Hari demi hari berlalu. Dan benar saja, mertuaku sama sekali tidak tertarik pada Danis yang sudah memulai sekolahnya. Jika kami berpapasan dengan ibu mertua di pagi hari sebelum berangkat, wanita paruh baya itu hanya akan melirik sekilas, lalu melengos pergi.
Perlakuan ibu mertua yang seperti ini sudah tidak aneh lagi bagiku. Bahkan Danis pun tampak tidak terpengaruh. Sikap cueknya benar-benar menurun sempurna dari Mas Ruslan.Tetapi baguslah jika ibu mertua tidak tahu bahwa aku menyekolahkan Danis di TK IT Az-Zahra. Dengan uang SPP yang cukup mahal setiap bulannya, bisa-bisa ibu mertuaku itu meradang. Paling buruk, beliau akan mulai mengoceh memberiku ceramah."Hari ini Ibu nggak bisa lagi nunggu Danis di sekolah. Ibu harus kerja!" ujarku pada Danis tatkala kami sudah tiba di sekolahnya. diyakinkan"Danis nggak apa-apa 'kan? Danis bisa sendiri 'kan?" tanyaku memastikan."Iya!" jawab Danis sembari mengangguk dengan mantap.M"Reaksinya nggak usah lebay gitu deh, Bu!" tegurku karena percikan ludah ibu mertua yang menyembur wajahku. "Nggak usah lebay kamu bilang. Kamu tahu nggak berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan kalau bersekolah di sana?!" seru ibu mertua semakin heboh. "Tahulah. Ya kali aku sekolahin anak aku sendiri nggak pakai milih-milih dan nyari tahu dulu," timpalku merasa senang ketika melihat keterkejutan ibu mertua. "Uang dari mana kamu?" Aku spontan mengendikkan bahu mendengar pertanyaan ini. "Makanya aku kerja 'kan?" jawabku dengan acuh tak acuh. "Astri. Kamu benar-benar ya!" ujar ibu mertua tampak tidak bisa berkata-kata. Aku pun melemparkan senyum miring. "Toh, aku nggak pakai uang ibu ini. Jadi ibu nggak perlu ikut pusing. Cuekin aja kayak biasanya!" ujarku dengan satir. Ibu mertua seketika terlihat jelas menahan geram karena kata-kataku. Namun, seperti biasa, aku tidak peduli. "Ruslan, istri kamu semaki
Tiana POV, Aku berdiri di depan jendela kamar yang ada di lantai dua kamarku. Menatap pekatnya malam di halaman belakang rumah dengan sebuah benda pipih menempel di telinga."Sayang, tolong pinjamkan uang untuk Papa pada keluarga suami kamu dong!" Suara memohon dari Papa yang paling aku sayangi terdengar dari seberang telepon. Permintaan ini membuat hatiku pahit. Seumur-umur, aku tidak pernah mendengar Papa melontarkan kalimat memelas seperti ini. "Berapa?" tanyaku dengan nada lembut. "Seratus juta!" jawab Papa. "Apa?!" seruku dengan terkejut. "Kenapa banyak banget?" tanyaku. "Keuangan keluarga kita sudah semakin menipis. Rencananya kalau kamu berhasil meminjam 100 juta pada keluarganya Dimas, uang itu mau Papa pakai untuk modal usaha baru," ujar Papa menjelaskan. " ... "Aku terdiam tidak bisa menjawab untuk waktu yang lama. Setelah mengenal lebih dekat mertuaku itu, aku merasa permintaan Papa i
Dimas POV, Sepanjang malam aku tidak bisa tidur nyenyak karena permintaan istriku tercinta itu. Dan pagi tadi, aku terbangun dalam kondisi kepala pusing tujuh keliling yang masih bertahan hingga detik ini. Meminjamkan Papa mertua uang 100 juta pada ibu? Bagaimana aku harus mengatakannya? Seumur-umur aku sendiri tidak pernah melihat nominal sebesar itu. Dan aku rasa, ibuku juga tidak memilikinya. Jangan melihat peternakan sapi milik bapak yang tampak besar. Faktanya modal yang dikeluarkan untuk biaya perawatan juga tidak sedikit. Uang hasil jualan sapi juga tidak pernah hanya mengendap di dalam rekening. Uang itu pasti akan diputar lagi untuk modal. Tetapi bagaimana aku harus memberitahu Tiana? Jika semalam aku langsung mengatakan bahwa ibu pasti tidak memiliki uang sebanyak itu, istriku pasti tidak akan percaya. Belum mencoba berbicara pada ibu saja sudah membuatku mendapatkan punggungnya ketika tidur semalam. "Bro, kenapa bengong aj
