Mira merasa dirinya begitu bodoh karena sempat terbuai oleh bujuk rayu Alan. Meskipun Alan suaminya tetap saja, ia merasa dirinya telah melakukan sesutu yang menjijikan telah bersentuhan dengan laki-laki yang telah berselingkuh. Mira memutuskan untuk mandi dan membersihkan tubuhnya yang terasa lengket setelah seharian beraktifitas. Kini Mira merasa tubuhnya sudah segar kembali, ia merebahkan tubuhnya yang terasa letih dan lelah. Pikirannya mengembara di mana ia pertama kali mengenal Alan suaminya. Saat itu Alan yang baru ditinggalkan oleh Miya karena ditentang oleh keluarganya mengalami depresi, ia terluka parah secara fisik dan jiwanya. Mira dengan sabar mendampingi Alan yang terluka akibat dipukuli dan terkena luka tembak di pahanya. Setiap hari Mira mundar-mandir ke rumah sakit demi untuk menemani Alan dan menghiburnya. Bahkan Mira harus merelakan uang tabungannya demi untuk membayar biaya rumah sakit Alan. Tabungan yang ia kumpulkan sepeser demi sepeser, sedikit demi sedikit u
Sebuah petaka menimpa orang tua Alan, ibunya mengalami stroke ringan. Sebagai bentuk baktinya pada suami dan orang yang telah berjasa pada suaminya, Mira memutuskan untuk merawat ibunya Alan yang terkena stroke.Mereka memboyong dari desa ke tempat mereka di kota. Mira merawat ibunya Alan dengan sangat telaten. Meski kadang, caci dan makian kerap kali harus ia terima."Jadi menantu tak becus bekerja, lihat nih kakiku hampir melepuh karena air untuk berendamnya kepanasan, dasar mantu sialan!" maki ibunya Alan dengan suara yang sedikit tak terdengar kurang jelas."Maaf bu, tapi, tadi airnya sudah aku campur dengan air dingin kok!" ucap Mira membela diri saat dirinya dituduh oleh ibunya Alan."Kalau dibilangin jawab melulu, kualat kamu nanti!" Bu Prapty, ibunya Alan malah menyumpahi Mira.Mira lebih memilih diam, ia tak mau berdebat jadi ia mengganti air itu. Mira membawa air yang ada di baskom itu kehadapan Bu Prapty. Ia membantu ibu mertuanya untuk merendam kakinya.Setelah itu, Mira
Mira berbalik dan Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipi putih mulus milik Miya. Sebuah gambar lima jari tercetak di sana berwarna merah.Miya tersulut emosi karena tindakan Mira padanya. Ia mengangkat tangannya bersiap untuk melayangkan sebuah tamparan di pipi Mira, namun, Mira dengan cepat menahan tangan itu sebelum benar-benar mendarat di wajah Mira."Kamu mau membalasku? Jangan harap?" ucap Mira sembari mencengkeram kuat tangan Miya lalu menghempaskannya kuat hingga tubuh Miya bergeser sedikit ke belakang."Kamu?!" Mata Miya merah, nyalang. Ia menggemeletukan gigi-giginya. Miya marah bukan kepalang, ia bersiap menyerang Mira dengan brutal.Miya menyerang Mira dengan merangseg dan bersiap mencengkeram tubuh Mira. Tentu saja Mira tak tinggal diam. Ia menghindar dengan menggeser sedikit tubuhnya ke samping dan Bruk! Miya tersungkur jatuh karena kehilangan keseimbangan.Mira tersenyum mengejek, "bagaimana?" ucap Mira sembari mengangkat kedua alisnya."Kamu?! Dasar perempuan jalang, ta
