"Boleh, kita kesana bulan depan, sambil bayarin uang Kak Lana ya. Gak usah nunggu Lya bayar. Anggap aja kita udah ketipu banyak, kita tutup cerita kita tentang uang yang sudah dipakai keluargaku, cicilan bekas operasi Bapak juga sudah lunas, kok! Kamu gak usah overthinking, Sayang!" suamiku memelukku sambil mengusap kepalaku."Iya, Bang! Kita buka lembaran baru, kedepannya kamu atau aku, jangan pernah jadi orang bodoh lagi. Kita harus waspada dan cerdas. Kewajiban kita kasih uang bulanan sama Ibu gak alan oernah aku lupain, apalagi kalau lagi ada. Hanya aku tidak mau kalau mereka memanfaatkan kita lagi. Kamu ngerti kan, Bang?!" "Iya, Abang faham banget soal Lya. Kita sama-sama saling mengingatkan aja, ya!" Hari demi hari kami lalui dengan ketenangan, tidak ada bentakan, hinaan, hasutan dan rengekan keluarga Bang Bagas padaku. Aku akan fokus menabung untuk berbisnis. Jadi wanita harus mandiri, gak boleh berpangku tangan pada suami, semua itu untuk jaga-jaga kalau Bang Bagas pergi, sa
Beberapa hari kemudian, aku masih merasakan hal yang sama. Sudah susah payah minum pil pelancar sampai aku lemes tapi belum datang bulan juga, akhirnya kucoba lagi melakukan cara lainnya yaitu minum jamu pelancar haid, hasilnya masih tetap sama."Tuhan, aku beneran hamil? Itu cuma telat aja kan?" tanya batinku menyangkal.Aku masih belum menerima kenyataan bahwa diriku hamil. Semua itu karena aku merasa belum siap untuk menjalani hari-hariku dengan kehadiran seorang bayi lagi, Ishana masih kecil, dan aku juga pasti akan sangat kelelahan merawat keduanya. Tiba-tiba, tanpa sengaja Bang Bagas melihat tiga kotak pil pelancar haid di dalam laci nakas. Ia terkejut dan memarahiku saat itu."Apa ini?!" bentak Bagaskara."Pelancar haid, siapa tahu aku cuma telat datang bulan aja, Bang!" jawabku tanpa dosa."Kamu bilang apa! Sudah jelas kemarin pakai test pack dan hasilnya positif, kenapa terbwsit dalam batin kamu untuk membunuh darah daging kamu sendiri!? Masalahmu apa?!" bentaknya menggoyang
"Enggak ada masakah kok, Bapak sama Ibu mau punya putra berapa?" tanyanya masih tersenyum mesem."Loh, memangnya kenapa, dok?" tanyaku."Ibu tuh, kalau mau punya putra empat lagi juga bisa, karena Ibu subur!" sahut dokter berkulit gelap berlogat Jawa yang kental itu masih tersenyum."Benarkah, dok?" tanya suamiku."Menurut yang saya lihat, ya begitu!" jawabnya duduk di kursi dinasnya."Saya seneng kalau bisa punya anak banyak, penginnya tujuh, dok!" kata suamiku tersenyum simpul."Waduh, Pak! Kasihan istrinya turun mesin terus!" kekeh dokter sambil menulis resep untukku."Kamu aja yang melahirkan, Bang!" candaku."Santai aja, Sayang! Itu kan cuma kepengenan aja, gak harus diturut, kok! Anak itu kan takdir tuhan, gimana dikasihnya aja, ya kan, dok?" "Benar Ibu, jangan panik dulu, walaupun menurut saya Ibu subur, tetap saja tang menentukan Tuhan, bukan saya!" sahutnya."Saya kan kasihan sama anak saya, dok! Masih kecil juga!" sahutku."Saya tuh sudah gak aneh, nerima pasien yang sudah
