Arumi menghampiri Dinda yang tengah menonton televisi di ruang tengah.
"Anak Mama makan dulu, yuk!" ucap Arumi sembari mengalungkan lengannya ke pundak bocah itu."Nanti aja, Ma. Filmnya lagi seru!" sahut Dinda. Matanya awas menatap layar televisi yang menayangkan film animasi hewan kesayangan Dinda."Nontonnya kan bisa nanti lagi. Dinda belum makan lho dari siang, nanti Dinda sakit!" bujuk Arumi."Tapi, Ma, filmnya lagi seru. Sebentar lagi si Ochan akan bertemu dengan ayahnya!" sahut bocah polos itu. Tiba-tiba ekspresi wajah Dinda berubah. Dinda yang awalnya tertawa senang saat melihat film kesayangannya, tiba- tiba menjadi murung saat menyebut kata ayah. Arumi tahu Dinda sangat merindukan papanya."Kamu kenapa, Sayang?" Arumi menyentuh pipi bakpau bocah itu. Menatapnya penuh cinta kasih."Dinda kangen papa, Ma," ucap bocah itu. Matanya terlihat sayu menatap mata sang mama. "Kapan sih, papa akan pulang ke rumah ini?" ucapnya lagi.Arumi membalas tatapan Dinda. Ia menarik sudut bibirnya, tersenyum ke arah Dinda."Papa bilang hari ini papa akan pulang, Dinda jangan sedih lagi ya," ucap Arumi.Mata bocah itu mengerjap. Sesaat kemudian binar bahagia terpancar jelas dari matanya, setelah mendengar perkataan Mamanya. Gadis kecil itu kemudian berdiri dan tersenyum lebar. "Beneran papa pulang, Ma?" Sekali lagi bocah itu bertanya pada Arumi."Ya tentu saja bener, apa pernah Mama bohongi Dinda?"Gadis kecil itu mengangguk lalu berjingkrak senang. "Asyik papa pulang!" teriaknya sambil berlari mengelilingi sang Mama yang masih berjongkok di atas lantai. Arumi bisa tersenyum lega, melihat buah hatinya itu kembali ceria. Namun itu hanya sesaat. Karena sampai malam tiba, Ardi tak kunjung pulang ke rumah."Ma, kenapa papa belum juga pulang?" ucap Dinda. Ia mulai lelah menunggu kepulangan papanya. Berkali- kali gadis kecil itu menguap, tapi ia belum mau beranjak ke kamarnya."Sabar ya, Sayang. Mungkin papa sedang di jalan. Dinda tidur saja dulu, nanti kalau papa sudah pulang, Mama bangunin Dinda," ucap Arumi membujuk Dinda. Namun Dinda tetap keras kepala. Ia bersikeras menunggu kepulangan papanya.Arumi melirik jam di layar gawainya, sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sirna sudah harapannya untuk mendapati suaminya pulang ke rumah. Arumi menatap Dinda yang sudah tertidur di atas sofa, dengan rasa iba. Anak sekecil itu masih membutuhkan kasih sayang ayahnya. Namun Ardi terlalu baik pada Dinda. Bahkan ia justru membencinya.Dengan lembut, Arumi mencium kening bocah itu. Kemudian ia menggendongnya menuju ke kamar. Arumi duduk tepi ranjang, lalu meraih gawainya untuk menghubungi Ardi. Dengan gusar Arumi menekan delapan digit nomor telepon Ardi."Hallo!" Arumi dibuat terkejut dengan suara wanita yang terdengar dari ujung telepon, saat sambungan telepon itu terhubung. Arumi kembali melihat layar gawainya, memastikan jika ia telah menekan nomor telepon dengan benar. Jantung Arumi langsung berdegup kencang, karena memang betul nomor itu adalah nomor Ardi. Tapi siapa wanita yang tadi mengangkat teleponnya? Ia yakin jika itu bukanlah suara Santi. Suara wanita itu begitu lembut dan manja. Tentu juga bukan suara Bu Hilda, karena Arumi sudah hafal dengan suara cempreng mertuanya. Dulu hampir setiap hari ibu mertuanya itu datang dan mengomel kepadanya. Tentu saja suaranya sudah terekam sempurna di dalam memori otak Arumi.Arumi hendak bertanya, tapi sambungan teleponnya langsung terputus. Hatinya terus bertanya-tanya, siapakah perempuan yang mengangkat teleponnya?