"Itu bukan urusanku! Mau disiksa kek, mau dibunuh juga bukan urusanku! Jika kamu merasa berempati dan bersimpati, bukan begini caranya. Kamu bisa membantunya dengan cara lainkan bisa? Tanpa harus membawanya kemari dan menyakitiku," nafas Mira memburu hingga tersengal-sengal. Sudah semaksimal mungkin agar ia bisa tenang. Tapi, nyatanya itu teramat sangat sulit.
Mira menghela nafasnya, ia tak ingin terlihat lemah di mata mereka. Ia ingin menunjukan pada mereka bahwa kini ia baik-baik saja, meski nyatanya hati dan pikirnya menderita.
"Semua itu hanya alasan saja, agar semua tindakanmu di benarkan bukan?" Mira mencibir kelakuan Alan.
"Aku tidak perlu alasan untuk menikahinya, ada restu atau pun tidak darimu, aku akan tetap menikahinya," ucapan Alan begitu menohok jantung dan hatinya. Sungguh Alan sudah benar-benar tak menganggapnya lagi.
"Lakukan saja apa yang mau kamu lakukan, aku sudah tak perduli lagi. Dan kamu, wanita murahan! Dengarkan baik-baik ucapanku
Mira yang hatinya sedang kalut dan kacau mengendarai motornya dengan melamun. Saat berada di tikungan ia BRUK! menabrak sebuah mobil mewah. Mira pun sekaligus terjatuh, ia buru-buru bangun. Untungnya saat ini ia membawa motornya pelan, coba kalau membawanya dalam kecepatan tinggi, ia pasti sudah terkapar dan terluka parah. Ia megelus sikut tangannya yang lecet dan berdarah, ia meniup-niup luka itu. Sang pemilik mobil turun dari mobil mewahnya. Ia menghampiri Mira kesal dan hendak marah. Tapi, saat melihat Mira ia justru semakin marah. "Kamu!" teriaknya dengan wajah yang kesal. " ...," Mira hanya bengong menatap pria yang ada di hadapannya. Mira bingung, kenapa pria yang ada di hadapannya mengenalinya? Sementara ia sama sekali tak mengenalnya, bahkan ketemu saja baru kali ini. "Maaf siapa ya?" tanya Mira. "Kamu lagi! Kamu lagi! Kenapa setiap ketemu sama kamu selalu sial!" bentak pria itu. Mira mengerutkan dahinya, ia merasa tak pernah bertemu dengannya. Tapi, pria itu mengatakan
Pria itu menatap punggung Mira dengan tersenyum licik, "aku sudah menemukannya," gumamnya.Mira kembali melajukan motor maticnya, kali ini ia fokus. Tak mau mengalami kejadian serupa untuk yang ketiga kalinya. Mira memasuki sebuah area parkir yang luas, di sana sudah berjejer mobil-mobil mewah dari berbagai merek.Mira memarkirkan motornya secara sembarang, tiba-tiba seorang satpam menghampirinya."Permisi Bu, maaf sebaiknya ibu memarkirkan motornya jangan di sini?" sapa satpam itu sopan.Mira tersenyum puas, artinya tempat yang ia kunjungi memiliki prinsip yang baik. Tidak merendahkan orang lain dan tidak pula memandang remeh orang dari penampilannya."Baik. Tolong tunjukan di mana tempat parkir untuk sepeda motor?""Mari saya antar Bu,"Satpam itu mengantar Mira sampai ketempat area parkiran yang khusus di peruntukan sepeda motor."Terima kasih Pak,"Satpam itu pergi kembali ke tempatnya semula, sementara Mira masuk ke
Mira melepaskan bebannya sejenak dengan bercanda dan tertawa bersama sahabatnya Dara. Ia melupakan masalah yang ada di dalam rumah tangganya. Mira menghela nafasnya, agar beban dalam hatinya sedikit terangkat. "Antar aku ke pengacara yang tempo hari kamu katakan," pinta Mira di sela-sela obrolannya. "Kapan?" tanya Dara. "Sekarang!" tegas Mira. "Kamu pikir pengacara itu tukang cabai yang selalu duduk manis di depan dagangannya!" "Kamu harus membuat janji temu dulu, baru bisa menemuinya," "Ya sudah. Buatkan janji bertemu dengannya!" perintah Mira pada Dara dengan entengnya. "Aku bukan sekertarisnya! Lagi pula sejak kapan kamu begitu tidak tahu dirinya, meminta tanpa memohon," ucap Dara. "Ya ampun. Sorry my friend," Mira menepuk jidatnya. Ia benar-benar telah di buat menjadi orang yang bodoh oleh Alan. "Berikan nomor teleponnya! biar aku sendiri yang menghubungi pengacara itu," pinta Mira. "Lagi-lagi kamu meminta tanpa mengucapkan kata tolong, apa perlu aku masukan kembali kamu
