Tiana POV,
"Tiana, biarkan aku bertanya?" tukas Mbak Arumi ketika rumah mertua sudah dalam kondisi sepi. Bapak mertua sudah berangkat kerja, sementara ibu mertu sedang pergi ke pasar. Di rumah ini hanya menyisakan kami berdua."Bertanya soal apa?" tanyaku dengan acuh tak acuh.Mbak Arumi tidak langsung menyebutkan pertanyaan yang ingin dia ajukan. Hanya sepasang netranya yang menatap lekat ke arahku dengan sorot mata ambigu."Apa?" tanyaku lagi dengan alis terangkat tinggi. Aku memiliki tebakan di dalam hati mengenai pertanyaan apa yang ingin diajukan oleh wanita ini."Tolong jangan bilang kalau kamu juga naksir Ruslan?" ujar Mbak Arumi tampak ragu-ragu.Aku tidak segera membantah maupun mengiyakan. Hanya sepasang netraku yang memberikan kerlingan penuh arti padanya. Aku merasa bahwa pertanyaan ini tidak perlu dijawab dengan gamblang. Sebab, sikapku semalam dan pagi ini sepertinya sudah cukup menjadi jawaban."TapTiana POV, Sejak pertanyaan terakhir diajukan oleh Mbak Arumi, kami masih terus menunggu dengan setia. Waktu terus berlalu detik demi detik hingga 10 menit telah terlewati. "Apa kita tanya saja ke dalam?" tanyaku meminta pendapat pada Mbak Arumi. "Ayo!" balas Mbak Arumi tanpa banyak pikir panjang seraya mulai membuka pintu mobil yang ada di sisi kirinya. Sambil berjalan beriringan, kami menyebrang jalan menuju toko yang dimasuki oleh Mas Ruslan tadi. Kami tidak langsung berjalan masuk, dan justru celingukan di sekitar tempat parkir. Tampak terlihat orang-orang yang hilir mudik satu per satu. "Habis ini gimana?" tanya Mbak Arumi berbisik di samping telingaku. "Ayo kita masuk dulu. Lihat-lihat kalau ada Mas Ruslan di dalam," jawabku seraya menyeret sepasang tungkai jenjang ini ke dalam toko bernama toko 'SAMAWA' ini. Selayaknya toko-toko biasa, toko ini memiliki hilir mudik orang yang bisa dikatakan tidak terlalu ra
Sejak toko dibuka hingga detik ini, perkembangannya membuatku tersenyum dari telinga ke telinga. Perasaan gembira karena pelanggan baru terus berdatangan setiap harinya senantiasa membuatku mengucap syukur tanpa henti. "Gimana kondisi toko hari ini?" tanya Mas Ruslan yang baru saja tiba bersama dengan seorang laki-laki muda yang tampak baru memasuki usia 20 tahunan. "Alhamdulillah lancar, Mas!" jawabku dengan senyum yang terus merekah. "Perkenalkan ini Burhan, calon karyawan yang mau kerja di sini," ujar Mas Ruslan memperkenalkan laki-laki yang dia bawa. "Saya Burhan, Mbak!" sapa laki-laki itu seraya menyodorkan tangannya di depanku. "Astri," ucapku seraya membalas jabatan tangannya. "Kata Mas Ruslan, kamu hafal daerah-daerah sini ya?" tanyaku. "Iya, Mbak!" jawab Burhan. "Kalau gitu kamu mulai kerja besok aja, tugas kamu yang paling utama itu nganterin barang ke toko-toko langganan di sekitar sini," ujarku menutur
Hari-hari sepulang kerja masih sama seperti hari-hari biasanya. Begitu inginnya aku pulang kerja dalam kondisi tenang dan damai tanpa ada perang kata. Akan tetapi, selalu ada orang-orang yang tidak ingin melihatku mendapatkan ketenangan itu. Baru saja kami selesai mengucap salam, kalimat sindiran ibu mertua sudah melayang menggedor indera pendengaranku. "Dasar menantu durhaka. Kamu nggak ada kasihan-kasihannya melihat ibu mengurus rumah sendiri setiap hari?" hardik ibu mertua sesaat setelah aku menjejakkan kaki di ruang keluarga. Aku sengaja menghela nafas dengan dramatis, "Mohon maaf aja nih ya, Bu. Tapi bisa nggak ibu jangan cari gara-garanya sama aku aja. Di rumah ini menantu ibu bukan cuma aku aja, tapi Tiana juga. Kalau ibu capek ngurus pekerjaan rumah sendiri, bisa kali dia diminta untuk membantu. Aku ini ada anak loh, banyak uang yang aku butuhkan untuk membiayai masa depan Danis. Tolong pengertiannya lah, Bu?" pungkasku dengan panjang lebar.