Mira melangkahkan kakinya pergi dari hadapan mereka, sementara Alan hanya mampu menatap punggung Mira yang semakin menjauh.Miya marah dengan menghentakkan kakinya seperti anak kecil yang tengah merajuk. Alan tak menanggapi Miya, ia merasa kepalanya berdenyut pusing memikirkan kekacauan antara kedua istrinya.Alan pergi ke dapur meninggalkan Miya seorang diri di tempat."Bi, siapin sarapannya!" perintah Alan pada pembantu barunya."Baik, Tuan!" jawab pembantu itu.Alan duduk di kursi meja makan, ia menunggu sarapan itu disiapkan oleh pembantu barunya.Miya menyusul Alan ke ruang makan, ia duduk tepat di samping kursi Alan."Ibu, mana?" tanya Alan yang tak melihat ibunya sedari tadi. Bahkan pada saat ribut-ribut pun ibunya tak keluar."Mana aku tahu," jawab Miya sembari mengedikkan bahunya."Coba kamu lihat! Siapa tahu terjadi sesuatu padanya?" Alan memerintahkan Miya untuk melihat ibu mertuanya yang tak kunjung keluar kamar."Kamu aja, Mas," ucap Miya padq Alan agar suaminya saja yang
Ibunya Alan menangis setelah ia sadar, Bu Prapty mulutnya menyot ke samping dan bicaranya pun tak jelas. Ia terkena stroke lagi, tapi, kali ini lebih berat.Jika dulu ia pernah mengalami stroke ringan kali ini ia mengalami stroke berat.Alan yang melihat ibunya terkena stroke gegas membawanya ke rumah sakit."Miya, siapkan mobil. Kita berangkat ke rumah sakit," perintah Alan pada Miya yang di jawab dengan anggukan kepala."Baik. Mana kuncinya?" tanya Miya."Ada di tempat biasa, cepat!" ucap Alan.Miya pun gegas keluar kamar dan mengambil kunci mobil dan berlari ke garasi.Miya mengeluarkan mobil Alan dan memarkirkannya tepat di depan rumah. Lalu ia kembali masuk ke dalam menemui Alan."Mas, mobilnya sudah siap," ucap Miya pada Alan."Ayo bersiap, aku akan membopong ibu," Alan memberi perintah pada Miya agar ia bersiap."Aku ikut, Mas?" tanya Miya, sepertinya ia tak suka jika harus ikut serta bersama Alan mengantar ibunya ke rumah sakit."Kenapa? Tentu saja kamu harus ikut! Cepat bersia
Alan berpamitan pada Ibunya, "Bu, aku ada rapat dewan direksi dan hampir telat, Miya tak bisa jagain ibu karena perutnya mual. Jadi nanti aku sewa perawat untuk jagain ibu."Bu Prapty nampak sedih, ia butuh orang terdekatnya untuk menjaganya, tapi, justru mereka sibuk dengan urusannya masing-masing."A-aa ... uuu ...," ucap Bu Prapty tak jelas bicara apa.Sepertinya ia tak mau ditinggal oleh mereka. Tangan Bu Prapty berusaha diangkat, tapi, ia tak bisa mengangkat tangannya.Air matanya meleleh dari sudut matanya, ternyata menantu yang ia banggakan tak lebih baik dari Mira.Bu Prapty teringat saat ia terkena stroke ringan dulu yang merawatnya adalah Mira.Mira begitu telaten mengurusinya meski kadang ia suka memaki dan memarahinya."Bu, aku akan datang jenguk Ibu nanti sepulang dari kantor, sekarang ibu istirahat ya," ucap Alan sambil mengelus rambut ibunya yang hampir sebagian telah memutih.Miya pun mendekati ibu mertuanya, ia juga berpamitan padanya, "Bu aku pamit pulang dulu ya, na
Mira kaget bukan kepalang ketika melihat rumahnya berantakan, kulit kwaci berserakan di mana-mana, bungkus camilan gelas bekas pakai bergelimpangan. Mira yang melihatnya sontak langsung naik pitam, rumah yang kini ia tempati sebagian uangnya adalah hasil dari dirinya yang membuka cafe dan menabung selama bertahun-tahun. Karena saat itu kondisi keuangannya belum stabil seperti saat ini.Mira mencari Miya ke kamarnya, Mira menaiki anak tangga menuju kamar yang dulu ia tempati bersama Alan, tapi, kini kamar itu di tempati oleh Miya adik madunya.Mira menggedor pintu kamar Miya, sekali dua kali tak ada jawaban. Mira terus menggedornya semakin kencang.Tak berapa lama setelah Mira menggendor lebih kencang Miya membuka pintu kamarnya.Miya mengucek matanya, rupanya ia tidur dan terbangun oleh gedoran Mira.Melihat Mira yang menggedor pintunya, Miya langsung memakinya, "heh ... wanita mandul sialan! Ngapain gangguin orang tidur, ha?!""Ngapain? Siapa yang kamu panggil wanita mandul sialan i