"Kata Papa mereka itu Ibu dan Kak Hana." Jawab suamiku."Kenapa Papa gak bilang aja gak tahu sih?!" ketusku."Papa sudah bilang gak tahu, malah Papa berbohong kalau Papa sendiri lagi cari kita." Jelas Bang Bagas."Gimana dong? Mereka mau lapor polisi? Bisa berabe kalau bosku tahu, mereka akan berpikir kalau Abang kerja disini tanpa seoengetahuan siapapun, gimana kalau Abang dipecat?" suamiku khawatir dengan ancaman Ibu dan Kak Hana."Kita mesti pulang dulu ke Bandung, kita selesaikan masalah kita, sebelum mereka melaporkan ke polisi, soalnya Papa bilang sama Ibu 'silakan saja lapor polisi, kalau saya sih lebih baik mencari sendiri, karena saya khawatir informasi kehilangan mereka disalahgunakan oleh orang yang tidak bertanggungjawab'. Begitu katanya." "Bagus! Papa memang bisa diandalkan." Sahutku tertawa kecil."Iya, tapi kita tetap harus bertanggungjawab, dan selesaikan masalah kita ini." Sahut Bang Bagas."Itu pasti, Bang! Dan kamu gak perlu khawatir, aku akan mendukung kamu sepenu
"Menurutku sih sebaiknya begitu, Bang! Supaya gak ada salah faham." "Tapi kan itu sebenarnya masalah pribadi, dan rasanya gak ada hubungannya dengan kwrjaan Abang." "Betul itu masalah pribadi kita, tapi kalau atasan Abang sampai tahu, bisa jadi dia pikir kita itu jelek, gak respek, apalagi kalau diketahui lewat informasi orang hilang, bisa kacau semuanya. "Bener juga ya, kerjaan Abang yang jadi jaminannya. Karena mereka juga gak mau repot sama urusan pribadi kita." Hari demi hari masih terus berjalan, kami masih khawatir dengan laporan hilang kami oleh Ibu dan Kak Hana. Kami masih bimbang apakah memilih pulang dan menyerah? Atau memilih bertahan dengan resiko kehilangan pekerjaan? Suamiku semoat berpikir untuk berterus terang pada sahabat sekaligus seniornya-Mas Albert, tapi ia masih ragu, suamiku tidak mau melibatkan urusan pribadinya pada siapapun. Tapi suamiku takut kehilangan pekerjaan, walau sebenarnya belum tentu itu bisa menjadi masalah. Sebaiknya kami jalani saja seperti
Tak lama setelah panggilan itu berhenti, suamiku keluar kamar mandi dan memakai pakaiannya. Tak menunggu lama, aku segera memberitahu bahwa beberapa saat yang lalu seseorang intens menelepon."Bang! Ada telepon tuh, dari Ami! Sampai 16 kali panggilan, kayaknya ada perlu mungkin!" ujarku."Ami? Kenapa gak kamu angkat aja teleponnya?!" sahutnya sambil memakai kaos oblong."Enggak, aku takut gak sopan! Kan kamu tahu kalau gak disuruh angkat pastinya aku diemin." Jawabku ketus."Terus kenapa kamu ketus begitu?" tanyanya duduk disampingku."Enggak, kok!" "Kopinya mana, Yang? Kok Abang gak dikasih kopi?" protesnya mengambil ponselnya di dalam tas."Sebentar, aku buatin dulu. Tadi aku lupa." Jawabku berjalan menuju dapur.Selesai membuatkan kopi, aku membawakannya ke kamar dan kuletakkan secangkir kopi cappucino di atas nakas. Setelah itu, aku merebahkan tubuhku di atas ranjang di samping Ishana, tak kepedulikan suamiku yang sedang asyik berbicara di telepon. Namun, ketika kudengar dia meny
"Kenapa perempuan ini berani minta jèmput dan antar dia pulang ke rumahnya?" batinku penasaran. "Mas! Besok jemput aku lagi ya, kalau gak keberatan anterin aku pulang juga, project ini mesti kita selesaikan segera, kita bisa kerjakan di rumahku kalau di kantor gak keburu." Itulah kalimat yang wanita itu tulis di pesan pribadinya, aku heran dan terkejut. Berarti tadi suamiku jemput dia di rumahnya? Hal macam ini gak bisa aku biarkan, aku harus bertindak sebelum Bang Bagas bertindak terlalu jauh. "Kamu masih marah, Yang?" tanya suamiku. "Iya, aku kecewa sama kamu, Bang! Kenapa kamu jemput Ami pergi boncengan ke kantor!" ketusku membelakanginya. "Memangnya kalau jemput salah? Kan sekalian pergi, Yang!" sahutnya. "Kamu jadi aneh, Bang! Masa jemput perempuan lain berangkat bareng ke kantor kamu bilang gak apa-apa! Sebelumnya kamu gak pernah kayak gini, loh! Kamu kan sudah punya istri! Memangnya kamu mau jadi bahan fitnah dan gunjingan orang?!" marahku. "Terus Abang harus gimana?" per
