"My Love?" Mira merasa heran dengan nama kontak yang ada di layar ponselnya, ia tak pernah menyimpan kontak yang bernama My Love. "Ada apa?" tanya Dara heran ketika melihat sahabatnya beberapa kali mengernyitkan dahinya. "Tidak!" jawab Mira berbohong. "Jangan bohong, aku tahu siapa kamu!" sentak Dara. "Kapan aku bisa menyembunyikan rahasia darimu?" ucap Mira berpura-pura sedih. Lalu ia menyodorkan ponselnya pada Dara. "My Love?" tanya Dara, lalu tawanya pecah. Ia menganggap Mira tengah membuat lelucon yang lucu. "Kenapa tertawa?" tanya Mira. "Siapa dia, Alan?" tanya Dara, sambil tersenyum mengejek. "Bukan!" jawab Mira sambil menggelengkan kepalanya. "Lalu?" "Aku juga tidak tahu siapa dia?" Ponsel Mira kembali berdering, masih kontak yang sama. Dara meminta Mira untuk mengangkatnya. "Angkat!" perintah Dara. Mira mengankat telepon itu, "halo!" "Temani aku sarapan!" perintah orang tersebut. "Aku tidak bisa!" jawab Mira tegas. "Jangan menolak, kamu lupa ya kalau masih ber
Akhirnya Miya masak sendiri makanan untuk suaminya Alan sambil terus menggerutu. "Sialan Mira! Kenapa juga pintunya pakai di kunci segala. Ibu juga malah ikut-ikutan tidur, huh dasar orang-orang tak berguna!" gerutunya. Akhirnya setelah ia penuh perjuangan dalam menyelesaikan masakannya, akhirnya terhidanglah sebuah masakan yang menurutnya begitu sempurna. "Wah cantik juga telor ceploknya, dan mie rebus ini juga matang sempurna," Miya memandang masakannya dengan penuh kekaguman. Dengan senyum yang merekah, Miya memanggil suaminya untuk makan. "Sayang, ayo makan!" ajak Miya. "Sudah siap makanannya, sayang?" tanya Alan, ia merangkul bahu Miya penuh kasih sayang. "Sudah, mari kita turun. Nanti keburu dingin tidak enak!" ajak Miya. Alan dan Miya menuruni anak tangga dengan bergandengan tangan, mereka terlihat begitu mesra. Bak sepasang kekasih yang baru saja jadian. Alan menarik kursi meja makan dan duduk, begitu pun dengan Miya, ia duduk di samping Alan. Miya menyendokan makanan
Mira pergi keluar rumah meninggalkan mereka yang sedang memperebutkan uang jatah harian. Mira mengendarai mobil mewahnya menembus padatnya jalanan kota Metropolitan.Mira menuju ke cafenya sebelum melanjutkan perjalanannya ke kantor pengacaranya. Ia ingin mengecek cafe miliknya."Pagi Bu," sapa para karyawan Cafe."Pagi," jawab Mira sambil tersenyum. Ia berusaha untuk profesional dengan tidak mencampur adukan urusan rumah tangganya dengan pekerjaan.Mira masuk ke dalam kantornya yang ada di lantai atas, ia meminta Jena untuk datang ke kantornya."Jena, nanti ke kantor!" perintah Mira pada gadis yang berkaca mata itu."Baik Bu," jawab Jena santun.Jena pun menyusul Mira naik ke atas dan mengetuk pintu kantor milik bosnya.Tok! ... Tok!"Masuk!" jawab Mira dari dalam kantornya."Permisi Bu," Jena menyodorkan sebuah map berwarna biru terang ke hadapan Mira.Lalu Mira pun memeriksanya. Di dalam map itu ada tertulis laporan bulanan dan bahan-bahan yang harus di beli. Dulu, pekerjaan itu ya
