***"Mal! Kamu ada teman atau kenalan yang lagi cari jodoh, gak?" celetukku sambil menjahit kancing bajuku yang terlepas. Di sampingku, Santi sedang mengamati gerakan tangan keriput ini memainkan jarum kecil itu. Hari ini Akmalku tidak ke kantor, sehingga kami bisa quality time untuk mengakrabkan diri karena waktunya lebih banyak dihabiskan di kantor. "Apaaa? Ibu mau nikah lagi?" seru Akmal, menyemburkan sedikit teh yang ia minum. Aku juga ikutan terperanjat hingga jarum menusuk jempolku. Akmal mungkin telah salah sangka mengartikan ucapanku. "Ya Allah, Bu. Tangan Ibu berdarah!" Santi bergegas mengambil kotak P3K, mengambil obat biru dan mengoleskannya di jempol. Aku tersenyum melihat reaksi menantuku yang begitu perhatian. Ini hanya luka kecil yang tidak butuh obat apapum juga sudah sembuh. "Salah Abang nih. Kenapa juga bikin Ibu kaget? Sini, Bu! Santi aja yang lanjutin," sergah menantuku, mengambil alih baju yang tadi kupegang. "Duh, sakit gak, Bu? Maafkan Akmal!Kalau memang Ibu
"Bu! Sepertinya aku sakit deh. Badanku terasa lemas. Aku mual terus dan eneg juga dengan bau itu tuh, bunga-bunga Ibu," keluh menantuku. Dia menggunakan masker dua lapis agar tidak mencium aroma berbagai macam bunga yang sedang bermekaran. Santi memang tidak terlalu suka merawat tanaman, tapi dia tak pernah mual jika membantuku menyiram bunga yang indah dan menyejukkan pandangan ini. Apakah Santi sedang mengandung? Ah, tidak baik kalau terlalu bahagia sebelum tahu dengan pasti. Nanti kami bisa kecewa. "Apa kamu punya riwayat sakit magh, San?" tanyaku khawatir."Iya, Bu. Tapi Santi gak ada terlambat makan kok," balasnya. Aku mengajak menantuku duduk di sofa, mengambil minyak kayu putih dan membalurkannya di leher cintanya anakku. "Kamu makan sesuatu yang asam-asam? Asam juga bisa memicu magh jadi kambuh, Nak," cecarku lagi. Santi mengernyitkan keningnya, mencoba mengingat-ingat apa yang dia makan. Kemaren dia keluar sama teman-temannya sehingga aku tak tahu apa yang dia makan."Cuma
***"Ini masih samar, Bu. Sepertinya memang Bu Santi ini hamil. Biar garisnya lebih terang dan makin pasti, coba dicek seminggu lagi," ungkap Bidan berkulit kuning langsat. "Alhamdulillah!" seruku, Akmal dan Santi dengan senyum terkembang. Tak bisa dielakkan, walaupun masih samar garisnya, kami tetap bahagia. "Boleh datang ke sini atau dicek sendiri pakai alat ini ya, Bu," ujar Bidan berlesung pipi itu, menyerahkan sebuah alat tes kehamilan. Ia kemudian memberikan berbagai macam obat untuk menantuku. Aku tidak pernah memakai benda yang diberikan bidan, tapi kutahu bentuk dan fungsinya dari internet. Saat hamil Akmal, aku hanya memeriksakan diri ke dukun beranak. Zaman sudah semakin canggih dan orang tua harus mengikuti. Paling tidak harus terbuka dengan dunia luar. Pernah suatu hari warga kampung kami geger. Seorang ibu-ibu sering menemukan alat kontrasepsi dan juga penguji kehamilan di tas sekolah anak perempuannya. Ia membuangnya tanpa banyak bertanya. Kejadian itu berulang hing
"Kenapa bilang begitu, Bu? Bukannya tadi Bu Lilis tak suka pada saya? Hanya menompang di rumah menantumu ini. Saya hanya benalu di dalam rumah tangga menantumu," pancingku. Sengaja menggunakan kata 'menantumu' dari pada anakku. Supaya dia merasa lebih dekat pada Akmal, anak kesayangan dan juga semata wayangku. Bu Lilis menggeleng seraya mengusap pelupuk mata yang menggenang. Ia mengatur nafas, lantas