Mata Mira berbinar cerah ketika melihat taman belakang Carolina. Di sana banyak tanaman hias berupa bunga-bunga cantik yang langka."Wah indah banget! Bunganya cantik-cantik," Senyum Mira merekah seperti bunga yang baru mekar."Kamu suka?" tanya Carolina."Suka! Suka sekali!" Mira begitu antusias menjawab pertanyaan Carolina. "Anggrek Cataleya juga ada di sini. Anggrek Hartinah, Anggrek Hitam, Anggrek Larat, Anggrek Bulan, Anggrek Pensil juga ada. Wah ada Ghost Orchid juga, keren!" Mira terus berkeliling sambil terus meneriakan satu persatu nama tanaman yang ia temui."Ibu suka koleksi bunga?" tanya Mira tanpa berpaling dari menatap bunga-bunga yang nampak begitu mengagumkan baginya yang penyuka berbagai jenis bunga.Tapi, Mira lebih suka jenis mawar."Iya. Putra Ibu yang membawakannya. Dia juga berencana untuk membangun rumah kaca untuk Ibu," Carolina menghampiri Mira."Benarkah?" Mira begitu senang mendengarnya.Ia juga pernah mengungkapkan keinginannya untuk membuat rumah kaca pad
Tak terasa senja pun tiba, matahari perlahan meninggalkan peraduannya membenamkan diri dalam pekatnya malam. Mira yang merasa cukup lama berada di rumah Carolina pun berpamitan. "Maaf sudah menganggu Ibu terlalu lama, keasyikan mengobrol sampai lupa diri. Begitu sadar sudah senja," Mira tersenyum canggung merasa tak enak hati. "Tak apa. Ibu senang ada teman ngobrol, kalau tidak sibuk sering-seringlah mampir untuk main ke mari," pinta Carolina pada Mira. "Kalau Ibu tak keberatan dengan senang hati," Mira tersenyum bahagia, kali ini ia punya teman curhat selain Dara. "Kalau begitu, aku pamit ya Bu," Mira menyodorkan tangannya untuk bersalaman, lalu mencium tangan Carolina takzim. Carolina senang dengan prilaku Mira yang sopan dan santun, ia bergumam dalam hatinya, "seandainya kamu tak berjodoh dengan Alan ..., ish. Apaan sih kok malah mendoakan yang tidak baik sih." Mira pulang ke rumahnya, ia lihat sudah sepi. Rupanya acara pernikahan kedua Alan sudah usai. Mira mengucap salam lir
Mira merasa lelah dengan semua ini, ia membersihkan tubuhnya dengan berendam di bath tub dengan menambahkan aroma esensial yang menenangkan. Ia menenangkan diri, matanya terpejam. Satu jam sudah ia berendam, akhirnya Mira menyudahinya. Mira mengenakan baju tidur panjangnya. Mira memutuskan untuk tidur dan tidak makan malam bersama mereka, terlalu malas baginya berkumpul satu meja dengan orang-orang yang telah menyakiti hatinya. Ia putuskan besok akan menemui pengacara yang telah ia tunjuk dan bersiap untuk melayangkan gugatan cerainya. Mira memejamkan matanya menyambut mimpi yang semoga indah tak seperti kenyataan hidupnya yang harus di madu dan satu atap dengan madunya itu. Pagi pun datang, Mira yang terlalu malas untuk beranjak dari tempat tidurnya, ia kembali menarik selimut bulunya hingga sebatas dada. dan kembali bergelung selimut memeluk bantal gulingnya dan memejamkan matanya. Gedoran di pintu membuyarkan mimpinya, Mira mendengus kesal. 'siapa juga yang pagi-pagi begini me