Rasa bahagiaku karena hari ini toko yang aku kelola mulai kedatangan pembeli dikalahkan oleh pikiran yang telah menghantuiku sepanjang malam sebelumnya. Tentang keinginanku mencari tahu mengenai sejarah keluarga Mas Ruslan. Untuk mengulik apa yang sebenarnya telah terjadi. Tidak mungkin 'kan seorang ibu memperlakukan anaknya secara berbeda jika tidak ada hal yang mendasari. Akan tetapi, tekadku untuk mencari tahu mengenai sejarah keluarga Mas Ruslan itu terpaksa aku redam karena tidak tahu harus memulai dari mana. Aku sudah bolak-balik berpikir bagaiamana caranya untuk mencari tahu. Tetapi hasilnya tetap nihil. Jalannya buntu! Mas Ruslan tidak lagi memiliki kakek dan nenek yang bisa aku tanyai. Aku juga tidak tahu siapa saja kerabat dekat mertuaku itu. Selama menikah dengan Mas Ruslan, kesimpulan yang aku buat adalah mertuaku tidak memiliki hubungan yang baik dengan sanak saudaranya yang lain. Sehingga bahkan di hari-hari besar seperti hari lebaran, tidak pernah
Tiana POV, 'Mas Dimas kenapa bodoh banget sih!'Aku menundukkan kepala dalam-dalam untuk menyembunyikan emosi yang bisa saja terlihat jelas dari mataku. Di dalam hati aku juga sibuk merutuki alasan yang dikemukakan oleh suamiku itu. Investasi katanya? Jelas saja ibu mertua tidak akan memberikannya. Sudah banyak kasus investasi bodong yang viral dimana-mana. Ibu mertua pasti tahu dan menjadi waspada ketika alasan seperti ini disebutkan pertama kali. 'Kenapa dia nggak bilang kalau dia punya hutang aja sih!' batinku dengan kesal. Setelah ibu mertua menolak permintaan Mas Dimas denga tegas, ruang keluarga ini langsung jatuh dalam keheningan. Namun, tidak lama kemudian, keheningan itu terganggu oleh suara bisik-bisik seseorang. Dengan rasa ingin tahu, aku beserta anggota keluarga yang lain mengarahkan pandangan kami ke arah sumber suara. Di ambang pintu yang menghubungkan antara ruang tamu dan ruang keluarga, ada Mas Ru
Hari-hari masih berjalan seperti biasa. Rutinitasku pun masih berputar pada hal yang itu-itu saja. Pagi-pagi setelah mengantar Danis ke sekolah, aku menyibukkan diri di toko yang mulai ramai pembeli. Dan baru kembali ke rumah ba'da isya. Awalnya ibu mertua masih sering mengomel, tapi sekarang mertuaku itu tampaknya sudah mulai lelah memarahi. Akan tetapi, satu hal yang belum berubah, beliau masih gemar menggangguku seperti hari ini. [Nanti malam ada tamu penting yang mau datang ke rumah. Kamu temani ibu masak. Minta izin pada bosmu untuk pulang cepat!]Satu pesan to the point dari ibu mertuaku itu hanya aku lirik sekilas tanpa minat. Aku benar-benar tidak tahu apa fungsi Tiana di rumah itu. Hanya karena dia anak orang kaya, lantas dia diperlakukan sebagai ratu? Bahkan tidak pernah disuruh-suruh?Aku jadi penasaran, bagaimana reaksi ibu mertua jika tahu bahwa keluarga menantunya yang satu itu sedang berada di ambang kebangkrutan? [Tri,