Aku segera menghubungi suamiku yang masih berada di kantor, dan aku memintanya untuk segera pulang. "Bang! Perutku sakit, mules banget! Bisa gak Abang pulang dulu?" "Mules kenapa, Sayang?" "Gak tahu, pokoknya Abang anterin aja dulu aku ke klinik!" "Abang gak bisa, Sayang! Abang lagi banyak kerjaan yang harus diselesaikan sekarang!" "Yaah, Abang kok jadi kayak gitu sih!" "Gini aja deh, kamu tunggu dulu di rumah, bisa atau enggaknya Abang kabarin 5 menit lagi!" Akhirnya, mau tidak mau aku menunggu Bang Bagas memberiku kabar walaupun perutku semakin mulas dan sakit. Tak lama kemudian, suamiku menghubungiku. "Yang! Kamu tahan dulu ya, bakal ada temen Abang yang anterin kamu ke klinik, Abang sudah bicara dan minta izin sama bos, tapi gak dikasih karena penting banget! Untung ada temen Abang yang mau antar kamu, tunggu sebentar, cuma kali ini aja, gak apa-apa, ya!" "Ya udah deh, gak apa-apa kalau memang beneran gak bisa!" Aku mengikuti perkataan suamiku untuk menunggu temannya datan
"Aku yang harus mengakhiri semuanya, dan mulai saat ini aku berjanji akan menutup lembaran lama itu, dia sudah ikhlas kehilanganku begitu juga aku, maka tak ada alasan bagiku untuk terus berada dalam bayang masa lalu." Ungkap batinku. Saat malam tiba, suamiku-Bagaskara, pulang membawakan oleh-oleh untuk kami. Raut bahagia nampak jelas di wajahnya, sementara hatiku masih diselimuti perasaan bersalah padanya, aku masih merasa berdosa. "Bang! Bikin kaget aja! Aku kira siapa tadi!" aku terkejut saat suamiku membuka pintu kamar. "Loh! Kok kamu kaget? Kan emang udah biasa Abang pulang ucap salam sambil buka pintu, gak ada yang aneh! Kamu pasti lagi ngelamun, ya!" ujarnya tersenyum melihat raut wajahku. "E-enggak, kok!" dan aku pun menyahutnya dengan senyuman tanpa dosa. "Ini Abang bawakan kamu kalung perak, tadi Abang nukar uang ke toko perak lalu lihat ada kalung yang cakep banget, Abang rasa cocok buat kamu!" ujarnya gembira. Seketika aku merasa terkejut dan kikuk, tak tahu apa yang
"Kanaya!" panggil seorang lelaki bersuara berat mirip Rizky.Aku menoleh ke belakangku, dan rupanya ... kekhawatiranku nyata. Dia, yang menepuk pundakku adalah Rizky, seseorang yang selama ini kuhindari."Mau apa kamu kesini!" ketusku."Gak boleh aku kesini?" tanyanya membalas."Jelas gak boleh! Kita sudah bukan siapa-siapa lagi, dan kamu terus saja datang menggangguku!" aku melangkahkan kakiku menuju teras rumah sambil buru-buru menutup pintu ruang tamu."Tunggu!" Rizky menahan dorongan pintu yang kutekan semakin kuat.Rupanya lelaki itu bersikeras ingin menemuiku, apa hendak dikata, aku tak sanggup melawan bantahannya, hingga akhirnya aku menyerah dan memberinya ruang untuk berbincang denganku."Please Kanaya! Kasih aku waktu sebelum aku pergi!" Rizky berteriak sambil mendorong pintu."Ya sudah, masuk! Aku gak punya banyak waktu, to the point aja!" ketusku lagi."Oke," Akhirnya aku dan Rizky berbicara satu sama lain, saling menyalahkan. Ia menjelaskan bahwa saat ia meninggalkanku a
