungku dan tampil dengan ekspresi sebiasa mungkin. Aku tak ingin dia merasa keberadaannya membuatku khawatir. Aku tak ingin dia merasa besar kepala. "Baik, ada perlu apa?" Aku langsung menanyakan hal tersebut langsung. Tak ada keinginan untuk basa-basi padanya. Bayangan tentang masa lalunya yang begitu licik membuatku enggan melakukan hal tersebut. Lagi pula aku penasaran dengan tujuannya kemari. "Mas Riza a