bersuara. "Sa-saya cuma iri, Bu Dijah. Ibu mendapatkan anak yang soleh dan sekaligus bisa menganggap Santi seperti putri sendiri. Bu Dijah seperti punya sepasang anak yang sayang pada Ibu. Mereka juga tinggal bersama Ibu, sedangkan saya kini tak memiliki apa-apa. Ibu semakin lengkap, tapi saya kesepian," cerocos besanku, mengeluarkan uneg-uneg yang membuat dia selalu ketus padaku. Aku tersenyum seraya mengusap bahu besanku. Apakah dia mengira kalau aku sudah merebut putrinya? "Santi itu masih putri Bu Lilis dan Akmal anggaplah sebagai putra Ibu. Seorang istri memang seharusnya ikut s
"Oh ternyata begini kelakuanmu di belakangku, Ma. Kamu jelek-jelekin suamimu sama besan kita? Kenapa pergi ke sini gak kabarin papa dulu? Memangnya Santi itu anakmu saja? Aku juga orang tuanya," cerocos papanya Santi. Entah mulai kapan dia berdiri di belakang kami. "Eh Pak Wiro, kapan datang? Mari ke depan, Pak!" ujarku ramah lalu bangkit dan berjalan bersisian dengan Bu Lilis yang cemberut menuju ruang tamu. Di sana ada Akmal dan Santi sedang duduk bercengkrama."Kamu ngapain sih datang kemari, Pa? Kamu itu selalu bikin masalah. Dimana-mana ada utang. Harusnya papa itu kerja yang rajin biar hidup kita lebih makmur, Pa. Papa memang ngasih uang ke mama, tapi dengan cara minjam ke orang lain. Ujung-ujungnya mama juga yang pusing. Mama bosan ditagih rentenir setiap saat. Lebih baik Mama tinggal di sini aja sama Santi," sergah Bu Lilis.Anak menantuku berpandangan seraya membeliakkan mata. Santi mendekat dan duduk di antara orang tuanya."Mama sama Papa apa gak malu bertengkar terus? Ka
"Sayang! Maafkan mama ya telah membuat kamu malu dan juga kesal. Permasalahan mama dan papa pasti sudah membebani pikiranmu. Padahal kamu sedang mengandung," ujar Bu Lilis, mengusap bahu menantuku. "Iya, papa juga minta maaf ya, Nak. Kami ini orang tua kamu, tapi tidak bisa memberikan contoh yang baik. Papa tak bisa menjaga ucapan karena melihat mama kamu diam-diam ke sini tanpa memberitahu papa." Pak Wiro menimpali. "Udahlah, Pa. Kita ini mau minta maaf, bukan mau saling ngungkit kesalahan," cetus Bu Lilis. "Ya Allah! Sakit!" Santi meringis sambil memengangi perutnya. Kutahan lengan Akmal agar tidak masuk. Aku juga khawatir kalau terjadi apa-apa dengan calon cucuku."Kamu kenapa, San? Perut kamu sakit? Kita ke Dokter, ya?" cecar Bu Lilis. Kedua besanku mendekati Santi dengan sedikit membungkuk. Santi membuang muka ke arah jendela. Aku dan Akmal yang berdiri di muka pintu kamar jadi deg-degan. Takut kalau Santi dan orang tuanya jadi berdebat lagi. "San! Jangan diamin kita terus
Kebetulan ada dua tanggal merah di minggu ini dan Lita diijinkan bosnya cuti beberapa hari agar bisa seminggu di kota ini. Aku sengaja menyuruh Lita datang ke sini agar bisa bertemu dengan calon yang dipilihkan Akmal. Aku sudah merindukan gadis manis itu. Seminggu di sini, aku bisa membawanya keliling-keliling kota. Lita adalah keponakanku dengan pemikiran cukup modern. Kasihan kalau dia terkungkung dengan pemikiran primitif masyarakat kampung kami. Makanya aku ingin dia menikah dengan orang kota agar bisa mengembangkan diri. Bukan aku tak ingin menyuruh Akmal mencari pekerjaan buat Lita di kota ini. Aku ingin sekali. Bahkan Akmal pernah membicarakan hal ini karena aku sering video call dengan Lita. Tapi di mana dia akan tinggal tentu menjadi tanggung jawabku. Aku takut kalau melepaskannya ngekost sendirian dan tidak ada yang mengawasi. Dia belum terbiasa menghadapi kerasnya kota dan pergaulan yang kurang baik. Namun membawa Lita tinggal bersama keluarga kecil anak menantuku juga bu
