Alan yang melihat Miya teriak histeris menjadi marah dan maju menghadang gerakan Mira yang akan kembali memukul Miya, PLAK! sebuah tamparan yang cukup keras mendarat di pipinya. Kembali Mira mendapatkan cap stempel jari merah milik Alan, tamparan Alan sangat keras sampai membuat kepala Mira miring ke samping. Mira merasa kepalanya pening dan pusing, baru saja ia kembali dari rumah sakit bahkan perban di kepalanya saja belum di buka. Kini ia harus kembali merasakan sakit di kepalanya akibat tamparan keras dari Alan. Tidak hanya merasa pusing, ia juga merasa pipinya panas dan perih, Mira mengelus pipinya. Kali ini ia tidak menangis justru malah tertawa dan menantang Alan dengan sangat berani. "Kamu sekarang sudah berani menamparku, Mas?! Bahkan berulang kali kamu melakukannya. Hanya demi seorang pelakor murahan sepertinya!" sebuah tawa mengejek, mengiringi ucapannya. "Kamu yang sudah berani melawanku, Mira! Jangan pernah mengatakan Miyaku sebagai pelakor murahan!" teriak Alan marah s
Hati Mira mencelos saat mengetahui sebuah fakta bahwa dirinya hanya di jadikan sebagai pelarian semata oleh suaminya Alan.Mira ingat betul saat pertama kali mereka bertemu, Alan tengah tergeletak tak berdaya di pinggir jalan depan gang sempit di mana ia ngekos. Angannya berkelana jauh membumbung ke angkasa menembus cakrawala jingga.Flashback On"Jauhi adikku, bangsat!" teriak Farrel sambil menodongkan moncong pistol tepat ke kepala Alan."Aku tidak akan melakukannya!" balas Alan tak kalah sengit.Sorot matanya tidak sedikit pun menunjukan rasa takut, bahkan ia menantang Farrel dengan menyodorkan kepalanya lebih dekat lagi ke moncong pistol yang Farrel arahkan padanya."Itu artinya kamu bersiap untuk meringkuk dijalanan dengan tubuh yang sudah menjadi mayat!" sinis Farrel."Lakukan saja! Jika ingin anak dari adikmu ingin menjadi yatim!" ucap Alan dengan nada mengejek."Apa maksud dari ucapanmu itu, bangsat?!" kembali Farrel berteriak dengan penuh emosi.Alan tidak langsung menjawab p
Bruk!! Alan ambruk ke tanah, ia meringkuk memegangi pahanya yang ia rasakan begitu sangat panas. Darah segar menyembur muncrat mengalir dari luka tembak itu."Ayo pergi!" perintah Farrel kepada mereka para pengawalnya."Siap Bos!" jawab mereka bersamaan.Tanpa membantah mereka pun pergi mengikuti tuannya, mereka meninggalkan Alan yang tengah meringkuk sambil merintih kesakitan dipinggir jalan yang sepi."Sstthh!" rintih Alan ditengah kesakitan yang ia rasakan.Malam kian larut, suasana di daerah itu sudah sepi. Gerimis yang rintik-rintik menambah suasana semakin sunyi dan mencekam. Sepertinya mereka enggan untuk keluar rumah dan memilih untuk berkumpul bersama keluarga mereka sambil menonton acara TV atau sambil bersenda gurau bersama.Mira gadis pelayan sebuah cafe berjalan menyusuri trotoar, mulutnya tiada henti bersungut-sungut."Dasar tukang ojek tidak tahu diri, minta di turunkan depan kontrakan malah di turunkan di jalan," sungut Mira kesal."Mana hujan, sepi lagi," ucap Mira sa