"Mas, kok kamu baru pulang jam segini sih? Kamu dari mana aja?" Dengan senyum merekah dan kalimat sok akrab, Mbak Arumi mengambil langkah panjang menghampiri Mas Ruslan. Aku yang semula berdiri bersisian dengan suamiku sendiri langsung mengambil tempat di depan Mas Ruslan. Aku harus menghalangi wanita ganjen ini agar tidak dekat-dekat dengan suamiku. "Eh, Tri? Kamu apa kabar?" tanya Mbak Arumi sok akrab padaku. "Kamu ngapain di sini?" tanyaku dengan ketus. Aku sama sekali tidak menghiraukan pertanyaan tak berbobot yang lebih dulu diajukan oleh wanita ini. "Kamu itu kok nggak ada sopan-sopannya sih sama tamu!" omel ibu mertuaku tidak puas. Namun, aku memilih untuk mengabaikannya. Saat ini yang menjadi fokusku adalah kehadiran wanita bernama Arumi ini. Aku sama sekali tidak pernah mempertimbangkan kalau wanita ini akan berani menginjakkan kaki di rumah ini. Dan tanpa menyurutkan senyum dari bibirnya, Mbak Arumi berk
Tiana POV, Sejak pagi hingga malam hari, wajahku terus menunjukkan ekspresi memberengut. Dikarenakan rumah ini yang kedatangan tamu, aku terpaksa turut sibuk membantu ibu mertua. Mulai dari memasak hingga membersihkan tiap sudut-sudut rumah. Tadinya aku berpikir tamu yang akan datang adalah tamu yang benar-benar penting. Ternyata hanya teman Mbak Dina. Namun, yang membuat wajahku lebih tidak sedap di pandang adalah wanita bernama Arumi ini tampaknya juga naksir pada Mas Ruslan. Setelah kedatangan wanita ini di sore hari, hal yang pertama kali dia tanyakan adalah keberadaan Mas Ruslan. Aku sendiri belum menemukan cara bagaimana mendekati pria dingin itu dengan Astri sebagai pawang posesifnya. Sekarang aku malah kedatangan rival tambahan. Sungguh menjengkelkan! "Maklumin sikap Ruslan itu ya, Nak Arumi. Dia memang kurang didikan," ucap Ibu mertua dengan nada halus pada teman Mbak Dina yang bernama Arumi ini. "Nggak apa-apa kok, Tante. L
Untuk yang kedua kali, aku dan keluarga mengunjungi Bali. Kali ini aku berhasil membujuk ayah dan ibu untuk ikut turut serta. Alasannya adalah biar ada yang menemani ibu mertuaku untuk hanya sekedar mengobrol dengan orang seusianya."Kamu yakin semuanya akan baik-baik saja?" tanya ibu ketika kami baru saja tiba di Bali."Kenapa harus nggak baik-baik aja?" tanyaku dengan santai."Ibu mertua kamu benar-benar setuju nggak kalau kami ikut?" tanya ibu masih tidak yakin."Setuju kok. Ibu tenang aja. Ibu mertuaku sekarang baik. Kalau ibu nggak percaya, nanti kita buktikan!" ujarku dengan percaya diri."Kamu yakin?" tanya ibu lagi."Halah ibu ini, kenapa malah jadi kamu yang paranoid?" sambar bapak.Beliau sepertinya risih dengan pertanyaan yang sudah berulang kali diajukan oleh ibu sejak kemarin."Ih, bapak. Ibu kan cuma nanya," protes ibu atas reaksi bapak."Ya habis ibu nanya itu terus. Telinga bapak panas d
Dina POV,Berbulan-bulan berlalu, wacanaku untuk menculik Aldi dari ayah kandungnya sendiri selama ini hanya berakhir sebagai wacana. Aku tidak bisa membawa Aldi pergi menjauh dari ayah kandungnya tanpa persetujuan dari anak itu sendiri. Walaupun menyakitkan, aku tetap berusaha untuk menghargai keinginan Aldi."Aku tidak mengharapkan Aldi akan diabaikan oleh ayahnya sih. Tapi aku pikir begitu anaknya si Astuti lahir, fokus si Arifin pasti akan lebih dominan pada istri dan anak barunya," tukas Sadewa yang masih setia tinggal di desa ini untuk menemaniku."So?""Mungkin saat itu kamu bisa kembali merayu Aldi untuk tinggal bersamamu," ujar Sadewa."Hm," gumamku sembari menganggukkan kepala pelan tanpa menoleh ke arah Sadewa yang sedang duduk di balik kemudi.Saat ini, aku dan dia sedang menunggu di depan sekolahnya Aldi. Aku sangat merindukan anak yang beberapa waktu ini menolak untuk menemuiku. Semua ini lantaran dia marah padaku k