"Iya, Bu. Ini semua berkat kesabaran Ibu. Mungkin kalau Ibu tidak membimbing istriku, Akmal tidak akan pernah merasakan damainya pernikahan," lirih Akmal, lantas memelukku. "Kamu berlebihan, Sayang. Allah yang memberi hidayah sedangkan kita cuma berusaha. Santi adalah manusia pilihan yang berhak mendapatkan nikmat hidayah. Makanya ibu harus selektif memilih jodoh untuk Lita. Tidak semua orang punya kesempatan seperti Santi. Ibu tahu kalau Lita tak punya teman lelaki selain kamu. Itu pun sebelum kamu kuliah," ungkapku."Tidak ada yang lebih baik selain pilihan Ibu. Coba tanya teman-teman Ibu saja kalau gitu," usul Akmal yang membuatku berbinar. Kenapa aku tidak kepikiran dengan hal itu? Setelah punya banyak waktu dengan Santi, aku membisukan notifikasi obrolan grup alumni STKIP Pargumbangan. "Betul juga usulmu, Mal," kekehku lantas mengambil ponsel dari saku gamis. [Ada yang punya anak lelaki yang mau nikah gak sih?] tulisku di grup. Kebetulan banyak yang online. Mungkin karena hari
"Maaf, Bu! Kali ini jangan larang Akmal, Bu. Aku akan mengantar Santi pulang ke rumah orang tuanya dulu. Dia harus merenung apakah masih ingin membagi suka duka denganku atau mau bahagia sendiri dengan hidup barunya!" ujar anakku. Wajahnya terlihat tenang yang menandakan di mengambil keputusan ini dalam keadaan sadar dan sudah dipikirkan secara jernih."Aku pergi dulu, Bu. Santi sayang sama Ibu dan Noval, tapi Santi tidak siap kalau Bang Akmal keluar dari perusahaan. Orang-orang berlomba agar bisa masuk perusahaan bergengsi, Bang Akmal malah memilih pekerjaan yang gak jelas untung ruginya. Santi gak mau ambil resiko kalau harus bangkrut di kemudian hari. Santi mau nenangin diri dulu," ujar menantuku dengan mantap. Ia ciumi pipi Noval tanpa berniat membawa buah hatinya itu ikut dengannya.Aku membuang nafas perlahan. Mereka sudah dewasa dan bisa memikirkan apa yang terbaik untuk rumah tangga mereka. Semoga mereka hanya menjauh sementara untuk mengikat hubungan yang lebih erat. Aku tah
"Noval! Ayo makan, Nak! Sini, mama kasih hape deh," seru Santi, menantuku yang semakin sibuk sekarang. Cucuku sudah lincah berjalan, bahkan berlari-lari. Wajahnya mirip seperti Akmal waktu kecil.Mendengar kata hape, Noval langsung mendekati Santi. Satu suapan masuk ke mulut mungilnya, lantas dia mengambil ponsel itu, lalu duduk dengan mata fokus memandang benda dengan radiasi tinggi itu."Jangan sogok pake hape, San! Sekarang aja dia terlihat mudah diatur dan tidak menyusahkan kalau dia sedang fokus menatap layar ponsel. Kalau dia semakin besar, kita juga yang susah mengaturnya karena efek kecanduan. Kamu juga gak mau kan kalau mata dan syarafnya rusak gara-gara memberikan ponsel sejak dini. Ibu sudah sering peringatin ini loh," tegurku hati-hati. Santi nyengir dan langsung mengambil benda pipih itu dari tangan Noval, lalu menyimpan ponselnya. Noval langsung menjerit melihat benda yang ia sukai itu telah diambil. Gegas kupeluk Noval dan memberikan mainannya yang lain.Aku yang lebih