Mira tak percaya, ternyata ia di bawa ke sebuah rumah yang sudah ia kenal. Rumah yang baru menjadi temannya beberapa waktu lalu.Mobil laki-laki itu, memasuki halaman depan rumah yang begitu asri dengan banyak tanaman hias yang di tanam di sana."Ayo turun!" ajak Laki-laki itu.Mira turun dari mobil itu, ia mengikuti langkah kaki laki-laki yang memintanya untuk menjadi pacar palsunya."Masuk!" ajak laki-laki itu lagi."Duduklah! Aku akan memanggil Mama," ucap laki-laki itu. Dan Mira mematuhinya.Tak lama kemudian Laki-laki itu datang bersama dengan wanita baya yang masih nampak terlihat cantik meski kerutan di wajahnya sudah terlihat jelas.Sosok wanita yang sudah dikenalnya, ia adalah Bu Carolina yang pernah menolongnya saat Mira tengah terpuruk karena rasa sakit akibat melihat suaminya menikah lagi, dan parahnya lagi pernikahan itu di gelar di rumahnya sendiri.Mira tersenyum saat melihatnya, mata Bu Carolina memberi kode dengan mengedipkan sebelah matanya. Mira mengerti dengan kode
"Apa kata kalian?" tanya Carolina tak percaya saat dirinya disentak oleh putranya dan Mira."Mama!""Tante!"Ucap mereka secara serentak. Mereka mendekati Carolina berbarengan dan memohon maaf."Maafkan aku, Mah," mohon Valentino dengan wajah memelas."Maafkan aku juga, Tante," ucap Mira sembari memohon."Baiklah!" ucap Carolina sembari tersenyum.Carolina mengajak mereka berdua untuk duduk kembali ke sofa, "ayo minum tehnya!""Apa sih yang kalian ributkan, kelihatannya seru banget sampai pakai lempar-lemparan bantal segala?" tanya Carolina pada mereka berdua."Tidak ada!" ucap mereka secara serentak bersamaan."Duh kalian udah kompak banget ya! Andaikan ini sungguh terjadi, Mamah pasti bahagia sekali," ucap Carolina sembari menatap mereka bergantian lalu tertunduk sedih. "Apa maksud, Mama?" tanya Valentino tak mengerti."Sudahlah, hentikan sandiwara kita Valentino. Sebenarnya Mama kamu sudah tahu, kalau aku adalah istri orang," jawab Mira, ia menatap Valentino."Jadi, maksud kamu ...
"Hari sudah semakin sore, saya pamit Bu!" Mira memutuskan untuk pulang."Antar aku balik ke kantor, Mas!" Pinta Mira pada Valentino."Ayo!" Valentino berdiri, ia juga berpamitan pada Carolina untuk mengantar Mira kembali ke kantornya."Kantor? Kamu bekerja, Nak?" Carolina bertanya dengan lembut."Iya Bu, demi untuk menjaga kewarasan diri ini," jawab Mira sembari tersenyum kecut."Benar! Kamu jangan banyak berdiam diri di rumah. Jika tidak, maka kamu akan gila!" Carolina mengatakan hal yang membuat Mira tertawa."Ibu bisa saja. Mira tak semudah itu menjadi gila hanya karena mereka, rugi besar jika hal itu terjadi!" ucap Mira sembari terkekeh. Hanya di luar Mira bisa menjadi senang dan melupakan persoalan rumah tangganya."Ibu senang mendengarnya, Nak! Tetap semangat, masa depanmu masih panjang!" Carolina memberi motivasi pada Mira."Kalau begitu aku pamit! Nanti kena semprot bos kelamaan di luar," Mira berpamitan pada Carolina. Ia mencium punggung tangan yang sudah berumur itu takzim. C
Plak! Mira menampar balik Miya. Kini Mira tak peduli lagi dengan apa yang namanya nama baik. Di rumah ada wanita jalang, maka ia juga harus berlaku keras."Apa yang kamu lakukan, wanita jalang sialan!" maki Miya, rupanya ia lupa kalau dirinyalah yang jalang."Siapa yang kau panggil jalang? Aku? hahahah ... apa tak salah?!" Mira tertawa mengejek Miya. Ucapan yang Miya lontarkan membuat Mira tertawa geli."Heh, yang jalang tuh kamu, sendirinya jalang meneriaki orang jalang!" Mira kembali meledek Miya dengan mengatainya jalang."Kalau bukan jalang apa namanya ha! Malam-malam di saat orang terlelap tidur, kamu justru malah menggoda suami orang, dasar perempuan tak tahu diri!" Miya mengucapkan kata-kata yang pantasnya untuk dirinya sendiri."Hahahaha ..., benar-benar tak habis pikir. Aku kau sebut tak tahu diri karena telah menggoda suami orang! Kamu sendiri apa?! Datang ke rumah orang dengan tanpa malu merebut suami orang. Kamu pikir Alan itu siapa? Sebelum sama kamu, Alan adalah suamiku,