===Keesokan harinya, seperti biasa Arumi mengantar Dinda berangkat ke sekolah."Sayang, kamu belajar yang pinter ya!"Arumi mencium kening putrinya, dengan lembut. Dinda mengangguk sambil tersenyum. Kemudian bocah itu berlari memasuki gerbang sekolah. Ia berhenti sejenak lalu melambaikan tangan ke arah mamanya, sebelum bocah itu berbalik badan dan membaur bersama teman-temannya.Arumi tersenyum simpul. Ia bersyukur, Dinda bisa kembali ceria, setelah kekecewaan terhadap sang ayah. Semalaman bocah itu menunggu kepulangan Ardi. Namun hingga pagi menjelang Ardi tak juga kelihatan batang hidungnya.Arumi masih penasaran dengan wanita yang mengangkat teleponnya semalam. Arumi memutuskan untuk pergi ke kantor Ardi. Ia harus menanyakannya pada Ardi. Ia juga ingin tahu, kenapa Ardi tidak jadi pulang kemarin. Arumi naik angkot, dan turun di depan kantor Ardi. Perlahan ia melangkahkan kakinya, dengan harapan segera bertemu dengan Ardi. Namun ketika sampai di depan gerbang, seorang satpam menghentikan langkahnya."Maaf anda dilarang masuk!" Satpam itu berdiri di depan Arumi, menghalangi jalannya. Matanya menatap Arumi dengan tatapan tajam. Menelisik penampilan Arumi dari ujung kaki, hingga ke kepalanya. Wanita berpakaian sedikit lusuh itu, tak pantas berada di kantor semegah ini."Maaf, Pak. Saya istrinya Pak Ardi. Apa boleh saya bertemu dengan suami saya sebentar?" ucap Arumi.Satpam itu mengerutkan keningnya, sebelum berkata, "Pak Ardi hari ini tidak masuk kantor, karena ada keperluan keluarga. Masa anda istrinya tidak tahu?""Oh, ya sudah, Pak. Kalau begitu saya cari Mas Ardi di rumah ibu saja, terimaksih," ucap Arumi, lalu pamit undur diri.Dengan gusar Arumi melangkahkan kakinya ke jalan raya. Kembali menumpang angkot, menuju ke rumah ibu mertuanya. Begitu sampai di sana Arumi begitu terkejut dengan keramaian di rumah Bu Hilda.Berbagai karangan bunga menghiasi halaman rumah Bu Hilda. Meski tidak begitu ramai, tapi sepertinya di rumah ini sedang ada pesta.Tega sekali mertuanya mengadakan pesta, tanpa memberitahunya. Dengan cepat Arumi melangkahkan kakinya menuju ke dalam rumah ibu mertuanya. Namun yang dilihatnya sungguh membuat hatinya hancur. Ardi tengah duduk bersanding dengan seorang wanita, sedang di depannya seorang penghulu tengah menjabat tangan Ardi."Saya terima nikahnya Aurel Sapta Kusuma dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai!"Ardi dengan lantang mengucap ijab kabul. Suaranya menggema di seluruh sudut ruangan itu."Bagaimana sah?" Penghulu bertanya pada semua orang yang duduk di sana.Bab. 9"Sah!" Jawaban para saksi yang hadir di acara pernikahan itu menggema, disertai dengan suara tawa bahagia yang mewarnai pesta pernikahan itu. Namun semua suara itu bagaikan sebuah belati tajam yang menusuk tepat di hati Arumi. Apalagi ketika gadis di samping Ardi tersenyum manis, meraih telapak tangan Ardi lalu menciumnya. Kemudian Ardi membalasnya dengan mencium lembut kening gadis itu.Ingatan Arumi kembali berputar pada peristiwa pernikahannya beberapa tahun yang lalu. Arumi melakukan hal yang sama persis dengan yang mempelai wanita itu lakukan. Bedanya hanyalah, ia tidak mengenakan kebaya mewah seperti wanita yang sekarang bersanding dengan suaminya itu. Ia hanya memakai baju gamis biasa dan tidak ada pesta apapun. Pernikahannya hanya dilakukan secara sederhana di panti asuhan, dengan mahar seadanya.Bahkan Hilda dan keluarganya pun tak hadir dalam pernikahannya. Ardi hanya datang bersama seorang pamannya. Pernikahannya memang begitu menyedihkan, tapi saat itu Arumi bahagi