Semua mendadak hening karena mendengar suara ibu mertuaku. Mungkin karena kami sibuk cerita sampai tidak menyadari kalau ibu sudah berdiri di bibir pintu kamar.Sindi pun berjalan mendekati ibu sambil cengengesan."Eh, Bu Kahdijah yang baik hati. Baru bangun, Bu?" ujarnya masih cengegesan sambil menyentuh lengan mertuaku."Apa maksud omonganmu tadi, Sindi? Cepat jelaskan!" hardik ibu."Maafkan sikap Sindi hari itu ya, Bu. Itu cuma prank agar Santi mau memperhatikan badannya. Maaf ya, Bu! Hari itu saat kami datang, rambut Santi bau banget. Belum lagi ketiaknya, ih, gak banget. Kami aja sesama teman duduk sebentar dengannya sudah mau megap-megap. Apalagi Bang Akmal yang harus seranjang dengan Santi. Bisa pingsan dia," kekeh Sindi, nyengir ke arah mertuaku. Mungkin benar kata orang kalau bau badan kita, orang lain yang lebih tahu dari pada kita sendiri. Kebetulan juga mereka datang saat itu, aku memang belum mandi karena cuaca dingin. Ditambah mereka datang tidak mengabari sebelumnya. J
"Ini minumnya, Bang. Gimana kerjaannya tadi? Semuanya lancar kan?" ujarku. Suamiku mengambil gelas di tangan seraya tersenyum."Alhamdulillah, lancar, Dek. Makasih ya," balas suamiku. Gelasnya menempel di bibir, tapi pandangannya tak berkedip melihatku. Begitu besar pengaruh merawat penampilan seperti yang mertuaku katakan. Satu hal yang kuabaikan semenjak melahirkan. Ini sudah hari ke dua puluh delapan setelah aku melahirkan anak kami, Noval. Akhir-akhir ini bang Akmal sedikit menjaga jarak dariku, mungkin karena aku malas menjaga penampilan. Ya walaupun sikapnya tetap manis, aku jadi yakin kalau suamiku kurang nyaman lama di dekatku.Soal Noval, sebagai ibu baru, aku tidak terlalu diberatkan olehnya karena mertuaku sangat telaten mengurus cucunya. Namun rasa malas mendera menjaga penampilan karena aku tidak kemana-mana. Hanya di rumah bersantai sambil memulihkan bekas sayatan yang membentang di perut.Bang Akmal juga tidak pernah protes ataupun mencerca. Namun setelah mendengar pe
"Kamu hanya salah faham, San. Sindi dan Akmal itu cuma bicara tentang bisnis di sana. Kebetulan perusahaan milik keluarga Sindi bekerja sama dengan tempat suamimu bekerja. Kamu percaya kan dengan kesetiaan suami kamu?""Iya, Bu. Santi percaya kalau Bang Akmal hanya mencintaiku. Dia pasti akan menjaga pernikahan ini. Tapi sejak kapan Sindi mau kerja kantoran? Sedangkan tadi pagi dia ke sini dan berencana mau shoping dengan Laura" balas menantuku.Aku tersenyum sambil membingkai wajahnya dengan kedua tangan. "Mungkin jin malas yang menempel ditubuhnya jadi hilang setelah ibu siram. Akmal itu suami yang setia. Jadi kamu jagan menuduhnya lagi ya! Doakan saja. Ibu akan membantu untuk mengawal Akmal agar terbebas dari Sindi yang keganjenan itu. Kamu juga bebersih sana, dandan yang cantik. Jangan sampai Akmal membandingkanmu dengan wanita lain di luaran sana. Walaupun kamu masih nifas, tetap pastikan suamimu merasa betah dekat denganmu. Sana! Biar ibu yang jaga Noval," titahku.Santi mengang
"Astaghfirulloh, Bu. Ibu kok sampai segitunya menanggapi ocehan Sindi. Dia itu sering bercanda. Masa' Ibu tidak bisa bedakan mana yang serius atau cuma sekadar candaan?" gelak Akmal setelah Santi menceritakan kejadian tadi pagi begitu suaminya pulang kerja. Akmal tidak percaya, malah terbahak-bahak hingga sudut matanya berair. Aku juga berharap kalau Sindi cuma bercanda, tapi melihat ekspresi dan jawabannya saat kusiram, Sindi memang memiliki perangai yang kurang baik. Selama ini dia baik padaku dan selalu berkata lemah lembut. Kalau tadi memang cuma gurauannya, Sindi tentu tertawa. Ah, aku pusing memikirkan pola pikiran anak zaman sekarang. Kalau memang ingin bahagia, kenapa harus merenggut kebahagian wanita lain, apalagi itu sahabatnya sendiri. "Tuh, Bu, Bang Akmal gak percaya. Aku jadi takut, Bu. Bagaimana nasib kita nantinya, Nak?" ujar Santi sambil mengamati bayinya. Cucuku menggeliat pelan, lalu tertidur lagi. "Udah, kamu tenang saja, San. Nanti ibu yang bicara sama A