Mira memutuskan untuk menginap di Anyer, selama dua hari ia tak pulang. Alan suaminya juga tak mencarinya apa lagi menanyakan kabarnyaMira benar-benar sudah dilupakan keberadaannya. Suaminya Alan sudah tak menganggapnya ada."Sudahlah, jangan terus memikirkan orang yang tak pernah memikirkan kita sedetik pun," Dara sahabatnya menasehati Mira.Mira hanya diam, ia pergi jauh dari Alan agar tahu seberapa besar cinta Alan padanya, ternyata tak secuil pun. Nyatanya ia pergi tanpa berkabar pun Alan tak mencarinya."Kenapa aku dulu begitu percaya dengan semua ucapannya?" lirih Mira. Ada sesal dalam hatinya saat ia tahu kalau ternyata Alan tak mencintainya."Lalu dulu yang ia ucapkan itu apaa? Kata-kata manis, rayuan dan gombalannya hanya sebatas di mulut saja?" Mira bergumam, seolah ia sendirian di sana.Dara hanya menghela nafasnya saja menanggapi semua gumaman Mira sahabatnya."Mas Alan ternyata tak mencintaiku, ia menikahiku hanya sebagai balas budi, pelarian semata," lagi dan lagi Mira
Mira memutuskan untuk pulang setelah ia menginap selama dua hari di Anyer.Selama dalam perjalanan pulang Mira hanya diam saja. Entah kenapa perasaannya tidak enak, seperti ada sesuatu hal besar yang akan terjadi padanya.Mira nampak gelisah, terlihat dari cara duduknya yang tak tenang. Dara yang melihat Mira gelisah merasa penasaran,"Kamu kenapa sih? Kok sepertinya gelisah banget?"Mira melirik Dara dengan sudut matanya, "entahlah Dar, hatiku tak tenang. Kira-kira ada apa ya?""Apa jangan-jangan suamimu sedang nikahan?" Dara meledek sahabatnya itu.Deg! Jantung Mira hampir copot mendengar ucapan Dara."Kalau ngomong enggak dipikir dulu," ucap Mira kesal."Aku 'kan cuma sekedar menebak saja. Bukannya kamu bilang kalau mereka akan menikah dalam waktu dekat,""Benar juga ya," lirih Mira, hampir tak terdengar."Benerkan?" Mira tak menanggapi ucapan Dara, ia menekan dadanya yang terasa nyeri. Hatinya benar-benar gelisah.Mobil terus melaju menembus ramainya jalanan, Dara menawarkan jasa
Bahu Mira ada yang menepuk dari belakang. Mira menoleh kebelakang, ia melihat seorang wanita yang sudah baya tengah tersenyum padanya.Wajahnya teduh menenangkan. Mira tak mengenalnya, ia baru kali pertama bertemu dengannya."Maaf ibu siapa?" tany Mira sambil mengerutkan keningnya."Sebaiknya jangan berkendara ketika hati sedang emosi, akan sangat berbahaya," Ibu itu menasehati Mira.Mira tersenyum, ia tahu akan hal itu. Tapi, apa pedulinya dengan semua ini, toh apa pun yang terjadi padanya tak akan ada yang peduli. Bahkan hidup dan matinya pun sudah tak ada yang perduli lagi. jadi untuk apa ia harus takut akan terjadi sesuatu yang tak diinginkan."Aku tak perduli dengan hidup dan matiku, toh tidak akan ada yang menangisi kepergianku!" sarkas Mira."Jangan begitu Nak! Tak baik berputus asa. Ikut dengan Ibu yuk!" ajak wanita baya itu. Ia menggandeng lembut lengan Mira, mengajaknya pergi dari halaman rumah Mira yang luas dan rimbun oleh pepohonan yang ia tanam dengan kedua tangannya sen