"Tidak baik menyiksa diri seperti ini, Air hujan tidak bagus untuk kesehatanmu," suara lembut seorang lelaki yang tidak asing di telinganya membuatnya menoleh ke arah belakang. Menatap pria berpakaian dokter yang berdiri tegak di belakangnya. Tangan kirinya memegang payung berwarna biru dengan motif bunga yang cantik. Ia mengarahkan payung itu, tepat di atas kepala Arumi. Sehingga tetesan air hujan tak lagi membasahi tubuh wanita itu."Dokter Andrean," ucap Arumi lirih. Ia tidak mengira akan bertemu dengan dokter itu dalam keadaan seperti ini. Arumi merasa sedikit canggung, saat bola arwah mereka saling beradu. Menyadari ketidaknyamanan Arumi, Dokter Andrean memberi jarak yang cukup jauh antara ia dengan Arumi, sehingga pria itu justru membiarkan sebagian tubuhnya basah terkena tetesan air hujan."Dokter melarangku hujan- hujanan, tapi Dokter sendiri kehujanan," sungut Arumi.Dokter Andrean justru terkekeh, "Yang penting kamu tidak kehujanan!"Arumi mendekatkan tubuhnya, agar payung
"Bagaimana, Dinda? Kau mau di sini dulu menunggu papamu?" Bu Hilda masih saja membujuk Dinda. Gadis kecil itu sebenarnya ragu, tapi ia sangat ingin bertemu dengan papanya. Kalau mereka pulang, belum tentu mamanya mau diajak datang kesini lagi. Apalagi neneknya bilang papanya akan segera datang.Bu Hilda masih menatap gadis kecil itu, menunggu jawaban dari Dinda. Hingga akhirnya bocah itu mengangguk setuju. Sesaat kemudian Dinda menatap mata sang mama dengan perasaan bersalah. "Nggak apa- apa kan, Ma, kalau kita tunggu papa di sini?" ucapnya.Arumi membalas tatapan putrinya itu dengan senyuman, "Iya, kita akan tunggu papa di sini," ucap Arumi. Bu Hilda tersenyum ke arah Santi, sesaat Arumi melihat mereka saling pandang, sepertinya ada yang mereka sembunyikan. Namun Arumi tidak ingin berburuk sangka. Paling tidak sekarang mertua dan adik iparnya itu sudah bisa bersikap baik padanya."Dinda, Arumi, kalian sudah sarapan belum?" ucap Bu Hilda.Arumi menaikkan alisnya menatap heran pada sa
"Kau itu memang pantasnya menjadi babu!" teriak Bu Hilda. Ia menatap Arumi dengan bola mata yang hampir keluar. Namun Arumi terus berjalan, tanpa memperdulikan kata- kata umpatan dan cacian yang terus dilontarkan oleh ibu mertuanya dan Santi. Langkah Arumi berhenti di depan kamar Santi. Ia menatap nanar, gadis kecilnya yang masih tertidur pulas itu. Hatinya terasa perih, ketika mengingat kebencian Ardi pada putrinya yang berharga itu. Tanpa terasa, butiran- butiran bening yang sejak tadi menggantung di pelupuk matanya itu meleleh juga. Arumi terisak di samping putrinya."Mama kenapa?" ucap Dinda, yang baru saja membuka mata. Tidurnya terusik oleh isakan tangis Arumi."Mama, ga apa- apa kok, Sayang," ucap Arumi yang kemudian menghapus air matanya dengan ujung jarinya."Mama pasti nangis, gara-gara Dinda pengen tidur di sini ya?" ucap gadis kecil itu sembari menatap mata sang mama dengan tatapan penuh penyesalan. Arumi menggeleng lemah. Ia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya pada