Ia merogoh saku celana jeansnya dan meraih ponsel lalu menyalakan lampu senter yang ada di ponselnya, ia menyorotkan cahayanya ke sosok yang sedang meringkuk di tengah genangan darah. "Aaahhhh!" teriak Mira terkejut. Ia memundurkan tubuhnya dan menatap lekat ke arah sosok itu. Mira kembali mengarahkan cahaya itu kali ini ia menyoroti ke wajah orang itu. "Sepertinya ia tukang ojek online yang dibegal," gumam Mira lirih. Dengan takut-takut Mira mendekat dan memeriksa nafas sosok itu yang ternyata ia adalah Alan. Ia memeriksa urat nadinya, dan Mira merasakan denyut nadinya begitu lemah. Mira menghubungi sahabatnya yang menjadi supir taxi online. "Halo Dara, kamu masih bangun 'kan?" tanya Mira. "Masih, kenapa? Mau aku antar kemana?" jawab Dara. "Tolong datang ke depan gang kontrakanku sekarang juga! Jangan pake lama!" perintah Mira pada temannya. "Ada apa?" tanya Dara. "Sudah cepetan cap cus jangan banyak tanya, ini sangat urgent!" perintah Mira. Lalu ia menutup sambungan telepo
Mira di kejutkan dengan suara ketukan pintu di kamarnya, semua lamunannya buyar seketika. Ia enggak beranjak dari tempat tidurnya. Dengan sengaja Mira menutup kedua telinganya dengan bantal, agar suara itu tidak terdengar.Tapi, semakin lama suara ketukannya berubah menjadi gedoran sambil di barengi oleh teriak keras."Mira! Miraaaaa! Bangun!" teriak Alan kencang.Mira yang memang sudah bangun sedari subuh mula hanya tersenyum sinis, ia tahu maksud suaminya membangunkannya."Huh! Pasti ia suruh aku untuk membuatkan sarapan untuknya, secara rayap itukan tidak bisa memasak," gumam Mira lirih."Mira! Bangun, cepat keluar! Hari sudah siang, aku harus pergi ke kantor!" teriak Alan sambil terus menggedor pintu kamar yang Mira tempati.Sudah sejak kemarin Mira terusir dari kamarnya, kini ia menempati sebuah kamar yang di peruntukan saudara-saudara Alan menginap, karena Mira sendiri tak memiliki satu pun saudara. Ia sebatang kara.Rasa kesal menghinggapi hatinya, ia pun terus menggerutu. Kare
Mira mendekap tubuhnya, memeluk lutut. Air bening itu menerobos keluar berjejalan mengalir deras. Punggung tangannya mengelap air matanya yang terus berjatuhan bak air hujan.Mira meremas dadanya kuat, rasa nyeri yang tak berkesudahan, harus ia derita. Entah drama apa lagi yang akan mereka lakukan untuk menyakitinya. Ia tak pernah menyangka bahwa hidupnya yang baik-baik saja akan berubah menjadi sengsara seperti yang sekarang ia alami.Miya sang mantan kekasih suaminya, harus hadir di tengah-tengah biduk rumah tangganya sebagai perebut suami orang. Yang lebih tragisnya lagi justru Alan begitu terang-terangan menunjukan perselingkuhan dengan mantan kekasihnya di harapan Mira.Alan berdalih bahwa ia tak pernah berselingkuh. Karena Alan berterus terang pada Mira tentang hubungannya dengan Miya, bahkan Alan meminta restu secara khusus pada Mira untuk menikahi Miya.Sungguh sebuah pandangan yang konyol memang. Tapi, Alan tetap mengatakan bahwa apa yang ia lakukan adalah hal yang paling ben
"Itu bukan urusanku! Mau disiksa kek, mau dibunuh juga bukan urusanku! Jika kamu merasa berempati dan bersimpati, bukan begini caranya. Kamu bisa membantunya dengan cara lainkan bisa? Tanpa harus membawanya kemari dan menyakitiku," nafas Mira memburu hingga tersengal-sengal. Sudah semaksimal mungkin agar ia bisa tenang. Tapi, nyatanya itu teramat sangat sulit.Mira menghela nafasnya, ia tak ingin terlihat lemah di mata mereka. Ia ingin menunjukan pada mereka bahwa kini ia baik-baik saja, meski nyatanya hati dan pikirnya menderita."Semua itu hanya alasan saja, agar semua tindakanmu di benarkan bukan?" Mira mencibir kelakuan Alan."Aku tidak perlu alasan untuk menikahinya, ada restu atau pun tidak darimu, aku akan tetap menikahinya," ucapan Alan begitu menohok jantung dan hatinya. Sungguh Alan sudah benar-benar tak menganggapnya lagi."Lakukan saja apa yang mau kamu lakukan, aku sudah tak perduli lagi. Dan kamu, wanita murahan! Dengarkan baik-baik ucapanku