Mira merasa dirinya begitu bodoh karena sempat terbuai oleh bujuk rayu Alan. Meskipun Alan suaminya tetap saja, ia merasa dirinya telah melakukan sesutu yang menjijikan telah bersentuhan dengan laki-laki yang telah berselingkuh. Mira memutuskan untuk mandi dan membersihkan tubuhnya yang terasa lengket setelah seharian beraktifitas. Kini Mira merasa tubuhnya sudah segar kembali, ia merebahkan tubuhnya yang terasa letih dan lelah. Pikirannya mengembara di mana ia pertama kali mengenal Alan suaminya. Saat itu Alan yang baru ditinggalkan oleh Miya karena ditentang oleh keluarganya mengalami depresi, ia terluka parah secara fisik dan jiwanya. Mira dengan sabar mendampingi Alan yang terluka akibat dipukuli dan terkena luka tembak di pahanya. Setiap hari Mira mundar-mandir ke rumah sakit demi untuk menemani Alan dan menghiburnya. Bahkan Mira harus merelakan uang tabungannya demi untuk membayar biaya rumah sakit Alan. Tabungan yang ia kumpulkan sepeser demi sepeser, sedikit demi sedikit u
Alan terus mundar mandir di depan rumah Mira, hingga sebuah mobil berhenti tepat di depan pintu gerbang tinggi menjulang itu.Alan menghampiri mobil itu dan mengetuk kaca jendelanya.Tok Tok Tok"Alan?" ucap Mira yang ada di dalam mobil bersama Valentino.Sepertinya mereka habis bepergian."Mau apa dia kemari? Bagaimana bisa dia tahu alamat rumah ini?" tanya Mira pada Valentino yang ada di sisinya.Dor ... Dor ... DorKetukan berubah menjadi gedoran.Meski ia menggendor tetap saja tidak dibuka oleh Valentino dan Mira."Jangan dibuka!" perintah Valentino. "Kita tidak tahu niat jahat apa yang hendak ia lakukan pada kita, terutama kamu!" ucap Valentino memperingati Mira dengan tegas.Mira tak menjawab dengan ucapan melainkan dengan anggukan.Mata Alan nyalang, ia memutari mobil. Tak berhasil di sisi sebelah kanan ia berpindah ke sebelah kiri.Mata Mira tak sengaja bertemu pandang dengan mata Alan secara tak sengaja. Namun tetap saja hal itu membuat Mira terkejut, sampai ia merapatkan pun
Alan terpaku menatap jasad di hadapannya. Ia tak terlihat seperti orang linglung. Baru saja kemarin ia menemuinya, kini dia sudah ada di hadapannya sudah menjadi jasad."Miya," ucap Alan lirih.Salah satu petugas ambulance menoel Alan."Pak, maaf tolong tandatangani dokumen ini," ucap salah satu petugas pengantar jenazah itu pada Alan.Alan menoleh, ia melihat petugas itu kaku bagaikan tak bernyawa.Alan mengambil dokumen itu tanpa mengatakan sepatah kata pun. Ia langsung menandatanganinya dan menyerahkannya kembali pada petugas itu.Setelah petugas menerima kembali dokunen itu, ia pun bertanya pada Alan, "Maaf Pak, jenazahnya mau di letakkan di mana? Sekalian mau kami turunkan." Mata Alan masih terfokus pada jasad Miya yang terbaring di atas brangkar."Benarkah itu kamu Miya?" tanya Alan masih tak percaya.Ada rasa penyesalan yang begitu dalam di hati Alan."Andai aku tak menjatuhkan talak padamu, apakah kamu masih tetap hidup sampai saat ini, Miya?" tanya Alan.Tentu saja Miya tak