"Memangnya tante yang tadi itu siapa sih, Ma?" Dinda menghentikan langkahnya, lalu berbalik badan menghadap sang Mama. Matanya menatap nanar ke arah Arumi, seolah meminta penjelasan. Arumi membalas tatapan Dinda. Telapak tangannya lalu menyentuh kedua pipi bocah itu, menatap jauh ke dalam manik hitam milik Dinda. Ia tak tahu harus dengan cara seperti apa mengatakan kepada Dinda jika ayahnya sekarang telah menikah lagi."Kenapa Mama diam saja?" Dinda mengulang pertanyaannya karena tak kunjung mendapatkan jawaban dari Arumi. Mamanya justru terlihat sedang melamun. Arumi masih berjongkok di depan Dinda, bahkan telapak tangannya masih menempel di kedua pipi bocah mungil itu. Namun pandangan mata Arumi terlihat menerawang jauh ke depan.Apa yang harus ia katakan sekarang? Arumi benar- benar bingung."Siapa perempuan yang bersama papa tadi? Kenapa dia menggandeng lengan papa seperti tadi?" ucap anak itu lagi. Dinda terus mendesak Arumi untuk berbicara."Dinda, wanita itu istri baru ayahmu."
Hanya dengan sekali mendengar saja, Arumi tahu kalau Aurel yang mengangkat teleponnya. Arumi menguatkan hatinya untuk berbicara dengan perempuan yang sekarang sudah menjadi madunya itu."Mas Ardi mana? Aku mau bicara?" Tak ingin buang- buang waktu, Arumi langsung saja mengutarakan niatnya."Mas Ardi baru saja tidur, sepertinya dia kelelahan setelah bergelut di atas ranjang denganku." Kata- kata Aurel terdengar begitu menjijikan. Sepertinya wanita itu memang sengaja ingin memanas- manasi Arumi. Ia bahkan bercerita dengan detail bagaimana panasnya permainan mereka tadi.Arumi mengepalkan erat tangannya, menahan amarah. Tentu saja hati Arumi bergemuruh mendengarnya. Namun ia sama sekali tak merasakan cemburu lagi. Bahkan saat ini Arumi merasa jijik dengan suaminya yang sudah berbagi keringat dengan perempuan lain itu. Arumi tak mampu membayangkan jika nanti suaminya itu datang padanya, setelah ia menyatukan tubuh dengan wanita lain."Cukup Aurel! Aku tidak mau tahu tentang pergulatanmu
"Ada apa dengan Dinda, Arumi?" Dokter Andrean mengerutkan keningnya, menatap penuh tanya pada Arumi. Sedangkan tangannya terulur menarik lengan Arumi, membantunya berdiri.Dokter Andrean mengajak Arumi duduk di bangku tunggu rumah sakit, kemudian ia menyodorkan sebotol air mineral pada Arumi."Minumlah, tenangkan dirimu, Arumi. Ceritakan pelan- pelan, apa yang terjadi pada Dinda?" ucap dokter Andrean pelan."Dinda tertabrak motor, dan kakinya harus segera dioperasi. Saya bingung, Dok. Harus kemana mencari biaya operasinya?" ucap Arumi dengan berderai air mata."Kamu tenang saja Arumi, aku akan mengurus semuanya!" tegas Dokter Andrean.Arumi menatap sayu mata dokter itu, dan ia bisa merasa sedikit tenang. Dokter Andrean telah mengurus semua administrasinya, dan Dinda segera menjalani operasi. Arumi menunggu di depan ruang operasi dengan perasaan cemas. Dokter Andrean ikut menemani Arumi, sekaligus memberikan dukungan untuk ibu muda itu."Jangan khawatir, Arumi. Semua akan baik- baik s