"Ibuuuuu!" seru Akmal begitu melihatku datang. Kulihal lelaki dewasa itu menangis, lalu menghambur ke pelukanku. Ya Allah, ada apa ini? Kenapa Akmalku menangis? Perasaanku tak enak, tapi tidak baik mendahului takdir dengan berburuk sangka sebelum tahu apa yang terjadi."Ada apa, Mal? Kenapa kamu menangis? Santi dan anak kalian baik-baik saja kan?" seruku panik. Kuusap kepalanya dengan harapan bisa mentrasfer kekuatan.Kulihat kedua besanku juga menangis sambil berpelukan. Hatiku semakin bergemuruh. Santi memang bukan anak kandungku, tapi aku berdoa untuk keselamatannya. Ya Allah, dosa apa yang kulakukan hingga menghalangi doaku dikabulkan? Ada apa dengan menantu dan cucuku?"Akmal! Jangan menakuti ibu. Ada apa ini?" ujarku lagi sambil mengguncang bahunya."Ibu sudah jadi nenek dan Akmal jadi ayah. Mereka berdua sehat wal afiat, Bu. Kami menangis karena terharu. Tadi sempat ada masalah, tapi semuanya sudah baik-baik saja. Akmal yakin kalau ini juga tidak terlepas dari doa Ibuku yang tu
"Ibu ingat sama mendiang ayah mertua lagi, Bu?" cecar Santi saat menyadari aku menyusut bulir bening di pipi. Aku tersenyum dan mengangguk. Aku lebih suka menangis haru daripada karena kesedihan sehingga ingatanku melambung ke almarhum suami karena ingin membagi bahagia, bukan duka lara."Ibu memang pecinta sejati. Sudah berbeda alam saja terus di kenang. Santi sering melihat pasangan yang suka membicarakan keburukan almarhum suaminya. Sedangkan Ibu sering menangis karena terkenang akan kebaikan ayah mertua. Bahkan aku belum pernah dengar dari Ibu ataupun Bang Akmal tentang kekurangan mendiang ayah mertua," ujar Santi, mengusap bahuku sembari mengambil ponselku yang tergeletak di atas meja. Foto wisuda Akmal yang didampingi olehku dan suami selalu jadi pengobat rindu.Selain karena ada pendapat ulama yang melarang, aku memang tidak suka memajang foto siapa pun di dinding. Kalaupun banyak momen bahagia yang diabadikan dan dicetak dalam bentuk foto, aku menyimpannya dalam album. Itu se
"Maaf ya, Pa, Akmal cuma bisa ngasih motor yang bekas," tutur Akmal, merasa bersalah. Padahal kalau melihat sikap mama mertuanya Akmal, memberikan motor itu harusnya ditunda dulu. Tapi itulah Akmalku, kami jadi pelengkap. Saat dia marah, aku berusaha meredam emosinya. Ketika aku jengkel tadi, Akmal menyentuh hati mertuanya dengan membeli motor itu sekarang. Kami belum merencanakan hal ini sebelum berangkat. Ah, Akmalku sayang, kamu memang sudah semakin dewasa. Kamu pantas jadi kepala keluarga dan akan segera bergelar ayah."Begini aja sudah alhamdulillah, Nak Akmal. Sebenarnya papa malu menerima pemberianmu ini. Kami masih mampu bekerja dan berusaha menabung agar membeli sendiri. Ini sih masih bagus luar dalam. Kami benar-benar mengucapkan terima kasih banyak buat Nak Akmal sama Bu Khadijah," ungkap Pak Wiro. Wajahnya ceria sekali sebagai ungkapan bahagia mendapat motor itu. Dia benar-benar berubah menjadi prubadi yang lebih baik.Motornya memang bekas, tapi masih layak dibawa jalan-