Alan meninju tepat di pelipis Mira, hingga ia terhuyung kesamping dan ambruk akibat kepalanya terlalu pusing akibat mendapatkan tinju dari Alan. Mira bersimpuh di lantai kamarnya dengan memegangi kepalanya yang terasa menggenyer akibat pukulan Alan, Mira tersenyum sinis ke arah Alan. "Inikah kamu yang sesusungguhnya Mas?" tanya Mira sembari tersenyum sinis. "Mira, maafkam aku," sesal Alan. Alan berjongkok di hadapan Mira, ia mengulurkan tangannya hendak menyentuk kepala Mira, tapi, Mira tepis. "Jangan sentuh aku, Mas!" "Mira, sungguh maafkan aku!" "Maaf katamu Mas? Semudah itu kamu mengutarakannya? Tidakkah kamu berpikir akibat dari perbuatanmu padaku? Aku bisa melaporkanmu atas tindak kekerasan dalam rumah tangga," "Kamu tega Mira?" "Kenapa tak tega? Kamu saja tega memukulku tanpa belas kasih!" Mira berusaha untuk berdiri, ia tak mempedulikan rasa pening di kepalanya. Mira menyambar tas sling merek terkenal milik sebuah perusahaan brand ternama berlogo GC. Miya yang ada di
"My Love?" Mira merasa heran dengan nama kontak yang ada di layar ponselnya, ia tak pernah menyimpan kontak yang bernama My Love. "Ada apa?" tanya Dara heran ketika melihat sahabatnya beberapa kali mengernyitkan dahinya. "Tidak!" jawab Mira berbohong. "Jangan bohong, aku tahu siapa kamu!" sentak Dara. "Kapan aku bisa menyembunyikan rahasia darimu?" ucap Mira berpura-pura sedih. Lalu ia menyodorkan ponselnya pada Dara. "My Love?" tanya Dara, lalu tawanya pecah. Ia menganggap Mira tengah membuat lelucon yang lucu. "Kenapa tertawa?" tanya Mira. "Siapa dia, Alan?" tanya Dara, sambil tersenyum mengejek. "Bukan!" jawab Mira sambil menggelengkan kepalanya. "Lalu?" "Aku juga tidak tahu siapa dia?" Ponsel Mira kembali berdering, masih kontak yang sama. Dara meminta Mira untuk mengangkatnya. "Angkat!" perintah Dara. Mira mengankat telepon itu, "halo!" "Temani aku sarapan!" perintah orang tersebut. "Aku tidak bisa!" jawab Mira tegas. "Jangan menolak, kamu lupa ya kalau masih ber
Akhirnya Miya masak sendiri makanan untuk suaminya Alan sambil terus menggerutu. "Sialan Mira! Kenapa juga pintunya pakai di kunci segala. Ibu juga malah ikut-ikutan tidur, huh dasar orang-orang tak berguna!" gerutunya. Akhirnya setelah ia penuh perjuangan dalam menyelesaikan masakannya, akhirnya terhidanglah sebuah masakan yang menurutnya begitu sempurna. "Wah cantik juga telor ceploknya, dan mie rebus ini juga matang sempurna," Miya memandang masakannya dengan penuh kekaguman. Dengan senyum yang merekah, Miya memanggil suaminya untuk makan. "Sayang, ayo makan!" ajak Miya. "Sudah siap makanannya, sayang?" tanya Alan, ia merangkul bahu Miya penuh kasih sayang. "Sudah, mari kita turun. Nanti keburu dingin tidak enak!" ajak Miya. Alan dan Miya menuruni anak tangga dengan bergandengan tangan, mereka terlihat begitu mesra. Bak sepasang kekasih yang baru saja jadian. Alan menarik kursi meja makan dan duduk, begitu pun dengan Miya, ia duduk di samping Alan. Miya menyendokan makanan
Mira pergi keluar rumah meninggalkan mereka yang sedang memperebutkan uang jatah harian. Mira mengendarai mobil mewahnya menembus padatnya jalanan kota Metropolitan.Mira menuju ke cafenya sebelum melanjutkan perjalanannya ke kantor pengacaranya. Ia ingin mengecek cafe miliknya."Pagi Bu," sapa para karyawan Cafe."Pagi," jawab Mira sambil tersenyum. Ia berusaha untuk profesional dengan tidak mencampur adukan urusan rumah tangganya dengan pekerjaan.Mira masuk ke dalam kantornya yang ada di lantai atas, ia meminta Jena untuk datang ke kantornya."Jena, nanti ke kantor!" perintah Mira pada gadis yang berkaca mata itu."Baik Bu," jawab Jena santun.Jena pun menyusul Mira naik ke atas dan mengetuk pintu kantor milik bosnya.Tok! ... Tok!"Masuk!" jawab Mira dari dalam kantornya."Permisi Bu," Jena menyodorkan sebuah map berwarna biru terang ke hadapan Mira.Lalu Mira pun memeriksanya. Di dalam map itu ada tertulis laporan bulanan dan bahan-bahan yang harus di beli. Dulu, pekerjaan itu ya