Jawaban pembantu baru itu membuat Mira terlonjak kaget."Kata Bu Miya biarkan saja jangan dirapikan. Biar Bu Mira saja yang merapikannya," jawab pembantu itu."Apa katamu?!" Mata Mira hampir melompat keluar saat mendengar jawaban dari pembantu baru itu."Aku yang merapikannya? Heh, kamu itu di sini dibayar untuk bekerja, bukan untuk berleha-leha. Enak banget kamu bilang aku yang merapikan! Terus kamu sendiri ngapain? Tidur?" ucap Mira dengan nada kesal sambil mendorong tubuh pembantu itu.Mira menghela nafasnya dalam demi menahan emosinya yang hampir meledak.Mira berpikir jika ia terus berada di rumah ini, lama kelamaan ia bisa kehilangan kewarasannya alias gila.Mira tanpa berucap lagi langsung pergi meninggalkan kamar pembantu baru itu.'Bisa gila aku jika terus berada di sini. Aku harus sesegera mungkin keluar dari sini. Tapi, kenapa surat gugatan ceraiku belum juga datang ya?' gumam Mira dalam hati sambil berjalan menuju ke kamarnya.Saat akan kembali ke kamarnya, ia melewati rua
Alan terus mundar mandir di depan rumah Mira, hingga sebuah mobil berhenti tepat di depan pintu gerbang tinggi menjulang itu.Alan menghampiri mobil itu dan mengetuk kaca jendelanya.Tok Tok Tok"Alan?" ucap Mira yang ada di dalam mobil bersama Valentino.Sepertinya mereka habis bepergian."Mau apa dia kemari? Bagaimana bisa dia tahu alamat rumah ini?" tanya Mira pada Valentino yang ada di sisinya.Dor ... Dor ... DorKetukan berubah menjadi gedoran.Meski ia menggendor tetap saja tidak dibuka oleh Valentino dan Mira."Jangan dibuka!" perintah Valentino. "Kita tidak tahu niat jahat apa yang hendak ia lakukan pada kita, terutama kamu!" ucap Valentino memperingati Mira dengan tegas.Mira tak menjawab dengan ucapan melainkan dengan anggukan.Mata Alan nyalang, ia memutari mobil. Tak berhasil di sisi sebelah kanan ia berpindah ke sebelah kiri.Mata Mira tak sengaja bertemu pandang dengan mata Alan secara tak sengaja. Namun tetap saja hal itu membuat Mira terkejut, sampai ia merapatkan pun
Alan terpaku menatap jasad di hadapannya. Ia tak terlihat seperti orang linglung. Baru saja kemarin ia menemuinya, kini dia sudah ada di hadapannya sudah menjadi jasad."Miya," ucap Alan lirih.Salah satu petugas ambulance menoel Alan."Pak, maaf tolong tandatangani dokumen ini," ucap salah satu petugas pengantar jenazah itu pada Alan.Alan menoleh, ia melihat petugas itu kaku bagaikan tak bernyawa.Alan mengambil dokumen itu tanpa mengatakan sepatah kata pun. Ia langsung menandatanganinya dan menyerahkannya kembali pada petugas itu.Setelah petugas menerima kembali dokunen itu, ia pun bertanya pada Alan, "Maaf Pak, jenazahnya mau di letakkan di mana? Sekalian mau kami turunkan." Mata Alan masih terfokus pada jasad Miya yang terbaring di atas brangkar."Benarkah itu kamu Miya?" tanya Alan masih tak percaya.Ada rasa penyesalan yang begitu dalam di hati Alan."Andai aku tak menjatuhkan talak padamu, apakah kamu masih tetap hidup sampai saat ini, Miya?" tanya Alan.Tentu saja Miya tak