Mata Mira berbinar cerah ketika melihat taman belakang Carolina. Di sana banyak tanaman hias berupa bunga-bunga cantik yang langka."Wah indah banget! Bunganya cantik-cantik," Senyum Mira merekah seperti bunga yang baru mekar."Kamu suka?" tanya Carolina."Suka! Suka sekali!" Mira begitu antusias menjawab pertanyaan Carolina. "Anggrek Cataleya juga ada di sini. Anggrek Hartinah, Anggrek Hitam, Anggrek Larat, Anggrek Bulan, Anggrek Pensil juga ada. Wah ada Ghost Orchid juga, keren!" Mira terus berkeliling sambil terus meneriakan satu persatu nama tanaman yang ia temui."Ibu suka koleksi bunga?" tanya Mira tanpa berpaling dari menatap bunga-bunga yang nampak begitu mengagumkan baginya yang penyuka berbagai jenis bunga.Tapi, Mira lebih suka jenis mawar."Iya. Putra Ibu yang membawakannya. Dia juga berencana untuk membangun rumah kaca untuk Ibu," Carolina menghampiri Mira."Benarkah?" Mira begitu senang mendengarnya.Ia juga pernah mengungkapkan keinginannya untuk membuat rumah kaca pad
Tak terasa senja pun tiba, matahari perlahan meninggalkan peraduannya membenamkan diri dalam pekatnya malam. Mira yang merasa cukup lama berada di rumah Carolina pun berpamitan. "Maaf sudah menganggu Ibu terlalu lama, keasyikan mengobrol sampai lupa diri. Begitu sadar sudah senja," Mira tersenyum canggung merasa tak enak hati. "Tak apa. Ibu senang ada teman ngobrol, kalau tidak sibuk sering-seringlah mampir untuk main ke mari," pinta Carolina pada Mira. "Kalau Ibu tak keberatan dengan senang hati," Mira tersenyum bahagia, kali ini ia punya teman curhat selain Dara. "Kalau begitu, aku pamit ya Bu," Mira menyodorkan tangannya untuk bersalaman, lalu mencium tangan Carolina takzim. Carolina senang dengan prilaku Mira yang sopan dan santun, ia bergumam dalam hatinya, "seandainya kamu tak berjodoh dengan Alan ..., ish. Apaan sih kok malah mendoakan yang tidak baik sih." Mira pulang ke rumahnya, ia lihat sudah sepi. Rupanya acara pernikahan kedua Alan sudah usai. Mira mengucap salam lir
Alan terus mundar mandir di depan rumah Mira, hingga sebuah mobil berhenti tepat di depan pintu gerbang tinggi menjulang itu.Alan menghampiri mobil itu dan mengetuk kaca jendelanya.Tok Tok Tok"Alan?" ucap Mira yang ada di dalam mobil bersama Valentino.Sepertinya mereka habis bepergian."Mau apa dia kemari? Bagaimana bisa dia tahu alamat rumah ini?" tanya Mira pada Valentino yang ada di sisinya.Dor ... Dor ... DorKetukan berubah menjadi gedoran.Meski ia menggendor tetap saja tidak dibuka oleh Valentino dan Mira."Jangan dibuka!" perintah Valentino. "Kita tidak tahu niat jahat apa yang hendak ia lakukan pada kita, terutama kamu!" ucap Valentino memperingati Mira dengan tegas.Mira tak menjawab dengan ucapan melainkan dengan anggukan.Mata Alan nyalang, ia memutari mobil. Tak berhasil di sisi sebelah kanan ia berpindah ke sebelah kiri.Mata Mira tak sengaja bertemu pandang dengan mata Alan secara tak sengaja. Namun tetap saja hal itu membuat Mira terkejut, sampai ia merapatkan pun
Alan terpaku menatap jasad di hadapannya. Ia tak terlihat seperti orang linglung. Baru saja kemarin ia menemuinya, kini dia sudah ada di hadapannya sudah menjadi jasad."Miya," ucap Alan lirih.Salah satu petugas ambulance menoel Alan."Pak, maaf tolong tandatangani dokumen ini," ucap salah satu petugas pengantar jenazah itu pada Alan.Alan menoleh, ia melihat petugas itu kaku bagaikan tak bernyawa.Alan mengambil dokumen itu tanpa mengatakan sepatah kata pun. Ia langsung menandatanganinya dan menyerahkannya kembali pada petugas itu.Setelah petugas menerima kembali dokunen itu, ia pun bertanya pada Alan, "Maaf Pak, jenazahnya mau di letakkan di mana? Sekalian mau kami turunkan." Mata Alan masih terfokus pada jasad Miya yang terbaring di atas brangkar."Benarkah itu kamu Miya?" tanya Alan masih tak percaya.Ada rasa penyesalan yang begitu dalam di hati Alan."Andai aku tak menjatuhkan talak padamu, apakah kamu masih tetap hidup sampai saat ini, Miya?" tanya Alan.Tentu saja Miya tak