Mira tak percaya, ternyata ia di bawa ke sebuah rumah yang sudah ia kenal. Rumah yang baru menjadi temannya beberapa waktu lalu.Mobil laki-laki itu, memasuki halaman depan rumah yang begitu asri dengan banyak tanaman hias yang di tanam di sana."Ayo turun!" ajak Laki-laki itu.Mira turun dari mobil itu, ia mengikuti langkah kaki laki-laki yang memintanya untuk menjadi pacar palsunya."Masuk!" ajak laki-laki itu lagi."Duduklah! Aku akan memanggil Mama," ucap laki-laki itu. Dan Mira mematuhinya.Tak lama kemudian Laki-laki itu datang bersama dengan wanita baya yang masih nampak terlihat cantik meski kerutan di wajahnya sudah terlihat jelas.Sosok wanita yang sudah dikenalnya, ia adalah Bu Carolina yang pernah menolongnya saat Mira tengah terpuruk karena rasa sakit akibat melihat suaminya menikah lagi, dan parahnya lagi pernikahan itu di gelar di rumahnya sendiri.Mira tersenyum saat melihatnya, mata Bu Carolina memberi kode dengan mengedipkan sebelah matanya. Mira mengerti dengan kode
Alan terus mundar mandir di depan rumah Mira, hingga sebuah mobil berhenti tepat di depan pintu gerbang tinggi menjulang itu.Alan menghampiri mobil itu dan mengetuk kaca jendelanya.Tok Tok Tok"Alan?" ucap Mira yang ada di dalam mobil bersama Valentino.Sepertinya mereka habis bepergian."Mau apa dia kemari? Bagaimana bisa dia tahu alamat rumah ini?" tanya Mira pada Valentino yang ada di sisinya.Dor ... Dor ... DorKetukan berubah menjadi gedoran.Meski ia menggendor tetap saja tidak dibuka oleh Valentino dan Mira."Jangan dibuka!" perintah Valentino. "Kita tidak tahu niat jahat apa yang hendak ia lakukan pada kita, terutama kamu!" ucap Valentino memperingati Mira dengan tegas.Mira tak menjawab dengan ucapan melainkan dengan anggukan.Mata Alan nyalang, ia memutari mobil. Tak berhasil di sisi sebelah kanan ia berpindah ke sebelah kiri.Mata Mira tak sengaja bertemu pandang dengan mata Alan secara tak sengaja. Namun tetap saja hal itu membuat Mira terkejut, sampai ia merapatkan pun
Alan terpaku menatap jasad di hadapannya. Ia tak terlihat seperti orang linglung. Baru saja kemarin ia menemuinya, kini dia sudah ada di hadapannya sudah menjadi jasad."Miya," ucap Alan lirih.Salah satu petugas ambulance menoel Alan."Pak, maaf tolong tandatangani dokumen ini," ucap salah satu petugas pengantar jenazah itu pada Alan.Alan menoleh, ia melihat petugas itu kaku bagaikan tak bernyawa.Alan mengambil dokumen itu tanpa mengatakan sepatah kata pun. Ia langsung menandatanganinya dan menyerahkannya kembali pada petugas itu.Setelah petugas menerima kembali dokunen itu, ia pun bertanya pada Alan, "Maaf Pak, jenazahnya mau di letakkan di mana? Sekalian mau kami turunkan." Mata Alan masih terfokus pada jasad Miya yang terbaring di atas brangkar."Benarkah itu kamu Miya?" tanya Alan masih tak percaya.Ada rasa penyesalan yang begitu dalam di hati Alan."Andai aku tak menjatuhkan talak padamu, apakah kamu masih tetap hidup sampai saat ini, Miya?" tanya Alan.Tentu saja Miya tak