Mira yang hatinya sedang kalut dan kacau mengendarai motornya dengan melamun. Saat berada di tikungan ia BRUK! menabrak sebuah mobil mewah. Mira pun sekaligus terjatuh, ia buru-buru bangun. Untungnya saat ini ia membawa motornya pelan, coba kalau membawanya dalam kecepatan tinggi, ia pasti sudah terkapar dan terluka parah. Ia megelus sikut tangannya yang lecet dan berdarah, ia meniup-niup luka itu. Sang pemilik mobil turun dari mobil mewahnya. Ia menghampiri Mira kesal dan hendak marah. Tapi, saat melihat Mira ia justru semakin marah. "Kamu!" teriaknya dengan wajah yang kesal. " ...," Mira hanya bengong menatap pria yang ada di hadapannya. Mira bingung, kenapa pria yang ada di hadapannya mengenalinya? Sementara ia sama sekali tak mengenalnya, bahkan ketemu saja baru kali ini. "Maaf siapa ya?" tanya Mira. "Kamu lagi! Kamu lagi! Kenapa setiap ketemu sama kamu selalu sial!" bentak pria itu. Mira mengerutkan dahinya, ia merasa tak pernah bertemu dengannya. Tapi, pria itu mengatakan
Alan terus mundar mandir di depan rumah Mira, hingga sebuah mobil berhenti tepat di depan pintu gerbang tinggi menjulang itu.Alan menghampiri mobil itu dan mengetuk kaca jendelanya.Tok Tok Tok"Alan?" ucap Mira yang ada di dalam mobil bersama Valentino.Sepertinya mereka habis bepergian."Mau apa dia kemari? Bagaimana bisa dia tahu alamat rumah ini?" tanya Mira pada Valentino yang ada di sisinya.Dor ... Dor ... DorKetukan berubah menjadi gedoran.Meski ia menggendor tetap saja tidak dibuka oleh Valentino dan Mira."Jangan dibuka!" perintah Valentino. "Kita tidak tahu niat jahat apa yang hendak ia lakukan pada kita, terutama kamu!" ucap Valentino memperingati Mira dengan tegas.Mira tak menjawab dengan ucapan melainkan dengan anggukan.Mata Alan nyalang, ia memutari mobil. Tak berhasil di sisi sebelah kanan ia berpindah ke sebelah kiri.Mata Mira tak sengaja bertemu pandang dengan mata Alan secara tak sengaja. Namun tetap saja hal itu membuat Mira terkejut, sampai ia merapatkan pun
Alan terpaku menatap jasad di hadapannya. Ia tak terlihat seperti orang linglung. Baru saja kemarin ia menemuinya, kini dia sudah ada di hadapannya sudah menjadi jasad."Miya," ucap Alan lirih.Salah satu petugas ambulance menoel Alan."Pak, maaf tolong tandatangani dokumen ini," ucap salah satu petugas pengantar jenazah itu pada Alan.Alan menoleh, ia melihat petugas itu kaku bagaikan tak bernyawa.Alan mengambil dokumen itu tanpa mengatakan sepatah kata pun. Ia langsung menandatanganinya dan menyerahkannya kembali pada petugas itu.Setelah petugas menerima kembali dokunen itu, ia pun bertanya pada Alan, "Maaf Pak, jenazahnya mau di letakkan di mana? Sekalian mau kami turunkan." Mata Alan masih terfokus pada jasad Miya yang terbaring di atas brangkar."Benarkah itu kamu Miya?" tanya Alan masih tak percaya.Ada rasa penyesalan yang begitu dalam di hati Alan."Andai aku tak menjatuhkan talak padamu, apakah kamu masih tetap hidup sampai saat ini, Miya?" tanya Alan.Tentu saja Miya tak