Suamiku segera ambil sikap, memantau dan memgambil ponselku yang tergeletak di atas ranjang. Aku ingin merebutnya dari tangannya, tapi aku tidak mau ia mencurigaiku. Aku tidak ingin menjadi orang bersalah dimatanya, karena jujur saja ... bukan aku yang memulai. "Mamin?" Suamiku mengernyitkan dahi sambil bertanya heran memantau layar ponselku. "Yang! Telepon dari Mamin!" teriak suamiku. "Iya! Sebentar, Bang!" sahutku seolah tak tahu apa-apa. "Sudah kuduga, itu pasti dia! Untung saja aku menamai dia Mamin!" batinku. Ya, Mamin. Itu adalah sebuah nama panggilan akrabku untuk Rizky ketika kami pacaran, nama itu kusematkan tanpa sengaja, mengalir begitu saja, dan aku beruntung, suamiku tidak sampai mencurigaiku karena nama itu. Apa yang akan terjadi jika aku sematkan nama Rizky yang sesungguhnya? Tentu saja ia akan murka. "Nay! Sayang! Biasanya jam segini gak ada yang telepon kamu, kecuali darurat. Lah, yang tadi siapa, Yang? Temen kamu?" tanyanya menoleh ke arahku. "Iya, teman kuliah
"E-enggak kok, Bang! Kami tuh sahabatan bertiga, waktu kita nikah aku gak undang dia karena gak tahu harus hubungin dia kemana, soalnya kontak dia hilang, dianya juga ngilang, gak ada yang tahu dia kemana." Ungkapku menoleh pada suamiku. "Oh, gitu ya!" jawabnya ragu. Suamiku nampak tak bahagia. Raut wajah yang biasanya ramah dan selalu tersenyum, tiba-tiba tanpa ekspresi, seolah ia memikirkan sesuatu, tentang aku dan Rizky. Mungkin sudah saatnya aku jujur padanya, tapi aku ragu apakah aku sanggup? "Yang! Rizky sekampus sama kamu gak?" tanyanya lagi. "Enggak, Sayang! Dia itu beda kampus, aku sama dia kenal karena sempat magang di kantor yang sama." Jawabku. "Kenapa soh, Bang! Tanya-tanya dia terus?" "Abang masih penasaran pengin tahu banyak tentang dia. Waktu dia natap wajah kamu, kok kayaknya ada yang beda, cara dia bicara dan memperlakukan kamu Abang rasa seperti bukan hanya teman." Katanya lagi. "Abang bakal sakit sendiri kalau mikirin dia terus, dan aku gak akan tanggung ja
"Abang gak tahu, Nay!" sahut suamiku. "Siapa malem-malem begini datang bertamu? Gak tahu apa? Kalo aku lagi capek banget pengin ngaso!" aku bergumam sambil berjalan menuju pintu utama. "Ri-rizky?" aku terkejut sambil menutup mulutku yang terbuka dengan telapak tangan kananku. "Hai, kamu masih inget aku, kan?" tanya dia. Aku mengangguk sambil berpikir, benarkah yang kulihat itu? Benarkah dia? Mantan kekasihku yang tiba-tiba pergi dan menghilang kala itu? Antara terkejut dan takut. Takut karena mengkhawatirkan perasaan suamiku dan takut berdosa pada Sang Khalik. "Hei, georgeous! Kamu kok bengong terus sih?" ia bertanya sambil menatap fokus mataku dan melambai-lambaikan tangannya memeriksa sepasang mataku yang tak fokus. "I-iya, silakan duduk! Maaf kita gak bisa ngobrol di dalam ya," aku menjawabnya pelan sambil menengok ke dalam, memastikan suamiku ada di sana atau tidak? "Ka-kamu hamil? This is realy you?" tanyanya. "Iya, aku lagi hamil anak kedua, dan aku bakalan panggil suami
"Maksud Bagas jangan terlalu sering kemari, Bu! Bagas gak enak, kan di sini Bagas jualan, bukan lagi pameran, Bu!" keluh suamiku lagi."Kamu berani bilang begitu sama Ibu? Gak boleh Ibu datang lihat usaha kamu, Gas? Ibu cuma gak mau kamu lupa diri, sudah sukses istrimu makin sombong!" sindir Ibu mertuaku."Bagas belum sesukses itu, Bu! Ini Bagas masih ngerintis, alhamdulillah ramai terus pelanggan, itu juga berkat doa Ibu, tapi Bagas juga kecewa sama Ibu, karena Ibu gak pernah ngertiin Bagas. Dan Bagas mohon sama Ibu, jangan pernah mengatakan Kanaya sombong, karena dia tidak seburuk yang Ibu pikirkan, Ibu sudah kena hasut Si Hana! Maaf kalau Bagas bicara begini sama Ibu." Ungkap suamiku.Sejak saat ibu mertuaku menyinggung namaku dalam perdebatan mereka, aku memilih pergi perlahan membawa Ishana dan Malik ke luar toko, mencari udara segar, daripada mendengar mereka, seakan aku ikut campur. Meski terkadang aku merasa wajib membela diri."Mungkin kamu yang kena hasut istri kamu, Gas! Ib