Arumi membeku mendengar pertanyaan Dinda. Ia tak tahu harus menjawab apa? Wanita itu menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya kasar."Dinda, Mama sudah kasih tahu papamu, kok. Tapi semalam papamu masih banyak pekerjaan," ucap Arumi sembari membelai lembut rambut bocah itu."Beneran, Ma? Papa sibuk bekerja, bukan sedang sibuk dengan Tante yang kemarin?"Pertanyaan menohok Dinda, sontak membuat dada Arumi terasa sesak. Arumi kembali menarik nafas dalam, memenuhi rongga dadanya dengan oksigen. Baru saja ia hendak membuka mulutnya untuk memberi pengertian pada Dinda, suara dokter Andrean membuatnya menoleh."Selamat pagi, Peri Kecil yang cantik!" Dokter Andrean tersenyum manis, menampilkan barisan gigi putihnya yang tersusun rapi.. Dokter ganteng itu berdiri di ambang pintu dengan membawa sebuah boneka panda lucu berwarna pink di tangan kanannya.Arumi dan Dinda menatap dokter itu bersamaan. Tak lama kemudian bibir Dinda terlihat melengkung, mengulas senyum pada dokter itu."Selamat p
Dokter Andrean buru- buru keluar dari rumah sakit begitu mendengar kabar Dinda diculik. Begitu pedulinya ia pada Dinda. Meskipun ia tak mmiliki hubungan apapun dengan Dinda, tapi anak itu berhasil mengisi salah satu bilik di hatinya. Keceriaan dan keberaniannya berhasil membuat dokter Andrean merasa tersentuh. Terlebih Dinda adalah anak Arumi, gadis yang pernah singgah di dalam hatinya, meski rasa itu hanya bertepuk sebelah tangan."Dokter, tolong saya. Dinda diculik dan penculiknya meminta uang tebusan seratus juta!" Kata- kata Arumi di seberang telepon tadi terus terngiang di kepalanya. Ia tak bisa membayangkan seperti apa perasaan Arumi sekarang. Sepertinya ia sedang panik dan kebingungan saat ini.Dokter Andrean sudah sampai di mobilnya. Tangannya hendak meraih pintu mobil, tapi tiba- tiba seseorang menghentikannya."Dokter Andrean!" Nyonya Tiara dan Tuan Hanggoro saling bergandengan berjalan ke arahnya.Dokter Andrean menajamkan penglihatannya menatap sepasang suami istri yang ta
Ardi menggamit lengan Arumi dan Dinda, memasuki sebuah restoran mewah di kota itu. Kehadiran mereka menarik perhatian beberapa pengunjung lain. Wajah cantik Arumi yang disorot oleh lampu temaram memiliki daya pikat tersendiri. Kecantikannya mampu menarik perhatian orang- orang yang tengah duduk, menikmati makan malamnya di restoran itu.Arumi memang selalu terlihat menarik di mata laki- laki. Mungkin karena hal itulah rasa cemburu Ardi begitu besar. Meskipun Arumi selalu bisa menjaga hati dan pandangannya tapi Ardi justru selalu mencurigainya. Bodohnya ia sampai termakan hasutan ibunya.Ardi semakin mengeratkan tangannya ke lengan Arumi. Sungguh ia merasa sangat beruntung memiliki istri secantik Arumi. Entah selama ini apa yang membuatnya buta sampai menyia- nyiakan istri seperti Arumi.Ardi terus melangkah sampai ketika pandangannya tertuju pada seorang lelaki yang melambaikan tangan ke arahnya.Ardi mempercepat langkahnya menuju ke meja lelaki yang tak lain adalah kliennya itu.Lela