Dimas POV, "Mas, kamu jangan percaya kata-kata Mbak Astri dong!"Kalimat yang dilontarkan istriku ini membuatku seketika termangu. Gurat ekspresi panik yang terlihat jelas di wajahnya membuat jantungku menghentak risau. Belum lagi mendengar suaranya yang tiba-tiba serak menambah pikiranku bergerak ke arah yang negatif. "Mbak, kamu jangan ngomong sembarangan ya!" seru Tiana pada Mbak Astri yang terus mendengus sinis sejak tadi. "Aku nggak sembarangan ngomong kok. Ini kan bukan yang pertama kalinya kamu bertindak demikian. Kapan hari kamu bahkan ketahuan sama Mas Ruslan langsung," timpal Mbak Astri. "Itu... Itu... "Sejujurnya aku sedikit terkejut mendengar ucapan Mbak Astri ini. Kapan hari kakak iparku ini memang memintaku untuk mengawasi Tiana agar tidak bertindak keganjenan pada suami orang. Akan tetapi, aku tidak pernah terpikirkan bahwa sasaran istriku ini adalah kakakku sendiri. "Itu apa?" tanya Mbak Astri denga
Benar kata orang-orang bahwa dendam menguras hati. Tapi ampuni aku kali ini Ya Allah, rasanya terlalu menyakitkan mendengar setiap kata yang terlontar dari mulut mertuaku ini. Satu-satunya cara yang terpikir olehku agar perhatian mertua tidak lagi tertuju padaku dan Mas Ruslan adalah dengan mengalihkan perhatian beliau pada orang lain. "Tiana, apa yang dikatakan Astri benar?" tanya bapak mertua menatap ke arah Tiana yang pucat seketika. "It... Itu... " Tiana tidak bisa menyelesaikan perkataannya karena tatapan tajam yang diberikan ibu dan bapak mertua padanya. Dia lantas menundukkan kepala dalam-dalam."Dim, apa kamu tahu soal ini?" tanya bapak mertua pada putra bungsunya itu. Dengan sorot mata yang terus terpaku pada sang istri, Dimas menjawab pertanyaan bapak mertua dengan gelengan kepala pelan. "Aku juga tidak tahu, Pak!" ucapnya dengan gamang. "Ti, sejak kapan orang tua kamu bangkrut?" tanya ibu mertua turut bertanya den
Tiana POV, Untuk yang pertama kalinya dalam hidup, aku merasa dadaku panas membara hingga rasanya sedikit sulit untuk menarik nafas dengan lega. Aku dibuat sangat marah karena kondisi keluargaku yang sedang morat-marit diungkap dengan cara sedemikian rupa oleh Astri. "Sayang... " sapa Mas Dimas dengan intonasi lirih. Akan tetapi, mataku masih menolak untuk melirik ke arah suamiku itu. Sepasang netraku justru masih betah menatap ke arah dimana Mas Ruslan dan istrinya baru saja pergi. 'Sialan, seharusnya tidak begini. Kenapa malah aku yang kena sih!' dumelku dengan geram di dalam hati. "Jadi sebenarnya bagaimana ini? Apa benar keluarga kamu bangkrut, Ti?" tanya ibu mertua untuk yang kesekian kali. " ... "Namun, aku masih terdiam. Aku tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan ini. Kepalaku yang mulai berdenyut pusing sibuk mempertimbangkan apakah aku harus jujur atau justru mencari dalih yang lain. "Ja
Dimas POV, "Sayang, kamu tahu kalau aku belum punya uang buat beli rumah," ujarku dengan perasaan pahit. "Aku nggak mau tahu. Minta aja uang jatah warisan kamu sama bapak," timpal Tiana dengan acuh tak acuh. " ... "Entah sudah keberapa kalinya aku tidak bisa berkata-kata karena celetukan asal yang dilontarkan oleh istriku dalam satu malam ini saja. "Astaghfirullahalazim, bapak sama ibu 'kan masih hidup. Masih segar bugar. Kurang ajar namanya kalau kita menyebutkan soal warisan sekarang," ujarku. "Ya terus gimana? Aku nggak mau diperbudak sama ibu, Mas!" pungkas Tiana dengan penuh emosi. "Sayang, ibu tidak akan seperti itu. Kamu 'kan menantu kesayangannya. Kamu beda dengan Mbak Astri," ujarku berusaha menghibur Tiana yang tampak semakin senewen. Namun, istriku ini justru mendengus dengan keras sambil menatapku dengan pandangan mencibir. "Kamu yakin kalau ibu akan memperlakukan aku dengan berbeda, Mas? Bel