Mira kembali lagi ketika tahu rumah Alan kosong tak berpenghuni.Mira mencari tahu kemana Alan membawa ibunya dengan bertanya pada orang yang memposting berita duka itu.Ternyata Alan telah pindah rumah, Mira baru tahu kalau rumah mewah yang pernah ia tempati ternyata telah dijual oleh Alan."Ternyata rumah itu telah dijual, Bu," ucap Mira pada Carolina."Oh, iya? Aku tidak tahu kabar itu," balas Carolina."Mungkin Alan membawa Prapty ke kampungnya," ucap Mira."Iya sepertinya begitu," balas Carolina.Mira akhirnya tidak pergi melayat, justru malah main di rumah Carolina.Sementara itu Alan membawa jasad Prapty ke rumahnya yang ada di perkampungan warga. Alan telah membeli sebuah rumah yang kecil di pinggiran kota.Mobil ambulance itu masuk ke sebuah pekarangan yang bercat merah muda. Cat itu sudah memudar.Alan membuka kunci pintu rumah itu, dan meminta pada Susi untuk membersihkan rumah itu dengan menyapunya.Susi menyapu ruang tengah dan juga ruang tamu."Pak, ada karpet atau perm
Alan meremas jari jemarinya, ia terlihat begitu gugup. Ada rasa tak rela dalam sudut matanya."Silahkan Pak tanda tangan di sini," ucap orang yang ada di hadapannya Alan.Alan meraih ballpoint yang ada di atas kertas itu. Ia tak segera menandatangani dokumen itu. Alan merasa ragu, hingga ia meletakan kembali ballpoint itu di tempat semula."Ada apa, Pak?" tanya orang itu pada Alan."Bolehkah saya menghela nafas sejenak," ucap Alan.Alan merasa berat hati melepas rumah yang selama ini menjadi impiannya bersama Mira. Tapi, Alan justru malah menghianati Mira begitu saja.Alan kembali meraih ballpoint itu, ia memejamkan matanya sejenak. Lalu, dengan berat hati Alan mulai membubuhkan tandatangannya di dokumen jual beli itu.Setelah selesai, Alan menyodorkan dokumen itu pada orang yang ada di hadapannya."Pak, uangnya sudah saya transfer ya. Silahkan anda cek terlebih dahulu!" ucap orang yang ada di sampingnya Alan."Baik, Pak." Alan mengambil gawainya, ia melihat ada sebuah notifikasi dar
Kepala Sekolah itu terperangah. Wajahnya menunjukan keterkujatannya. Wanita pongah itu pun melakukan hal yang sama."Pak Valentino?" sapa Kepala Sekolah. Ia langsung berdiri saat melihat yang datang itu adalah Valentino."Pak?" sapa wanita itu sambil menganggukan sedikit kepalanya ke arah Valentino.Asya yang melihat Valentino datang langsung memanggilnya."Ayaaahh!" panggil Asya sambil berjalan menghampiri Valentino."Sayang, apa yang terjadi?" tanya Valentino sambil merengkuh kedua bahu Asya dan menatapnya penuh tanya dengan tubuh yang berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Asya.Mata Kepala Sekolah langsung melotot saat mendengar Valentino memanggil Asya dengan sebutan sayang.Kepala Sekolah itu pun bertanya-tanya dalam hatinya, 'ada hubungan apa antara anak itu dengan Pak Valentino?'Begitu pun dengan wanita yang arogan itu. Matanya sampai berkedip berkali-kali seperti orang yang kelilipan."Aku baik-baik saja Ayah. Tapi, Bunda tidak," ucap Asya."Kenapa dengan Bunda?" tan
Mira melajukan mobilnya ke sekolahnya Asya setelah mengantar Carolina.Sepanjang jalan ia terus berpikir, ternyata hidupnya jauh lebih beruntung daripada Miya.Miya merebut Alan darinya, ketika Mira ikhlas melepaskan miliknya untuk orang lain Tuhan memberi pengganti yang jauh lebih baik dari sebelumnya.Tuhan tak pernah tidur, Ia Maha Melihat. Dan kini Miya maupun Alan telah menerima karmanya.Berbuat baik maka akan menghasilkan kebaikan untuk diri kita sendiri. Begitu pun sebaliknya.Mira memarkirkan mobilnya di pinggir jalan depan sekolahnya Asya.Bel pulang berdering. Anak-anak berhamburan keluar dari gedung sekolah menghampiri para orang tuanya yang sedang menunggu kepulangan mereka di depan gerbang. Mira melihat Asya yang sedang berjalan menggunakan tongkatnya.Mira melambaikan tangannya sambil berteriak memanggil namanya Asya."Asyaaaa!" teriak Mira memanggil Asya.Asya pun melambaikan tangannya ke arah Mira sambil menghentikan langkahnya."Bundaa!" teriak Asya.Mira melihat ke