Mira kembali lagi ketika tahu rumah Alan kosong tak berpenghuni.Mira mencari tahu kemana Alan membawa ibunya dengan bertanya pada orang yang memposting berita duka itu.Ternyata Alan telah pindah rumah, Mira baru tahu kalau rumah mewah yang pernah ia tempati ternyata telah dijual oleh Alan."Ternyata rumah itu telah dijual, Bu," ucap Mira pada Carolina."Oh, iya? Aku tidak tahu kabar itu," balas Carolina."Mungkin Alan membawa Prapty ke kampungnya," ucap Mira."Iya sepertinya begitu," balas Carolina.Mira akhirnya tidak pergi melayat, justru malah main di rumah Carolina.Sementara itu Alan membawa jasad Prapty ke rumahnya yang ada di perkampungan warga. Alan telah membeli sebuah rumah yang kecil di pinggiran kota.Mobil ambulance itu masuk ke sebuah pekarangan yang bercat merah muda. Cat itu sudah memudar.Alan membuka kunci pintu rumah itu, dan meminta pada Susi untuk membersihkan rumah itu dengan menyapunya.Susi menyapu ruang tengah dan juga ruang tamu."Pak, ada karpet atau perm
Alan meremas jari jemarinya, ia terlihat begitu gugup. Ada rasa tak rela dalam sudut matanya."Silahkan Pak tanda tangan di sini," ucap orang yang ada di hadapannya Alan.Alan meraih ballpoint yang ada di atas kertas itu. Ia tak segera menandatangani dokumen itu. Alan merasa ragu, hingga ia meletakan kembali ballpoint itu di tempat semula."Ada apa, Pak?" tanya orang itu pada Alan."Bolehkah saya menghela nafas sejenak," ucap Alan.Alan merasa berat hati melepas rumah yang selama ini menjadi impiannya bersama Mira. Tapi, Alan justru malah menghianati Mira begitu saja.Alan kembali meraih ballpoint itu, ia memejamkan matanya sejenak. Lalu, dengan berat hati Alan mulai membubuhkan tandatangannya di dokumen jual beli itu.Setelah selesai, Alan menyodorkan dokumen itu pada orang yang ada di hadapannya."Pak, uangnya sudah saya transfer ya. Silahkan anda cek terlebih dahulu!" ucap orang yang ada di sampingnya Alan."Baik, Pak." Alan mengambil gawainya, ia melihat ada sebuah notifikasi dar
Kepala Sekolah itu terperangah. Wajahnya menunjukan keterkujatannya. Wanita pongah itu pun melakukan hal yang sama."Pak Valentino?" sapa Kepala Sekolah. Ia langsung berdiri saat melihat yang datang itu adalah Valentino."Pak?" sapa wanita itu sambil menganggukan sedikit kepalanya ke arah Valentino.Asya yang melihat Valentino datang langsung memanggilnya."Ayaaahh!" panggil Asya sambil berjalan menghampiri Valentino."Sayang, apa yang terjadi?" tanya Valentino sambil merengkuh kedua bahu Asya dan menatapnya penuh tanya dengan tubuh yang berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Asya.Mata Kepala Sekolah langsung melotot saat mendengar Valentino memanggil Asya dengan sebutan sayang.Kepala Sekolah itu pun bertanya-tanya dalam hatinya, 'ada hubungan apa antara anak itu dengan Pak Valentino?'Begitu pun dengan wanita yang arogan itu. Matanya sampai berkedip berkali-kali seperti orang yang kelilipan."Aku baik-baik saja Ayah. Tapi, Bunda tidak," ucap Asya."Kenapa dengan Bunda?" tan
Mira melajukan mobilnya ke sekolahnya Asya setelah mengantar Carolina.Sepanjang jalan ia terus berpikir, ternyata hidupnya jauh lebih beruntung daripada Miya.Miya merebut Alan darinya, ketika Mira ikhlas melepaskan miliknya untuk orang lain Tuhan memberi pengganti yang jauh lebih baik dari sebelumnya.Tuhan tak pernah tidur, Ia Maha Melihat. Dan kini Miya maupun Alan telah menerima karmanya.Berbuat baik maka akan menghasilkan kebaikan untuk diri kita sendiri. Begitu pun sebaliknya.Mira memarkirkan mobilnya di pinggir jalan depan sekolahnya Asya.Bel pulang berdering. Anak-anak berhamburan keluar dari gedung sekolah menghampiri para orang tuanya yang sedang menunggu kepulangan mereka di depan gerbang. Mira melihat Asya yang sedang berjalan menggunakan tongkatnya.Mira melambaikan tangannya sambil berteriak memanggil namanya Asya."Asyaaaa!" teriak Mira memanggil Asya.Asya pun melambaikan tangannya ke arah Mira sambil menghentikan langkahnya."Bundaa!" teriak Asya.Mira melihat ke