Terkhusus hari ini, aku menjalani hari dengan semangat baru. Memikirkan bahwa hari ini kami tidak perlu kembali ke rumah mertua membuatku luar biasa senang. Aku bahkan melowongkan waktu untuk membersihkan kamar tidur kami. "Bahagia banget, Mbak. Ada kabar baik apa?" tanya Santi ketika mendengar aku bergumam pelan menyenandungkan lagu acak. "Bukan apa-apa, San. Seneng aja semakin banyak pelanggan hari ini," jawabku sambil tersenyum cemerlang. Santi tidak terus memasang aksi kepo dan hanya mengangguk pelan sambil terus sibuk dengan pekerjaannya sendiri. Begitu siang hari menjelang, aku meninggalkan toko pada Santi karena harus memasak makan siang untuk suamiku yang sebentar lagi datang. Seperti inilah kehidupan rumah tangga yang aku inginkan. Tidak perlu ada interupsi dari ibu mertua mengenai apa yang harus aku lakukan, dan makanan seperti apa yang harus aku sajikan. Hari terus berlalu, waktu pun kian merangkak naik. Dan selayaknya har
Untuk yang kedua kali, aku dan keluarga mengunjungi Bali. Kali ini aku berhasil membujuk ayah dan ibu untuk ikut turut serta. Alasannya adalah biar ada yang menemani ibu mertuaku untuk hanya sekedar mengobrol dengan orang seusianya."Kamu yakin semuanya akan baik-baik saja?" tanya ibu ketika kami baru saja tiba di Bali."Kenapa harus nggak baik-baik aja?" tanyaku dengan santai."Ibu mertua kamu benar-benar setuju nggak kalau kami ikut?" tanya ibu masih tidak yakin."Setuju kok. Ibu tenang aja. Ibu mertuaku sekarang baik. Kalau ibu nggak percaya, nanti kita buktikan!" ujarku dengan percaya diri."Kamu yakin?" tanya ibu lagi."Halah ibu ini, kenapa malah jadi kamu yang paranoid?" sambar bapak.Beliau sepertinya risih dengan pertanyaan yang sudah berulang kali diajukan oleh ibu sejak kemarin."Ih, bapak. Ibu kan cuma nanya," protes ibu atas reaksi bapak."Ya habis ibu nanya itu terus. Telinga bapak panas d
Dina POV,Berbulan-bulan berlalu, wacanaku untuk menculik Aldi dari ayah kandungnya sendiri selama ini hanya berakhir sebagai wacana. Aku tidak bisa membawa Aldi pergi menjauh dari ayah kandungnya tanpa persetujuan dari anak itu sendiri. Walaupun menyakitkan, aku tetap berusaha untuk menghargai keinginan Aldi."Aku tidak mengharapkan Aldi akan diabaikan oleh ayahnya sih. Tapi aku pikir begitu anaknya si Astuti lahir, fokus si Arifin pasti akan lebih dominan pada istri dan anak barunya," tukas Sadewa yang masih setia tinggal di desa ini untuk menemaniku."So?""Mungkin saat itu kamu bisa kembali merayu Aldi untuk tinggal bersamamu," ujar Sadewa."Hm," gumamku sembari menganggukkan kepala pelan tanpa menoleh ke arah Sadewa yang sedang duduk di balik kemudi.Saat ini, aku dan dia sedang menunggu di depan sekolahnya Aldi. Aku sangat merindukan anak yang beberapa waktu ini menolak untuk menemuiku. Semua ini lantaran dia marah padaku k