Mira terkejut ketika Belinda tiba-tiba pingsan. Rupanya ia begitu shock ketika menerima kenyataan bahwa Valentino lebih memilih Mira daripada dirinya."Tolong bawa dia ke Rumah Sakit segera," pinta Mira pada suster yang di bawa oleh Belinda."Baik, Bu," jawab suster itu patuh.Mira tidak ingin mengambil resiko dengan memasukan Belinda ke dalam rumahnya.Entah Belinda dapatkan dari mana alamat rumahnya Mira. Padahal Valentino sudah pindah dari rumahnya yang dulu.Mira kembali ke dalam rumah setelah Belinda dan susternya pergi.Di dalam mobilnya Belinda."Sial! Percuma sqja aku harus akting menjadi orang yang penyakitan!" ucap Belinda marah.Belinda menghapus riasannya, ia merias ulang wajahnya sehingga terlihat cantik dan fresh.Belinda juga melempar selimut yang menutupi kakinya ke sembarang arah."Huh! Sialan! Benar-benar sialan! Kenapa sih harus hadir wanita sialan itu!" maki Belinda sambil meninju jok mobil di sampingnya berulang kali.Ia marah karena Valentino mengabaikannya. Saat
Mira pergi bulan madu bersama Valentino. Mereka sungguh menikmati waktu kebersamaannya.Mira tak pernah merasa sebahagia ini setelah lepas dari Alan.Mira benar-benar di manjakan oleh Valentino."Aku ke kamar mandi dulu," pamit Mira pada Valentino."Jangan lama-lama," jawab Valentino."Hmm," jawab Mira singkat.Valentino menunggu Mira kembali dari kamar mandi sambil memainkan gawainya.Ia berselancar ke dunia maya, ia melihat aplikasi biru. Betapa terkejutnya ia saat melihat sebuah berita."Bukankah ini Alan?" gumam Valentino."Tapi, sedang apa dia? Tunggu, istrinya Alan menjadi seorang pembunuh?" gumam Vqlentino lagi kali ini dengan alis yang saling bertaut.Mira yang sudah kembali dati kamar mandi melihat Alan sedang melihat ke arah gawainya. Tapi, wajahnya seperti orang yang terkejut.Valentino dulu sering mengikuti berita perceraian Mira dengan Alan. Jadi, ia mengenal Alan.Mira menghampiri Valentino, ia merebahkan tubuhnya di sisi Valentino."Sedang melihat apa?" tanya Mira."Oh,
Beberapa hari berlalu tanpa harapan. Mata Miya kian sayu dan cekung.Ia sudah tak bersemangat lagi untuk hidup, ruang dingin dan lembab kini menjadi temannya dalam diam.Tak ada satu orang pun yang berniat untuk mendekat atau pun sekedar bertanya padanya.Semua orang menghindarinya, Miya selalu duduk di pojokan dengan memeluk lutut dan wajah yang terbenam.Mata semua orang memandangnya sinis, tak ada belas kasih. Seorang yang berstatus pembunuh selalu di anggap penjahat paling keji.Miya tak peduli dengan tatapan mereka, ia kini tak peduli dengan dunia. Harapan satu-satunya kini sudah tiada.Miya berjalan gontai saat namanya di panggil karena ada yang menjenguknya.Miya duduk di depan orang yang menjenguknya. Rini menatapnya iba tak ada jejak kebencian dalam sorot matanya."Mbah, maaf aku baru bisa berkunjung," sapa Rini. Tak ada riak kesedihan dalam raut wajahnya.Miya tak menjawab, ia diam."Aku akan menjual rumah itu dan pergi dari sini," lanjut Rini.Miya tetap bungkam, ia menatap