Mira kembali lagi ketika tahu rumah Alan kosong tak berpenghuni.Mira mencari tahu kemana Alan membawa ibunya dengan bertanya pada orang yang memposting berita duka itu.Ternyata Alan telah pindah rumah, Mira baru tahu kalau rumah mewah yang pernah ia tempati ternyata telah dijual oleh Alan."Ternyata rumah itu telah dijual, Bu," ucap Mira pada Carolina."Oh, iya? Aku tidak tahu kabar itu," balas Carolina."Mungkin Alan membawa Prapty ke kampungnya," ucap Mira."Iya sepertinya begitu," balas Carolina.Mira akhirnya tidak pergi melayat, justru malah main di rumah Carolina.Sementara itu Alan membawa jasad Prapty ke rumahnya yang ada di perkampungan warga. Alan telah membeli sebuah rumah yang kecil di pinggiran kota.Mobil ambulance itu masuk ke sebuah pekarangan yang bercat merah muda. Cat itu sudah memudar.Alan membuka kunci pintu rumah itu, dan meminta pada Susi untuk membersihkan rumah itu dengan menyapunya.Susi menyapu ruang tengah dan juga ruang tamu."Pak, ada karpet atau perm
Alan meremas jari jemarinya, ia terlihat begitu gugup. Ada rasa tak rela dalam sudut matanya."Silahkan Pak tanda tangan di sini," ucap orang yang ada di hadapannya Alan.Alan meraih ballpoint yang ada di atas kertas itu. Ia tak segera menandatangani dokumen itu. Alan merasa ragu, hingga ia meletakan kembali ballpoint itu di tempat semula."Ada apa, Pak?" tanya orang itu pada Alan."Bolehkah saya menghela nafas sejenak," ucap Alan.Alan merasa berat hati melepas rumah yang selama ini menjadi impiannya bersama Mira. Tapi, Alan justru malah menghianati Mira begitu saja.Alan kembali meraih ballpoint itu, ia memejamkan matanya sejenak. Lalu, dengan berat hati Alan mulai membubuhkan tandatangannya di dokumen jual beli itu.Setelah selesai, Alan menyodorkan dokumen itu pada orang yang ada di hadapannya."Pak, uangnya sudah saya transfer ya. Silahkan anda cek terlebih dahulu!" ucap orang yang ada di sampingnya Alan."Baik, Pak." Alan mengambil gawainya, ia melihat ada sebuah notifikasi dar
Kepala Sekolah itu terperangah. Wajahnya menunjukan keterkujatannya. Wanita pongah itu pun melakukan hal yang sama."Pak Valentino?" sapa Kepala Sekolah. Ia langsung berdiri saat melihat yang datang itu adalah Valentino."Pak?" sapa wanita itu sambil menganggukan sedikit kepalanya ke arah Valentino.Asya yang melihat Valentino datang langsung memanggilnya."Ayaaahh!" panggil Asya sambil berjalan menghampiri Valentino."Sayang, apa yang terjadi?" tanya Valentino sambil merengkuh kedua bahu Asya dan menatapnya penuh tanya dengan tubuh yang berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Asya.Mata Kepala Sekolah langsung melotot saat mendengar Valentino memanggil Asya dengan sebutan sayang.Kepala Sekolah itu pun bertanya-tanya dalam hatinya, 'ada hubungan apa antara anak itu dengan Pak Valentino?'Begitu pun dengan wanita yang arogan itu. Matanya sampai berkedip berkali-kali seperti orang yang kelilipan."Aku baik-baik saja Ayah. Tapi, Bunda tidak," ucap Asya."Kenapa dengan Bunda?" tan
Mira melajukan mobilnya ke sekolahnya Asya setelah mengantar Carolina.Sepanjang jalan ia terus berpikir, ternyata hidupnya jauh lebih beruntung daripada Miya.Miya merebut Alan darinya, ketika Mira ikhlas melepaskan miliknya untuk orang lain Tuhan memberi pengganti yang jauh lebih baik dari sebelumnya.Tuhan tak pernah tidur, Ia Maha Melihat. Dan kini Miya maupun Alan telah menerima karmanya.Berbuat baik maka akan menghasilkan kebaikan untuk diri kita sendiri. Begitu pun sebaliknya.Mira memarkirkan mobilnya di pinggir jalan depan sekolahnya Asya.Bel pulang berdering. Anak-anak berhamburan keluar dari gedung sekolah menghampiri para orang tuanya yang sedang menunggu kepulangan mereka di depan gerbang. Mira melihat Asya yang sedang berjalan menggunakan tongkatnya.Mira melambaikan tangannya sambil berteriak memanggil namanya Asya."Asyaaaa!" teriak Mira memanggil Asya.Asya pun melambaikan tangannya ke arah Mira sambil menghentikan langkahnya."Bundaa!" teriak Asya.Mira melihat ke