Aku memasak makan siang di bawah pengawasan ibu mertua. Awalnya terasa tidak nyaman, tetapi seiring dengan berjalannya waktu, aku mulai melupakan keberadaan beliau dan sepenuhnya fokus pada pekerjaan yang ada di tangan.Setelah sibuk berkutat di depan panci dan wajan, akhirnya masakan yang aku buat matang. Dengan telaten aku mulai menyendok nasi beserta lauk pauknya ke atas piring, lalu menyajikannya di depan ibu mertua."Coba aja kamu melakukan hal seperti ini dari dulu," celetuk ibu mertua.Aku spontan memutar mata. "Ini semua gara-gara ibu sih. Coba kalau ibu nggak keseringan sensi dan marah-marah," timpalku dengan santai."Cih," balas ibu mertua."Ayo makan siang. Setelah ini aku harus kembali kerja," ujarku seraya mengambil tempat duduk di kursi yang berada tepat di hadapan ibu mertua."Hubunganmu dengan Ruslan gimana?" tanya ibu mertua sembari mulai menyendok makanan ke dalam mulutnya."Sangat baik!" jawabku dengan
Hari demi hari masih berlalu dengan monoton seperti biasanya. Kata-kata bapak masih menghantuiku hingga saat ini, tetapi aku belum memiliki keberanian untuk pergi ke rumah ibu mertua untuk merayunya atau apalah itu.Selentingan kabar mereka diam-diam aku cari tahu melalui akun sosial media yang ada. Dan dari sana aku mengetahui bahwa Arumi dan ibu Sarinah telah kembali ke ibu kota. Ada juga kabar perceraian Dimas dan Tiana, serata kabar perceraian Mbak Dina dan suaminya.Rentetan kabar buruk yang datang satu demi satu menyambangi keluarga Hadinata membuat grup whats*app kompleks diibaratkan layaknya air yang dituangkan ke dalam minyak panas. [Keluarga Hadinata lagi dikasih banyak banget cobaan belakangan ini,][Ho-oh. Aku tidak menyangka umur pernikahan si Dimas bakal singkat banget. Padahal dia kelihatan cinta banget sama istrinya,][Isi dapur orang nggak ada yang tahu,][Memang sih,][Belum lagi si Dina juga bercerai.
Dina POV,"Din, hubungan kamu dengan Arifin bagaimana sih sebenarnya?" tanya bapak ketika kami sedang menyantap makan malam." ... "Karena makanan yang masih ada di dalam mulutku, aku tidak langsung memberi jawaban."Kamu juga, Dim. Tiana kemana? Kok dia nggak pulang-pulang?" tukas bapak pada Dimas yang duduk di sampingku."Aku dan Tiana berencana untuk bercerai," jawab Dimas dengan santai."Bercerai? Kenapa?" tanya ibu terdengar cukup terkejut.Dimas mengangkat bahunya pelan seraya berkata. "Sudah tidak ada kecocokan. Kalian masih ingat mengenai dia yang meminjam uang 100 juta untuk menutupi hutang keluarganya?" "Iya, terus kenapa?" tanya ibu dengan sedikit nada mendesak dalam suaranya."Aku tidak bisa membantunya untuk mencari jalan keluar terkait hutang itu. Alhasil dia mendekati banyak pria yang bersedia memberikannya uang secara cuma-cuma," jawab Dimas dengan enteng."What?!" seruku tida
"Kakek!""Nenek!"Danis berteriak dengan antusias tepat ketika kami baru tiba di rumah orang tuaku. Kebetulan saat ini kami bertemu dengan bapak dan ibu yang baru saja pulang dari sawah tepat di depan pintu gerbang rumah. "Danis, apa kabar? Nenek sama kakek udah lama nggak ketemu Danis," sambut ibuku dengan nada yang dibuat sedih ketika melihat cucunya.Memang beberapa minggu belakangan ini, kami terlalu sibuk mengurus toko yang baru dibuka, sehingga kami tidak bisa datang berkunjung ke rumah orang tuaku ini seperti biasanya."Iya nih. Bapak sama ibu sibuk-sibuk terus!" timpal Danis turut merajuk sambil bibirnya dimajukan beberapa sentimeter."Ayo, ngobrolnya di dalam aja," tukas bapak sembari membuka pintu gerbang untuk kami."Rumah kok sepi, Pak? Wisnu mana?" tanyaku."Di kosnya. Kamu lupa kalau adik kamu itu sudah masuk kuliah?" tukas bapak."Oh, aku lupa," timpalku seraya menepuk kepalaku pelan.