Mira kembali lagi ketika tahu rumah Alan kosong tak berpenghuni.Mira mencari tahu kemana Alan membawa ibunya dengan bertanya pada orang yang memposting berita duka itu.Ternyata Alan telah pindah rumah, Mira baru tahu kalau rumah mewah yang pernah ia tempati ternyata telah dijual oleh Alan."Ternyata rumah itu telah dijual, Bu," ucap Mira pada Carolina."Oh, iya? Aku tidak tahu kabar itu," balas Carolina."Mungkin Alan membawa Prapty ke kampungnya," ucap Mira."Iya sepertinya begitu," balas Carolina.Mira akhirnya tidak pergi melayat, justru malah main di rumah Carolina.Sementara itu Alan membawa jasad Prapty ke rumahnya yang ada di perkampungan warga. Alan telah membeli sebuah rumah yang kecil di pinggiran kota.Mobil ambulance itu masuk ke sebuah pekarangan yang bercat merah muda. Cat itu sudah memudar.Alan membuka kunci pintu rumah itu, dan meminta pada Susi untuk membersihkan rumah itu dengan menyapunya.Susi menyapu ruang tengah dan juga ruang tamu."Pak, ada karpet atau perm
Alan meremas jari jemarinya, ia terlihat begitu gugup. Ada rasa tak rela dalam sudut matanya."Silahkan Pak tanda tangan di sini," ucap orang yang ada di hadapannya Alan.Alan meraih ballpoint yang ada di atas kertas itu. Ia tak segera menandatangani dokumen itu. Alan merasa ragu, hingga ia meletakan kembali ballpoint itu di tempat semula."Ada apa, Pak?" tanya orang itu pada Alan."Bolehkah saya menghela nafas sejenak," ucap Alan.Alan merasa berat hati melepas rumah yang selama ini menjadi impiannya bersama Mira. Tapi, Alan justru malah menghianati Mira begitu saja.Alan kembali meraih ballpoint itu, ia memejamkan matanya sejenak. Lalu, dengan berat hati Alan mulai membubuhkan tandatangannya di dokumen jual beli itu.Setelah selesai, Alan menyodorkan dokumen itu pada orang yang ada di hadapannya."Pak, uangnya sudah saya transfer ya. Silahkan anda cek terlebih dahulu!" ucap orang yang ada di sampingnya Alan."Baik, Pak." Alan mengambil gawainya, ia melihat ada sebuah notifikasi dar
Kepala Sekolah itu terperangah. Wajahnya menunjukan keterkujatannya. Wanita pongah itu pun melakukan hal yang sama."Pak Valentino?" sapa Kepala Sekolah. Ia langsung berdiri saat melihat yang datang itu adalah Valentino."Pak?" sapa wanita itu sambil menganggukan sedikit kepalanya ke arah Valentino.Asya yang melihat Valentino datang langsung memanggilnya."Ayaaahh!" panggil Asya sambil berjalan menghampiri Valentino."Sayang, apa yang terjadi?" tanya Valentino sambil merengkuh kedua bahu Asya dan menatapnya penuh tanya dengan tubuh yang berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Asya.Mata Kepala Sekolah langsung melotot saat mendengar Valentino memanggil Asya dengan sebutan sayang.Kepala Sekolah itu pun bertanya-tanya dalam hatinya, 'ada hubungan apa antara anak itu dengan Pak Valentino?'Begitu pun dengan wanita yang arogan itu. Matanya sampai berkedip berkali-kali seperti orang yang kelilipan."Aku baik-baik saja Ayah. Tapi, Bunda tidak," ucap Asya."Kenapa dengan Bunda?" tan