Mira terkejut ketika Belinda tiba-tiba pingsan. Rupanya ia begitu shock ketika menerima kenyataan bahwa Valentino lebih memilih Mira daripada dirinya."Tolong bawa dia ke Rumah Sakit segera," pinta Mira pada suster yang di bawa oleh Belinda."Baik, Bu," jawab suster itu patuh.Mira tidak ingin mengambil resiko dengan memasukan Belinda ke dalam rumahnya.Entah Belinda dapatkan dari mana alamat rumahnya Mira. Padahal Valentino sudah pindah dari rumahnya yang dulu.Mira kembali ke dalam rumah setelah Belinda dan susternya pergi.Di dalam mobilnya Belinda."Sial! Percuma sqja aku harus akting menjadi orang yang penyakitan!" ucap Belinda marah.Belinda menghapus riasannya, ia merias ulang wajahnya sehingga terlihat cantik dan fresh.Belinda juga melempar selimut yang menutupi kakinya ke sembarang arah."Huh! Sialan! Benar-benar sialan! Kenapa sih harus hadir wanita sialan itu!" maki Belinda sambil meninju jok mobil di sampingnya berulang kali.Ia marah karena Valentino mengabaikannya. Saat
Mira pergi bulan madu bersama Valentino. Mereka sungguh menikmati waktu kebersamaannya.Mira tak pernah merasa sebahagia ini setelah lepas dari Alan.Mira benar-benar di manjakan oleh Valentino."Aku ke kamar mandi dulu," pamit Mira pada Valentino."Jangan lama-lama," jawab Valentino."Hmm," jawab Mira singkat.Valentino menunggu Mira kembali dari kamar mandi sambil memainkan gawainya.Ia berselancar ke dunia maya, ia melihat aplikasi biru. Betapa terkejutnya ia saat melihat sebuah berita."Bukankah ini Alan?" gumam Valentino."Tapi, sedang apa dia? Tunggu, istrinya Alan menjadi seorang pembunuh?" gumam Vqlentino lagi kali ini dengan alis yang saling bertaut.Mira yang sudah kembali dati kamar mandi melihat Alan sedang melihat ke arah gawainya. Tapi, wajahnya seperti orang yang terkejut.Valentino dulu sering mengikuti berita perceraian Mira dengan Alan. Jadi, ia mengenal Alan.Mira menghampiri Valentino, ia merebahkan tubuhnya di sisi Valentino."Sedang melihat apa?" tanya Mira."Oh,
Beberapa hari berlalu tanpa harapan. Mata Miya kian sayu dan cekung.Ia sudah tak bersemangat lagi untuk hidup, ruang dingin dan lembab kini menjadi temannya dalam diam.Tak ada satu orang pun yang berniat untuk mendekat atau pun sekedar bertanya padanya.Semua orang menghindarinya, Miya selalu duduk di pojokan dengan memeluk lutut dan wajah yang terbenam.Mata semua orang memandangnya sinis, tak ada belas kasih. Seorang yang berstatus pembunuh selalu di anggap penjahat paling keji.Miya tak peduli dengan tatapan mereka, ia kini tak peduli dengan dunia. Harapan satu-satunya kini sudah tiada.Miya berjalan gontai saat namanya di panggil karena ada yang menjenguknya.Miya duduk di depan orang yang menjenguknya. Rini menatapnya iba tak ada jejak kebencian dalam sorot matanya."Mbah, maaf aku baru bisa berkunjung," sapa Rini. Tak ada riak kesedihan dalam raut wajahnya.Miya tak menjawab, ia diam."Aku akan menjual rumah itu dan pergi dari sini," lanjut Rini.Miya tetap bungkam, ia menatap