Mira kembali lagi ketika tahu rumah Alan kosong tak berpenghuni.Mira mencari tahu kemana Alan membawa ibunya dengan bertanya pada orang yang memposting berita duka itu.Ternyata Alan telah pindah rumah, Mira baru tahu kalau rumah mewah yang pernah ia tempati ternyata telah dijual oleh Alan."Ternyata rumah itu telah dijual, Bu," ucap Mira pada Carolina."Oh, iya? Aku tidak tahu kabar itu," balas Carolina."Mungkin Alan membawa Prapty ke kampungnya," ucap Mira."Iya sepertinya begitu," balas Carolina.Mira akhirnya tidak pergi melayat, justru malah main di rumah Carolina.Sementara itu Alan membawa jasad Prapty ke rumahnya yang ada di perkampungan warga. Alan telah membeli sebuah rumah yang kecil di pinggiran kota.Mobil ambulance itu masuk ke sebuah pekarangan yang bercat merah muda. Cat itu sudah memudar.Alan membuka kunci pintu rumah itu, dan meminta pada Susi untuk membersihkan rumah itu dengan menyapunya.Susi menyapu ruang tengah dan juga ruang tamu."Pak, ada karpet atau perm
Alan meremas jari jemarinya, ia terlihat begitu gugup. Ada rasa tak rela dalam sudut matanya."Silahkan Pak tanda tangan di sini," ucap orang yang ada di hadapannya Alan.Alan meraih ballpoint yang ada di atas kertas itu. Ia tak segera menandatangani dokumen itu. Alan merasa ragu, hingga ia meletakan kembali ballpoint itu di tempat semula."Ada apa, Pak?" tanya orang itu pada Alan."Bolehkah saya menghela nafas sejenak," ucap Alan.Alan merasa berat hati melepas rumah yang selama ini menjadi impiannya bersama Mira. Tapi, Alan justru malah menghianati Mira begitu saja.Alan kembali meraih ballpoint itu, ia memejamkan matanya sejenak. Lalu, dengan berat hati Alan mulai membubuhkan tandatangannya di dokumen jual beli itu.Setelah selesai, Alan menyodorkan dokumen itu pada orang yang ada di hadapannya."Pak, uangnya sudah saya transfer ya. Silahkan anda cek terlebih dahulu!" ucap orang yang ada di sampingnya Alan."Baik, Pak." Alan mengambil gawainya, ia melihat ada sebuah notifikasi dar
Kepala Sekolah itu terperangah. Wajahnya menunjukan keterkujatannya. Wanita pongah itu pun melakukan hal yang sama."Pak Valentino?" sapa Kepala Sekolah. Ia langsung berdiri saat melihat yang datang itu adalah Valentino."Pak?" sapa wanita itu sambil menganggukan sedikit kepalanya ke arah Valentino.Asya yang melihat Valentino datang langsung memanggilnya."Ayaaahh!" panggil Asya sambil berjalan menghampiri Valentino."Sayang, apa yang terjadi?" tanya Valentino sambil merengkuh kedua bahu Asya dan menatapnya penuh tanya dengan tubuh yang berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Asya.Mata Kepala Sekolah langsung melotot saat mendengar Valentino memanggil Asya dengan sebutan sayang.Kepala Sekolah itu pun bertanya-tanya dalam hatinya, 'ada hubungan apa antara anak itu dengan Pak Valentino?'Begitu pun dengan wanita yang arogan itu. Matanya sampai berkedip berkali-kali seperti orang yang kelilipan."Aku baik-baik saja Ayah. Tapi, Bunda tidak," ucap Asya."Kenapa dengan Bunda?" tan
Mira melajukan mobilnya ke sekolahnya Asya setelah mengantar Carolina.Sepanjang jalan ia terus berpikir, ternyata hidupnya jauh lebih beruntung daripada Miya.Miya merebut Alan darinya, ketika Mira ikhlas melepaskan miliknya untuk orang lain Tuhan memberi pengganti yang jauh lebih baik dari sebelumnya.Tuhan tak pernah tidur, Ia Maha Melihat. Dan kini Miya maupun Alan telah menerima karmanya.Berbuat baik maka akan menghasilkan kebaikan untuk diri kita sendiri. Begitu pun sebaliknya.Mira memarkirkan mobilnya di pinggir jalan depan sekolahnya Asya.Bel pulang berdering. Anak-anak berhamburan keluar dari gedung sekolah menghampiri para orang tuanya yang sedang menunggu kepulangan mereka di depan gerbang. Mira melihat Asya yang sedang berjalan menggunakan tongkatnya.Mira melambaikan tangannya sambil berteriak memanggil namanya Asya."Asyaaaa!" teriak Mira memanggil Asya.Asya pun melambaikan tangannya ke arah Mira sambil menghentikan langkahnya."Bundaa!" teriak Asya.Mira melihat ke
