Tiana POV,
"Kamu jangan lupa cari kontrakan yang bagus, Mas!" Aku berpesan untuk yang kesekian kalinya pada Mas Dimas sebelum berangkat bekerja."Iya!" jawab Mas Dimas dengan nada sedikit ogah-ogahan.Dan begitu suamiku itu telah berangkat ke kantor, aku spontan diselimuti perasaan senewen karena ditinggal hanya berdua saja dengan ibu mertua. Aku takut ibu mertua akan menyambangi kamarku, kemudian memintaku untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti yang selalu beliau katakan pada Astri."Ck. Sialan!"Aku memaki sambil terus berjalan mondar-mandir di dalam kamar karena tidak tahu apa yang harus aku kerjakan. Sejak kemarin aku hanya bisa mendekam dengan bosan di dalam kamar."Aku harus ngapain nih?" gumamku pada diri sendiri. "Atau aku harus pergi ke mana ya?" ucapku kebingungan.Di usia seperti ini, teman-temanku yang lain telah memiliki kehidupan sendiri. Kami tidak bisa lagi hangout untuk sekedar mencari aDimas POV, [Mas, jangan lupa cari kontrakan!][Aku lagi di rumah Papa. Nanti kalau kamu udah pulang, telepon aku!]Aku menghembuskan nafas dengan keras melihat pesan dari istriku yang terkesan memerintah ini. Atau barangkali, hanya perasaanku saja? Tetapi yang pasti, sikap dan perkataan Tiana akhir-akhir ini agak menggelitik harga diriku sebagai seorang suami. Apalagi saat mengetahui bahwa dia tidak jujur padaku perihal kondisi Papa mertua. Dan ketika Mbak Astri mengungkapkan mengenai masalah ini, aku merasa seperti orang bodoh karena telah mengemukakan alasan konyol itu. Aku merasa seperti dipermalukan di hadapan keluargaku sendiri. "Woy, Bro! Kenapa bengong aja kau macam orang susah dari tadi? Merengut terus nggak sedap dilihat," sapa Anton yang entah sejak kapan telah berdiri di depan meja kerjaku. Aku lantas menghela nafas sekali lagi. "Apa kelihatan jelas?" tanyaku sembari menunjukkan ekspresi meringis pahit. "
Dina POV, "Din, bantuin mikirin taktik supaya bisa mendekati Ruslan dong," pinta Arumi dengan nada memelas. Aku yang sedang duduk berhadapan dengannya sambil menopang dagu pun spontan mencibir. "Ngerepotin banget sih. Waktu itu kayaknya kamu percaya diri banget kalau kamu bisa menaklukkan Ruslan," sindirku dengan terang-terangan. Arumi lantas menampakkan wajah meringis sembari menggaruk ujung hidungnya. "Ini tuh karena aku belum ada kesempatan buat deketin Ruslan aja," ujar Arumi berkilah. "Habisnya tempo hari waktu mau ke peternakan sama Tiana, kita malah lihat Ruslan pergi ke toko grosir di kota sebelah. Sayangnya, kita udah nunggu lama-lama, tapi tetap nggak bisa ketemu sama Ruslan. Ini tuh gara-gara si Tiana yang malah ngajak ribut karyawan yang ada di sana," pungkas Arumi menambahkan.Aku yang sama sekali tidak mengerti maksudnya hanya bisa mengerutkan kening. "Buat apa Ruslan di toko itu lama-lama?" tanyaku. Arumi pun mengendikk
Tinggal terpisah dengan mertua sungguh terasa seperti angin segar bagiku. Aku bisa dengan bebas, dan leluasa menentukan menu makan siang dan makan malam tanpa harus mendengar komentar sewot orang lain. Aku pun tidak perlu lagi mendidik Danis dalam keadaan hati setengah dongkol karena omelan ibu mertua yang terus terjadi setiap hari seperti sebelumnya. Kini jiwaku rasanya benar-benar sehat. Dan tampaknya hal yang sama juga berlaku pada Mas Ruslan. Setidaknya suamiku itu tidak perlu terus-terusan merasa bersalah padaku yang tidak pernah absen mendapat makian merendahkan dari ibunya. Bukan hanya aku, dan Mas Ruslan, lingkungan ini lebih-lebih berdampak sangat baik pada Danis. Putraku yang memang senang menceritakan kehidupan sekolahnya, tidak lagi harus menahan semangat seperti ketika berada di rumah mertua. Danis menjadi anak yang lepas dalam berekspresi. Bagaimana tidak, ketika berada di rumah mertua, putraku ini selalu mendapatkan protes dari ibu mertua karena ka