Aku memasak makan siang di bawah pengawasan ibu mertua. Awalnya terasa tidak nyaman, tetapi seiring dengan berjalannya waktu, aku mulai melupakan keberadaan beliau dan sepenuhnya fokus pada pekerjaan yang ada di tangan.Setelah sibuk berkutat di depan panci dan wajan, akhirnya masakan yang aku buat matang. Dengan telaten aku mulai menyendok nasi beserta lauk pauknya ke atas piring, lalu menyajikannya di depan ibu mertua."Coba aja kamu melakukan hal seperti ini dari dulu," celetuk ibu mertua.Aku spontan memutar mata. "Ini semua gara-gara ibu sih. Coba kalau ibu nggak keseringan sensi dan marah-marah," timpalku dengan santai."Cih," balas ibu mertua."Ayo makan siang. Setelah ini aku harus kembali kerja," ujarku seraya mengambil tempat duduk di kursi yang berada tepat di hadapan ibu mertua."Hubunganmu dengan Ruslan gimana?" tanya ibu mertua sembari mulai menyendok makanan ke dalam mulutnya."Sangat baik!" jawabku dengan
Hari demi hari masih berlalu dengan monoton seperti biasanya. Kata-kata bapak masih menghantuiku hingga saat ini, tetapi aku belum memiliki keberanian untuk pergi ke rumah ibu mertua untuk merayunya atau apalah itu.Selentingan kabar mereka diam-diam aku cari tahu melalui akun sosial media yang ada. Dan dari sana aku mengetahui bahwa Arumi dan ibu Sarinah telah kembali ke ibu kota. Ada juga kabar perceraian Dimas dan Tiana, serata kabar perceraian Mbak Dina dan suaminya.Rentetan kabar buruk yang datang satu demi satu menyambangi keluarga Hadinata membuat grup whats*app kompleks diibaratkan layaknya air yang dituangkan ke dalam minyak panas. [Keluarga Hadinata lagi dikasih banyak banget cobaan belakangan ini,][Ho-oh. Aku tidak menyangka umur pernikahan si Dimas bakal singkat banget. Padahal dia kelihatan cinta banget sama istrinya,][Isi dapur orang nggak ada yang tahu,][Memang sih,][Belum lagi si Dina juga bercerai.
Dina POV,"Din, hubungan kamu dengan Arifin bagaimana sih sebenarnya?" tanya bapak ketika kami sedang menyantap makan malam." ... "Karena makanan yang masih ada di dalam mulutku, aku tidak langsung memberi jawaban."Kamu juga, Dim. Tiana kemana? Kok dia nggak pulang-pulang?" tukas bapak pada Dimas yang duduk di sampingku."Aku dan Tiana berencana untuk bercerai," jawab Dimas dengan santai."Bercerai? Kenapa?" tanya ibu terdengar cukup terkejut.Dimas mengangkat bahunya pelan seraya berkata. "Sudah tidak ada kecocokan. Kalian masih ingat mengenai dia yang meminjam uang 100 juta untuk menutupi hutang keluarganya?" "Iya, terus kenapa?" tanya ibu dengan sedikit nada mendesak dalam suaranya."Aku tidak bisa membantunya untuk mencari jalan keluar terkait hutang itu. Alhasil dia mendekati banyak pria yang bersedia memberikannya uang secara cuma-cuma," jawab Dimas dengan enteng."What?!" seruku tida
"Kakek!""Nenek!"Danis berteriak dengan antusias tepat ketika kami baru tiba di rumah orang tuaku. Kebetulan saat ini kami bertemu dengan bapak dan ibu yang baru saja pulang dari sawah tepat di depan pintu gerbang rumah. "Danis, apa kabar? Nenek sama kakek udah lama nggak ketemu Danis," sambut ibuku dengan nada yang dibuat sedih ketika melihat cucunya.Memang beberapa minggu belakangan ini, kami terlalu sibuk mengurus toko yang baru dibuka, sehingga kami tidak bisa datang berkunjung ke rumah orang tuaku ini seperti biasanya."Iya nih. Bapak sama ibu sibuk-sibuk terus!" timpal Danis turut merajuk sambil bibirnya dimajukan beberapa sentimeter."Ayo, ngobrolnya di dalam aja," tukas bapak sembari membuka pintu gerbang untuk kami."Rumah kok sepi, Pak? Wisnu mana?" tanyaku."Di kosnya. Kamu lupa kalau adik kamu itu sudah masuk kuliah?" tukas bapak."Oh, aku lupa," timpalku seraya menepuk kepalaku pelan.