Mira melajukan mobilnya ke sekolahnya Asya setelah mengantar Carolina.Sepanjang jalan ia terus berpikir, ternyata hidupnya jauh lebih beruntung daripada Miya.Miya merebut Alan darinya, ketika Mira ikhlas melepaskan miliknya untuk orang lain Tuhan memberi pengganti yang jauh lebih baik dari sebelumnya.Tuhan tak pernah tidur, Ia Maha Melihat. Dan kini Miya maupun Alan telah menerima karmanya.Berbuat baik maka akan menghasilkan kebaikan untuk diri kita sendiri. Begitu pun sebaliknya.Mira memarkirkan mobilnya di pinggir jalan depan sekolahnya Asya.Bel pulang berdering. Anak-anak berhamburan keluar dari gedung sekolah menghampiri para orang tuanya yang sedang menunggu kepulangan mereka di depan gerbang. Mira melihat Asya yang sedang berjalan menggunakan tongkatnya.Mira melambaikan tangannya sambil berteriak memanggil namanya Asya."Asyaaaa!" teriak Mira memanggil Asya.Asya pun melambaikan tangannya ke arah Mira sambil menghentikan langkahnya."Bundaa!" teriak Asya.Mira melihat ke
Mira terkejut ketika Belinda tiba-tiba pingsan. Rupanya ia begitu shock ketika menerima kenyataan bahwa Valentino lebih memilih Mira daripada dirinya."Tolong bawa dia ke Rumah Sakit segera," pinta Mira pada suster yang di bawa oleh Belinda."Baik, Bu," jawab suster itu patuh.Mira tidak ingin mengambil resiko dengan memasukan Belinda ke dalam rumahnya.Entah Belinda dapatkan dari mana alamat rumahnya Mira. Padahal Valentino sudah pindah dari rumahnya yang dulu.Mira kembali ke dalam rumah setelah Belinda dan susternya pergi.Di dalam mobilnya Belinda."Sial! Percuma sqja aku harus akting menjadi orang yang penyakitan!" ucap Belinda marah.Belinda menghapus riasannya, ia merias ulang wajahnya sehingga terlihat cantik dan fresh.Belinda juga melempar selimut yang menutupi kakinya ke sembarang arah."Huh! Sialan! Benar-benar sialan! Kenapa sih harus hadir wanita sialan itu!" maki Belinda sambil meninju jok mobil di sampingnya berulang kali.Ia marah karena Valentino mengabaikannya. Saat
Mira pergi bulan madu bersama Valentino. Mereka sungguh menikmati waktu kebersamaannya.Mira tak pernah merasa sebahagia ini setelah lepas dari Alan.Mira benar-benar di manjakan oleh Valentino."Aku ke kamar mandi dulu," pamit Mira pada Valentino."Jangan lama-lama," jawab Valentino."Hmm," jawab Mira singkat.Valentino menunggu Mira kembali dari kamar mandi sambil memainkan gawainya.Ia berselancar ke dunia maya, ia melihat aplikasi biru. Betapa terkejutnya ia saat melihat sebuah berita."Bukankah ini Alan?" gumam Valentino."Tapi, sedang apa dia? Tunggu, istrinya Alan menjadi seorang pembunuh?" gumam Vqlentino lagi kali ini dengan alis yang saling bertaut.Mira yang sudah kembali dati kamar mandi melihat Alan sedang melihat ke arah gawainya. Tapi, wajahnya seperti orang yang terkejut.Valentino dulu sering mengikuti berita perceraian Mira dengan Alan. Jadi, ia mengenal Alan.Mira menghampiri Valentino, ia merebahkan tubuhnya di sisi Valentino."Sedang melihat apa?" tanya Mira."Oh,
Beberapa hari berlalu tanpa harapan. Mata Miya kian sayu dan cekung.Ia sudah tak bersemangat lagi untuk hidup, ruang dingin dan lembab kini menjadi temannya dalam diam.Tak ada satu orang pun yang berniat untuk mendekat atau pun sekedar bertanya padanya.Semua orang menghindarinya, Miya selalu duduk di pojokan dengan memeluk lutut dan wajah yang terbenam.Mata semua orang memandangnya sinis, tak ada belas kasih. Seorang yang berstatus pembunuh selalu di anggap penjahat paling keji.Miya tak peduli dengan tatapan mereka, ia kini tak peduli dengan dunia. Harapan satu-satunya kini sudah tiada.Miya berjalan gontai saat namanya di panggil karena ada yang menjenguknya.Miya duduk di depan orang yang menjenguknya. Rini menatapnya iba tak ada jejak kebencian dalam sorot matanya."Mbah, maaf aku baru bisa berkunjung," sapa Rini. Tak ada riak kesedihan dalam raut wajahnya.Miya tak menjawab, ia diam."Aku akan menjual rumah itu dan pergi dari sini," lanjut Rini.Miya tetap bungkam, ia menatap