Sekalipun pesan yang dikirimkan oleh Tiana mengandung kata-kata provokasi yang seolah mengatakan bahwa Mas Ruslan ingin lepas dariku, tetapi itu tidak membuatku menjadi ragu pada suamiku sama sekali. Aku justru merasa penasaran bagaimana Mas Ruslan, dan Tiana bisa bertemu di siang hari bolong begini. Dan jebakan apa yang diumpankan oleh wanita itu sehingga Mas Ruslan bersedia untuk mengikutinya duduk di dalam cafe? "Ck ck ck. Wanita yang satu ini kayaknya udah nggak ada takut-takutnya sama sekali, ya!" dumelku pelan. "Tunggu aja Tiana, kamu pikir aku akan diam aja?" racauku pada diri sendiri. Tanpa membuat terlalu banyak pertimbangan, aku langsung saja men-screenshot layar whats*pp yang berisi pesan dari Tiana itu. Setelahnya, aku segera mengirimkan hasilnya pada Dimas, selaku suami wanita itu. Tentu saja aku juga tidak lupa melampirkan video yang dikirim oleh Tiana sembari menyematkan untaian kata panjang untuk adik iparku itu. [Tolong banget sih ini,
Dimas POV, Sebuah pesan whats*pp dari Mbak Astri siang tadi membuatku cukup terkejut hingga sekarang ini. Saking terkejutnya, aku sampai tidak konsentrasi menyelesaikan sisa pekerjaan yang ada. Karenanya, aku beberapa kali mendapat teguran dari rekan sejawat. Memang sudah berkali-kali aku mendengar keluhan Mbak Astri mengenai istriku yang mendekati suaminya. Pada awalnya, aku pun hanya menganggap keluhan itu sebatas angin lalu. Karena bagiku, Tiana tidak akan mungkin menyukai Mas Ruslan. Dan apabila ada hal-hal yang menjurus ke arah hubungan tidak pantas itu, pastilah Mas Ruslan yang memulai. Akan tetapi, hasil screenshot pesan dari Tiana pada Mbak Astri yang dikirim padaku membuatku sungguh tidak bisa berkata-kata. Aku yang biasanya tidak merokok pun, akhirnya memilih sebatang lintingan tembakau itu untuk mengalihkan pikiran. "Nggak pulang, Bro?" tanya Anton yang melihatku sedang merokok di bawah pohon mangga depan kantor. "Tumben b
Tiana POV, "Sayang, ayo jujur. Apa kamu ada rasa sama Mas Ruslan? Kalau iya, kenapa bisa?" Mendengar pertanyaan Mas Dimas ini membuatku menggerutu di dalam hati. Sudah tidak terhitung berapa kali aku juga memaki Astri yang telah memberi tahu Mas Dimas perihal aku yang menemui suaminya tadi siang. "Mas, kamu serius mau membahas ini?" tanyaku sengaja menyelipkan nada terluka karena suamiku ini tidak mau begitu saja percaya padaku. "Tentu. Kita harus membuat segalanya jelas. Jangan sampai ada kesalahpahaman di antara kita," jawab Mas Dimas dengan tegas. Aku pun menggertakkan gigi dengan geram. Mataku tidak lupa menyorotkan tatapan kejam padanya. Akan tetapi, suamiku itu hanya membalas tatapanku dengan acuh tak acuh. "Mas, kamu nggak percaya sama aku? Aku sama Mas Ruslan nggak ada apa-apa kok," ucapku dengan nada yang sengaja kubuat terdengar meyakinkan. Mas Dimas pun menghela nafas. "Oke, anggap saja apa yang kamu k