Mira terkejut ketika Belinda tiba-tiba pingsan. Rupanya ia begitu shock ketika menerima kenyataan bahwa Valentino lebih memilih Mira daripada dirinya."Tolong bawa dia ke Rumah Sakit segera," pinta Mira pada suster yang di bawa oleh Belinda."Baik, Bu," jawab suster itu patuh.Mira tidak ingin mengambil resiko dengan memasukan Belinda ke dalam rumahnya.Entah Belinda dapatkan dari mana alamat rumahnya Mira. Padahal Valentino sudah pindah dari rumahnya yang dulu.Mira kembali ke dalam rumah setelah Belinda dan susternya pergi.Di dalam mobilnya Belinda."Sial! Percuma sqja aku harus akting menjadi orang yang penyakitan!" ucap Belinda marah.Belinda menghapus riasannya, ia merias ulang wajahnya sehingga terlihat cantik dan fresh.Belinda juga melempar selimut yang menutupi kakinya ke sembarang arah."Huh! Sialan! Benar-benar sialan! Kenapa sih harus hadir wanita sialan itu!" maki Belinda sambil meninju jok mobil di sampingnya berulang kali.Ia marah karena Valentino mengabaikannya. Saat
Mira pergi bulan madu bersama Valentino. Mereka sungguh menikmati waktu kebersamaannya.Mira tak pernah merasa sebahagia ini setelah lepas dari Alan.Mira benar-benar di manjakan oleh Valentino."Aku ke kamar mandi dulu," pamit Mira pada Valentino."Jangan lama-lama," jawab Valentino."Hmm," jawab Mira singkat.Valentino menunggu Mira kembali dari kamar mandi sambil memainkan gawainya.Ia berselancar ke dunia maya, ia melihat aplikasi biru. Betapa terkejutnya ia saat melihat sebuah berita."Bukankah ini Alan?" gumam Valentino."Tapi, sedang apa dia? Tunggu, istrinya Alan menjadi seorang pembunuh?" gumam Vqlentino lagi kali ini dengan alis yang saling bertaut.Mira yang sudah kembali dati kamar mandi melihat Alan sedang melihat ke arah gawainya. Tapi, wajahnya seperti orang yang terkejut.Valentino dulu sering mengikuti berita perceraian Mira dengan Alan. Jadi, ia mengenal Alan.Mira menghampiri Valentino, ia merebahkan tubuhnya di sisi Valentino."Sedang melihat apa?" tanya Mira."Oh,
Beberapa hari berlalu tanpa harapan. Mata Miya kian sayu dan cekung.Ia sudah tak bersemangat lagi untuk hidup, ruang dingin dan lembab kini menjadi temannya dalam diam.Tak ada satu orang pun yang berniat untuk mendekat atau pun sekedar bertanya padanya.Semua orang menghindarinya, Miya selalu duduk di pojokan dengan memeluk lutut dan wajah yang terbenam.Mata semua orang memandangnya sinis, tak ada belas kasih. Seorang yang berstatus pembunuh selalu di anggap penjahat paling keji.Miya tak peduli dengan tatapan mereka, ia kini tak peduli dengan dunia. Harapan satu-satunya kini sudah tiada.Miya berjalan gontai saat namanya di panggil karena ada yang menjenguknya.Miya duduk di depan orang yang menjenguknya. Rini menatapnya iba tak ada jejak kebencian dalam sorot matanya."Mbah, maaf aku baru bisa berkunjung," sapa Rini. Tak ada riak kesedihan dalam raut wajahnya.Miya tak menjawab, ia diam."Aku akan menjual rumah itu dan pergi dari sini," lanjut Rini.Miya tetap bungkam, ia menatap