Dina POV,"Bu, apa rencana ibu selanjutnya?" tanyaku pada ibu setelah kami kembali ke rumah. Saat ini hanya ada aku, dan ibu saja yang ada di rumah. Bapak memilih untuk pergi ke peternakan dan menghabiskan waktu di sana. Sementara itu, Dimas sudah berangkat ke kantor."Entahlah. Ibu juga tidak tahu," jawab ibu dengan nada gamang. Aku pun menghela nafas lelah."Ibu tidak mau bercerai saja dengan bapak. Lalu memulai kehidupan baru?" tanyaku dengan hati-hati. Aku takut membuat ibu terlalu emosional." ... "Hening,Ibu tidak langsung menimpali ucapanku. Mata beliau terlihat menerawang jauh. Dan aku pun tidak mendesak ibu untuk segera menjawab. Hal-hal terkait hati memang tidak bisa diputuskan dengan mudah."Baik bibi Sarinah dan juga Ruslan telah memutuskan jalan hidup mereka sendiri. Dan tampaknya mereka juga bahagia-bahagia saja dengan pilihan hidup mereka saat ini. Hanya tinggal ibu saja yang masih terjerat dal
Dimas POV,Jarum jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi ketika semua drama mengenai orang tua kandung itu selesai. Setidaknya itu yang mereka katakan. Sementara menurutku, penyelesaian seperti ini agak terdengar tidak benar. Akan tetapi, jika ditanya hasil seperti apa yang aku inginkan atas masalah ini, tentu saja aku tidak bisa menjawabnya dengan pasti. Karena orang-orang yang terlibat dalam masalah ini telah memutuskan untuk terus melangkah. Hanya ibu yang tampaknya masih terus terjerat dalam masa lalu. Namun, bahkan jika aku mengatakan apapun hingga berbusa, kalau ibu telah membuat keputusan keras kepala sendiri, lantas apa yang bisa aku lakukan?Rambutku yang sudah disisir dengan rapi, aku acak hingga berantakan. Masalah keluarga ini sungguh tidak ada habisnya!"Tau ah. Terserah mereka!" dumelku seraya mulai menyibukkan diri dengan pekerjaan yang ada di hadapanku kini.Dikarenakan masalah keluarga tadi, aku sampai harus minta i
"Jadi, masalah ini sudah selesai sampai di sini 'kan?" tanya Mas Ruslan dengan intonasi datarnya yang seperti biasa."Iya!" timpal ibu Sarinah."Kalau begitu, kami bisa pulang duluan 'kan? Aku masih punya banyak pekerjaan," tukas Mas Ruslan."Baiklah, ayo bubar!" pungkas Mbak Dina mengikuti.Karena posisi berdiri kami yang sudah ada di ambang pintu rumah kontrakan ini, Mas Ruslan dapat langsung membuka pintu, dan mengambil langkah keluar."Kamu pamit. Assalamualaikum, semuanya!" ujar Mas Ruslan yang segera aku ikuti dari belakang."Waalaikumsalam!" jawab Mbak Dina seorang.Tanpa menoleh ke arah belakang. Kami terus berjalan menuju sepeda motor yang diparkir Mas Ruslan tidak jauh."Ruslan, ada apa? Kok keluarga kamu rame-rame berkumpul di kontrakan Arumi?""Iya nih, Lan. Tadi kita semua lihat ibu kamu menjambak ibunya si Arumi itu. Mereka ada masalah apa sih sebenarnya?"Warga kampung yang meman