Dimas POV, "Mas, kok sikap kamu kayak gitu sih sama orang tuaku!" protes Tiana begitu kami tiba di garasi rumahnya. "Bersikap kayak gimana?" tanyaku tidak mengerti. Aku merasa tidak ada yang salah dalam sikap tegas yang aku tunjukkan pada kedua mertuaku tadi. "Sikap kamu itu ketus banget tau, nggak?!" seru Tiana sembari berkacak pinggang. Raut wajahnya menunjukkan kekesalan yang amat sangat padaku. "Perasaan kamu aja kali," timpalku dengan acuh tak acuh. "Ayo pulang!" ucapku melanjutkan seraya menyeret langkah menuju sepeda motorku yang terparkir di garasi. Namun, sebelum aku sampai di sana, Tiana terlebih dulu meraih pergelangan tanganku dengan keras, kemudian memaksaku untuk melihat ke arahnya. "Kamu kenapa begini sih, Mas. Kamu berubah!" seru Tiana dengan nada terluka. "Berubah gimana? Aku sama sekali nggak berubah kok," timpalku dengan santai. "Apa ini gara-gara aku bertemu dengan Mas Ruslan tadi sia
Tiana POV, Aku terdiam mematung cukup lama di samping mobilku. Penolakan tegas yang diberikan oleh Mas Dimas membuatku langsung kehilangan kata-kata untuk sementara waktu. "Jikapun Mas Ruslan punya uang, kamu tidak perlu terlalu berharap akan bisa meminjam uang dari mereka," ucap suamiku yang membuat aku kembali tersadar. "Apa salahnya sih berusaha, Mas!" seruku dengan kesal. Hari ini Mas Dimas benar-benar berbeda. Sikapnya padaku sudah berubah 180 derajat dalam sekejap. Dia tidak lagi seperti Mas Dimas yang semula selalu penyayang, dan senantiasa memanjakanku. Dia seperti orang lain yang tidak aku kenali sama sekali. "Aku hanya bersikap rasional. Jangan letakkan harapanmu pada hal yang tidak pasti seperti itu," ujar Mas Dimas dengan enteng. Aku yang sepanjang jalan tadi sudah berjuang menyusun alasan ini dengan harapan agar Mas Dimas turut antusias ketika mendengar analisisku terkait Mas Ruslan, tetapi ternyata di luar dug
Untuk yang kedua kali, aku dan keluarga mengunjungi Bali. Kali ini aku berhasil membujuk ayah dan ibu untuk ikut turut serta. Alasannya adalah biar ada yang menemani ibu mertuaku untuk hanya sekedar mengobrol dengan orang seusianya."Kamu yakin semuanya akan baik-baik saja?" tanya ibu ketika kami baru saja tiba di Bali."Kenapa harus nggak baik-baik aja?" tanyaku dengan santai."Ibu mertua kamu benar-benar setuju nggak kalau kami ikut?" tanya ibu masih tidak yakin."Setuju kok. Ibu tenang aja. Ibu mertuaku sekarang baik. Kalau ibu nggak percaya, nanti kita buktikan!" ujarku dengan percaya diri."Kamu yakin?" tanya ibu lagi."Halah ibu ini, kenapa malah jadi kamu yang paranoid?" sambar bapak.Beliau sepertinya risih dengan pertanyaan yang sudah berulang kali diajukan oleh ibu sejak kemarin."Ih, bapak. Ibu kan cuma nanya," protes ibu atas reaksi bapak."Ya habis ibu nanya itu terus. Telinga bapak panas d
Dina POV,Berbulan-bulan berlalu, wacanaku untuk menculik Aldi dari ayah kandungnya sendiri selama ini hanya berakhir sebagai wacana. Aku tidak bisa membawa Aldi pergi menjauh dari ayah kandungnya tanpa persetujuan dari anak itu sendiri. Walaupun menyakitkan, aku tetap berusaha untuk menghargai keinginan Aldi."Aku tidak mengharapkan Aldi akan diabaikan oleh ayahnya sih. Tapi aku pikir begitu anaknya si Astuti lahir, fokus si Arifin pasti akan lebih dominan pada istri dan anak barunya," tukas Sadewa yang masih setia tinggal di desa ini untuk menemaniku."So?""Mungkin saat itu kamu bisa kembali merayu Aldi untuk tinggal bersamamu," ujar Sadewa."Hm," gumamku sembari menganggukkan kepala pelan tanpa menoleh ke arah Sadewa yang sedang duduk di balik kemudi.Saat ini, aku dan dia sedang menunggu di depan sekolahnya Aldi. Aku sangat merindukan anak yang beberapa waktu ini menolak untuk menemuiku. Semua ini lantaran dia marah padaku k