Dina POV,"Bu, apa rencana ibu selanjutnya?" tanyaku pada ibu setelah kami kembali ke rumah. Saat ini hanya ada aku, dan ibu saja yang ada di rumah. Bapak memilih untuk pergi ke peternakan dan menghabiskan waktu di sana. Sementara itu, Dimas sudah berangkat ke kantor."Entahlah. Ibu juga tidak tahu," jawab ibu dengan nada gamang. Aku pun menghela nafas lelah."Ibu tidak mau bercerai saja dengan bapak. Lalu memulai kehidupan baru?" tanyaku dengan hati-hati. Aku takut membuat ibu terlalu emosional." ... "Hening,Ibu tidak langsung menimpali ucapanku. Mata beliau terlihat menerawang jauh. Dan aku pun tidak mendesak ibu untuk segera menjawab. Hal-hal terkait hati memang tidak bisa diputuskan dengan mudah."Baik bibi Sarinah dan juga Ruslan telah memutuskan jalan hidup mereka sendiri. Dan tampaknya mereka juga bahagia-bahagia saja dengan pilihan hidup mereka saat ini. Hanya tinggal ibu saja yang masih terjerat dal
Dimas POV,Jarum jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi ketika semua drama mengenai orang tua kandung itu selesai. Setidaknya itu yang mereka katakan. Sementara menurutku, penyelesaian seperti ini agak terdengar tidak benar. Akan tetapi, jika ditanya hasil seperti apa yang aku inginkan atas masalah ini, tentu saja aku tidak bisa menjawabnya dengan pasti. Karena orang-orang yang terlibat dalam masalah ini telah memutuskan untuk terus melangkah. Hanya ibu yang tampaknya masih terus terjerat dalam masa lalu. Namun, bahkan jika aku mengatakan apapun hingga berbusa, kalau ibu telah membuat keputusan keras kepala sendiri, lantas apa yang bisa aku lakukan?Rambutku yang sudah disisir dengan rapi, aku acak hingga berantakan. Masalah keluarga ini sungguh tidak ada habisnya!"Tau ah. Terserah mereka!" dumelku seraya mulai menyibukkan diri dengan pekerjaan yang ada di hadapanku kini.Dikarenakan masalah keluarga tadi, aku sampai harus minta i
"Jadi, masalah ini sudah selesai sampai di sini 'kan?" tanya Mas Ruslan dengan intonasi datarnya yang seperti biasa."Iya!" timpal ibu Sarinah."Kalau begitu, kami bisa pulang duluan 'kan? Aku masih punya banyak pekerjaan," tukas Mas Ruslan."Baiklah, ayo bubar!" pungkas Mbak Dina mengikuti.Karena posisi berdiri kami yang sudah ada di ambang pintu rumah kontrakan ini, Mas Ruslan dapat langsung membuka pintu, dan mengambil langkah keluar."Kamu pamit. Assalamualaikum, semuanya!" ujar Mas Ruslan yang segera aku ikuti dari belakang."Waalaikumsalam!" jawab Mbak Dina seorang.Tanpa menoleh ke arah belakang. Kami terus berjalan menuju sepeda motor yang diparkir Mas Ruslan tidak jauh."Ruslan, ada apa? Kok keluarga kamu rame-rame berkumpul di kontrakan Arumi?""Iya nih, Lan. Tadi kita semua lihat ibu kamu menjambak ibunya si Arumi itu. Mereka ada masalah apa sih sebenarnya?"Warga kampung yang meman