"Bu, lihatlah si Babu ini sudah berpakaian rapi, mau kemana dia?" Aurel berteriak ketika melihat Arumi dan Dinda berpakaian rapi. Arumi mengenakan gaun berwarna hitam yang dibelikan oleh Ardi beberapa hari yang lalu. Tubuhnya yang kurus nampak cantik berbalut gaun hitam yang nampak mewah dan elegan itu. Polesan make up tipis di wajahnya, tampak membuatnya semakin cantik. Tentu saja hal.itu membuat Aurel yang selalu iri dengan Arumi naik pitam.Arumi dekil dan penyakitan saja, Aurel iri karena Ardi tetap selalu mencintainya. Apalagi sekarang, Aurel tampak cantik dengan gaun yang dibelikan oleh Ardi. Ardi memang pintar memilih gaun. Gaun hitam itu pas sekali di tubuh Arumi. Aurel sempat melontarkan protes, karena suaminya tak pernah memilihkannya gaun seperti itu. Namun Ardi selalu berkilah. Selera fashion Aurel sangat tinggi, ia takut jika pilihannya tidak cocok untuk Aurel. Namun tentu saja semua itu hanyalah alasan Ardi. Ia memang tidak pernah mencintai Aurel. Perhatian dan kasih say
"Ardi…!" Bu Hilda berlari tergopoh- gopoh ke kamar Arumi. Arumi dan Ardi yang tengah bercengkrama, sontak mengalihkan perhatiannya pada Bu Hilda."Ada apa, Bu?" ucap Ardi seraya menaikkan alisnya."Aurel… Aurel pingsan!" ucap Bu Hilda sambil menunjukan wajah paniknya.Ardi mengernyitkan alisnya mendengar perkataan Bu Hilda. Tadi Aurel nampak baik- baik saja, kenapa tiba- tiba pingsan.Melihat putranya tak bergeming, Bu Hilda langsung menarik tangannya."Ayo, kita harus segera membawa Aurel ke rumah sakit!" "Tapi —" Ardi enggan meninggalkan Arumi. Saat - saat seperti ini adalah saat yang paling dirindukannya. Namun suasana syahdu itu harus rusak karena teriakan Bu Hilda."Ayo, Ardi! Aurel istrimu juga. Kalau sampai terjadi apa- apa padanya, kau juga harus bertanggung jawab!" Bu Hilda meninggikan suaranya, agar anak lelakinya itu mau mengikutinya. Sejenak Ardi menatap Arumi, seolah ingin meminta izin pada wanita itu. Arumi tersenyum sembari menganggukkan kepala, membuat seluruh keragua
Deru suara mobil berhenti di pekarangan rumah Bu Hilda. Beberapa saat kemudian Ardi terlihat turun dari mobil dengan menenteng beberapa kantong plastik dan tas belanja.Bu Hilda, Santi, dan Aurel tersenyum melihat tentengan di tangan Ardi. Sepertinya lelaki itu habis dapat bonus dari kantor sampai belanja sebanyak itu."Wah, kamu habis belanja, Mas?" Aurel mencium takzim telapak tangan suaminya, kemudian bergelayut manja di lengannya."Ya, aku tadi abis dari supermarket, aku juga mampir ke restorant biasa, untuk membeli makanan," sahut Ardi seraya mengangkat kantong plastik yang ditentengnya.Senyum Aurel semakin lebar, melihat logo restorant favoritnya di kantong plastik yang ditunjukkan suaminya itu."Wah, Mas Ardi memang suami idaman. Padahal aku ga minta dibeliin makanan, tapi Mas Ardi sudah pengertian." Aurel hendak meraih kantong plastik dan tas belanja di tangan suaminya itu, tapi belum sempat tangannya menyentuh kantong plastik dan tas belanja itu, Ardi sudah menjauhkannya dar
"Mama!" Dinda melepas genggaman tangan Ardi dan berhambur ke arah ranjang Arumi. Baru beberapa hari saja, ia tidak bertemu dengan sang mama, rasa rindunya sudah membuncah. Arumi yang masih lemah, dengan selang- selang infus masih terpasang di tubuhnya mencoba bangun untuk menyambut putrinya itu. Tak bisa dipungkiri, ia juga sangat merindukan Dinda."Sayang, Mama kangen banget sama kamu!" Air matanya meleleh saat tangannya berhasil merengkuh bocah perempuan yang masih memakai seragam SD tersebut."Bagaimana keadaan Mama? Apa perut Mama masih sakit? Biar Dinda obati!" ucap bocah polos itu. Selama ini, yang selalu ia lakukan saat sang mama berguling kesakitan menahan rasa nyeri di perutnya, adalah mengelus- elusnya. Kali ini Dinda pun melakukan hal yang sama, membuat Arumi tersenyum geli."Mama udah ga sakit kok, Sayang," ucap Arumi sembari membelai rambut gadis kecil yang dikuncir dua itu. Semua rasa sakitnya seolah musnah begitu melihat putri kesayangannya itu."Kalau begitu, kapan Mam