Aku memasak makan siang di bawah pengawasan ibu mertua. Awalnya terasa tidak nyaman, tetapi seiring dengan berjalannya waktu, aku mulai melupakan keberadaan beliau dan sepenuhnya fokus pada pekerjaan yang ada di tangan.Setelah sibuk berkutat di depan panci dan wajan, akhirnya masakan yang aku buat matang. Dengan telaten aku mulai menyendok nasi beserta lauk pauknya ke atas piring, lalu menyajikannya di depan ibu mertua."Coba aja kamu melakukan hal seperti ini dari dulu," celetuk ibu mertua.Aku spontan memutar mata. "Ini semua gara-gara ibu sih. Coba kalau ibu nggak keseringan sensi dan marah-marah," timpalku dengan santai."Cih," balas ibu mertua."Ayo makan siang. Setelah ini aku harus kembali kerja," ujarku seraya mengambil tempat duduk di kursi yang berada tepat di hadapan ibu mertua."Hubunganmu dengan Ruslan gimana?" tanya ibu mertua sembari mulai menyendok makanan ke dalam mulutnya."Sangat baik!" jawabku dengan
Hari demi hari masih berlalu dengan monoton seperti biasanya. Kata-kata bapak masih menghantuiku hingga saat ini, tetapi aku belum memiliki keberanian untuk pergi ke rumah ibu mertua untuk merayunya atau apalah itu.Selentingan kabar mereka diam-diam aku cari tahu melalui akun sosial media yang ada. Dan dari sana aku mengetahui bahwa Arumi dan ibu Sarinah telah kembali ke ibu kota. Ada juga kabar perceraian Dimas dan Tiana, serata kabar perceraian Mbak Dina dan suaminya.Rentetan kabar buruk yang datang satu demi satu menyambangi keluarga Hadinata membuat grup whats*app kompleks diibaratkan layaknya air yang dituangkan ke dalam minyak panas. [Keluarga Hadinata lagi dikasih banyak banget cobaan belakangan ini,][Ho-oh. Aku tidak menyangka umur pernikahan si Dimas bakal singkat banget. Padahal dia kelihatan cinta banget sama istrinya,][Isi dapur orang nggak ada yang tahu,][Memang sih,][Belum lagi si Dina juga bercerai.
Dina POV,"Din, hubungan kamu dengan Arifin bagaimana sih sebenarnya?" tanya bapak ketika kami sedang menyantap makan malam." ... "Karena makanan yang masih ada di dalam mulutku, aku tidak langsung memberi jawaban."Kamu juga, Dim. Tiana kemana? Kok dia nggak pulang-pulang?" tukas bapak pada Dimas yang duduk di sampingku."Aku dan Tiana berencana untuk bercerai," jawab Dimas dengan santai."Bercerai? Kenapa?" tanya ibu terdengar cukup terkejut.Dimas mengangkat bahunya pelan seraya berkata. "Sudah tidak ada kecocokan. Kalian masih ingat mengenai dia yang meminjam uang 100 juta untuk menutupi hutang keluarganya?" "Iya, terus kenapa?" tanya ibu dengan sedikit nada mendesak dalam suaranya."Aku tidak bisa membantunya untuk mencari jalan keluar terkait hutang itu. Alhasil dia mendekati banyak pria yang bersedia memberikannya uang secara cuma-cuma," jawab Dimas dengan enteng."What?!" seruku tida
"Kakek!""Nenek!"Danis berteriak dengan antusias tepat ketika kami baru tiba di rumah orang tuaku. Kebetulan saat ini kami bertemu dengan bapak dan ibu yang baru saja pulang dari sawah tepat di depan pintu gerbang rumah. "Danis, apa kabar? Nenek sama kakek udah lama nggak ketemu Danis," sambut ibuku dengan nada yang dibuat sedih ketika melihat cucunya.Memang beberapa minggu belakangan ini, kami terlalu sibuk mengurus toko yang baru dibuka, sehingga kami tidak bisa datang berkunjung ke rumah orang tuaku ini seperti biasanya."Iya nih. Bapak sama ibu sibuk-sibuk terus!" timpal Danis turut merajuk sambil bibirnya dimajukan beberapa sentimeter."Ayo, ngobrolnya di dalam aja," tukas bapak sembari membuka pintu gerbang untuk kami."Rumah kok sepi, Pak? Wisnu mana?" tanyaku."Di kosnya. Kamu lupa kalau adik kamu itu sudah masuk kuliah?" tukas bapak."Oh, aku lupa," timpalku seraya menepuk kepalaku pelan.