"Abang jamin semua itu, tolong jangan ragukan Abang lagi, Yang!" jelas suamiku."Aku cuma takut, Bang!" ketusku."Abang gak akan banyak bicara, pokoknya mau Abang buktikan aja sama kamu." Jawabnya.Suamiku terus memohon padaku untuk memercayainya. Ia tidak ingin aku meragukannya sedikit pun, tapi seharusnya ia memahami perasaanku, betapa aku trauma. Ada hal yang patut aku syukuri, yaitu dalang pelaku tabrak lari itu sudah diketahui, meski aku tak menyangka siapa dibalik layar drama kecelakaanku saat itu, aku tetap menyimpan sedikit curiga padanya, karena pernah satu ketika, Amy menerorku dengan panggilan selulernya yang tak kukenal, yang kukenal hanya suaranya. Aku sempat menepis semua dugaanku, tapi kali ini aku yakin bahwa penelepon gelap itu adalah Amy."Kanaya! Kamu dari tadi ngelamun terus, gak usah overthinking masalah Amy. Abang benar-benar sudah bertobat." Suamiku memelukku dengan mata yang berkaca-kaca seolah mengisyaratkan pengampunanku.Aku hanya mengangguk tanpa mengatak
Terima kasih, Pak! Saya ingin membuat sebuah pengakuan, saya yakin Bapak dan Ibu tahu siapa saya 'kan?" lelaki itu bertanya sambil menundukkan kepalanya seolah ia enggan mengangkat wajahnya. "Iya, saya masih ingat, anda yang melarikan diri saat saya kejar anda di rumah sakit sat itu!" jawab suamiku. "Uhm, Sa-saya ingin menyampaikan pada Ibu dan Bapak bahwa yang memberi perintah pada saya untuk menabrak Ibu Kanaya adalah Bu Amy." Ungkapnya. "Amy?" gumamku terkejut. "Lalu yang mengirim pesan pribadi pada saya siapa? Yang memberitahu pada saya bahwa anda mendapat perintah untuk mencelakakan istri saya?" suamiku bertanya sambil menajamkan sorot matanya yang memerah menahan amarah. "Yang memberi pesan itu saya, Pak! Saya mohon maaf." Ujar Lelaki itu. "Sebenarnya saya ingin sekali melaporkan anda pada pihak yang berwajib, tapi saya belum punya cukup bukti." Jelas suamiku. "Tolong jangan laporkan saya, Pak! Saya punya anak yang masih bayi, saat itu saya bersedia menerima perintah Bu Am
"Mungkin mereka hanya mengira-ngira aja kalau itu mobil Bagas, Kak Hana bilang sama Ibu gak mungkin kalau itu mobil Kak Lana, soalnya di dalam mobilnya banyak barang Bagas dan Naya juga Ishana." "Jadi gitu? Mereka iri sama kamu, Gas! Bapak lihat sekarang kamu maju, jujur sama Bapak kamu kerja dimana sekarang?" tanya Bapak mertuaku. "Bagas buka refil parfum, Pak! Lumayan, sekarang penghasilannya melebihi gaji Bagas kemarin." Jawab suamiku. "Kenapa kamu rahasiakan kerjaan kamu, Gas?" tanya Bapak lagi. "Bagas gak mau, Ibu kak Hana, dan saudara Bagas yang lain, deket sama Bagas kalau ada keperluannya aja, Pak!" suamiku menundukkan kepalanya dengan raut merasa bersalahnya khawatir menyakiti perasaan Bapak. "Bapak tahu, kok! Bapak juga sering nasihatin Ibu sama saudara kamu, tapi mana mereka dengar, mereka malah balik memusuhi Bapak." Ungkap Bapak. "Iya, Pak! Gak apa-apa Bagas juga ngerti posisi Bapak." Jawab Bagaskara. Singkat cerita, acara aqiqah putra kami-Malik sudah dilaksanakan,