Ardi memasuki ruang rawat Arumi, tampak wanita itu tengah berbaring dengan mata terpejam. Mendadak Ardi merasa udara di ruangan itu terasa menipis dan itu membuat dadanya sesak, apalagi ketika melihat wajah pucat Arumi yang sangat kentara. "Arumi ..." panggilnya pelan, jika Arumi sedang tidur maka dia tidak mau mengganggu.Namun kemudian mata Arumi perlahan membuka, binar matanya terpancar ketika melihat Ardi ada di sampingnya. "Mas ..." ucapnya lemah, suaranya hampir tak terdengar.Ardi meraih tangannya, terasa dingin."Arumi, maafkan aku," ucap Ardi dengan terbata-bata, dia sedih melihat kondisi istri pertamanya itu."Aku sungguh tidak tahu semua ini, kenapa kamu nggak ngomong kalau kamu sakit? Aku bisa membantu pengobatannya dan kamu nggak harus bekerja keras sendirian," ucap Ardi sedikit menyesalkan akan diamnya Arumi selama ini.Arumi hanya tersenyum tipis menjawabnya, dia menggeleng dan balas menggengam tangan Ardi meski terasa lemah. "Aku menyesal menuduhmu selama ini!" tut
"Bedebah! Berani sekali kamu bicara seperti itu!" geramnya, dia bergerak maju dan gantian mencengkeram kerah kemeja Andrean. Ardi naik pitam, dia tersinggung dan tak terima dengan ucapan Andrean yang secara terang-terangan meminta Arumi darinya.Andrean tampak tenang dan malah tersenyum."Aku ingin tahu sejauh mana kamu masih mencintai Arumi, bahkan jika mendengar fakta sebenarnya antara aku dan dia," ucapnya tersenyum miring.Ardi salah mengira, dia berpikir jika Andrean memang benar-benar akan mengatakan kebenaran mengenai perselingkuhan yang dilakukannya dengan Arumi."Dia masih istriku, jadi aku masih berhak atas hidupnya, kamu tidak bisa mengambil dia begitu saja dari tanganku!" gertak Ardi mengguncang Andrean dengan marah.Andrean menarik sudut bibirnya berlawanan, sekarang jelas dia bisa melihat perasaan Ardi sebenarnya terhadap Arumi."Dia mengidap penyakit mematikan, aku dan dia tak lebih hanya sebagai dokter dan pasien, Arumi tak ingin memberitahukan semuanya sama kamu karen
"Bos kenal dia?" tanya Bonar heran. Andrean yang menyadari jika perempuan yang pingsan itu adalah Arumi, pasiennya sendiri, segera mendekat dan memeriksanya."Dia pasien saya," jawab Andrean singkat. Alis Bonar terangkat mendengarnya.Tangannya memeriksa denyut nadi Arumi dan keningnya berkerut dalam. Raut wajahnya berubah cemas. Tanpa banyak bicara, lelaki itu menunduk lalu dengan sigap mengangkat tubuh Arumi.Bonar tanggap, dia bergegas menuju mobil Andrean dan membantu membukakan pintu mobil."Tolong kamu urus gerobaknya dulu!" kata Andrean pada Bonar."Siap, Bos!" sahut Bonar.Andrean mendudukkan Arumi di kursi depan dan memasangkang sabuk pengaman, dia sedikit merendahkan kursi agar Arumi bisa berbaring. Setelah memastikan Arumi aman, dia sendiri segera masuk dan menyalakan mobil. Langsung tancap gas menuju Rumah Sakit."Kamu kok maksain diri, Arumi! Sudah tahu badan kamu itu lemah dan nggak boleh terlalu kelelahan!" gumam Andrean sejenak melirik ke arah Arumi yang terpejam di k