Dina POV,"Bu, apa rencana ibu selanjutnya?" tanyaku pada ibu setelah kami kembali ke rumah. Saat ini hanya ada aku, dan ibu saja yang ada di rumah. Bapak memilih untuk pergi ke peternakan dan menghabiskan waktu di sana. Sementara itu, Dimas sudah berangkat ke kantor."Entahlah. Ibu juga tidak tahu," jawab ibu dengan nada gamang. Aku pun menghela nafas lelah."Ibu tidak mau bercerai saja dengan bapak. Lalu memulai kehidupan baru?" tanyaku dengan hati-hati. Aku takut membuat ibu terlalu emosional." ... "Hening,Ibu tidak langsung menimpali ucapanku. Mata beliau terlihat menerawang jauh. Dan aku pun tidak mendesak ibu untuk segera menjawab. Hal-hal terkait hati memang tidak bisa diputuskan dengan mudah."Baik bibi Sarinah dan juga Ruslan telah memutuskan jalan hidup mereka sendiri. Dan tampaknya mereka juga bahagia-bahagia saja dengan pilihan hidup mereka saat ini. Hanya tinggal ibu saja yang masih terjerat dal
Dimas POV,Jarum jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi ketika semua drama mengenai orang tua kandung itu selesai. Setidaknya itu yang mereka katakan. Sementara menurutku, penyelesaian seperti ini agak terdengar tidak benar. Akan tetapi, jika ditanya hasil seperti apa yang aku inginkan atas masalah ini, tentu saja aku tidak bisa menjawabnya dengan pasti. Karena orang-orang yang terlibat dalam masalah ini telah memutuskan untuk terus melangkah. Hanya ibu yang tampaknya masih terus terjerat dalam masa lalu. Namun, bahkan jika aku mengatakan apapun hingga berbusa, kalau ibu telah membuat keputusan keras kepala sendiri, lantas apa yang bisa aku lakukan?Rambutku yang sudah disisir dengan rapi, aku acak hingga berantakan. Masalah keluarga ini sungguh tidak ada habisnya!"Tau ah. Terserah mereka!" dumelku seraya mulai menyibukkan diri dengan pekerjaan yang ada di hadapanku kini.Dikarenakan masalah keluarga tadi, aku sampai harus minta i
"Jadi, masalah ini sudah selesai sampai di sini 'kan?" tanya Mas Ruslan dengan intonasi datarnya yang seperti biasa."Iya!" timpal ibu Sarinah."Kalau begitu, kami bisa pulang duluan 'kan? Aku masih punya banyak pekerjaan," tukas Mas Ruslan."Baiklah, ayo bubar!" pungkas Mbak Dina mengikuti.Karena posisi berdiri kami yang sudah ada di ambang pintu rumah kontrakan ini, Mas Ruslan dapat langsung membuka pintu, dan mengambil langkah keluar."Kamu pamit. Assalamualaikum, semuanya!" ujar Mas Ruslan yang segera aku ikuti dari belakang."Waalaikumsalam!" jawab Mbak Dina seorang.Tanpa menoleh ke arah belakang. Kami terus berjalan menuju sepeda motor yang diparkir Mas Ruslan tidak jauh."Ruslan, ada apa? Kok keluarga kamu rame-rame berkumpul di kontrakan Arumi?""Iya nih, Lan. Tadi kita semua lihat ibu kamu menjambak ibunya si Arumi itu. Mereka ada masalah apa sih sebenarnya?"Warga kampung yang meman