Mira terkejut ketika Belinda tiba-tiba pingsan. Rupanya ia begitu shock ketika menerima kenyataan bahwa Valentino lebih memilih Mira daripada dirinya."Tolong bawa dia ke Rumah Sakit segera," pinta Mira pada suster yang di bawa oleh Belinda."Baik, Bu," jawab suster itu patuh.Mira tidak ingin mengambil resiko dengan memasukan Belinda ke dalam rumahnya.Entah Belinda dapatkan dari mana alamat rumahnya Mira. Padahal Valentino sudah pindah dari rumahnya yang dulu.Mira kembali ke dalam rumah setelah Belinda dan susternya pergi.Di dalam mobilnya Belinda."Sial! Percuma sqja aku harus akting menjadi orang yang penyakitan!" ucap Belinda marah.Belinda menghapus riasannya, ia merias ulang wajahnya sehingga terlihat cantik dan fresh.Belinda juga melempar selimut yang menutupi kakinya ke sembarang arah."Huh! Sialan! Benar-benar sialan! Kenapa sih harus hadir wanita sialan itu!" maki Belinda sambil meninju jok mobil di sampingnya berulang kali.Ia marah karena Valentino mengabaikannya. Saat
Mira pergi bulan madu bersama Valentino. Mereka sungguh menikmati waktu kebersamaannya.Mira tak pernah merasa sebahagia ini setelah lepas dari Alan.Mira benar-benar di manjakan oleh Valentino."Aku ke kamar mandi dulu," pamit Mira pada Valentino."Jangan lama-lama," jawab Valentino."Hmm," jawab Mira singkat.Valentino menunggu Mira kembali dari kamar mandi sambil memainkan gawainya.Ia berselancar ke dunia maya, ia melihat aplikasi biru. Betapa terkejutnya ia saat melihat sebuah berita."Bukankah ini Alan?" gumam Valentino."Tapi, sedang apa dia? Tunggu, istrinya Alan menjadi seorang pembunuh?" gumam Vqlentino lagi kali ini dengan alis yang saling bertaut.Mira yang sudah kembali dati kamar mandi melihat Alan sedang melihat ke arah gawainya. Tapi, wajahnya seperti orang yang terkejut.Valentino dulu sering mengikuti berita perceraian Mira dengan Alan. Jadi, ia mengenal Alan.Mira menghampiri Valentino, ia merebahkan tubuhnya di sisi Valentino."Sedang melihat apa?" tanya Mira."Oh,
Beberapa hari berlalu tanpa harapan. Mata Miya kian sayu dan cekung.Ia sudah tak bersemangat lagi untuk hidup, ruang dingin dan lembab kini menjadi temannya dalam diam.Tak ada satu orang pun yang berniat untuk mendekat atau pun sekedar bertanya padanya.Semua orang menghindarinya, Miya selalu duduk di pojokan dengan memeluk lutut dan wajah yang terbenam.Mata semua orang memandangnya sinis, tak ada belas kasih. Seorang yang berstatus pembunuh selalu di anggap penjahat paling keji.Miya tak peduli dengan tatapan mereka, ia kini tak peduli dengan dunia. Harapan satu-satunya kini sudah tiada.Miya berjalan gontai saat namanya di panggil karena ada yang menjenguknya.Miya duduk di depan orang yang menjenguknya. Rini menatapnya iba tak ada jejak kebencian dalam sorot matanya."Mbah, maaf aku baru bisa berkunjung," sapa Rini. Tak ada riak kesedihan dalam raut wajahnya.Miya tak menjawab, ia diam."Aku akan menjual rumah itu dan pergi dari sini," lanjut Rini.Miya tetap bungkam, ia menatap